Tuesday, December 09, 2008

GEDUNG-GEDUNG JANGKUNG 'MENYERBU' BANDUNG

Bisnis Indonesia, 23-11-2008, Dadan, Sirojul, Hilman
Foto: www.pdw-architects.com, Hotel Hilton Bandung


Sobirin
, Anggota DPKLTS, mengingatkan minimnya ruang terbuka hijau yang menjadi tempat resapan air di Bandung. Dia setuju dengan pembangunan hunian vertikal, sebagai antisipasi lonjakan jumlah penduduk Kota Bandung yang saat ini mencapai 3 juta orang.





Oleh:
A. Dadan Muhanda, Sirojul Muttaqien (Kontributor Bisnis Indonesia)

Hilman Hidayat (Wartawan Bisnis Indonesia)


Lima tahun lalu, jumlah gedung pencakar langit di Bandung bisa dihitung dengan jari tangan. Waktu itu, hanya ada Menara BRI setinggi 17 lantai dan Wisma Lippo di Jalan Asia Afrika yang cukup mencolok. Kini, gedung-gedung tinggi di Kota Kembang itu terus bertambah. Bandung mulai dibanjiri gedung-gedung jangkung.


Dalam 3 tahun terakhir, pembangunan produk properti di sektor ritel seperti mal dan bentuk pusat perbelanjaan lainnya, sempat menjadi primadona. Cihampelas Walk, Braga City Walk, Bandung Super Mall, hingga Metro Trade Center yang kemudian berubah menjadi Metro Indah Mall, menambah panjang daftar pusat perbelanjaan di Bandung.


Bandung, yang merupakan salah satu tempat favorit dan terdekat bagi orang-orang Jakarta untuk berlibur, memberikan ide lain bagi para pelaku industri properti. Tidak hanya pusat perbelanjaan, tetapi para wisatawan asal Jakarta itu juga menjadi pasar potensial bagi para pengembang apartemen dan hotel.


Sebelum akses tol Cipularang dibuka, industri properti di Bandung memang didominasi produk properti komersial seperti mal, ruko, dan pusat perbelanjaan. Produk properti hunian seperti rumah dan apartemen tumbuh lambat, karena hanya ditujukan bagi pasar warga Bandung semata.


Saat ini, ada beberapa apartemen dan kondotel yang telah selesai dibangun dan sudah beroperasi, seperti Aston Bandung Hotel and Residence, Sukaluyu, Simpang Dago, Galery Ciumbuleuit Apartment, Setiabudhi Apartment, dan Majesty Apartment.


Sayang, tidak ada data resmi berapa kapasitas unit apartemen yang masuk itu karena di Bandung tidak ada perusahaan konsultan properti yang rutin melakukan riset seperti di Jakarta. Organisasi pengembang pun, tidak mempunyai data pasti jumlah unit apartemen yang ada.


Tetapi setidaknya, Menara BRI setinggi 17 lantai yang sempat mencatat rekor gedung tertinggi di Bandung dalam beberapa tahun itu, tidak lagi berdiri sendiri. Ada bangunan apartemen yang juga berdiri menjulang.


Memasuki 2008, sejumlah proyek gedung mulai digarap. Berdasarkan data BCI Asia, Lembaga riset dan survei sektor konstruksi, sedikitnya ada 23 bangunan bertingkat yang akan masuk pasar di Bandung pada periode 2008-2009. Sebanyak 13 bangunan sudah masuk tahap konstruksi, dan sisanya dalam tahap perencanaan.


Sejumlah proyek yang tengah dan akan dikembangkan itu antara lain proyek hotel dan apartemen Marbella yang dikembangkan oleh PT Pudjiadi Prestige Tbk di kawasan Dago Pakar, dengan ketinggian masing-masing gedung 15 lantai.


