Sunday, April 29, 2007

HARI HUTAN, HARI AIR, DAN KRISIS NALAR


Kompas Jawa Barat, Rabu 21 Maret 2007
Foto: BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002
Oleh SOBIRIN


Dalam agenda peringatan hari-hari lingkungan, pada bulan Maret terdapat 3 hari peringatan yang istimewa, selain berurutan juga saling terkait satu sama lain, yaitu tanggal 21 Maret sebagai Hari Hutan Sedunia (World Forest Day), tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day), dan tanggal 23 Maret sebagai Hari Meteorologi Sedunia (World Meteorological Day). Hari Hutan Sedunia sepertinya tidak populer dirayakan di negara kita, mungkin karena masyarakat awam tidak mengetahui, atau masyarakat pengelola hutan malu karena keberadaan hutannya tidak pantas lagi dirayakan. Demikian pula halnya dengan Hari Meteorologi Sedunia, mungkin hanya kalangan masyarakat terkait dengan bidang meteorologi saja yang menyelenggarakan peringatan. Berbeda dengan Hari Air Sedunia, hampir semua kalangan masyarakat ikut merayakannya, mungkin karena unsur air ini langsung berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari manusia. Padahal seharusnya hari-hari peringatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggali kesadaran tentang hutan, air, cuaca, dan iklim. No forest, no water, no future; tidak ada hutan, tidak ada air, tidak ada masa depan; leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.

Krisis nalar
Manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku mekanistis, reduksionistis, buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas, bahkan kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin. Pada tahun 2010 penduduk bumi diprediksi mendekati 7 milyar jiwa, dan akan bertambah satu milyar setiap 15 tahun. Sebanyak 80% penduduk tinggal di negara-negara miskin, dan 20% tinggal di negara-negara kaya. Untuk memenuhi kehidupan telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena, bukan oleh 80% penduduk miskin, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 80% dari seluruh sumber alam dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (United Nations Food and Agriculture Organization, UNFAO) melaporkan bahwa selama tahun 1990-2000, hutan seluas 130 juta hektar telah lenyap dari muka bumi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, karena penebangan yang berlebihan, illegal logging, dan alih fungsi lahan. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan pemanasan global, perubahan iklim, penyimpangan musim, dan perubahan keseimbangan tata air. Menurut World Water Forum III yang diselenggarakan di Jepang (2003), satu dari tiga orang di muka bumi telah mengalami kekurangan air minum, dan sekitar 800 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam. Di samping itu, bencana demi bencana bermunculan, dan yang menjadi korban kebanyakan adalah penduduk dari negara-negara miskin termasuk Indonesia. Jenis dan jumlah kejadian bencana alam yang terjadi di muka bumi ini menurut catatan Organisasi Meteorologi Sedunia atau World Meteorological Organization, WMO (2006), disebutkan banjir 37%, kebakaran 5%, letusan gunungberapi 2%, badai 28%, tanah longsor 6%, kekeringan/ kelaparan 9%, gempa 8%, temperatur ekstrim 5%. Dari sekian banyak jenis dan jumlah kejadian bencana, 90% diantaranya berkaitan dengan masalah cuaca, iklim, dan air, yang diprediksi sebagian besar sebagai dampak perilaku manusia di muka bumi.
Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengalami krisis ekologi. Menurut catatan UNFAO, dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektar per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan WALHI, laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektar per tahun, atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit. Dampaknya hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia menjadi kritis. Bencana iklimpun semakin meningkat, baik frekwensi maupun skalanya. Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR) mencatat saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa memiliki Indek Ketersediaan Air (IKA) 16.800 meter kubik/kapita/tahun, dan diprediksi akan menurun menjadi 9.200 meter kubik/kapita/tahun pada tahun 2025 pada saat jumlah penduduk diprediksi 273 juta jiwa. Diantara pulau-pulau di Indonesia, saat ini harus diwaspadai Pulau Jawa sedang mengalami tekananan ketersediaan air yang parah, yaitu hanya 1.600 m3/kapita/tahun, karena luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar di Indonesia, tetapi harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.

Kontrak ekologi
Memelihara hutan, baik berupa hutan alam maupun hutan buatan di dalam DAS sudah merupakan suatu keharusan dan bukan kemewahan, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, menangkap/menyimpan/mengendalikan air, serta dapat mencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Prof. M.T. Zen, mantan Guru Besar ITB, menekankan manusia harus membuat kontrak ekologi dengan alam sekarang juga, untuk tidak lagi merusak alam, dan harus arif terhadap alam. Contoh kisah sukses adalah kota New York di Amerika Serikat. yang berhasil melindungi sumber daya air dengan menanam dan memelihara hutan lidung di daerah tangkapan hujannya. Bahkan hamparan hutan ini mampu menyediakan air bersih 1,3 milyar galon per hari untuk memenuhi kebutuhan 9 juta penduduk Kota New York. Kota-kota lain yang telah mengikuti jejak New York adalah Tokyo, Barcelona, dan Melbourne. Sangat berkebalikan dengan Kota Bandung dan Kota Jakarta, dan hampir semua kota besar di Indonesia, yang saat ini justru sedang menghancurkan kawasan lindungnya sendiri. Ibarat siput sedang merusak cangkangnya sendiri. Timbul tiga masalah klasik, di waktu musim hujan air sangat banyak menjadi bencana banjir, di musim kemarau air sangat sedikit menjadi bencana kekeringan, di sepanjang tahun air sangat kotor menjadi penyakit.

Selamat memperingati Hari Hutan Sedunia 21 Maret, Hari Air Sedunia 22 Maret, dan Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret. Sangat baik bila peringatan ini diperpanjang sampai Hari Bumi 22 April. Seyogyanya bukan sekedar peringatan yang seremonial, pidato, seminar, lomba gambar, makan minum, terus bubar begitu saja. Akan tetapi peringatan yang berprogram dan berbobot dengan tindak nyata, misalnya dengan menanam pohon di kawasan lindung, dan diukur keberhasilannya ketika memperingati hari-hari yang sama pada tahun berikutnya.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Bandung Spirit

Read More..

PLUS MINUS PABRIK SAMPAH GEDEBAGE

Tribun Jabar, Senin 5 Maret 2007

Gambar: www.celsias.com

Oleh SOBIRIN


BERAWAL dari longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005 yang lalu, persoalan sampah terutama di Kota Bandung menjadi superpelik. Kota Bandung paling terpukul dibandingkan Cimahi atau Kab. Bandung. Bencana sampah yang terjadi waktu itu telah membuat panik semua pihak. Walikota Bandung berusaha mencari lokasi TPA di setiap sudut Cekungan Bandung, namun hasilnya nihil. Puluhan lokasi yang dinilai pantas untuk TPA, semuanya ditolak masyarakat dan kurang mendapat dukungan pemerintah setempat. Sementara itu sosialisasi pengolahan sampah agar setiap warga kota mampu mengolah sampahnya sendiri dengan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), terus dilakukan dengan gencar, namun hasilnya tidak banyak berarti, karena kebanyakan warga kota masih tidak ada kepedulian terhadap sampahnya.

Betapa tidak mudah mencari lokasi TPA dan betapa tidak mudah warga kota diminta untuk mengolah sampahnya, kemudian muncul konsep “sapu jagat”, yaitu membangun pabrik sampah menjadi energi (atau istilah kerennya “waste to energy” disingkat WTE atau W2E), yang lokasinya berada di kota sendiri yaitu di kawasan Gedebage. Konsep ini dikaji oleh tim ahli dari ITB dan rencananya awal tahun 2007 akan dimulai pembangunannya. Tetapi sampai bulan Maret 2007 ini belum ada tanda-tanda awal pembangunan, yang ada malah wacana pro dan kontra yang semakin mencuat terhadap rencana pabrik WTE ini.
Sebenarnya dua tahun sebelum kejadian longsor Leuwigajah, pihak Propinsi Jawa Barat melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi telah melakukan kajian mendalam tentang pengelolaan sampah terpadu untuk Bandung Metropolitan yang lebih dikenal dengan nama Greater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC). Kegiatan ini telah melibatkan kesepakatan 5 kabupaten/kota di Cekungan Bandung, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Menurut Dr. Ir. Agus Rachmat dan Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmadja dari BPLHD, dikatakan bahwa belasan rencana lokasi TPA telah dikaji untuk GBWMC ini, antara lain Legoknangka di Nagrek untuk zone Bandung Metropolitan Timur, dan Leuwigajah untuk zone Bandung Metropolitan Barat.

