Wednesday, November 01, 2006

KOTA BANDUNG BISA MENJADI KOTA BANJIR

WARTA DISTARKIM PROV JABAR, 6 JANUARI 2005

Foto: Satrya, Pikiran Rakyat, Banjir Cibaduyut, 23 April 2006

Gerakan Cikapundung Bersih mungkin akan menjadi salah satu dari sekian ratus program pemda kota dan kabupaten yang hanya hidup sebatas jargon tanpa ruh sebuah sistem, demikian pernyataan Nabiel Makarim dalam pembukaan Hari Cikapundung bersih Februari 2004 silam. Bagaimana tidak, menurut beberapa anggota Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DP-KLTS), salah satunya
S. Sobirin. Menurutnya gerakan ini memungkinkan melakukan sebuah usaha parsial, hanya mengurusi aliran sungai saja, tanpa melihat sub-DAS itu sendiri. Pernyataan ini menyusul setelah terjadinya kerusakan 7.080 ha atau 80% dari 8.850 ha luas hutan lindung di hulu Sub-Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Cikapundung, sekitar Kawasan Bandung Utara, beberapa minggu ini. Ia mengatakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan akan mengakibatkan banjir dasyat yang mengancam kawasan kota Bandung dan sekitarnya. Kerusakan hutan di hulu Sub-DAS Cikapundung yang sebagian besar berada di wilayah kabupaten Bandung itu, tidak hanya meluapkan aliran air sungai Cikapundung, tetapi juga akan menambah jumlah volume di puluhan anak sungai yang melintasi kota Bandung. Kondisi ini semakin diperparah, karena hulu Sub-DAS lainnya pun di kawasan Bandung utara dalam keadaan kritis, tegasnya. Ia pun memprediksi sebuah rencana alam akan terjadi kembali, yaitu periodisasi bencana banjir dasyat. Saya teringat dan tidak mustahil bila banjir dasyat akan melanda kota bandung seperti banjir yang terjadi pada 28 November 1945 yang merengut ratusan korban jiwa. Banjir ini menerjang kawasan Sasak Gantung, Lengkong Besar, Kebonjati dan daerah sekitar lainnya. Banjir yang terjadi di tahun 1945 ini merupakan banjir yang terjadi 100 tahun sekali (banjir periode ulang 100 tahunan, itu pun bila kondisi hutan di hulu sungai dalam keadaan baik -red), katanya. Walaupun begitu, dengan kerusakan di hulu Sub-DAS Cikapundung yang kondisinya sudah semakin parah, Sobirin menegaskan banjir periode ulang sepuluh tahunan dan 25 tahunan sangat pasti akan dialami oleh warga kota Bandung dan sama dasyatnya dengan banjir 100 tahunan. Oleh karena itu saya sangat khawatir ini akan terjadi, tak perlu menunggu tahun 2045, sambungnya. Pada kesempatan itu Sobirin menjelaskan bahwa saat ini seluas 8.850 ha atau 75 % dari 11.8850 ha luas hulu Sub-DAS Cikapundung merupakan kawasan lindung atau daerah yang harus berfungsi sebagai daerah lindung. Luas kawasan lindung ini berdasarkan kemiringan, curah hujan, sifat tanah dan ketinggian, tambahnya. Namun dari kondisi riil yang ada, dari 8.850 ha kawasan lindung, hanya 1.770 ha masih dalam keadaan baik. Selebihnya 7.080 ha sudah rusak karena disekitarnya dipenuhi permukiman dan pertanian yang tidak berkaidah pada hukum konservasi kawasan. Maka ancaman akan adanya banjir bukan isapan jempol, tegasnya. Perbandingan luas permukiman dan pertanian yang tidak berwawasan konservasi semestinya tidak lebih dari 2.950 ha atau sekitar 25% dari luas hulu Sub-DAS Cikapundung. Seharusnya rencana tata ruang permukiman dan pertanian berada di kawasan hutan budi daya bukan kawasan lindung. Namun pada kenyataannya daerah permukiman dan pertanian ini juga malah menempati daerah hutan lindung. Dalam kesempatan lain, masih di kantor DP-KLTS, Ketua DP-KLTS, Solihin G.P, yang juga saksi dari terjadinya banjir dasyat pada tanggal 28 November 1945. Solihin G.P mengatakan bahwa banjir banjir yangakan terjadi nanti akan lebih dasyat. Kenyataannya dengan kondisi hutan di tahun 1945 lalu saja itu sudah jauh lebih baik dibandingkan sekarang, tapi air Cikapundung sudah meluap. Apalagi jika terjadi sekarang, pada saat segala sesuatunya sudah rusak, mungkin kerusakan dan korbannya lebih tak terbayangkan, ujarnya. Menurut Solihin, kita tinggal menunggu waktu saja untuk datangnya banjir tersebut, namun demikian untuk mengurangi dampak banjir yang tidak kita inginkan, diperlukan langkah rehabilitasi hutan lindung yang terlanjur rusak. Kelestarian hutan di hulu sungai sangat penting untuk mengendalikan tata air, guna mengurangi dampak dari bencana banjir di musim hujan ini dan kekeringan di musim Kemarau nantinya. Bila tidak, maka julukan kota Bandung adalah sebagai kota Banjir, bukan kota Kembang lagi, katanya. (P.02)

1 comment:

amethys said...

ngeri sekali kalau Bandung jadi kota banjir....wow..segitu parahkah kerusakan hutan dan sungai di Bandung? semoga masyarakat Bandung sadar untuk melestarikan tanah Parahiyangan nan elok ini dan menjaganya...

wah..wah saya juga merasa sayang melihat "pengerusakan" di Bandung....