Saturday, August 30, 2008

GALI HABIS JUAL MURAH

Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Etika Lingkungan
Artikel untuk: Majalah Dinas Pertambangan-Energi, Prov.Jabar.
Foto: mimundo-jamesrodriguez.blogspot.com
Oleh: SOBIRIN

Degradasi lingkungan yang saat ini terjadi di hampir seluruh muka bumi sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, tetapi lebih disebabkan oleh ketimpangan antara sistem produksi, sistem ekonomi, dan sistem ekologi.



Sistem produksi dirancang hanya untuk memuaskan sistem ekonomi, dan sistem ekonomi dirancang tanpa memperhitungkan daya dukung dan daya tampung bumi. Tindakan tersebut menjurus ke arah eksploitasi sumber daya alam secara boros dan tidak terbatas, yang dampaknya menimbulkan kehancuran lingkungan dan kemiskinan di berbagai belahan dunia.

Sumber daya alam merupakan unsur utama bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Ketiadaan sumber daya akan berdampak sangat besar bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa sumber daya alam adalah modal utama untuk memenuhi kepuasan hidup manusia.


Gali Habis Jual Murah

Sumber daya alam dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu sumber daya alam terbarukan dan sumber daya alam tidak terbarukan. Sumber daya alam terbarukan atau renewable memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, misalnya hutan, ikan di laut, dan sejenisnya. Sedangkan sumber daya alam tidak terbarukan atau depletable yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, misalnya bahan tambang emas, minyak, dan sejenisnya. Sumber daya alam yang tidak terbarukan ini sering disebut sebagai sumber daya alam dengan cadangan tetap. Upaya eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan ini seharusnya terkendali dan seharusnya dihitung dan dibatasi agar sejumlah cadangan tidak boleh lagi dieksploitasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.


Berdasar sejarah, eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan ini memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar hanya bagi pelaku eksploitasi. Sebaliknya hanya memberikan manfaat sekedarnya, bahkan meninggalkan kerusakan ekosistem yang sangat parah dan kesengsaraan bagi masyarakat. Saat ini, baik di Jawa Barat maupun di seluruh Indonesia, pengelolaan sumber daya alam cenderung berkonsep “gali habis jual murah”, tanpa memperhatikan konsep konservasi, konsep mempertahankan cadangan, dan konsep subsitusi untuk kehidupan generasi yang akan datang.


Kita masih di”nina-bobok”kan oleh slogan Jawa Barat yang kaya raya, Indonesia yang kaya raya, gemah ripah repeh rapih loh jinawi. Padahal emas, batu bara, panas bumi, minyak bumi, dan sejenisnya yang masih terkandung di dalam bumi dan belum dimanfaatkan oleh manusia sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai sumber daya. Bahan-bahan tersebut masih disebut sebagai barang netral alami yang tersimpan di dalam bumi (Fauzi, 2004). Sesuatu dapat dikatakan sebagai sumber daya bila memenuhi beberapa kriteria, antara pertama harus ada teknologi dan modal untuk mengeksploitasi dan memanfaatkannya, dan kedua harus ada permintaan terhadap sumber daya tersebut. Bila kriteria-kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu tersebut adalah hanya barang netral belaka. Barulah bila teknologi telah tersedia, dan permintaan telah ada, maka sesuatu yang terkandung dalam bumi tersebut dapat dinamakan sebagai sumber daya. Sayang sekali teknologi dan modal yang kita miliki belum mampu mengimbangi kekayaan alam kita, sehingga akhirnya kekayaan alam kita lebih banyak dikuasai pihak asing, yang dalam pelaksanaan eksploitasinya tidak pernah memperhatikan keberlanjutan lingkungan.


Pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar akan meningkatkan kesejahteraan manusia, sebaliknya pengelolaan yang buruk akan menghancurkan kehidupan manusia dan masa depannya. Oleh sebab itu, pola pengelolaan sumber daya alam menjadi persoalan mendasar agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam itu sendiri. Filosofi pola pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar adalah mencari solusi seberapa besar batasan sumber daya alam yang boleh dieksploitasi, agar optimal dan menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia, tanpa harus mengorbankan kerusakan lingkungan dan kehidupan masa depan.


Pola pengelolaan sumber daya alam juga terkait kepada aspek kelembagaan yang harus mampu mengendalikan dan membatasi eksploitasi sumber daya alam dan menentukan jenis teknologi yang digunakan. Bila aspek kelembagaan ini tidak berfungsi dengan baik, maka sumber daya alam akan habis terkuras tanpa memberi manfaat bagi masyarakat dan negara.


Sumber daya alam berperan menghasilkan kepuasan bagi manusia. Sebagian harus melalui proses produksi untuk menghasilkan kepuasan, namun sebagian tidak perlu melalui proses produksi dan langsung dapat menghasilkan kepuasan, misalnya kawasan pegunungan yang memiliki pemandangan indah yang langsung dapat dinikmati oleh manusia. Situasi saat ini yang sangat memprihatinkan adalah eksploitasi yang melampaui batas terhadap berbagai sumber daya alam yang seharusnya dapat langsung dimanfaatkan tanpa harus melalui proses produksi, misalnya kawasan batu gamping karst dengan gua-gua alaminya yang dihancurkan sekedar mengambil batu gamping sebagai bahan bangunan.

M.T. Zen (1998) mengatakan bahwa tidak peduli di negara berkembang atau di negara miskin, proses industri selalu membutuhkan bahan-bahan dasar dari sumber daya alam yang proses penambangannya tidak terkendali dan berdampak pada kehancuran ekosistem. Proses penambangan selalu membawa akibat buruk terhadap alam sekitarnya. Untuk mendapatkan 10 gram emas guna sebentuk kecil cincin kawin, sebanyak kira-kira 3,5 ton batu-batuan harus dihancurkan dalam usaha penambangannya. Ini yang disebut sebagai beban pikulan atau rangsel ekologi sebagai dampak eksploitasi penambangan bahan galian (Schmidt-Bleek dan Weiszacker, 1995).


Malthusian versus Ricardian

Fauzi (2004) menguraikan dua mazab yang berbeda sudut pandang terhadap pemahaman pengelolaan sumber daya alam, yaitu pandangan konservatif dan pandangan eksploitatif. Pertama: pandangan konservatif atau sering disebut dengan pandangan pesimistis perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini, resiko terkurasnya sumber daya alam menjadi perhatian utama. Sumber daya alam harus dimanfaatkan secara berhati-hati dan benar-benar diperhitungkan, karena generasi mendatang juga membutuhkannya untuk keberlanjutan kehidupan mereka. Mazab Malthusian berpendapat bahwa sumber daya alam yang terbatas dan dieksploitasi secara tidak terkendali dipastikan tidak akan mampu mendukung kebutuhan penduduk yang tumbuh sangat pesat, apalagi untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Produksi sumber daya alam dalam hitungan output per pakita akan terus mengalami kecenderungan penurunan, dan standar kehidupan juga akan terus menurun terutama bagi bangsa yang lemah. Pada giliran berikutnya akan menyebabkan terjadinya konflik perebutan atas sumber daya alam.
Kedua: pandangan eksploitatif atau sering disebut sebagai pandangan perspektif Ricardian. Sumber daya alam dianggap sebagai mesin pertumbuhan yang pada gilirannya akan menghasilkan kepuasan dan kesejaheraan bagi manusia. Keterbatasan sumber daya alam dianggap dapat direkayasa dengan cara intensifikasi (eksploitasi secara intensif) dan ekstensifikasi (mencari sumber daya alam yang belum dieksploitasi). Bila perlu untuk mengurangi laju deplesi diupayakan menciptakan sumber daya substitusi.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran tentang etika lingkungan, Sonny Keraf (2002) menguraikan tentang 3 (tiga) model teori etika lingkungan sebagai rambu-rambu pemanfaatan sumber daya alam, yaitu dikenal sebagai shallow environmental ethics (antroposentrisme), intermediate environmental ethics (biosentrisme), dan deep environmental ethics (ekosentrisme).


