Monday, May 19, 2008

BERHARAP PADA KEARIFAN LOKAL

KOMPAS, Jawa Barat, 19 Mei 2008, Cikaracak, A15
Gambar: Dicky, KOMPAS, 19 Mei 2008

Sungguh benar adanya. Dalam lingkup Jabar saja, dari 1,7 juta hektar kawasan lindung yang dimiliki, kini tersisa 650.000 hektar. ”Sisanya habis dikonversikan untuk kebutuhan bisnis. Lihat saja Kawasan Bandung Utara dan Selatan yang habis digunakan untuk permukiman orang-orang kota,” kata Sobirin terpisah.



Kerusakan lingkungan hidup memang bukan topik yang terbilang baru untuk dibicarakan masyarakat dunia. Paling umum adalah mereka sibuk membahas dan mengampanyekan dampak lingkungan hidup dari pemanasan global.

Mulai dari kebanjiran, pemanasan suhu dunia, hingga pencairan es di Kutub Utara kerap menjadi menjadi topik seminar lingkungan hidup. Namun, topik yang selalu luput dari perhatian adalah keterancaman dunia terhadap air bersih.


Mengutip catatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR), ketersediaan air di Kota Bandung memasuki tahun 2000-an, dengan jumlah penduduk sekitar tiga juta orang dan luas wilayah mencapai 17.000 hektar, hanya mencapai 20 liter per orang per hari. Padahal, konsumsi setiap orang idealnya 200 liter per hari.


Pada awal 1930, dengan jumlah penduduk hanya 250.000 orang dan luas wilayah 3.000 hektar, setiap orang memiliki ketersediaan air sebanyak 1.200 liter per hari atau enam kali lebih banyak dari yang dibutuhkan setiap warga Kota Bandung.


Hal ini terjadi tidak semata-mata karena penambahan penduduk. Mantan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR), sekaligus aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, alih fungsi (konversi) lahan memiliki peran terbesar dalam perusakan lingkungan hidup.


Sungguh benar adanya. Dalam lingkup Jabar saja, dari 1,7 juta hektar kawasan lindung yang dimiliki, kini tersisa 650.000 hektar.
”Sisanya habis dikonversikan untuk kebutuhan bisnis. Lihat saja Kawasan Bandung Utara dan Selatan yang habis digunakan untuk permukiman orang-orang kota,” kata Sobirin terpisah.

Seniman dan aktivis pencinta lingkungan Iwan Abdulrachman membenarkannya. ”Lucunya, konversi hutan itu terjadi dengan seijin para pejabat yang berilmu tinggi,” ujar Iwan pada seminar tentang air di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Sabtu (17/5).


Tak bisa mengerem

Segala peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lagi menjadi satu-satunya alat yang mampu mengerem konversi lahan.


Letih rasanya bila berharap pada kekuatan eksternal-represif seperti penegakan peraturan perundangan untuk menghentikan konversi lahan. Mengutip perkataan Iwan, sudah saatnya masyarakat dunia kembali pada kearifan lokal.

Kearifan lokal tidak hanya berarti mengembalikan diri pada nilai-nilai, adat, dan tradisi masyarakat setempat, tapi memahami, menghormati, dan mengimplementasikan nilai itu dalam kehidupan.


”Dulu ibu saya sering bilang, tong lebet ka leuweung, pamali!” (Jangan masuk ke hutan, tabu!). Dengan tingginya tingkat kepatuhan dan kehormatan kepada orang tua, anak-anak menuruti dan tidak pernah menjamah hutan. Kearifan lokal seperti ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujar Iwan.


Ini menjadikan hutan-hutan di beberapa daerah masyarakat adat, seperti Kampung Naga, Baduy, tetap asli tak terjamah. Akibatnya, siklus kehidupan antara manusia dan lingkungan hidup sebagai daya dukungnya tetap terjaga.

Oleh karena itu, lanjut Iwan, tumbuhkan kembali rasa kepatuhan dan hormat pada lingkungan melalui kearifan lokal pada diri setiap orang yang memiliki peranan dan jabatan di pemerintahan.

“Mulai dari diri sendiri dan pengaruhi lingkungan sekitarnya hingga tercipta masyarakat yang menghormati lingkungan di sekitarnya,” tuturnya penuh harap. Memakan waktu lama? Sudah pasti, tetapi bila tidak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi? (A15)

No comments: