Wednesday, November 05, 2008

KONSERVASI KAWASAN HULU SUNGAI DI JABAR

CURUG JOMPONG PENAHAN SEDIMENTASI SAGULING
KOMPAS, Jawa Barat, 04-11-2008, REK/ELD
Foto: Sobirin 2006, Curug Jompong, Citarum
"Pemprov Jabar dan Departemen PU harus menyadari bahwa penyebab utama banjir ialah gundulnya hutan di kawasan hulu. Pemapasan Curug Jompong hanya akan merusak lingkungan dan mengakibatkan sedimentasi lebih cepat di Waduk Saguling," ujar Sobirin.


Bandung, Kompas -
Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus melakukan upaya konservasi kawasan hulu sungai untuk mencegah banjir dan longsor dalam jangka panjang. Sementara untuk mengantisipasi dampak bencana alam di sejumlah daerah pada musim hujan ini telah disiapkan pasokan pangan dari Badan Urusan Logistik dan alat-alat berat dari Dinas Bina Marga.


Hal itu ditegaskan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Bandung Senin (3/11). Ia mengakui, konservasi di kawasan hulu memerlukan waktu cukup lama. Maka, penanganan cepat adalah menyediakan kebutuhan bagi korban bencana. Aturannya, Gubernur bisa meminta Bulog mengeluarkan pasokan beras bila terjadi keadaan darurat.


Saat ini ada sekitar 200 ton beras yang disiapkan Bulog sebagai antisipasi dampak bencana di Jabar. Sejumlah alat berat pun, kata Heryawan, telah disiapkan oleh Dinas Bina Marga. "Karung-karung pasir, jembatan bailley, alat pemompa air, dan alat-alat pengeruk telah disiapkan provinsi untuk menghadapi banjir," kata Heryawan.


Dalam waktu dekat, Gubernur akan membentuk tim ad hoc penanganan bencana banjir yang terdiri dari lintas dinas dan sejumlah instansi, antara lain Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas Sosial, Bulog, dan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam. Setiap bupati dan wali kota juga diharapkan menyiapkan sistem mitigasi bencana secara mandiri.


Anggota Forum Daerah Aliran Sungai Citarum Koordinasi Wilayah Bandung Selatan Agus Suherman mengatakan, pihaknya sedang menyosialisasikan warga untuk bersiap menghadapi banjir. "Kami juga menyiapkan lima perahu dan sejumlah pelampung bila banjir terjadi, katanya.


Hal senada diungkapkan Camat Baleendah Ruli Hadiana. Pemerintah Kabupaten Bandung berkoordinasi dengan daerah langganan banjir untuk mengantisipasi kebutuhan untuk tanggap darurat. Kebutuhan tersebut seperti makanan atau perahu untuk evakuasi warga.


Sementara itu, Kepala Unit III Perum Perhutani Jabar Banten Mohamad Komarudin menjelaskan, daerah hulu Sungai Citarum, seperti di Kecamatan Kertasari, umumnya dalam kondisi baik. Seluruh lahan kritis sudah selesai dihijaukan.


"Sebulan sebelumnya, kami sudah menginformasikan kepada seluruh camat mengenai daerah yang rawan bencana seperti longsor. Namun, kebanyakan berjauhan dari permukiman penduduk," kata Komarudin.


Pertahankan Curug Jompong


Secara terpisah, anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, penanganan bencana banjir di Bandung selatan sebaiknya tidak dilakukan dengan menurunkan ketinggian Curug Jompong atau membuat sudetan sungai baru.


"Pemprov Jabar dan Departemen Pekerjaan Umum harus menyadari bahwa penyebab utama banjir ialah gundulnya hutan di kawasan hulu. Pemapasan Curug Jompong hanya akan merusak lingkungan dan mengakibatkan sedimentasi lebih cepat di Waduk Saguling," ujar Sobirin.


Untuk mencegah banjir serupa pada masa mendatang, Sobirin mengimbau seluruh pemerintah daerah dan masyarakat berkoordinasi mengonservasi kawasan hulu. Perilaku masyarakat yang kurang memerhatikan lingkungan, kata Sobirin, merupakan faktor utama terjadinya bencana.


Sebelumnya, Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jabar Iding Srihadi mengungkapkan, rekayasa di Curug Jompong adalah solusi yang tidak bisa dihindari dengan tujuan mengurangi lama genangan. Selama ini rekayasa fisik, seperti normalisasi sungai, hanya efektif mengurangi luas genangan.
Curug Jompong di Kecamatan Margaasih merupakan pemberhentian terakhir air Sungai Citarum sebelum masuk Saguling. (REK/ELD)

Read More..

PENGELOLAAN EKOWISATA TAK OPTIMAL

HARUS PERTAHANKAN FUNGSI LINDUNG
KOMPAS, Jawa Barat, 03-11-2008, GRE

Foto: www.dephut.go.id/ www.lintasdaerah.com

Anggota DPKLTS, Sobirin, mengingatkan, kawasan Perhutani yang dijadikan ekowisata pada hakikatnya adalah hutan lindung. Oleh karena itu, setiap rancang bangun yang diajukan harus tetap menjaga ekosistem lingkungan terutama resapan air bagi wilayah di bawahnya.



Bandung, Kompas -
Pengelolaan ekowisata atau wisata hutan di area Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten belum optimal. Padahal, di tengah krisis ekonomi global yang turut mengancam harga komoditas kayu, sektor ekowisata diyakini tidak akan terpengaruh dan tetap berpotensi.
Hingga September 2008, pendapatan Perum Perhutani Unit III dari sektor wisata baru Rp 11,5 miliar atau 3 persen dari total pendapatan tahun 2008 sebesar Rp 386 miliar.

Kepala Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten Mohamad Komarudin mengakui, dalam beberapa tahun ke depan, sektor ekowisata dapat diandalkan untuk mendongkrak pemasukan Perhutani. "Kami telah memulai beberapa kerja sama untuk mengembangkan kawasan wisata terpadu dengan sejumlah investor dalam negeri. Para investor itu berminat mengelola lahan Perhutani menjadi kawasan ekowisata," ujarnya di kawasan wisata Resor Gunung Patuha, Bandung selatan, Jumat (31/10).


Pemasukan Perhutani dari sektor ekowisata sebenarnya meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2007. Berdasarkan data Kompas, pendapatan Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten hingga periode yang sama 2007 mencapai Rp 6,89 miliar.


Beberapa investasi yang dikembangkan Perhutani di antaranya pembangunan kawasan wisata hutan di Ranca Upas seluas 5.000 hektar senilai Rp 25 miliar. Selain itu, telah dibangun pula hunian sewaan yang dipadu dengan wisata alam di wilayah Cikole, Kabupaten Bandung, dengan nilai investasi Rp 35 miliar.


Sejumlah obyek wisata andalan Perhutani antara lain Carita, Banten; Curug Cilember, Bogor; Penangkaran Buaya Blanakan, Subang; Tangkubanparahu, Bandung utara; dan Resor Gunung Patuha, Bandung selatan.

Fungsi dipertahankan


Dihubungi terpisah, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengingatkan, kawasan Perhutani yang dijadikan ekowisata pada hakikatnya adalah hutan lindung. Oleh karena itu, setiap rancang bangun yang diajukan harus tetap menjaga ekosistem lingkungan terutama resapan air bagi wilayah-wilayah di bawahnya.


Menanggapi hal itu, Komarudin mengatakan, perjanjian kontrak investasi ekowisata di area Perhutani berlaku sekitar 10 tahun, dengan klausul perpanjangan kontrak. Kendati demikian, lanjutnya, pihak Perhutani tidak akan sembarangan menerima proposal investasi untuk menjadikan wilayah hutan menjadi kawasan wisata.

Komarudin menambahkan, selama ini Perhutani mendapat sekitar 30 persen dari keuntungan tempat wisata. Namun, ia mengakui, beberapa kawasan wisata masih menemui kendala, khususnya terkait akses transportasi. "Jalan menuju area Ciwidey masih sempit dan minim penerangan. Kondisi ini kerap dikeluhkan pengunjung," ungkapnya
.

Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia Jabar Herman Rukmanandi berpendapat, kondisi ekowisata di Jabar saat ini belum layak jual. Kondisi ini terutama berkaitan dengan sarana dan prasarana yang belum memadai.
"Ekowisata di Jabar sebenarnya sangat berpotensi. Namun, bagaimana kami berani menawarkan ke wisatawan asing jika kondisi infrastruktur jalan belum layak. Selain itu, juga belum ada resor yang sarananya lengkap, setidaknya tidak membuat wisatawan repot," ujar Herman. (GRE)

Read More..

Sunday, November 02, 2008

HUJAN SEHARIAN, BANDUNG DILANDA BANJIR

KOMPAS, Minggu, 02-11-2008, MHF
Gambar: Sobirin 2008 (modifikasi: www.placer.ca.gov)

Anggota DPKLTS, Sobirin, mengatakan, sebanyak 75 persen drainase Kota Bandung telah beralih fungsi. Sebagian dijadikan tempat sampah, tertutup warung pedagang kaki lima, dan ada yang menyempit karena pembangunan rumah.



Bandung, Kompas -
Hujan yang mengguyur Kota Bandung sejak pagi hingga sore, Sabtu (1/11), menyebabkan banjir. Meskipun hujan tidak deras, drainase yang buruk mengakibatkan beberapa ruas jalan di kota tersebut terendam air dengan ketinggian hingga 40 sentimeter.


Banjir ”cileuncang”, istilah untuk banjir yang disebabkan oleh drainase yang amburadul, itu antara lain terjadi di Jalan Viaduct, Sudirman, Laswi, Martanegara, Lengkong Besar, dan Dago. Air hujan yang tidak tertampung di selokan menutupi badan jalan.

Mobil dan sepeda motor yang melaju di kawasan tersebut pun dengan sendirinya harus berhati-hati sehingga kemacetan tak terhindari.
Untuk memperlancar aliran air, warga di Jalan Lengkong Besar kemarin beramai-ramai membersihkan selokan. Sebagian warga menyodok-nyodok saluran air dan sebagian lainnya mengangkat sampah dari selokan. Ini menjadi aktivitas rutin warga selama musim hujan.

”Wah, Bandung sudah tidak nyaman lagi. Hujan baru sehari sudah banjir begini. Masak setiap musim hujan warga harus disuguhi banjir,” kata Maman Abdurhaman (45), warga Ciroyom, yang sedang mengendarai sepeda motor dan terjebak kemacetan di Jalan Lengkong Besar.

Belum bisa bebas banjir


Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Rusjaf Adimenggala mengakui, Kota Bandung belum bisa bebas banjir cileuncang karena sistem drainasenya memang masih parsial. Bahkan, Kota Bandung belum memiliki sistem drainase yang menyatu sehingga aliran air pun tidak sempurna.


”Saat ini kami belum memiliki masterplan (rencana induk) drainase. Sistem drainase Kota Bandung masih kacau,” kata Rusjaf menambahkan. Kondisi tersebut, lanjutnya, diperparah oleh perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan.

Ribuan warga yang tinggal di tepi Sungai Cikapundung, misalnya, membuang sampah ke sungai.
Di sisi lain, tidak sedikit warga yang senang membuang sampah ke selokan, sedangkan pedagang di pasar tumpah kerap membiarkan sampahnya begitu saja di lapangan dan akhirnya terseret ke selokan saat hujan.

Berdasarkan data Perusahaan Daerah Kebersihan Bandung, dari sampah 7.500,58 meter kubik per hari, sebesar 20 persen di antaranya dibuang ke sungai dan saluran air.
Saat ini, kata Rusjaf, Dinas Bina Marga dan Pengairan belum dapat memperbaiki drainase secara menyeluruh. Yang bisa dilakukan sebatas perawatan dan penanganan jangka pendek saat banjir cileuncang datang.

Menanggapi banjir tersebut, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, sebesar 75 persen drainase Kota Bandung telah beralih fungsi. Sebagian dijadikan tempat sampah, tertutup warung pedagang kaki lima, dan ada yang menyempit karena pembangunan rumah. Tak kurang dari 46 sungai di Kota Bandung mati dan menjadi tempat sampah. Padahal, sungai berfungsi sebagai drainase primer yang menampung aliran air hujan. (MHF)

Read More..