Antroposentrisme adalah etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Nilai tertinggi adalah manusia beserta kepentingannya, dan alam dilihat hanya sebagai obyek pemenuhan kebutuhan manusia. Sumber daya alam dieksploitasi demi untuk memuaskan kehidupan manusia. Penyelamatan lingkungan yang dilakukan oleh kaum antroposentrisme hanya sekedar tindakan agar alam bisa lebih dieksploitasi lagi.


Biosentrisme adalah etika lingkungan yang menganggap bahwa setiap makhluk hidup dan kehidupan di alam ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan diselamatkan, terlepas memiliki hubungan nilai bagi manusia atau tidak.


Ekosentrisme adalah etika lingkungan yang memusatkan etika dan tanggung jawab moral kepada seluruh komunitas ekologis, baik makhluk hidup maupun benda-benda abiotis yang tidak hidup, karena masing-masing terkait satu dengan yang lainnya dalam satu ekosistem.

Mazab Malthusian yang sangat berhati-hati dalam pemanfaatan sumber daya alam bisa dikorelasikan dengan etika lingkungan ekosentrisme yang memiliki tanggung jawab moral kepada seluruh komunitas ekologis. Sedangkan mazab Ricardian yang sangat eksploitatif dapat dikorelasikan dengan etika lingkungan antroposentrisme yang memandang alam hanya sebagai obyek pemuas manusia.


Ekologi Berkelanjutan


Mazab Malthusian dan etika lingkungan ekosentrisme perlu dimanfaatkan sebagai dasar pola pengelolaan sumber daya alam baik di Jawa Barat maupun di Indonesia. Sumber daya alam bukannya tidak boleh dieksploitasi. Tentu saja boleh, bahkan sangat perlu, asal memenuhi persyaratan 3 P yaitu for prosperity (untuk pertumbuhan ekonomi), for people (untuk kesejahteraan rakyat), for planet (untuk ekologi yang berkelanjutan).

Istilah ekologi berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan dan banyak istilah berkelanjutan-berkelanjutan yang lain, sebaiknya jangan hanya sekedar slogan belaka. Bilamana perlu di lakukan redefinisi, asal didasarkan kepada konsep Komisi Brundtland, PBB (1987) yang mengatakan: “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.

Fauzi (2004) mengelaborasi konsep berkelanjutan dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam dengan beberapa pengertian. Keberlanjutan adalah suatu kondisi jika kebutuhan dan konsumsi yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan pemanfaatan di masa mendatang. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola untuk menciptakan manfaat jasa tanpa harus mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Keberlanjutan adalah kondisi di mana keseimbangan daya dukung, daya tampung, dan daya tahan ekosistem terpenuhi.

Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, pada akhirnya akan berdampak negatif kepada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan terkait satu dengan yang lain dalam satu sistem ekologi yang bersifat senstif dan memiliki daya dukung sangat terbatas. Dalam buku yang sangat populer, yaitu The Limit to Growth yang ditulis oleh Meadow et al (1972), dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang akan dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam.


Manusia tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyangnya. Manusia hanya meminjam bumi ini dari generasi yang akan datang. Eksploitasi sumber daya alam, perlu memperhatikan konsep konservasi, konsep mempertahankan cadangan, dan konsep subsitusi untuk kehidupan generasi yang akan datang.

Pustaka

Adjat Sudradjat. 2007. Otonomi Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pengembangan Masyarakat. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Bandung.


Akhmad Fauzi. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Penerbit PT Garmedia Pustaka Utama.


Kusnaka Adimihardja. 2007. Membangun Kapabilitas Manajemen Lingkungan Industri Pertambangan. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Larry Gonick and Alice Outwater. 1996. The Cartoon Guide to the Environment. Kartun Lingkungan. KPG, Kepustakaan Populer Gramedia. 2004.


M.T.Zen. 1998. Kontrak Ekologik. Untuk mencapai Keadilan Sosial dan Sistem Ekologik yang Berlanjut. Makalah untuk Dewan Riset Nasional.

Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Editor: T. Jakob Koekerits, Tri Marganingsih. Penerbit Buku Kompas. PT Kompas Media Nusantara.

Read More..