Di kawasan Setiabudhi juga akan dibangun Century Hills Hotel and Apartment setinggi 26 lantai yang memiliki kapasitas 600 unit apartemen dan 360 kamar hotel.
Demikian juga De Huis Executive Apartment di kawasan Jalan Cicalengka dengan ketinggian 20 lantai dengan luas bangunan 60.000 meter persegi. Proyek lain, Grand Royal Panghegar, Patra Bandung Hotel, Hotel Afta, serta Executive Residence di Jalan Riau.

Sebagian besar gedung tinggi yang masuk pasar Bandung memang berupa hotel, kondominium atau apartemen, serta kondotel yang merupakan gabungan hotel dan kondominium. Itu semua karena Bandung merupakan kota tujuan wisata, bukan pusat bisnis seperti Jakarta.

Hari Raharta Sudradjat, Ketua DPD REI Jawa Barat, mengatakan pembeli apartemen di Bandung mempunyai alasan beragam. Tidak sedikit pembeli yang bekerja di Jakarta dan pulang ke Bandung hanya setiap akhir pekan.

Ada juga yang menjadikan apartemen di Bandung sebagai instrumen investasi, dengan cara menyewakan unit mereka kepada para pelancong yang rutin datang setiap akhir pekan atau musim liburan.


Kendati praktik seperti itu sempat membuat berang para pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jabar, toh tamu yang datang ke Bandung juga tidak bisa ditampung oleh hotel-hotel yang ada.


Tipe pembeli lainnya adalah masyarakat Bandung yang menjadikan apartemen sebagai bagian dari gaya hidup. "Kelompok pembeli ini mulai bermunculan, meskipun jumlahnya masih terbatas," kata Hari.


Masalah Tata Ruang


Namun, kehadiran gedung-gedung jangkung tersebut ternyata menimbulkan permasalahan baru yang serius. Mochamad Ridwan Kamil, arsitek dari Urbane Indonesia, menilai tata ruang Bandung tidak siap menampung serbuan gedung-gedung tinggi.


Infrastruktur di Bandung yang sangat minim, tanpa ada pelebaran jalan dalam beberapa tahun terakhir, membuat kehadiran gedung-gedung tinggi itu menambah kemacetan di Bandung, sama seperti yang terjadi di Jakarta.


"Lebar jalan di Bandung masih kecil. Jalan di Bandung juga sangat minim, hanya 20% dari luas Kota Bandung. Sekarang saja sudah macet, bagaimana nanti," kata Ridwan.
Dia juga menilai Pemkot Bandung tidak punya konsep pembangunan yang jelas.

Proyek pembangunan selalu datang dari pihak swasta, bukan tawaran dari pemerintah. Akibatnya, yang mengendalikan pembangunan di sektor properti Bandung adalah pengembang.
"Seharusnya proyek dan konsep datang dari pemerintah, bukan sebaliknya. Pemda jangan meluluskan semua proposal proyek, tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur," kata dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Sobirin, Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), juga mengingatkan minimnya ruang terbuka hijau yang menjadi tempat resapan air di Bandung.
Hal itu menyebabkan pasokan air di Bandung terus berkurang. Pasokan air saat ini hanya berkisar 40 liter per orang per hari, atau jauh dari angka ideal 200 liter per orang per hari.

Dia memang setuju dengan pembangunan hunian vertikal, sebagai antisipasi terhadap lonjakan jumlah penduduk Kota Bandung yang saat ini sudah mencapai 3 juta orang.
"Namun, sebanyak 47 aliran sungai dan 77 titik mata air di Kota Bandung kondisinya sudah mengkhawatirkan karena tidak adanya ruang terbuka hijau (RTH) untuk resapan air," ujarnya.
Semoga Bandung tidak sampai terhuyung-huyung, menahan serbuan gedung-gedung jangkung. (hilman.hidayat@bisnis.co.id)


Oleh:
A. Dadan Muhanda, Sirojul Muttaqien (Kontributor Bisnis Indonesia)
Hilman Hidayat (Wartawan Bisnis Indonesia)

No comments: