Wednesday, January 30, 2008

PENYELAMATAN KBU JANGAN OMONG KOSONG

DPKLTS, Parongpong, Kawasan Bandung Utara, 30 Januari 2008
Foto: Sobirin, 2008, Penandatanganan Penyelamatan KBU

Liputan: SOBIRIN
Solihin GP, sesepuh Jawa Barat, dalam pidato sambutan penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Penyelamatan Kawasan Bandung Utara (KBU) minta agar Kesepakatan dan PERDA-nya jangan hanya omong kosong. Berikut pidato selengkapnya dari Solihin GP.



T
anggal 30 Januari 2008 di Parongpong Kawasan Bandung Utara (KBU), Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bandung, Pemkab Bandung Barat, Pemkot Bandung, dan Pemkot Cimahi bersepakat untuk bersama-sama menyelamatkan KBU sebagai kawasan konservasi penyangga Cekungan Bandung. Kesepakatan ini adalah persyaratan dari Menteri Dalam Negeri agar Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang KBU yang telah dibuat oleh Pemprov Jawa Barat dapat segera diimplementasikan.
Solihin GP, sesepuh Jawa Barat, dalam pidato sambutannya minta agar kesepakatan dan Perda ini jangan hanya omong kosong. Berikut pidato selengkapnya dari Solihin GP.

KESEPAKATAN PENYELAMATAN KBU
JANGAN HANYA OMONG KOSONG BELAKA



OLEH: SOLIHIN GP
KETUA DEWAN PENASIHAT DPKLTS
(DEWAN PEMERHATI KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN TATAR SUNDA)

Assalamu Alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,
Sampurasun,

Berdasar gambaran citra satelit dari tahun ke tahun, Kawasan Bandung Utara atau KBU menampakkan alih fungsi lahan yang semakin parah. Kawasan lindung diubah menjadi kawasan budidaya oleh intervensi kegiatan manusia yang tidak memahami azas konservasi dan hanya berlandaskan ekonomi jangka pendek. Kalau diibaratkan penyakit, saat ini KBU menderita penyakit kangker stadium empat yang tidak lagi mampu menopang kehidupan.

Setelah sekian lama KBU dirambah terus oleh kelompok-kelompok manusia yang tidak bertanggung jawab dan tidak peduli lingkungan, maka sebagai pejoang lingkungan saya menyambut dengan baik dan gembira atas “Kesepakatan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara” yang Berita Acara-nya akan ditanda-tangani oleh Provinsi, Kabupaten dan Kota pada hari ini. Berita Acara Kesepakatan lintas wilayah ini saya anggap sebagai kemauan politik yang positif dari Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk bersama-sama secara sadar lingkungan menyelamatkan KBU sebagai kawasan lindung dan penyangga Wilayah Cekungan Bandung.

Dengan Berita Acara Kesepakatan ini pula, saya sebagai warga Wilayah Cekungan Bandung meminta kepada aparat Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk segera mengimplementasikan Perda yang telah disusun oleh Provinsi Jawa Barat tentang penyelamatan KBU, dan yang telah pula disetujui oleh Menteri Dalam Negeri. Inti dari Perda Provinsi Jawa Barat tentang penyelamatan KBU ini adalah: “Izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan oleh Bupati dan Walikota perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur”.

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa akidah penataan ruang adalah untuk: kesejahteraan rakyat dan keamanan nasional. Untuk itulah ada hirarki bahwa RTRW Kabupaten dan Kota harus mengacu RTRW Provinsi, dan RTRW Provinsi harus mengacu kepada RTRW Nasional.

Otonomi Daerah Kabupaten dan Kota adalah bukan segala-galanya, karena bagaimanapun secara normatif, pemerintah Provinsi memang memiliki otoritas ikut mengendalikan kebijakan Kabupaten dan Kota yang bersifat lintas wilayah. Birokrat Provinsi Jawa Barat termasuk DPRD Jawa Barat harus tegas dan berani dalam upaya menegakkan peraturan perundangan yang berkaitan dengan keselamatan wilayah Jawa Barat termasuk KBU, karena secara “doelmatigheid” dan “rechtmatigheid” sudah benar. Konsistensi, ketegasan dan kewibawaan Gubernur adalah kunci keberhasilan penyelamatan KBU.

Berdasar aspek lingkungan hidup, harus difahami bahwa bentukan alam topografi cekungan seperti Cekungan Bandung, memiliki karakteristik lingkungan yang sangat sensitif. Sedikit saja alamnya terganggu, maka dampaknya dapat menimbulkan bencana bagi seluruh kehidupan di dalamnya, seperti banjir, longsor, kekeringan, polusi udara, dan lain sebagainya.

KBU adalah:
merupakan benteng alam dan pengendali iklim mikro untuk keberlanjutan kehidupan Cekungan Bandung, termasuk Kota Bandung sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Barat dan Ibu Kota Asia Afrika,
merupakan daerah tangkapan air Cekungan Bandung, sekitar 60% dari total 108 juta m3 air tanah Cekungan Bandung berasal dari KBU.

Oleh sebab itu, demi keselamatan bersama, maka Perda KBU yang telah diterbitkan harus kita kawal terus pelaksanaannya. Bagi siapapun yang merusak fungsi lindung KBU harus mendapat sanksi sesuai hukum yang berlaku. KBU selamat maka Cekungan Bandung selamat dan Kota Bandung akan bermartabat secara berkesinambungan.

Tidak hanya KBU saja, tetapi sebenarnya KBS (Kawasan Bandung Selatan) juga perlu perhatian, karena KBU dan KBS adalah di dalam satu sistem Cekungan Bandung. Bahkan untuk kepentingan RTRW yang ramah lingkungan dan berkesinambungan, serta benar-benar semata-mata untuk kepentingan seluruh wilayah Jawa Barat, maka Perda ini seharusnya dikembangkan agar berlaku untuk seluruh Jawa Barat, bukan hanya untuk KBU saja.

Mari kita kawal Perda KBU agar dapat dipakai sebagai instrumen penyelamatan lingkungan Cekungan Bandung pada umumnya, dan Kota Bandung pada khususnya. Jangan sampai Perda KBU hanya menjadi “macan kertas” yang tidak digugu dan tidak ditiru!

Cekungan Bandung sebagai sebuah wilayah yang berbentuk cekungan yang sensitif harus dikelola secara terpadu, sinergi antara Provinsi, Kabupaten dan Kota terkait dengan konsep:
Satu wilayah cekungan Bandung: One Bandung Basin
Satu Pandangan Menyeluruh:One Comprehensive View
Satu Visi Bersama: One Shared Vision
Satu Perencanaan Paripurna: One Overall Planning
Satu Pengelolaan Terpadu: One Integrated Management

Ingat Kota Bandung pernah mengalami banjir bandang ketika awal perkebunan-perkebunan dibuka yaitu pada awal abad ke 20. Kemudian menyusul banjir bandang berikutnya pada tahun 1917 dan 1937.
Paling mencekam adalah banjir bandang pada tahun 1946 ketika rakyat sedang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang ingin menjajah kembali negara kita. Bahkan di akhir tahun 2007 dan awal tahun 2008 di kawasan Cidadap di bagian utara Kota Bandung pun tersapu oleh banjir bandang akibat meluapnya sungai Cipaganti.
Ingat pula bahwa dataran rendah di tengah di Cekungan Bandung pernah terendam banjir lebih dari 4.000 hektar pada tahun 1984, 1986, 1988, 1994, 1995, 1996, 1998, 2001.

Yakini bahwa dalam masalah penyelamatan KBU ini, seluruh rakyat Jawa Barat akan mendukung sepenuhnya!
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) akan konsisten berada di tengah rakyat berjuang untuk menyelamatkan lingkungan dan kesajahteraan rakyat. DPKLTS bersama rakyat akan selalu mengkritisi dan mengkoreksi, bahkan akan melakukan konfrontasi kepada pemimpin yang menyelewengkan penataan ruang yang berdampak tidak pro rakyat dan tidak pro lingkungan.

Demikian yang dapat saya sampaikan,
Wassalamu Alaikum Warohmatollohi Wabarokatuh

Bandung, 30 Januari 2008

Solihin GP
Ketua Dewan Penasihat DPKLTS

Read More..

Saturday, January 26, 2008

PESTA DEMOKRASI, RAME-RAME POHON DIPAKU

Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, 26-01-2008
Foto: Sobirin 2004, Semula gambar dipaku ke pohon, lalu diikat

Oleh: SOBIRIN
Saat pesta demokrasi, PILKADA atau PILPRES, organisasi massa pengusung calon pemimpin sangat bersemangat berkampanye. Bendera dan atribut partai diikat ke tiang listrik, tiang telpon, bahkan dipakukan ke pohon pinggir jalan, tanpa mempedulikan etika lingkungan.


Lingkungan Kota Bandung menjelang PILGUB Jawa Barat 2008 juga menjadi korban pesta demokrasi. Tiang listrik, tiang telpon mulai penuh dengan bendera dan atribut organisas massa dan partai. Telah banyak keluhan warga karena mengganggu pemandangan saat berkendara di jalan.

Pohon-pohon pun mulai menjadi sasaran, dipaku untuk menegakkan bendera organisasi massa dan partai. Banyak warga yang protes dan melaporkan kepada Walikota Bandung (Dada Rosada) dan Dinas Pertamanan melalui SMS supaya bendera-bendera tersebut dicabut.

Walikota pun menanggapi positif dan dengan berang memerintahkan supaya mencabuti bendera dan atribut yang dipakukan ke pohon. Beberapa pimpinan organisasi massa dan partai mengikuti instruksi Walikota, namun ada juga yang membandel tidak mau mencabut bendera dan atributnya dari pohon.

Seharusnya pimpinan organisasi massa dan partai menginstruksikan tim lapangannya agar tidak mengganggu dan merusak lingkungan, sebab yang rugi juga organisasi massa dan partai sendiri, karena masyarakat menjadi tidak simpati yang pada giliran berikutnya tidak akan memilih calon yang diusungnya.

Pada tahun 2004 yang lalu, menjelang PILPRES, banyak juga gambar-gambar calon-calon Presiden yang dipaku ke pohon. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) di bawah pimpinan Solihin GP lalu membuat semacam ”iklan” di koran Pikiran Rakyat dengan bunyinya sebagai berikut: JANGAN PILIH CALON PRESIDEN SIAPAPUN YANG GAMBARNYA DIPAKU KE POHON.

Bagaimanapun pohon adalah bagian kehidupan. Besoknya gambar-gambar calon yang tadinya dipaku dipohon dicabuti, dan ganti diikat dengan tali rafia. Tetapi tetap saja secara lingkungan menimbulkan pemandangan yang tidak estetis. Baru kampanye saja sudah merusak lingkungan, apalagi nanti kalau sudah jadi pejabat. Banyak contohnya!

Read More..

Monday, January 21, 2008

BERAS ORGANIK, BERAS PRO LINGKUNGAN

BULOG MENJADI EKSPORTIR BERAS ORGANIK?
DPKLTS, 09 Januari 2008, Rapat dengan BULOG.

Foto: Sobirin 2007, Sawah Organik SRI dan Sajiboen Pakar DPKLTS
Disusun oleh: SOBIRIN
BULOG menjadi exportir beras organik? Mengapa tidak? Tanggal 9 Januari 2008 tim DPKLTS dibawah pimpinan Solihin GP dan tim BULOG dibawah pimpinan Direktur Utama Mustafa Abubakar membahas potensi ini.




ISSUE:
BULOG menjadi eksportir beras organik SRI


KONDISI SAAT INI:

Pertama: Petani padi mulai banyak yang “back to basic”, yaitu menanam padi secara seksama dengan metode SRI (System of Rice Intensification), hemat air, menggunakan kompos, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia. Rata-rata hasil sawah organik rakyat di atas 6 ton GKG (Gabah Kering Giling)/ hektar/ panen.

Kedua: Masyarakat petani padi organik SRI telah mampu berkreasi menyiapkan kompos berikut starter Mikro Organisme Lokal (MOL) secara mandiri. Namun demikian, masih ada saja pihak yang skeptis dan meragukan kesiapan volume kompos yang dibutuhkan.

Ketiga: Sertifikasi beras organik oleh lembaga terakreditasi masih mahal.


ANALISIS:

Pertama: Setiap kegiatan pertanian diperlukan kesiapan 4 unsur, yaitu: lahan, modal, ketrampilan, pasar. Khusus pasar (termasuk ekspor), diperlukan 3 unsur, yaitu: kuantitas, kualitas, kontinuitas.

Kedua: Bahwa gagasan, pembelajaran dan penerapan menanam padi organik SRI diawali di Jawa Barat sejak tahun 2000. Lahan sawah organik SRI di Jawa Barat paling luas dibanding dengan propinsi lain dengan jumlah petani SRI terlatih yang menjadi pelaku SRI telah mencapai 6.345 orang.
Ketiga: Luas lahan pertanaman padi organik SRI di Jawa Barat yang dipersiapkan bulan Februari dan dipanen bulan April 2008 adalah 442 Ha, dengan perkiraan produksi 2.652 ton GKP (Gabah Kering Pungut), atau setara 2.000 ton GKG atau setara 1.300 ton beras organik.

Keempat: Luas lahan pertanaman padi organik SRI yang dipersiapkan bulan Juni dan dipanen bulan Agustus 2008 adalah 1.200 Ha dengan perkiraan produksi 7.956 ton GKP atau setara 6.000 ton GKG atau setara 3.900 ton beras.
Kelima: Varietas yang di tanam untuk padi organik SRI terdiri dari 2 jenis yaitu : varietas Sintanur dan Ciherang, karena jenis Sintanur beraroma dan pulen, serta banyak diminati pasar lokal Jakarta, Bandung dan sekitarnya, sedangkan varietas Ciherang selain nasinya pulen juga bobotnya lebih berat dibanding jenis lainnya.

Keenam: Dengan pengelolaan ekosistem sawah yang serasi didasari pengolahan tanah tanpa pupuk dan pestisida kimia sebagai bioreaktor yang sehat, pengelolaan air yang hemat sesuai kebutuhan, dan perlakuan yang seksama terhadap tanaman, maka jumlah produksi per panen meningkat menjadi paling tidak 6 ton GKG/ hektar. Beras-nya pun menjadi jauh lebih sehat dan berkualitas, diantaranya: rasa lebih enak, tahan lama tidak cepat basi, pulen, kandungan protein dan karbohidrat lebih tinggi, kadar gula rendah, beraroma, tidak ada residu pestisida.

Ketujuh: Sebagai perbandingan harga beras organik per kilogram di pasar Singapura mencapai 4,00 dollar Singapura (Organic Red Brown Rice), di pasar London mencapai 4,50 poundsterling (Biona Organic Basmati Brown Rice ex India), di pasar Amerika Serikat mencapai 6 dollar USA (Organic Lundberg Freshly Hulled Short Grain Brown Rice). Bahkan Amerika Serikat ini sangat menghargai produk seni bertani padi organik, misalnya jenis padi organik Mahnomen per kg yang bisa mencapai 28,50 dollar USA (Mahnomen Smokey Wild Rice, hand picked in the USA by native Americans in canoes).

Kedelapan: Manakala trend pasar global terhadap produk pertanian semakin meningkat, maka sudah selayaknya Indonesia memanfaatkan potensi pertanian organik hasil seni bertani yang tinggi untuk masuk ke pasar global, ke negara-negara “penikmat” beras organik. Padi organik Indonesia sangat berpotensi bersaing dengan padi organik dari negara-negara lain, karena ke-khas-annya yang ditanam di sekitar garis katulistiwa dengan pancaran sinar matahari yang abadi. Dalam setiap pak beras organik Indonesia akan sangat menarik bila dilengkapi dengan penjelasan:

Beras organik SRI Indonesia:
Hasil karya seni bertani dengan arif, seksama, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia. Ditanam di sawah tropis di sekitar garis kathulistiwa, dng pancaran sinar matahari abadi. Menghasilkan beras organik kaya akan nutrisi sehat yg dibutuhkan oleh manusia.
Indonesia SRI organic rice: The art of agriculture by wise and conscientious creation, using no chemical fertilizer and no chemical pesticide. Planted in tropical paddy field in vicinity of equator line, where sunshine is everlasting. Producing organic rice rich of healthy nutrition essential for human beings.

ALTERNATIF PENANGANAN:

Pertama: Petani organik SRI memanfaatkan waktu senggangnya untuk membuat kompos dari jerami, semak-semak, dan kotoran hewan, sehingga kompos telah siap pada saat diperlukan. Waktu senggang petani menjadi sangat berharga dengan berkreasi membuat kompos. Di setiap luasan sawah organik ini perlu di kembangkan konsep “saung kompos” atau “gubuk kompos” sebagai gudang penyimpan kompos.

Kedua: Apalagi bila seperempat dari total lahan sawah disiapkan untuk tanaman sumber biomasa, hutan lokal, tanaman pakan ternak berikut ternaknya, maka dijamin kompos akan mencukupi kebutuhan. Seperempat luasan dari total lahan sawah ini juga menjadi hunian predator yang akan mengamankan sawah dari hama-hama yang mengancam. Sisanya yang tiga perempat dari total luas lahan bisa ditanami padi organik SRI dengan seksama dan aman.

Ketiga: Diperlukan political will pemerintah, pendidikan kepada masyarakat, serta budaya untuk kembali “back to basic”, mulai dari membuat kompos hingga tata cara menanam padi organik SRI dengan seksama.

Keempat: DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) dan AOSC (Aliksa Organic SRI Consultant) akan menangani mutu proses di lapangan (on-farm), sedangkan BULOG akan memproses penggilingan dan pengepakan dengan peralatan BULOG (off-farm). Kerjasama antara DPKLTS, AOSC, BULOG merupakan team work yang bersinergi dengan sasaran petani SRI akan mendapat untung besar dan sejahtera.

Kelima: Perlu dicari proses sertifikasi yang relatif cepat, murah, dan berlaku untuk kegiatan ekspor padi organik SRI.
Keenam: Saat ini PT Golden Arrow Indonesia mencoba memasarkan untuk ekspor beras organik dengan harga Free On Board (FOB) ke Malaysia 2,50 dollar USA/kg, ke Singapura 2,30 dollar USA/kg, ke Brunei 3,00 dollar USA/kg. Perlu dihitung kembali harga ekspor ke negara-negara lain baik baik secara FOB, atau CFR (Cost and Freight), CIF (Cost Insurance and Freight), atau yang lain sesuai kesepakatan dengan negara pengimpor.

REKOMENDASI OPERASIONAL:
Pertama: Segera direview kembali hasil rapat ini, dan sebelum akhir Januari 2008 telah ada laporan tentang langkah-langkah yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak, antara lain masalah proses di lapangan dan sertifikasi.

Kedua: Contact Person BULOG: Mohammad Ismet PhD (Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis) dan Abdul Waris Patiwiri (Direktur Pelayanan Publik).

Ketiga: Contact Person DPKLTS: Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, AOSC: Ir. Alik Sutaryat, atau bisa melalui e-mail SOBIRIN (sobirindpklts@yahoo.com).

Notulen disusun oleh: SOBIRIN

Berdasar hasil rapat tanggal 09 Januari 2008 di Kantor BULOG Jl. Jenderal Gatot Subroto No. 49 Jakarta 12950, Indonesia.

Dari DPKLTS dan AOSC dipimpin oleh Solihin GP (Ketua Dewan Penasihat DPKLTS) dan dari BULOG dipimpin oleh Mustafa Abubakar (Direktur Utama Perum BULOG).

Read More..

Saturday, January 19, 2008

MENYOAL MANAJEMEN BENCANA BERBASIS MASYARAKAT

Katong Orang NTT Pung Koran
http://www.indomedia.com/poskup/2007/12/18/edisi18/serial.htm
Foto: Sobirin 2003, Korban Bencana = Rakyat Tak Berdosa
MENYOAL MANAJEMEN BENCANA DI NTT (3)
MANAJEMEN BERBASIS MASYARAKAT
Oleh: Thomas Duran/Yos Sudarso/Raymundus Ngera
Sobirin, pemerhati lingkungan Tatar Sunda di Pikiran Rakyat (4/4/2005) menulis, manajemen bencana berbasis masyarakat sudah menjadi visi negara-negara maju di muka bumi.



Sejauh ini kita ingin mengingatkan bahwa bencana bukan proyek. Jika pola pikir kita masih pada pola lama, maka eksen kita di lapangan bisa jadi melihat bencana sebagai "berkah".

Mark up taksasi kerugian, penyaluran bantuan yang tidak tepat sasar, korupsi dana bencana dan macam-macam perilaku di lapangan adalah buah dari cara pikir yang lama.

Karena itu paradigma baru perlu dan urgen untuk dibangun. Sudah saatnya, penanganan bencana menjadi peluang memperkuat kapasitas masyarakat; apakah pengetahuannya, ekonominya dan keterampilannya. Singkatnya, kita butuh manajemen bencana berbasis masyarakat.

Kepala Biro Binsos Setda NTT, Sentis Medi ketika diajak berdiskusi tentang perlunya paradigma baru dalam penanganan bencana mengemukakan, kata kunci adalah partisipasi. Manajemen bencana harus bersifat kesemestaan, melibatkan semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan. Jadi semua harus mampu menjadi pelaku yang setara, semua harus berperan utama, bukan hanya berperan serta.

Sasaran implementasinya adalah masyarakat mengetahui ancaman bahaya di lingkungan masing-masing; masyarakat mampu menolong dirinya sendiri.

Konsep dasar manajemen bencana berbasis masyarakat adalah upaya meningkatkan kapasitas masyarakat sambil mengurangi kerentanannya.

Besaran bencana merupakan akumulasi berbagai ancaman bahaya dengan rangkaian kerentanan yang ada di masyarakat. Rangkaian kerentanan ini antara lain terdiri dari kemiskinan, kurangnya kewaspadaan, kondisi alam yang sensitif, ketidakberdayaan, dan berbagai tekanan dinamis lainnya.

Kerentanan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain berbeda akar masalahnya, demikian pula ancaman bahayanya berbeda-beda jenisnya.

Pada umumnya permasalahan bencana di daerah kita menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak mampu alias rentan dan lokasinya pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai.

Oleh sebab itu, paradigma baru manajemen bencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut, dari tanggung jawab semata pemerintah menuju manajemen bencana berbasis masyarakat, yaitu menuju masyarakat yang mampu mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di lingkungannya, dan mampu menolong diri sendiri.

Sobirin, seorang pemerhati masalah kehutanan dan lingkungan Tatar Sunda dalam artikelnya yang termuat dalam Pikiran Rakyat (4/4/2005) menulis, cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat atau community based disaster management sudah menjadi visi dari negara-negara maju di muka bumi ini.

Peristiwa bencana gempa dan tsunami di sejumlah belahan bumi telah membuka mata dan hati banyak orang bahwa masih ada semangat perikemanusiaan dan gotong royong membantu para korban.

Kelompok masyarakat sebagai pelaku utama manajemen bencana ini harus dapat diupayakan dari tingkat yang paling kecil yaitu Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), dusun, kampung, sampai kelompok yang lebih besar yaitu desa atau kelurahan, kecamatan, bahkan kota atau kabupaten.

Pelatihan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya bermacam-macam, sangat bervariasi dengan bahasa rakyat, yang mudah dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap-tahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan.

Barangkali catatan Sentis Medi bahwa ke depan sosialisasi tidak terutama untuk pejabat pemerintah tetapi bagi kelompok masyarakat di tingkat paling kecil perlu mendapat perhatian. Demikian pula pentingnya pelaksanaan gladi berdasar skenario seolah-olah terjadi bencana adalah bentuk lain dari fungsi kontrol dalam manajemen bencana berbasis masyarakat.

Gladi adalah bagian penting yang harus diikuti oleh segenap anggota masyarakat agar bila terjadi bencana maka situasi dapat diatasi tanpa kepanikan. Bagaimanapun juga, gladi tetap harus dilakukan dengan serius demi keselamatan diri dan semua pihak di kala bencana sebenarnya datang secara tiba-tiba. (habis)

Catatan: Bagian 1 dan 2 memang tidak dikutip dalam blog ini

Read More..

Friday, January 18, 2008

SAMPAH KOTA BANDUNG PER HARI = 1.000 GAJAH

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 18 Januari 2008
Foto: Sobirin 2005, Ketika Sampah Bandung Menumpuk


Oleh: SOBIRIN
Berat sampah Kota Bandung tiap hari setara dengan 1.000 ekor gajah. Sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola. Sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon. Mari kita hitung secara matematika sederhana.



Inilah gambaran sampah yang diproduksi oleh masyarakat Kota Bandung setiap harinya (angka dibulatkan, dari pengamatan sendiri dan sumber lain): sampah rumah tangga dari 3 juta penduduk Kota Bandung kurang lebih 4.500 m3/hari, sampah pasar 600 m3/hari, kawasan komersial 300 m3/hari, kawasan non komersial 300 m3/hari, kawasan industri 750 m3/hari, sampah jalanan 450 m3/hari, sampah yang dibuang ke saluran 15 m3. Jumlah produksi sampah Kota Bandung 6.915 m3 setiap harinya.

Bagaimana sampah tersebut? Kurang lebih sampah organik 65%, kertas 10%, plastik 2%, pecah belah 1,5%, kain 1%, logam 7,5%, lain-lain 13%.

Bagaimana perilaku warga terhadap sampahnya? Hasil pengamatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat menunjukkan sebanyak 20% sampah dikumpulkan oleh tukang sampah RT untuk di bawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), 25% dibuang sembarangan, 25% ditimbun ke dalam tanah, 5% dibuang ke sungai, 25% dibakar.

Ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Bandung masih nebeng di lahan Perhutani dan sering bermasalah, ketika sarana angkutan sampah terbatas, ketika 90% warga Kota Bandung tidak peduli terhadap sampahnya, ketika rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih menjadi konflik, maka yang terjadi adalah tumpukan-tumpukan sampah selalu saja menghiasi sudut-sudut kota. Bau aromanya jauh dari visi Kota Bandung, yaitu menjadi Kota Jasa yang Bermartabat.

Sebagai pelaku Zero Waste, saya sendiri sangat kecewa dengan warga Kota Bandung yang tidak peduli dengan sampahnya. Tiap malam masih banyak warga yang secara gerilya membawa sampah rumah tangganya, lalu dibuang di sudut-sudut jalan. Jorok sekali!

Dengan volume sampah Kota Bandung 6.915 m3 tiap harinya, dan diasumsikan berat jenis sampah 0,25 maka berat sampah Kota Bandung kurang lebih 1.750 ton tiap harinya. Bila seekor gajah ukuran sedang beratnya 1.750 kg, maka berat sampah Kota Bandung setara dengan 1.000 ekor gajah tiap harinya.

Kandungan plastiknya kurang lebih 2%, maka berat komponen sampah plastik di Kota Bandung sebanyak 35 ton tiap harinya. Diandaikan sampah plastik ini semuanya kantong plastik ukuran 75 cm x 40 cm atau 3.000 cm2 dan tiap kantong plastik tersebut beratnya 20 gram, maka 35 ton sampah plastik sama dengan 1.750.000 kantong kresek yang masing-masing berukuran 3.000 cm2, atau luas semuanya menjadi 52,50 hektar, dibulatkan 50 hektar. Sampah plastik seluas itu bisa menutupi 50 lapangan sepak bola.

Sampah kertas kurang lebih 10%, sama dengan 175 ton tiap harinya. Bila berat jenis kertas sama dengan 0,50 maka volume sampah kertas sama dengan 350.000 liter atau 350 m3. Bila 1 bagian kayu bisa menjadi 0,25 bagian kertas, maka 350 m3 kertas setara dengan 1.400 m3 kayu. Bila 1 pohon menghaslkan 3 m3 kayu, maka 1.400 m3 kayu setara dengan kurang lebih 500 pohon.

Mohon dibayangkan berat sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan 1.000 ekor gajah, sampah plastiknya tiap hari bisa menutupi 50 lapangan sepak bola, dan sampah kertasnya tiap hari berasal dari menebang 500 batang pohon.

Bila warga Kota Bandung tetap tidak peduli terhadap sampahnya, berarti memang tidak peduli lagi terhadap keberlanjutaan kotanya. Tunjukkanlah padaku sebuah kota, maka saya akan tahu seperti apa warga kotanya. Bagaimana matematika sampah di kota anda?

Read More..

Saturday, January 12, 2008

PERMUKIMAN PA KUMIS ANCAM KOTA BANDUNG

Padjadjaran TV, PJTV, 11 Januari 2008, Interactive Talk Show
Foto: M. Gelora Sapta, PR, 18-09-2007, Sudut Kumuh Bandung

Oleh: SOBIRIN
Pa Kumis mengancam Kota Bandung. Tanggal 11 Januari 2008 PJTV menghadirkan Sobirin (pemerhati lingkungan) dan Rosyidin (Dinas Perumahan Kota Bandung) membahas Pa Kumis ini, yaitu permukiman padat kumuh miskin sebagai penyakit perkotaan.




ISSUE

Permukiman kumuh Kota Bandung mengancam visi Kota Bandung, sebuah kota yang bercita-cita menjadi Kota Jasa yang Bermartabat


KONDISI SAAT INI

Kota Bandung seluas 16.700 ha, terdiri dari 30 kecamatan, berpenduduk kurang lebih 3 juta orang. Tiap kecamatan rata-rata memiliki luas 500 ha dengan penduduk 100.000 jiwa lebih. Kepadatan penduduk mendekati 20.000 jiwa/km2, atau 200 jiwa/ha atau setara 200 jiwa per lapangan sepak bola. Sangat padat, “Bandung heurin ku tangtung”, Bandung penuh manusia!


ANALISIS

Pertama, Kota Bandung memiliki keterbatasan “daya dukung” dan “daya tampung”, laju pertumbuhan penduduk harus di tekan, bahkan harus “zero growth”. Lihat saja dari ketersediaan sumber daya airnya. Pada jaman Kota Bandung dijuluki sebagai Paris van Java dan lain-lain julukan di masa keemasan (1920-1940), luasnya kurang lebih 3.000 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa. Faktor Keamanan (FK) air baku kota mencapai angka 6 (enam). Sebagai perbandingan, bila nilai FK sama dengan 1 (satu) artinya kota dalam klasifikasi kritis, jadi nilai FK sama dengan 6(enam) artinya sangat aman. Pada awal-awal kemerdekaan (1950), luas Kota Bandung kurang lebih 8.000 hektar, jumlah penduduk meningkat menjadi kurang lebih 650.000 jiwa. FK air baku turun menjadi 2,6 (dua koma enam), masih agak aman. Sekarang pada tahun 2008, luas Kota Bandung telah mencapai hampir 17.000 hektar. Kawasan lindung gundul dan jumlah penduduknya pun telah membengkak mendekati 3 juta jiwa. Alhasil, nilai FK air baku menurun drastis hanya tinggal 0,1 (nol koma satu), sangat sangat kritis.

Kedua, hampir di setiap sudut kota terdapat permukiman padat dan kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Kawasan pemukiman kumuh adalah penyakit kota yang berdampak pada keseluruhan kehidupan kota. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain: Bangunan rumah sangat rapat satu dengan yang lainnya, mutu bahan bangunan sangat rendah, jaringan jalan sempit, tidak beraturan dan tidak diperkeras. Ekonomi masyarakat sangat berbau kemiskinan, etika sosial budaya tidak ketat, sikap dan perilaku cenderung apatis. Kesehatan buruk, sanitasi dan drainase jorok tidak berfungsi, sampah tidak diurus. sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan kota keseluruhannya.

Ketiga, sebanyak 3 juta penduduk Kota Bandung ini akan “memenuhi” setiap sudut lahan kota. Pada tahun 1960-an bila hujan 40% air melimpas dan 60% meresap ke dalam tanah. Pada tahun 2008, dengan semakin banyaknya bangunan, bila hujan 95% air melimpas (menjadi banjir dan cileuncang), 5% meresap ke dalam tanah. Padahal menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebuah kota harus memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 30% dari total luas kota. Luas Kota Bandung 16.700 ha berarti luas RTH = 5.000 ha. Pengembangan Kota Bandung untuk menjadi lebih luas dari yang sekarang (ekstensifikasi), bukan hal yang mudah. Akan lebih bijaksana bila ditata dengan intensifikasi lahan kota tanpa mengurangi luasan RTH 30%.


ALTERNATIF PENANGANAN

Pertama, mengurangi jumlah penduduk tidak mungkin, tetapi mengurangi jumlah rumah “landed house” dan menggantikannya dengan “rumah susun” adalah suatu kebijaksanaan yang benar tetapi penuh tantangan. Pembangunan horisontal harus diubah menjadi vertikal. Seiring dengan ini harus dilakukan edukasi ke budaya baru, yaitu tata cara an etika tinggal di rumah susun. Bina manusia, bina lingkungan, bina usaha harus merupakan 1 paket dalam menyelesaikan masalah ini.

Kedua, pembangunan perumahan harus “pro rakyat bawah”. Saat ini pembangunan perumahan didominasi pengembang untuk rakyat kelas atas dengan memarginalkan rakyat kelas bawah.

Ketiga, sosialisasi dan rembug warga, menuju perbaikan kawasan permukiman berbasis masyarakat. Rakyat diposisikan sebagai subyek pembangunan perumahan mereka.

Keempat, Di lain pihak, pihak Provinsi Jawa Barat juga harus menggalakkan pembangunan di pedesaan agar tidak terjadi urbanisasi ke Kota Bandung yang daya dukung dan daya tampungnya telah kritis.

Kelima, perlu difikirkan sesuatu yang tidak monokultur, artinya dalam komplek rumah susun khusus orang kaya juga ada komplek rumah susun rakyat bawah. Biarlah mereka saling mengisi secara simbiose mutualistis.

Keenam, konsep “land consolidation” harus dikembangkan, sang pemilik lahan diajak memiliki saham dalam manajemen operasional rumah susun ini. Jangan sampai pemilik lahan dirugikan, atau digusur hanya dengan ganti rugi.


REKOMENDASI OPERASIONAL


Pertama, perlu segera dibentuk semacam Dewan Permukiman Kota Bandung (Bandung Settlement Board), dengan tugas dan fungsi memikirkan dan memfasilitasi perbaikan permukiman kota berbasis masyarakat.

Kedua, batasi atau bahkan stop pendatang baru yang hanya merepotkan kota

Ketiga, segera dicoba praktekkan prototipe perbaikan permukiman berbasis masyarakat ini.

Read More..

Monday, January 07, 2008

JABAR BERPOTENSI TERKENA BANJIR

Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, CA-170
Foto: Harry Surjana, PR, 7 Januari 2008, Banjir Bandung


Sobirin menuturkan, rumus matematika banjir, yakni banjir ditambah longsor sama dengan curah hujan ditambah kualitas lingkungan. "Kita tidak bisa mengendalikan curah hujan. Untuk itu, kualitas lingkungan yang harus kita perhatikan," ujarnya saat dihubungi via telefon, Sabtu (5/1).





BANDUNG, (PR).-
Semakin kurangnya kawasan lindung di Jawa Barat, menyebabkan Jabar berpotensi terkena banjir. Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin mengatakan, Jabar kini memiliki kawasan lindung 45% yang terdiri atas hutan dan di luar hutan. Dari jumlah itu, hanya 18% kawasan lindung yang berupa hutan dan non hutan yang masih berfungsi.

Ia menuturkan, rumus matematika banjir, yakni banjir ditambah longsor sama dengan curah hujan ditambah kualitas lingkungan. "Kita tidak bisa mengendalikan curah hujan. Untuk itu, kualitas lingkungan yang harus kita perhatikan," ujarnya saat dihubungi via telefon, Sabtu (5/1).

Menurut Sobirin, terdapat tiga konsep dalam penanggulangan banjir. Pertama, menyingkirkan air dari manusia. Hal ini akan sangat mahal, sulit untuk dilaksanakan. Kedua, menyingkirkan manusia dari air. Ini berarti melakukan relokasi yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Terakhir, hidup harmonis bersama alam dan air. "Ini yang bisa dilakukan," ucapnya.

Dengan banyaknya kejadian banjir sejak akhir 2007 hingga awal tahun ini, Sobirin berharap pemerintah memberi perhatian khusus untuk masalah lingkungan. Sudah sewajarnya APBD dan APBN memberikan alokasi yang cukup untuk perbaikan lingkungan.

"Telemetring"

Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air (Pusair) Departemen Pekerjaan Umum Arie Setiadi Moerwanto menjelaskan, curah hujan yang tinggi tahun ini menjadi pemicu terjadinya banjir. "Banjir di Solo ini lebih besar dibandingkan dengan banjir yang terjadi pada 1966. Hujan yang terjadi juga merata," tutur Arie di ruang kerjanya, Sabtu (5/1).

Pusair melakukan sejumlah penelitian dalam rangka pengendalian banjir. Di antaranya, penggunaan telemetring untuk meramalkan banjir. Telemetring merupakan sistem pengukuran jarak jauh yang mampu memberikan informasi tinggi permukaan air di sungai sehingga bisa diketahui penambahan debit air tiap jamnya. "Ketika debit air di atas normal bisa segera diinformasikan dan segera diambil tindakan," kata Arie menjelaskan.

Soal drainase Bandung yang disinyalir menyebabkan banjir, Arie mengatakan, bangunan baru di Bandung tumbuh cepat dan tidak menyesuaikan dengan drainase yang ada. Hal ini membuat air hujan tidak dapat terserap dengan baik oleh tanah karena daerah serapan telah berubah menjadi perumahan dan gedung bertingkat. (CA-170)***

Read More..

Wednesday, January 02, 2008

TERSENDAT KARENA DEGRADASI ETIKA DAN BUDAYA

Bandung Spirit dan Lembaga Penelitian UNPAD, 31-12-2007
Foto: Sobirin, 2003, Tradisi dan Globalisasi

Oleh: Sobirin

Hari terakhir 2007, Bandung Spirit dipimpin Acil Bimbo mengadakan diskusi degradasi etika dan budaya dengan Lembaga Penelitian UNPAD diwakili Dede Mariana. Hadir antara lain Sobirin dan Mubiar (DPKLTS), Budi Isdianto (ITB), Irwan Indrapradja (Universitas Pasundan), Asep Warlan (Universitas Parahyangan). Berikut butir-butir pancingan diskusi rangkuman penulis dari berbagai sumber.




ISSUE:
Pembangunan Indonesia tersendat karena degradasi etika dan budaya

KONDISI SAAT INI:

Pertama: Indonesia negara yang sangat “potensial” dan “menjanjikan”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan.

Kedua: Sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan sangat dilirik pasar global tidak menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi.

Ketiga: Sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam bahkan sering dianggap "kutukan" karena membuat negara dan rakyat terpuruk tertinggal dari negara-negara lain.


ANALISA RINGKAS:

Pertama: Juwono Sudarsono (2004) mengatakan bahwa budaya merupakan modal penting dalam pembangunan ekonomi sebuah bangsa. Budaya mencakup masalah pertautan etika kerja, etos kerja, nilai kerja sama, dan nilai yang terkait dengan kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan. Sejarah membuktikan, letak geopolitik yang strategis tidak menjamin sebuah bangsa mampu memanfaatkan letak itu dengan sebaik-baiknya.
Kedua: Darmanto (2003), Yoseph Iskandar (2005), Sobirin (2007) mencatat sejarah hilangnya bangsa dari peta dunia karena degradasi lingkungan dan budaya serta intervensi pihak luar:
a. Salakanagara tahun 130- 362 M, umur 232 tahun

b. Tarumanagara tahun 358- 669 M, umur 311 tahun

c. Kutai tahun 400- 750 M, umur 350 tahun

d. Kendan-Galuh tahun 536- 852 M, umur 316 tahun
e. Sriwijaya tahun 669-1095 M, umur 426 tahun
f. Sunda tahun 669-1482 M, umur 813 tahun
g. Sunda-Pajajaran tahun 1482-1579 M, umur 97 tahun
h. Kalingga tahun 632- 929 M, umur 297 tahun
i. Majapahit tahun 1293-1518 M, umur 225 tahun
j. Demak-Mataram tahun 1450-1625 M, umur 175 tahun
k. Kolonisasi Asing tahun 1600-1945 M, umur 345 tahun

Ketiga: Umur kemerdekaan NKRI sekarang 63 tahun. Bila situasi dan kondisi terus seperti sekarang ini mampukah NKRI tetap eksis di peta dunia? Sampai kapan? (63 tahun + X tahun)?. Indonesia tahun 2008 bukan Indonesia di awal kemerdekaan. Sejarah perkembangan Republik Indonesia dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga SBY membuktikan bahwa budaya sebagai modal pembangunan ekonomi masih sekedar wacana.
Keempat: Soedjatmoko, cendekiawan (1922-1989), mengamati pentingnya nilai-nilai budaya sebagai bagian integral pembangunan ekonomi, dituangkan dalam bukunya Economic Development as a Cultural Problem, yang diterbitkan oleh Cornell University Monograph Series. Pengamatan penting Soedjatmoko adalah upaya "mempertemukan" budaya global dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam, sehingga terbebas dari “kungkungan tradisi", namun tidak "tercerabut" dari ikatan budaya seperti suku, kedaerahan, dan agama.
Kelima: Gunnar Myrdal dari Swedia (1960-an), membandingkan kinerja "negara kuat" dan "negara lemah", untuk menggambarkan bagaimana langkah "negara kuat" mendobrak "mental lembek" birokrat yang menghambat pembangunan.
Keenam: Selo Soemardjan (ahli sosiologi, 1970-an) dan Koentjaraningrat (ahli antropologi, 1970-an), mengajukan pemikiran pentingnya "sikap mental" dalam pembangunan nasional.
Ketujuh: Samuel Huntington (1993) menghimpun tulisan sejumlah pakar kelas dunia dalam bukunya Culture Matters, yang intinya membahas berbagai makna budaya terkait dengan pembangunan.
Kedelapan: Denis Goulet, University of Sao Paulo (2000-an) menegaskan pentingnya "pilihan kejam" yang harus ditempuh pimpinan nasional di negara sedang berkembang jika ingin mendatangkan kemakmuran ekonomi bagi rakyatnya.
Kesembilan: Dalam pandangan ekspansi kapitalisme global, identitas lokal di seluruh pelosok dunia menjadi perhatian perusahaan-perusahaan multinasional guna memasarkan produk-produknya. Dalam World Economic Forum, Maurice Lévy (2007) mengatakan “We need people who understand the local culture of a country”. Juwono Sudarsono (2004) mengatakan bahwa sebaliknya banyak pihak, antara lain para pemikir neo-Marxis, Hindu, Budha, dan Islamis di Afrika dan Asia. menolak ekspansi “pengglobalan” ini, dan wacana dunia pun berkembang menjadi perdebatan "humanisasi internasional" melawan "kapitalisme global".
Kesepuluh: Banyak pepatah tradisional yang maknanya perlu dikaji ulang dalam era kini yang ketat persaingan:
a. Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang.
b. Mangan ora mangan kumpul

c. Alon-alon asal kelakon

d. Someah hade ka semah


ALTERNATIF PENANGANAN:

Pertama: Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (New Zealand, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura) bisa menjadi negara terkemuka di dunia? Jawabnya adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya. Mereka menggunakan budaya disiplin untuk melakukan "lompatan katak" keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka mengejar dan mengisi kekurangannya dari negara-negara yng lebih maju. Mereka melihat seluruh pelosok dunia sebagai jaringan pemasaran produk unggulannya.

Kedua: Michael J. Bonnell (1997), meneliti bahwa masyarakat di negara maju dan kaya mengikuti prinsip hidup sebagai berikut:

a. etika sebagai prinsip dasar
b. integritas
c. bertanggung jawab

d. menghormati hukum dan peraturan
e. menghargai hak warga lainnya
f. senang bekerja
g. bekerja keras untuk menabung dan investasi
h. berkemauan untuk bertindak hebat
i. menghargai waktu.
Ketiga: Tiap bangsa dan tiap daerah harus menentukan sendiri seberapa cepat ia ingin merangkul nilai-nilai "globalisasi" dan seberapa banyak ingin mempertahankan nilai-nilai “tradisi” yang penting untuk kelestarian jati dirinya. Juwono Sudarsono (2004) menekankan perlunya mengkaji “budaya nasional” sebagai bagian proses pembinaan identitas bangsa ("aku bangga menjadi orang Indonesia"), dengan budaya daerah (“aku bangga menjadi orang Sunda yang akan memperkaya budaya Indonesia”) dan kepercayaan agama, sebagai modal keanekaragaman “tamansari” bangsa Indonesia menuju kejayaan.

REKOMENDASI:
Pertama: Tiba saatnya bagi bangsa Indonesia untuk memajukan budaya nasional yang melepaskan diri dari “nina bobo” negara yang kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya melarat.
Kedua: Terpulang pada kita semua, terutama para pimpinan, apakah bangsa Indonesia mampu menanam budaya nasional yang berakar kuat dari keanekaragaman budaya daerah untuk menuai peluang-peluang globalisasi di masa kini dan masa datang.

PUSTAKA:

A. Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas

Juwono Sudarsono. 2004. Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Budaya. Kompas, 29 Maret 2004.
Michael J. Bonnel. 1997. Why Are We Poor?. www.mikebonnell.com

Sobirin. 2007. Kearifan Lokal Keselamatan Tatar Sunda. Saresehan BIGS, Pusat Kebudayaan Perancis (CCF), Perkumpulan Inisiatif, Pusat Sumber Daya Komunitas.

Read More..