Plus minus pabrik WTE

Segi positif
atau kekuatan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Kota Bandung mampu menyelesaikan masalah sampahnya sendiri. Kedua, Kota Bandung diharapkan akan bebas sampah. Ketiga, Kota Bandung tidak tergantung dari wilayah lain untuk tempat pengolahan akhir sampah

Segi negatif atau kelemahan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, kurang sosialisasi yang matang dalam hal kajian lingkungan strategis, amdal, kelayakan dan disain detailnya, sehingga telah menyebabkan wacana pro dan kontra, baik di kalangan para ahli maupun di kalangan rakyat awam. Kedua, masyarakat kurang diberi penjelasan tentang alternatif-alternatif selain pabrik sampah WTE. Misalnya konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang telah dikaji oleh Propinsi Jawa Barat dengan rencana lokasi Legoknangka di Nagrek. Ketiga, walaupun pembangunan pabrik ini merupakan kerja sama antara dua badan usaha (PD Kebersihan dan PT BRILL) yang dikatakan tidak perlu pelelangan, namun bisa terjadi wacana kecemburuan di kalangan badan usaha swasta lainnya bila tidak ada sosialisasi yang transparans.
Adapun peluang dari pabrik WTE ini adalah: pertama, selain menyelesaikan masalah sampah, pabrik ini dapat menambah pasokan listrik. Kedua, Kota Bandung berpeluang meraih cita-cita menjadi kota jasa terbersih dan bermartabat
Sedangkan ancaman dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Pemkot Bandung dinilai tidak konsisten dalam kesepakatan antara 5 kabupaten/kota untuk membangun pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang dikoordinasi oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat, dan berpotensi menggagalkan rencana yang telah matang tersebut. Kedua, pabrik WTE akan kekurangan sampah, karena untuk menghasilkan daya listrik 30 megawatt setidaknya diperlukan sampah 1.800 ton atau 7.200 meter kubik per hari. Sementara, sampah yang diangkut ke TPA Gedig dan Cikubang saja pada saat musibah sampah hanya 600 ton atau 2.400 meter kubik per hari. Apalagi bila konsep 3R (reduce, reuse, recycle) dilaksanakan di sumber sampah, maka volume sampah untuk listrik akan semakin berkurang. Ketiga, Gedebage adalah daerah rawan banjir, pabrik WTE terancam tidak beroperasi bila banjir melanda kawasan ini. Keempat, bila terjadi kegagalan teknologi, Kota Bandung tidak memiliki lokasi alternatif TPA lain, dan pencemaran lingkungan akibat sampah akan kembali melanda dengan skala yang lebih besar. Kelima, mahalnya biaya produksi WTE dikhawatirkan akan dibebankan kepada masyarakat.
Ternyata pabrik WTE ini memiliki sisi positif dan peluang, tapi juga memiliki sisi negatif dan ancaman. Bagaimana analisisnya? Andaikata Pemkot Bandung hanya melihat sisi positif dan peluang saja serta memaksakan kehendak tetap membangun pabrik WTE, berarti menggunakan strategi “agresif” yang akan menghadapi banyak resiko. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi peluang dan negatif, berarti mengambil strategi “turn around”, artinya mengatasi sisi negatif untuk menangkap peluang. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kekuatan dan ancaman, berarti mengambil strategi “diversifikasi”, artinya sisi kekuatan untuk mengatasi ancaman. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kelemahan dan ancaman, berarti mengambil strategi “defensif”, artinya hanya meminimalkan kelemahan dan menghindarkan ancaman, dengan kata lain tidak memaksakan pembangunan WTE.
Demikian pula dengan konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan versi Propinsi Jawa Barat, perlu dikaji plus dan minusnya. Seyogyanya semua pihak termasuk masyarakat ahli dan awam ikut aktif memberi masukan dan penilaian terhadap konsep Pemkot Bandung maupun konsep Pemprov Jawa Barat. Masyarakat menunggu sosialisasi kedua konsep tersebut secara transparan. Tidak perlu ada kontroversi “political will” antara Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat. Konsep yang lebih baik manfaatnya untuk rakyat dan lingkungan tentunya yang akan dipilih rakyat.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

Read More..

Saturday, April 28, 2007

HAK AZASI AIR

Cuplikan dari naskah yang akan diterbitkan oleh Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), 2007

Foto: Planet Banjir, Arif Ariadi, Koran Tempo/ dan www.elsam.or.id
Oleh SOBIRIN


Ada sepucuk surat, yaitu Surat dari Air, yang sempat saya baca di Pusat Litbang Sumber Daya Air, Bandung. Surat tersebut dikatakan datang dari Air, tetapi yang menyusun suratnya adalah seorang staf dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) pada tahun 2004. Ketika itu nama Departemen PU masih Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil). Terinspirasi oleh Surat dari Air tersebut, dalam rangka peringatan Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2007, dan juga mengingatkan bahwa bencana banjir yang selalu terjadi tiap musim hujan, saya mencoba menggubah puisi dengan judul Hak Azasi Air. Puisi ini telah saya bacakan di beberapa pertemuan, antara lain di Pusat Litbang Sumber Daya Air pada peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2007, kemudian di pertemuan warga Kelapa Gading Jakarta Utara atas prakarsa Majalah Info Gading pada tanggal 30 Maret 2007, di pertemuan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI) saat pelantikan pengurus Cabang Bandung pada tanggal 21 April 2007. Ketika Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) minta saya menulis naskah tentang masalah Citarum, yang jadwalnya akan diterbitkan pada bulan Agustus 2007, puisi ini saya sertakan dalam naskah saya. Begini puisinya itu:

HAK AZASI AIR
Oleh SOBIRIN

Perkenalkan aku adalah air,
aku datang ke bumi sebagai titik-titik hujan,
sebelum mengalir menuju laut aku punya tempat,
di hutan, di sungai, di danau dan di dataran rendah.

Bulan 10 dan 11,
aku selalu memberi kabar bahwa aku akan datang,
supaya engkau mengembalikan tempatku yang engkau pinjam,
hingga aku bisa istirahat dan lewat dengan tenang.

Bulan 12, 1 dan 2,
aku datang berbondong-bondong,
sebelumnya engkau telah kuberitahu,
tempatku yang kau pinjam akan kupakai.

Bulan 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9,
sebenarnya sebagian dari aku senang tinggal di hutan,
supaya udara segar dan mengatur air untuk kehidupanmu,
tapi hutan tempatku istirahat telah habis engkau babat.

Di musim hujan terpaksa engkau kutenggelamkan dalam nestapa,
di musim kemarau terpaksa engkau kutinggalkan dalam kehausan,
karena engkau telah merampas hak-hak azasiku.

Bencana selalu berulang, karena manusia selalu tidak sadar dan tidak waspada. Dalam bukunya berjudul Banjir Ibukota, Soehoed (2002) mengutip cemooh dari surat kabar terkemuka dan menuliskan kurang lebih begini:
Ketika banjir datang, kita saling tuding-menuding tentang siapa yang salah. Ketika banjir datang, semua ribut-ribut mengeluarkan pendapat tentang apa dan mengapa terjadi banjir. Ketika banjir surut, perhatian akan banjir ikut surut pula, kemudian semua terkejut lagi ketika banjir berikutnya datang.

Semoga bencana-bencana yang terjadi selama ini dapat mengubah kita semua untuk ber-akal sehat tidak lagi melakukan pembangunan dengan pola mekanistis dan reduksionistis.

Read More..

RUMAH TANPA SAMPAH



KOMPAS JAWA BARAT, 13 OKTOBER 2006
Foto: Sobirin, 2006, Tanam Padi dalam Pot

Profil Supardiyono Sobirin, Mewujudkan Rumah Tanpa Sampah


Pernah menanam padi di dalam pot? Supardiyono Sobirin (62) beberapa pekan lalu memanen padi yang ditanamnya dalam pot di halaman rumah. Awalnya Sobirin, warga Jalan Alfa, Kota Bandung, menanam satu batang padi. Padinya tumbuh subur hingga rumpunnya memenuhi wadah. Awalnya ia iseng ingin membuktikan keunggulan pupuk kompos untuk padi. Ternyata hasilnya menggembirakan.

Sebelumnya, Sobirin menanam berbagai jenis pohon buah dan bunga dengan pupuk kompos buatannya.Sejak dua tahun lalu Sobirin menjalankan konsep hidup tanpa sampah. Ia membuat lubang ukuran 60 cm x 60 cm sedalam 1 meter. Ada lima lubang di halaman depan dan belakang rumahnya.Sampah dari halaman, seperti daun dan ranting kecil, dimasukkan dalam lubang, kemudian ditutup papan. Lubang ditetesi mikroorganisme lokal (Mol), yang berasal dari sisa makanan yang disimpan pada wadah tertutup. Dalam waktu beberapa hari, makanan akan membusuk dan menghasilkan cairan hasil fermentasi.Cairan tersebut untuk membantu mempercepat pembusukan daun dalam lubang. Dalam waktu dua bulan, daun-daun kering yang berubah menjadi kompos tersebut siap dimanfaatkan untuk bertani.Selain lubang, membuat wadah pembuatan kompos sederhana dari kayu. Ketika sampah sudah jadi kompos, wadah bisa diangkat sehingga kompos seolah tercetak. Sobirin juga membuat kompos dengan wadah karung. "Di rumah berhalaman sempit, tetap bisa membuat kompos," katanya, Kamis (12/10). Setiap pagi Sobirin, dibantu Aminuddin (42), mengurus dan memisahkan sampah. Sampah plastik dijemur lalu dimasukkan ke dalam drum plastik untuk dibuat biji plastik yang akan dibentuk menjadi barang interior rumah.Sementara itu, sampah kertas yang direndam dalam drum tertutup dijadikan bubur kertas dan didaur ulang menjadi kertas hias. Sisa makanan dijadikan Mol. Konsep rumah tanpa sampah ini menarik perhatian orang. Suami Etty Raffiati (59) ini sering menerima kunjungan mereka yang belajar memanfaatkan sampah di rumah. Ketertarikan Sobirin terhadap alam dimulai sejak kanak-kanak di sebuah desa di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Kesenangan berada di alam berlanjut saat ia pindah ke Bandung tahun 1962, meneruskan pendidikan di Jurusan Geologi ITB. Bidang ilmunya menuntut dia untuk sering di lapangan. Setelah lulus tahun 1970, ia bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, sering ke desa-desa dan pelosok-pelosok terpencil. Terbiasa hidup dekat dengan alam membuatnya ingin menghabiskan masa pensiunnya dalam lingkungan yang menyenangkan dan menenangkan. (Yenti Aprianti)

Read More..

THE ENVIRONMENT AT RISK FROM MONUMENTS OF CORRUPTION


By: Peter Bosshard1
(Peter Bosshard is Policy Director at the International Rivers Network)
Figure: Free Cliparts
Supardiyono Sobirin of the Sunda Forestry and Environment Expert Board agrees. ‘The main difficulty of reservoirs in West Java is the water supply because river flow areas have been damaged and cannot provide water to the reservoirs’, he said. ‘Why would they build more reservoirs if there is no water?’


In July 2002 a British subsidiary of the Norwegian construction company, Veidekke, admitted having made a payment of US $10,000 to a senior Ugandan civil servant in 1999. Richard Kaijuka, at the time Uganda’s energy minister, acknowledged receiving the payment, but maintained it was not a bribe. After the payment Veidekke became a member of the construction consortium chosen for the Bujagali hydropower project, following a procurement decision that was not based on full international competitive bidding. When allegations of bribery surfaced the World Bank suspended its financial backing, and the project became the subject of anti-corruption investigations by the World Bank and four different governments.2 At the time of writing, the Bujagali dam project is still stalled. The cumulative environmental impacts of Bujagali and other dams on the Nile have never been assessed.

A case study from Indonesia
The Jatigede dam on the Cimanuk River is supposed to produce power and bring irrigation to the farmers of West Java, Indonesia. It will submerge a land area of 49 km2, drown 30 villages and displace around 41,000 people. Construction is expected to start in 2005. The US $964 million dam project will increase erosion in the reservoir area and flood a valuable archaeological site. In September 2003 the Bandung Legal Aid Institute, an Indonesian NGO, claimed that US $700,000 earmarked as compensation for two communities affected by the Jatigede dam were diverted from the project budget. On average, the farmers covered by the institute’s survey received only 29 per cent of the official value of their land and houses. The dam project has also been associated with serious human rights abuses.3
Environmental experts argue that the Jatigede dam is not needed. Rehabilitating deforested lands and reviving the region’s silted rivers would do more to prevent floods and droughts. ‘Reforestation should become the first priority for maintaining the water catchment area, without which there would not be enough water to fill up the reservoir’, says Usep Setiawan of the Working Group on Conservation for Nature and Natural Resources. Supardiyono Sobirin of the Sunda Forestry and Environment Expert Board agrees. ‘The main difficulty of reservoirs in West Java is the water supply because river flow areas have been damaged and cannot provide water to the reservoirs’, he said. ‘Why would they build more reservoirs if there is no water?’ The plan to build the Jatigede dam rather than promote more sustainable alternatives may be part of a wider pattern of distortion in Indonesia’s development planning process. In August 1997 staff members of the World Bank’s Jakarta office prepared a confidential report on corruption in development projects in the country. The leaked report found that: Most GOI [Government of Indonesia] agencies have sophisticated informal systems for diversion of 10–20 per cent of the development budget under their management, and for utilising the proceeds diverted to supplement their inadequate operations funds and their compensation. These arrangements vary widely among GOI agencies, but almost universally depend on the payment of percentage or lump sum rebates or ‘kick-backs’ by contractors implementing projects from the agency development budget. Such payments are informal but regarded as an overhead or informal ‘tax’ by most firms doing business with GOI, and are typically included in the unit prices or bills of quantity for the contract.4 ‘In aggregate’, the report estimates that ‘at least 20–30 per cent of GOI development funds are diverted through informal payments to GOI staff and politicians’. All payments identified by the report are linked to decisions favouring new investment projects. The document mentions numerous cases in which 50–80 per cent of the funds budgeted for land acquisition and resettlement assistance were diverted. This is hardly an incentive for minimising resettlement. Communities affected by projects like the Jatigede dam pay the price for the diversion of development funds. Society at large and the environment also suffer indirectly from a decision-making process that is fraudulently skewed towards approving new investment projects even when other options – for example, reforestation or sustainable water management programmes – are more appropriate.

Monuments of corruption
Corruption in the development planning process is not an isolated phenomenon, nor is it confined to Indonesia. The Bataan nuclear power plant is the Philippines’ largest investment project and cost more than US $2 billion. Westinghouse was controversially awarded the main contract after the late Filipino dictator, Ferdinand Marcos, personally overturned the initial contract decision.5 Westinghouse admitted paying US $17 million in commissions to a friend of Marcos, though it maintained that the payments were not a bribe. The reactor sits on an active fault line that is part of the Pacific’s ‘rim of fire’, creating a major risk of nuclear contamination if the power plant ever becomes operational. Completed in the 1980s, the plant has never produced a single unit of electricity.
Yacyretá on the border of Argentina and Paraguay is one of the largest hydropower projects in Latin America. Built with World Bank support, the dam is flooding the Ibera Marshes, a unique ecosystem that has remained almost undisturbed for centuries. Due to cost overruns, the power generated by Yacyretá is not economic and needs to be subsidised by the government. According to the head of Paraguay’s General Accounting Office, US $1.87 billion in expenditures for the project ‘lack the legal and administrative support documentation to justify the expenditures’.6
Enron’s Dabhol power plant threatens to destroy a fragile coastal area in India. A representative of Enron admitted that the company paid US $20 million ‘on [the] education and project development process alone, not including any project costs’.7 The multi-billion dollar plant was mothballed in 2001 because its electricity was prohibitively expensive.
The reservoir of the Bakun dam in Sarawak, Malaysia, will submerge 700 km2 of tropical rain forest. The mandate to develop the project went to a timber contractor and friend of Sarawak’s governor. The contractor had never developed a power project before and lost the contract after a few years, but he managed to log the project area during this period. The provincial government of Sarawak is still looking for customers to consume the power to be generated by the project. The list goes on. None of the projects mentioned above make any economic sense. They had serious environmental and social impacts, and should never have gone forward in the first place.

The political economy of infrastructure development
Corruption and cronyism have environmental and social impacts that go far beyond the individual projects tainted by bribery. They skew the planning and decision-making processes in important sectors of infrastructure development. Large, centralised, capitalintensive greenfield projects offer decision-makers more scope for kickbacks, bureaucratic control and political prestige than decentralised, community-based services. They also offer more scope for private gain than the rehabilitation of existing infrastructure, or non-structural options such as reforestation programmes or demand-side management measures. Because of this bias, decision makers often favour large-scale public works projects even if the alternatives would make better economic sense and would have less harmful social and environmental impacts.
Corruption – the misuse of public or private office for personal gain – extends beyond straightforward bribery. Planning processes in the infrastructure sector touch on important vested interests. Their outcomes affect the prestige of politicians, the budgets and personnel of bureaucrats, and the follow-up contracts of external consultants. Decision-makers are therefore under strong pressure to treat project options on the basis of factors other than their merits.

The special role of the consulting industry
Consultants who are commissioned to assess development options in a particular sector are usually aware that their clients have an interest in promoting new greenfield investments. They are equally aware that environmental impact assessments should not stop projects that enjoy political support. Even if they find that a project has unacceptable environmental impacts, they are under pressure to recommend mitigating measures for it, rather than promote less destructive alternative options. If consultants assess projects solely on their merits, they risk obtaining no future contracts. This causes what a World Bank report on involuntary resettlement in 1994 called ‘excessive appraisal optimism’. It is a form of corruption that distorts the planning process to the benefit of projects with large budgets, contracts and prestige – and often with massive social and environmental impacts.
The ‘political economy’ of infrastructure development was clearly identified by the independent World Commission on Dams (WCD). The WCD’s report, published in 2000, says: At whatever level, vested interests can distort the decision-making process, undermining development. Decision makers may be inclined to favour large infrastructure as they provide opportunities for personal enrichment not afforded by smaller or more diffuse alternatives. The consequences frequently directly affect the poor and the environment. Allegations of corruption have tainted many large dam projects in the past but have seldom resulted in prosecution in court.8

Overcoming corruption in infrastructure development
Transparency International has developed tools such as the Integrity Pact for combating corruption in the field of public procurement. Integrity Pacts are contracts between government offices and companies bidding for particular projects. They prohibit bribery, ensure transparency in the bidding process and foresee sanctions in the case of violations. In infrastructure projects, such pacts can also include private investors and consultants.9
‘Comprehensive Options Assessment’ is one of the strategic priorities proposed by the World Commission on Dams.10 The principle has been officially endorsed by many governments and financial institutions, but is often not implemented in practice. The World Bank has adopted a specific guideline to rule out conflicts of interest in dealing with consultants. This guideline states: Bank policy requires that consultants provide professional, objective and impartial advice and at all times hold the client’s interests paramount, without any consideration for future work, and that in providing advice they avoid conflicts with other
assignments and their own corporate interests.11
If strictly adhered to, this guideline would go a long way towards avoiding fraudulent practices in assessing and preparing options of infrastructure development. However, like other guidelines, it is not always implemented. Sunlight is the best disinfectant. Complete transparency is needed to discourage fraudulent practices in the process of assessing the needs and options of infrastructure development. Parliaments and civil society organisations must hold governments and financial institutions accountable for their decisions even during the early planning stages of infrastructure development.

Notes
  1. Peter Bosshard is Policy Director at the International Rivers Network.
  2. The Norwegian Authorities dismissed the case in 2003 through lack of evidence (see Norway country report). For a summary of the Veidekke/ Kaijuka case, see Development Today, 5 August 2002.
  3. Bandung Legal Aid Institute, Facts of the Violations of Human Rights and the Law: Corruption in the Jatigede Dam Project in Sumedang, West Java (Bandung: 2003).
  4. Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of “Leakage” from World Bank Project Budgets’, undated.
  5. See A. Timothy Martin, ‘International Arbitration and Corruption’ in Transnational Dispute Management 1 (2004).
  6. Francisco Galiano, head of Paraguay’s General Accounting Office, as quoted in Ultima Hora, 3 September 2004.
  7. Testimony by Linda F. Powers before the Committee on Appropriations, Subcommittee on Foreign Operations, US House of Representatives, 31 January 1995.
  8. World Commission on Dams, Dams and Development (London: WCD, November 2000).
  9. For an elaboration of this principle in the context of dam building, see Michael H. Wiehen, ‘Transparency and Corruption Prevention on Building Large Dams’, paper for the World Commission on Dams (1999).
  10. WCD, Dams and Development.
  11. World Bank, Guidelines: Selection and Employment of Consultants by World Bank Borrowers (Washington, DC: World Bank, 2004).

Read More..

MANAJEMEN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT

Pikiran Rakyat, 4 April 2005

Foto: Sobirin, 2005, Longsor TPA Leuwigajah
Oleh: SOBIRIN

Apakah terbayang oleh kita, manakala sedang ke luar kota naik mobil, tiba-tiba mobil kita diterjang tanah longsor kemudian terpental masuk ke sungai? Atau manakala kita sedang terlelap tidur di malam hari, tiba-tiba rumah runtuh karena gempa? Atau tiba-tiba rumah kita terendam air dan anggota keluarga kita terseret terbawa banjir? Apa yang tengah terjadi dengan alam di sekitar kita? Apakah kita salah mengelola alam atau kita tidak memahami bahasa dan pertanda alam?

Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nangroe Aceh Darusalam (NAD), gempa bumi di Garut, longsoran sampah di Leuwigajah, banjir di Bandung Selatan bahkan terbaru adalah gempa di Nias telah membuka mata dan hati kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan.
Padahal, dalam hal penanggulangan bencana, kita memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk berdasar Keputusan Presiden (Kepres) nomor 3 Tahun 2001. Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat kabupaten/ kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Walaupun tugas dan fungsi dari Bakornas, Satkorlak dan Satlak PBP ini telah jelas diuraikan dalam Kepres tersebut, namun faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini sering "kedodoran".
Dirasakan selama ini, pemahaman terhadap manajemen bencana memang semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang sewaktu-waktu saja. Dapat dipastikan pemahaman dasar tentang manajemen bencana tidak dikuasai atau tidak dimengerti oleh banyak kalangan baik birokrat, masyarakat, maupun swasta.
Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan "bagaimana nanti saja". Padahal negara kita adalah negara yang memiliki ancaman bahaya bencana dengan klasifikasi sangat bervariasi dan sangat berat. Suatu ketika bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan harta, kita selalu terkaget-kaget dan mengatakan kecolongan. Pengalaman bencana terutama yang terjadi di NAD harus dapat kita pakai sebagai momentum untuk mereformasi manajemen bencana di Indonesia.

"Back to basic"
Pada hakekatnya yang disebut back to basic dalam manajemen bencana adalah kewaspadaan dan kesiapsiagaan untuk mengurangi atau menghindari ancaman bahaya yang dapat berpotensi menimbulkan bencana yang merugikan, yaitu memahami bahwa manajemen bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Manajemen bencana harus memenuhi persyaratan, yaitu aspek yang jelas (kelembagaan, organisasi, tata cara), fungsi yang berjalan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan), dan unsur yang lengkap (sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan dan sejenisnya).
Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan. Jadi semua harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta. Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungan masing-masing, masyarakat mampu menolong dirinya sendiri. Jadi back to basic manajemen bencana adalah "habluminallah, habluminannas, habluminalam".
Mengingat negara kita adalah negara hukum dan "negara bencana", maka dalam rangka back to basic ini ada hal yang perlu segera kita miliki, yaitu "payung legal" yang mantap dan komprehensif berupa undang-undang tentang kebencanaan dengan azas manfaat, keterbukaan, kebersamaan, dan kemandirian masyarakat, menuju reformasi manajemen bencana berbasis masyarakat.
Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat. Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidak-berdayaan, dan berbagai tekanan dinamis lainnya. Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya pun berbeda-beda jenisnya.
Berbagai jenis ancaman bahaya, berdasar penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu bencana geologi, bencana iklim, bencana lingkungan, dan bencana sosial. Bencana geologi antara lain gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor. Bencana iklim antara lain banjir, kekeringan, dan badai. Bencana lingkungan antara lain pencemaran lingkungan (air, udara, tanah), eksploitasi sumber daya alam berlebihan termasuk penjarahan hutan, alih fungsi lahan di kawasan lindung, penerapan teknologi yang keliru, dan munculnya wabah penyakit. Bencana sosial antara lain kehancuran budaya, budaya tidak peduli, KKN, politik tidak memihak rakyat, perpindahan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi budaya, konflik dan kerusuhan.
Banyak pihak telah mencoba menyusun siklus manajemen dengan maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan mudah diaplikasikan terutama oleh masyarakat umum. Sebagai contoh pihak United Nation Development Program (UNDP) dalam program pelatihan manajemen bencana yang diselenggarakan tahun 1995 dan 2003, menyusun siklus manajemen bencana dalam versi cukup sederhana. UNDP membagi manajemen bencana menjadi empat tahapan besar. Tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan.
Pengalaman menunjukkan, dari keempat tahap tersebut justru tahap kedua yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh "hiruk pikuk" tetapi koordinasinya sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa manakala bencana itu terjadi, penanganan bencana selalu dilakukan dalam suasana kepanikan dan kebingungan. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang menjadi "seksi repot", ada yang hanya menonton saja, bahkan ada yang berpura-pura minta sumbangan tetapi untuk kepentingan pribadi.
Pada tahap ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan rekonstruksi mulai berbau "proyek", banyak pihak yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama.

Bahasa rakyat
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, daratannya seluas 1.904.569 km2, lautannya seluas 3.288.683 km2, dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.508 pulau, dan jumlah penduduknya pada tahun 2000 sekitar 203.456.000 orang. Berdasar sejarah kebencanaan yang tercatat selama ini, mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, badai, kekeringan, maka Indonesia dapat dikatakan merupakan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang sangat tinggi.
Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya-pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai. Oleh sebab itu paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, menuju manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya, dan mampu menolong diri sendiri.
Cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat atau community based disaster management sudah menjadi visi dari negara-negara maju di muka bumi ini. Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD juga membuka mata dan hati kita betapa di muka bumi ini masih ada semangat perikemanusiaan dan gotong royong membantu para korban. Berdasar fakta tersebut, merealisasikan manajemen bencana berbasis masyarakat bukan hal yang mustahil, walaupun banyak kendala dan hambatan yang harus bersama-sama kita hadapi.
Kelompok masyarakat sebagai pelaku utama manajemen bencana ini harus dapat diupayakan dari tingkat yang paling kecil yaitu kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih besar yaitu desa atau kelurahan, kecamatan, bahkan kota atau kabupaten.
Terus terang, walaupun nantinya undang-undang kebencanaan ini telah terbit, namun masih perlu adanya prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat ini dapat terealisasi. Prasyarat ini antara lain adanya tokoh penggerak (dari aktivis atau tokoh setempat), konsep yang jelas, objek aktivitas yang jelas, kohesivitas masyarakat setempat, bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis kearifan budaya setempat, dan jaringan informasi yang mudah diakses setiap saat.
Bahan untuk sosialisasi dan pelatihan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya bermacam-macam, sangat bervariasi. Pada dasarnya kita harus menciptakan bahan sosialisasi dengan bahasa rakyat, yang mudah dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap-tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan. Bentuk bahan sosialisasi berupa daftar pertanyaan atau matrik isian, misalnya, matrik analisis risiko bencana, matrik mengenal ancaman bahaya di sekitar kita, matrik mengenal kerentanan dan kapasitas, matrik rencana operasional dengan kerangka logis setempat. Pengisian daftar pertanyaan atau matrik isian dapat dilakukan pada saat pelatihan atau lokakarya di setiap RT atau RW atau desa.
Tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan gladi berdasar skenario seolah-olah terjadi bencana. Gladi ini harus merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok masyarakat. Lokakarya dan gladi ini adalah bentuk lain dari fungsi kontrol dalam manajemen bencana berbasis masyarakat. Sering gladi ini tidak serius diikuti oleh berbagai pihak, padahal gladi adalah bagian penting yang harus diikuti oleh segenap anggota masyarakat agar bila terjadi bencana maka situasi dapat diatasi tanpa kepanikan. Bagaimanapun juga, gladi tetap harus dilakukan dengan serius demi keselamatan diri dan semua pihak di kala bencana sebenarnya datang secara tiba-tiba.
Marilah kita mencoba mengaplikasikan konsep manajemen bencana berbasis masyarakat ini di RT atau RW kita. Kalau menurut Aa Gym, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, mulai sekarang juga. Kemudian tanggal 26 Desember, yaitu tanggal kejadian bencana gempa dan tsunami di NAD, kita usulkan sebagai Hari Bencana Nasional, selain untuk memperingati bencana dahsyat yang menelan ratusan ribu jiwa, juga sebagai hari evaluasi atau kontrol sejauh mana kemajuan manajemen bencana berbasis masyarakat ini telah berhasil kita lakukan.***
Penulis Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)

Read More..

JATIGEDE DAM CAMPAIGN GAINS MOMENTUM


Down to Earth No. 61, May 2004

Photo: Sobirin, 2004
A campaign to halt a large dam project in West Java has put government officials in the spotlight over allegations of corruption.

The Cimanuk river, which would be dammed at Jatigede, is itself a 'sick' river,
according to Sobirin, and needs restoring, before anything else.


It looks as if more than Rp 6 billion (around USD 700,000) has been embezzled from funds meant for compensation and public facilities for displaced villagers, according to research by the Bandung Legal Aid Institute (LBH Bandung). In February, LBH Bandung publicly announced its suspicions that the huge sum had been misused, throwing government officials involved in project onto the defensive.

The findings come from a 2003 study into land acquisition at the Jatigede dam project, in Sumedang district, West Java, which also documented human rights violations and environmental concerns. The dam, which has been planned since the 1960s, will affect around 6,000 hectares of farm and forest land, forcing around 28,000 people to move. The World Bank, which provided a loan to design the dam, does not think the dam merits further financial support. (see DTE 59 for background).
In one village, Cisurat, for example, the researchers found that villagers received only 12-33% of the land value fixed by the Sumedang district head (Bupati). Overall, from 2000 - 2002, Rp58 million was paid out in compensation, but the sum should have been more than Rp 1 billion. LBH Bandung also found that money allocated for public facilities had not been spent as stated by the Department for Regional Infrastructure and Settlement. For example, the department stated that 105.8 ha in Cibuluh village was used for facilities costing Rp1.4 billion, but when they checked on the ground, this location was still being used by local people and nothing had been constructed.
The West Java governor, Danny Setiawan, was reported to be 'visibly shocked' at LBH Bandung's findings, and said he would check whether the information was true. One former official denied there was any corruption at the project during his term as project leader, and the current co-ordinator of the dam project also denied any wrongdoing. But LBH Bandung points out that these officials are legally responsible for any corruption of funds destined for rights-holders.
LBH Bandung has formed an ad hoc coalition with other NGOs to support the Jatigede community organisation, FKRJ, in bringing the case before Indonesia's Anti-Corruption Commission. The coalition is also pushing for the dam project's environmental impact assessment, completed by Padjajaran University in 1986, to be cancelled because it did not take account of a geological fault in the area and failed to address the social impacts.

Flooding
The provincial and central governments are pushing for the project to proceed, saying it is the only answer to severe flooding and drought problems along the northern coast of the province. Indramayu district experienced bad flooding in February, leaving three people dead and 23,000 hectares of rice-fields submerged. The area was seriously hit by the long dry season in 2002.
But opponents of the dam say the social and environmental costs of building the Jatigede dam are too high. According to S. Sobirin, of the Sunda Forestry and Environment Expert Board (Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) in Bandung, the whole river system in this area is in a bad condition, with narrow river channels and riverbeds silted up. If 'revitalised', the rivers flowing to the coast would be better able to cope with flood waters. The Cimanuk river, which would be dammed at Jatigede, is itself a 'sick' river, according to Sobirin, and needs restoring, before anything else.

Loss of income
Local people represented by FKRJ are angry that their concerns are being ignored, while government officials continue to make pronouncements about a dam being the only solution to the flooding. Estimates of the loss of income to the local economy that the dam will cause range up to Rp 5 trillion (around USD 578 million) per year, from rice, tobacco, groundnuts, forest products and other crops.
Around 1,200 ha is controlled by state forestry company Perhutani, which has agreed to release the land, if replacement forest land is provided.
Local people are also arguing that the area contains a number of important historical or archaeological sites, including graves where the founders of the city of Sumedang are buried.

For more information on the Jatigede campaign, contact:
Bandung Legal Aid Institute
(LBH Bandung)
Jl. Terusan Jakarta No 204 Bandung 40291
Jawa Barat - Indonesia
Phone: (62-22) 7204205, (62) 8882305587
Fax : (62-22) 7204205
Email: lbh_bdg@indo.net.id
www.lbhbandung.netfirms.com
(Source: LBH Bandung; Galamedia 11/Mar/04; Sinar Harapan 5/Mar/2004; Pikiran Rakyat 8/Mar/04; Indosiar.com 10/Mar/04; Jakarta Post 28/Feb/04, 6/Mar/04)

Read More..

KBU PENYEBAB BANJIR



Pikiran Rakyat, Kamis 26 April 2007

Foto: Sobirin, 2005, Perbukitan Kawasan Bandung Utara



BANDUNG, (PR).-

Banjir yang melanda Kel. Jatihandap dan Kel. Padasuka, Kec. Mandalajati, Kota Bandung disebabkan minimnya kawasan lindung di daerah Bandung utara. Kawasan lindung di subdaerah aliran sungai (DAS) bagian utara Bandung, kini sudah gundul karena maraknya pembangunan vila-vila dan perumahan. Demikian dikatakan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Supardiono Sobirin, Rabu (25/4).

Sobirin menduga, bagian hulu Sungai Cipamokolan sebagai sub-DAS Cicadas mengalami rusak berat. Hal itu diperparah dengan adanya penyempitan dan pendangkalan di sekitar hilir yang ada di Kota Bandung. “Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap DAS termasuk sub-DAS yang besar atau kecil, minimal 30% harus berupa kawasan lindung, atau bahkan hutan,” kata Sobirin.

Kota Bandung, ucap dia, dipengaruhi oleh lima sub-DAS yaitu sub-DAS Cibeureum di bagian barat, sub-DAS Cikapundung di timur, sub-DAS Cidurian, sub-DAS Cicadas, dan sub-DAS Cikeruh di bagian paling timur. Sungai Cipamokolan, termasuk dalam rangkaian sub-DAS Cicadas. Sobirin mengatakan, berdasarkan data yang ada, pada lima sub-DAS tersebut, saat ini kawasan lindungnya telah mencapai angka 0%. Untuk menyelamatkan Kota Bandung, Sobirin menyarankan Pemkot Bandung berkoordinasi dengan Pemkab Bandung agar membatasi pembangunan di wilayah utara.

Kondisi di lapangan, warga di Kel. Jatihandap Kec. Mandalajati dan Kel. Padasuka Kec. Cibeunying Kidul Kota Bandung yang menjadi korban banjir bandang, hingga kemarin masih belum mendapatkan bantuan. Sebagian besar warga membutuhkan bantuan berupa selimut, pakaian, serta bahan makanan yang telah mulai menipis persediaannya. “Terutama pakaian dalam, sudah tiga hari nggak ganti-ganti karena baju-baju terendam lumpur semua,” ujar Ny. Erwin (47), warga RT 02 RW 08 Kel. Jatihandap Kec. Mandalajati, kemarin.

Sejak kejadian, warga mendirikan posko kesehatan dan dua dapur umum secara spontan. Bahan-bahan makanan dan bantuan lain hasil sumbangan warga sekitar yang tidak terkena luapan air dikumpulkan oleh warga korban banjir bandang. Ironisnya, bantuan dari pemerintah justru belum ada. Koordinator Posko Pengungsi, Nining (30), mengatakan, hingga kemarin belum ada bantuan dari dinas-dinas atau instansi kecuali dari Puskesmas Mandalamekar. Data posko itu mencatat, sedikitnya 100 orang pasien yang berobat dalam waktu sehari kemarin. Umumnya, keluhan pasien adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), gatal-gatal, maag, diare, dan tekanan darah tinggi karena stres.

Menurut Ketua RT 02 RW 08, Aming, banjir serupa pernah terjadi pada tahun 2000 dan Januari 2007. Akan tetapi, banjir kali ini lebih parah karena air sungai membawa serta lumpur tebal hingga ketinggian sekitar dua meter. Lurah Jatihandap, Deden Mardeni mengatakan, jumlah rumah yang terendam seluruhnya ada 96 yang dihuni 103 kepala keluarga atau 612 jiwa. Total kerugian yang diderita diperkirakan mencapai Rp 250 juta. Sedangkan di Kec. Cibeunying Kidul ada 30 KK dengan 129 jiwa. Deden berharap agar Pemkot Bandung segera membangun bronjong di Sungai Cipamokolan yang berdekatan dengan lokasi kejadian. Setelah mengadakan rapat koordinasi, Wali Kota Bandung, Dada Rosada memutuskan akan memberi bantuan kepada korban banjir sebesar Rp 130 juta. Ia menjanjikan hari ini (Kamis, 25/4) atau Jumat (26/4), bantuan sudah bisa diterima warga. Selain itu, bantuan berupa uang juga akan disalurkan kepada korban banjir di Kec. Rancasari Rp 10 juta dan Kec. Bandung Wetan sebesar Rp 5 juta.

Belum surut
Di wilayah Kab. Bandung, banjir di sejumlah langganan banjir di Bandung Selatan tak kunjung surut. Derasnya hujan dalam beberapa hari ini telah menaikkan permukaan Sungai Citarum serta sejumlah anak sungainya. Akibatnya, genangan air pada ribuan permukiman masih terjadi sejak seminggu lalu. Beberapa wilayah yang paling parah terkena banjir yakni Kec. Rancaekek, Cileunyi, Baleendah, dan Dayeuhkolot. Dua anggota Komisi D DPRD Kab. Bandung, Dadang Rusdiana dan Adjidin melakukan peninjauan langsung di Baleendah disertai Camat Baleendah, Terry Rusinda.

Data di kantor Kec. Baleendah hingga sore kemarin mencatat, 1.144 rumah terendam di Kel. Andir dan 1.490 rumah di Kel. Baleendah. Total korban banjir di dua kelurahan di Baleendah itu tak kurang dari 10.000 jiwa. Sejumlah fasilitas umum dan sekolah juga tak luput dari genangan banjir. Sementara itu, genangan banjir juga masih bertahan di wilayah Kec. Dayeuhkolot. Tercatat sedikitnya 1.673 rumah di empat kelurahan (Dayeuhkolot, Citeureup, Pasawahan, dan Cangkuang Wetan) masih terendam yang dihuni oleh 6.575 jiwa.

Banjir tak kunjung surut juga terlihat di Kec. Rancaekek. Ribuan rumah warga di wilayah itu masih tergenang. Kebanyakan warga membutuhkan bantuan obat-obatan dan makanan. Warga juga mengharapkan pemerintah untuk memberikan bantuan air bersih dan melakukan fogging (pengasapan).

“Meluapnya Sungai Cimande, Cikijing dan Cikeruh, hingga saat ini masih menggenangi sejumlah perkampungan,” ujar Camat Rancaekek, Dadang Setiawan. Ia mengatakan, banjir di wilayahnya menimpa 8 desa. Sebanyak 11.000 rumah warga, diantaranya 32 RW terendam dengan ketinggian air antara 50 hingga 150 cm. Selain merendam rumah penduduk, kata Dadang, banjir juga telah merendam 355 ha sawah siap panen.

Wilayah yang masih terendam banjir meliputi, Desa Rancaekek Wetan, Rancaekek Kulon, Bojongloa, Linggar, Bojongsalam, Cangkuang, Sukamulya, dan Haurpugur. Daerah yang paling parah terendam di Desa Bojongloa dan Linggar. Di Kec. Cileunyi akibat jebolnya tanggul Kali Cibiru Hilir, sedikitnya 450 rumah di Kompleks Asrama Polisi (Aspol) Cibiru terendam air setinggi hampir 80 cm. Sedangkan di Kec. Majalaya, luapan Sungai Citarum menerjang sedikitnya 1.230 rumah di empat desa (Desa Majalaya, Majasetra, Majakerta dan Sukamaju). (A-87/A-124/A-156) ***

Read More..

JANGAN SEKADAR LATAH!


Pikiran Rakyat, Senin 23 April 2007

Figure: www.witc.edu/rlake/activity/bpa/earthday2004.htm

Dalam tulisannya, Bumi yang Semakin Letih (April, 2004), anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiono Sobirin juga menyinggung hal ini.


SITUS http://en.wikipedia.org menulis bahwa Hari Bumi sejatinya dirayakan oleh dua "aliran" yang berbeda. Kendati, keduanya memiliki inspirasi dan maksud yang sama, yakni menguatkan kesadaran dan apresiasi terhadap kondisi lingkungan bumi yang kian terdegradasi.

Hari Bumi yang pertama disebut sebagai The Equinoctial Earth Day, yang justru diperingati pada tanggal 21 Maret. Disebut sebagai "equinoctial", karena terkait dengan hari istimewa sekitar 21 Maret, ketika terjadi apa yang disebut sebagai vernal equinox. Hal itu mengacu pada bertepatannya awal musim semi di belahan bumi utara dengan musim gugur di belahan bumi selatan. Pada saat demikian, siang dan malam sama durasinya di belahan bumi mana pun.

Dalam tulisannya, Bumi yang Semakin Letih (April, 2004), anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiono Sobirin juga menyinggung hal ini. Ia memaparkan bahwa Hari Bumi pada 21 Maret bermula dari rintisan John McConnell, seorang warga Negara Bagian California yang menaruh perhatian kepada planet bumi ini yang semakin lama semakin memprihatinkan keadaannya.

Pada Oktober 1969, John McConnell menyampaikan sebuah proposal kepada Wali Kota San Francisco, melalui Dewan Supervisi Kota, yang intinya mengimbau seluruh warga agar berbuat sesuatu kebaikan untuk bumi tempat tinggal umat manusia ini. Wali Kota San Francisco waktu itu, George Christopher, menyambut baik ide ini dan memproklamasikannya sebagai Hari Bumi tanggal 21 Maret 1970, dan dirayakan di hampir seluruh negara bagian California.

Rupanya ide berbuat kebaikan untuk planet bumi ini disambut oleh Sekretaris Jenderal PBB waktu itu, U Thant. Dalam pidatonya 21 Maret 1971 sewaktu memberikan sambutan dalam upacara lonceng perdamaian diproklamasikan pula tanggal tersebut sebagai hari bumi. Suatu hal yang menarik, pada saat yang sama Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (United Nations Food and Agriculture Organisation) juga memilih tanggal 21 Maret, sebagai hari hutan sedunia. Sama-sama dalam naungan PBB, namun ada dua peristiwa yaitu hari bumi dan hari hutan sedunia diproklamasikan pada tanggal yang sama, 21 Maret.

Sementara itu, Hari Bumi kedua dan lebih "populer" adalah yang jatuh pada 22 April. Hari Bumi 22 April bermula dari kepedulian Senator AS dari Wisconsin, Gaylord Nelson terhadap degradasi lingkungan yang kian meluas.

Melalui organisasi Pembelajaran Lingkungan (the Environmental Teach In), Nelson terus menggelorakan spirit penyelamatan bumi. Pada 22 April 1970, tak kurang dari 20 juta penduduk di seluruh penjuru Amerika Serikat (AS) turun ke jalan mengampanyekan kepedulian terhadap penyelamatan bumi dari degradasi lingkungan yang kian menghebat.

Mungkin, akibat aksi civil society warga AS itulah, Hari Bumi 22 April lebih mendapat sambutan luas. Beberapa kalangan menyatakan, kini setiap tahun, lebih dari 500 juta penduduk dunia serta pemerintah di 175 negara turut merayakan Hari Bumi 22 April tersebut.

"Jadi, Hari Bumi pada 22 April sebetulnya bukan hari bumi internasional, tapi hari bumi di AS saja. Hal itu bermula dari gerakan civil society di AS pada era 1970-an akibat industrialisasi di AS yang tak lagi memedulikan lingkungan dan kemanusiaan. Inisiatif itu direspons Senator Gaylord Nelson dan terus berkembang," ungkap pengamat lingkungan yang juga mantan dosen arsitektur ITB Bandung, Tjuk Kuswartojo.

Tjuk memandang konteks Hari Bumi 22 April agak berbeda dengan Hari Lingkungan. "Yang pertama lebih pada gerakan civil society, sedangkan yang kedua merupakan tekad berbagai negara untuk memperbaiki atau setidaknya mengurangi degradasi lingkungan di atas planet bumi kita ini," ucapnya.

Dalam pandangan Tjuk Kuswartojo, kita jangan terjebak pada gejala latah dengan membuat berbagai momen seremonial peringatan Hari Bumi 22 April. "Kalau toh mau dipetik manfaatnya, mestinya memang dalam kondisi sekarang ini, seluruh dunia memiliki persoalan yang sama, yakni perubahan iklim yang kian ekstrem dan tidak lagi pandang bulu. Negara kaya atau miskin, sama-sama mengalami gejala tersebut," paparnya.

Hal senada disampaikan Sobirin. Menurut Sobirin, John McConnell sebagai penggagas awal Earth Day pun tidak keberatan hari bumi dirayakan pada tanggal 22 April. "Yang penting masyarakat di dunia mau berbuat kebaikan untuk planet bumi tempat tinggal umat manusia. Apalagi, tanggal 21 Maret juga tetap dipilih sebagai Hari Hutan Sedunia yang kaitannya juga sangat erat dengan lingkungan hidup."

Menurut Tjuk Kuswartojo, saat ini masyarakat dunia tak mungkin lagi membendung perubahan iklim. Yang paling bisa dilakukan adalah beradaptasi dengan perubahan iklim."Tidak mungkin kita mengembalikan kondisi seperti semula. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi perubahan ekstrem tersebut," ucapnya.

Dalam konteks regional dan lokal, kata Tjuk, yang diperlukan saat ini adalah common value atau tata nilai bersama terhadap lingkungan. "Sementara di sisi lain, produk perundangan kita tentang lingkungan masih sangat abstrak dan tidak jelas. Bahkan, bila dibandingkan dengan UU Lingkungan di Malaysia sekalipun. Oleh karena itu, perbedaan pandangan antara pengusaha, pejabat, dan mayoritas masyarakat tentang lingkungan selalu berbenturan di negeri ini," urainya. (Erwin Kustiman/"PR")***

Read More..

BUMI KIAN TUA DAN RAPUH


Pikiran Rakyat, Senin 23 April 2007
Gambar: Free Cliparts
Peringatan Hari Bumi Perlu Dibarengi Komitmen

SOBIRIN memaparkan manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku "mekanistis dan reduksionistis", buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas. "Bahkan, kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin."


The world provides enough for everybody's need, but never enough for anybody's greed. -

(Mahatma Gandhi)
May there only be peaceful and cheerful Earth Day to come for our beautiful Spaceship Earth as it continues to spin and circle in frigid space with its warm and fragile cargo of animate life. -
(U Thant, Sekjen PBB 1961-1971)

SEJAK tahun 1970, setiap 22 April, Hari Bumi dirayakan jutaan orang di seluruh dunia. Merayakan Hari Bumi berarti memikirkan kelangsungan hidupnya, memikirkan bagaimana sumber daya bumi yang terbatas ini bisa menjamin kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, setiap tahun, tema-tema tentang kian rapuhnya planet Bumi, semakin tipisnya potensi ketersediaan pangan di dalamnya, lalu kian akrabnya penduduk bumi dengan berbagai bencana, senantiasa terus didengungkan.

Bahkan, pada 21 Maret 1971, pada awal peringatan Hari Bumi "versi" PBB (lihat tulisan ”Jangan Sekadar Latah!”), Sekjen PBB saat itu U Thant mengatakan bahwa dirinya berharap peringatan Hari Bumi pada tahun-tahun setelah itu, dilakukan ketika planet Bumi dalam kondisi damai dan menyenangkan. "Sebab, kita semakin tahu bahwa planet yang kita diami ini sangat kecil dan semakin rapuh bagi setiap makhluk yang menempatinya."

Tapi, harapan U Thant tampaknya hanya tinggal harapan. Hampir 4 dekade sejak mencuatnya kesadaran kolektif tentang kondisi bumi yang kian terdegradasi, upaya nyata menghentikan praktik-praktik perapuhan planet kita ini kerap berujung sayup-sayup. Oleh karenanya, momen peringatan Hari Bumi itu, baik hanya sebatas seremonial maupun disertai langkah-langkah lainnya, senantiasa dilatarbelakangi skeptisisme bahwa kondisi buruk akan selalu berulang.

Pihak yang skeptis itu menyatakan diperingati atau tidak Hari Bumi ini, toh kenyataannya planet Bumi dari tahun ke tahun justru terus-menerus dicemari dan dirusak. Termasuk, di tanah air.

"Bahwa kita sering terjebak atau malah sengaja, sekadar menempatkan momen-momen peringatan tentang lingkungan itu sebatas kegiatan seremonial atau kamuflase dari tindakan kita sendiri yang justru kian mendegradasikan kondisi lingkungan kita, memang demikian kenyataannya," ungkap anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiono Sobirin.

Tapi, ia melanjutkan, titik berpikirnya harus di balik ada peringatan saja degradasi terus berlangsung, apalagi jika tidak ada upaya penumbuhan kesadaran bersama (collective consciousness) akan keberlanjutan lingkungan. "Peringatan Hari Bumi ini seharusnya menjadi momen untuk benar-benar menghentikan penindasan terhadap planet bumi yang kita tempati," ucapnya.

Ia berharap semua back to basic, balik ka pamiangan, menempatkan diri bahwa manusia adalah bagian dari bumi, bagian dari alam. Manusia tidak akan bisa bertahan hidup bila lingkungan hidup di bumi ini terus-menerus dirusak. "Bumi memiliki daya dukung dan daya tampung yang ada batasnya dan manusia sebenarnya harus memaklumi hal tersebut," katanya.

SOBIRIN memaparkan manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku "mekanistis dan reduksionistis", buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas. "Bahkan, kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin."

Pada tahun 2010 penduduk bumi diprediksi mendekati 7 miliar jiwa dan akan bertambah satu miliar setiap 15 tahun. Sebanyak 80% penduduk tinggal di negara-negara miskin dan 20% tinggal di negara-negara kaya. "Kenyataannya, untuk memenuhi kehidupan telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena, bukan oleh 80% penduduk miskin, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengonsumsi 80% dari seluruh sumber alam dunia.

Mengutip penelitian Sivakumar dan Rizaldi Boer (2004), dari tahun ke tahun jumlah kejadian bencana alam di bumi ini terus meningkat, tercatat di tahun 1993 sebanyak 225 bencana dan di tahun 2002 telah meningkat menjadi 375 kejadian bencana. Selama hampir 10 tahun tersebut tercatat 2.654 kejadian bencana. Jenis bencananya berupa banjir 40%, angin ribut 30%, kekeringan 10%, tanah longsor 7%, kebakaran hutan 5%, temperatur ekstrem 5%, dan lain-lain termasuk gempa bumi dan letusan gunung api 3%. Selama dekade tersebut bencana alam telah menelan dana 608 miliar dolar AS atau sekitar Rp 5 ribu triliun, belum terhitung korban jiwa yang tidak bisa dinilai dengan uang!

Dalam laporan global, Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengalami krisis ekologi. Menurut catatan UNFAO, dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektare per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan Walhi, laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektare per tahun atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit. Dampaknya hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia menjadi kritis.

Kondisi Jawa Barat pun idem ditto. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan telah menjadi "siklus ritual" tahunan. Ini paralel dengan kenyataan bahwa kawasan lindung Jawa Barat dengan luas 1,7 juta hektare (45% dari luas Jawa Barat), lebih dari separuhnya tidak lagi berfungsi lindung. Bahkan, seluas lebih dari 600 ribu hektare telah merupakan lahan kritis (hampir 20% dari luas Jawa Barat).

Pakar hidrologi dari Lembaga Penelitian (Lemlit) Unpad Chay Adak, Ph.D. mengatakan dari sekitar 40 daerah aliran sungai (DAS) yang teridentifikasi di Jawa Barat, 20 DAS (50%) dinyatakan dalam kondisi kritis hingga sangat kritis. Tingkat kekritisan DAS lazimnya dicirikan oleh besarnya laju erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai/waduk dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim hujan dan kemarau.

"Implikasi hidrologis terganggunya 'kesehatan' DAS dapat ditunjukkan dengan terjadinya banjir bandang di Jakarta pada awal bulan Februari 2007 dan konflik tahunan antara Kabupaten Majalengka dan Indramayu berupa rebutan air di musim kemarau. Kedua musibah itu sangat terkait dengan 'sakit'-nya DAS Ciliwung dan DAS Cimanuk di Jawa Barat," papar Chay Asdak.

Demikian pula, ”sakit” yang diderita DAS Citarum ditunjukkan dengan tingginya laju sedimentasi (lebih dari 4 juta m3) dan pencemaran yang masuk ke Waduk Saguling, sehingga menimbulkan kematian ikan secara massal dan gangguan pasokan listrik tenaga air di Jawa Barat. (Erwin Kustiman/"PR")***

Read More..

Friday, April 27, 2007

80% KORUPTOR KAKAP KABUR

Pikiran Rakyat, Jumat, 27 April 2007

Gambar: Free Cliparts
Adanya kepentingan Singapura agar Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir ke negara itu, dikritisi pakar lingkungan hidup Ir. Soepardiyono Sobirin. Dia minta agar perjanjian ekstradisi itu tidak mengorbankan lingkungan.


JAKARTA, (PR).-

Kalangan DPR RI menyatakan pesimistis dengan implementasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura yang akan ditandatangani di Istana Tampak Siring, Bali, Jumat (27/4) ini. Pasalnya, sekitar 80 persen konglomerat hitam (koruptor kakap) itu diduga sudah hengkang dari Singapura.

"Singapura hanya tempat transit. Contohnya, Sudjiono Timan dan Syamsul Nursalim sudah berada di Shanghai, Cina. Begitu juga dengan Sukanto Tanoto sudah menjadi warga negara kehormatan Brasil, karena menanamkan usahanya di negara itu sebesar Rp 1,8 triliun," kata anggota Komisi VII Ade Daud Nasution, di Jakarta, Kamis (26/4).

Hal senada disampaikan Dradjad H. Wibowo, anggota Komisi XI DPR. Menurut dia, kalau tidak membawa pulang koruptor kakap, adanya perjanjian itu percuma saja. Kendati demikian, jika perjanjian sudah ditandatangani, pemerintah setidaknya harus mampu menarik aset mereka minimal 50 persen dari total aset sekitar 100 miliar dolar (sekitar Rp 1.000 triliun), karena efek dominonya sangat besar.

Berdasarkan data Merril Lynch, aset para koruptor kakap itu mencapai 87 miliar dolar AS atau sekitar Rp 870 triliun, tetapi sebenarnya mencapai Rp 1.300 triliun yang mengendap di Singapura. Dana itu termasuk uang hasil judi dan illegal logging yang sudah dicuci.

Menurut Ade, meski jumlah konglomerat hitam yang tinggal di Singapura hanya tersisa 20 persen, mereka sudah siap-siap menunjuk lawyer (pengacara) guna menghadapi tuntutan hukum Indonesia, agar bisa diadili di Singapura.

Ade mengaku mendapat informasi itu dari Mr. R, seorang anggota parlemen Singapura dari People Action Party (PAP). "Karena ada kemungkinan dalam perjanjian ekstradisi itu, Jaksa Agung Singapura dan Jaksa Agung Indonesia tidak hadir, justru yang hadir itu kan Presiden, panglima TNI, dan Menlu. Itu berarti sebenarnya Singapura lebih menginginkan kerja sama militer dan ekspor pasir laut," katanya.

Dia membenarkan pernyataan mantan PM Singapura, Lee Kwan Yew bahwa perbankan Singapura tak akan terpengaruh dengan perjanjian ekstradisi itu, karena aset konglomerat yang ditaruh di Singapura hanya 2-3%.

Harga diri

Adanya kepentingan Singapura agar Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir ke negara itu, dikritisi pakar lingkungan hidup Ir. Soepardiyono Sobirin. Dia minta agar perjanjian ekstradisi itu tidak mengorbankan lingkungan.

"Lingkungan hidup merupakan harga diri bangsa Indonesia. Jadi, pemerintah harus bijak dan meneliti lagi titik pangkal dari perjanjian ekstradisi tersebut," ujarnya saat dihubungi "PR" di Bandung, Kamis (26/4) malam.

Sobirin menegaskan, jika hanya merugikan bangsa atau tidak pro lingkungan dan tidak pro rakyat, lebih baik perjanjian tersebut tidak usah tandatangani. Indonesia jangan mau dipojokkan oleh bangsa lain. Apalagi, untuk menjarah kekayaan yang kita miliki.

"Ekspor pasir ke Singapura berarti harus mengoptimalkan galian C yang ada kan? Padahal, galian C itu dampaknya sangat buruk untuk lingkungan. Ayolah, lingkungan hidup kita sudah banyak yang rusak, jangan diperparah," katanya lagi.

Pengamat politik internasional dari Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unpad Bandung Ary Bainus menilai, ditandatanganinya perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura merupakan momen penyelesaian kejahatan transnasional yang selama ini terkendala. Perjanjian itu juga dinilai akan menguntungkan kedua belah pihak, karena memiliki aspek reciprocity (timbal balik).

Menurut dia, ekstradisi merupakan produk hukum yang mengikat kedua belah pihak, terutama dalam masalah-masalah hukum pidana ataupun hal-hal lainnya.

“Perjanjian ini menjadi sangat strategis, karena beberapa rezim pemerintahan terdahulu selalu gagal mewujudkannya. Baru pada rezim pemerintahan SBY inilah, penandatanganan perjanjian bisa dilakukan," ungkap kandidat doktor ini, di Bandung, kemarin. (A-109/A-154/A-64)***

Read More..