Pikiran Rakyat, 26 Desember 2009, Ag. Tri Joko Her Riadi
Foto: itb.ac.id
Menurut anggota DPKLTS Sobirin, pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, perlu terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman, mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif," ujarnya.
Tidak sampai satu kilometer dari kompleks instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) di Jln. Cikoneng, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung, belasan orang sibuk bekerja menimbun bekas kolam-kolam ikan. Sebagian dari mereka menurunkan batu dari bak truk, sebagian menurunkan pasir, sebagian lagi meratakan tanah dengan stoom kecil. Lahan itu lumayan luas, menghampar di kanan dan kiri jalan.
Permukiman-permukiman baru terus merangsek mendekati instalasi di areal seluas 85 hektare itu dalam beberapa tahun belakangan. Banyak kolam dan sawah di sekitar IPAL berubah menjadi bangunan. "Makin banyak rumah dibangun di sini. Harga tanah juga menjadi makin mahal," kata Heri Herdiwan, warga setempat yang menjadi staf di IPAL Bojongsoang, Rabu (16/12) lalu.
IPAL tempat mengolah limbah cair warga Kota Bandung ini memang ada di wilayah administratif Kabupaten Bandung. Produksi air pasca 1`pengolahannya pun hampir semua mengalir ke daerah tetangga tersebut. Sebagian dialirkan ke Sungai Citarum, sebagian yang lain dimanfaatkan para petani di sekitar kompleks untuk bertani dan beternak ikan. Perbedaan wilayah administratif inilah yang rentan memunculkan masalah jika tidak dikelola dengan baik.
Betty Wediawati, Kepala Bagian Pengolahan Air Limbah PDAM Kota Bandung, mengaku khawatir melihat permukiman yang menjamur di sekitar IPAL. Meski limbah domestik relatif tidak seberbahaya limbah berkategori B3 (bahan berbahaya dan beracun), bumper area (wilayah penahan) tetaplah diperlukan. "Jika permukiman dibiarkan terus mendekat, dikhawatirkan akan muncul masalah di kemudian hari. Bisa berupa keluhan bau atau pencemaran air tanah yang ujung-ujungnya bisa mengganggu keberadaan IPAL ini sendiri. Padahal, instalasi ini yang lebih dulu ada," ucapnya.
Menurut Betty, selama ini PDAM Kota Bandung telah menjalin komunikasi dengan Pemkab Bandung terkait dengan keberadaan IPAL mereka di kabupaten tersebut. Bahkan muncul wacana untuk segera menjadikan IPAL ini sebagai muara akhir limbah cair domestik warga Kab. Bandung.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, topografi cekungan Bandung mensyaratkan pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, secara terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan yang kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif secara seimbang," ujarnya.
Persoalan tata ruang, menurut Sobirin, mesti mendapat perhatian serius. Berkaca dari pengalaman di berbagai tempat, berbagai persoalan lingkungan kerap terjadi akibat lemahnya penegakan aturan tata ruang. "Sebelum imbas buruknya meluas, pemerintah kedua daerah sebaiknya segera mencari kata mufakat soal ini," katanya.
**
Kehadiran IPAL di Bojongsoang diikuti dengan berbagai perubahan lingkungan di sekitarnya. Dari wilayah pertanian yang tandus, areal di sekitar instalasi berubah menjadi sawah dan kolam ikan yang produktif. Penyebabnya, air dari instalasi ini dapat diandalkan ketika kemarau panjang datang. PDAM mengklaim tidak kurang dari seratus hektare areal pertanian memanfaatkan air olahan IPAL.
Memasuki usia tujuh belas tahun, berbagai persoalan serius mulai menghadang instalasi ini. Mendekatnya permukiman hanyalah salah satu soal. Menurunnya kemampuan peranti pengolahan akibat usia adalah lain soal. Program revitalisasi pun dicanangkan. Rencananya, projek ini akan berjalan lewat APBD tahun depan. "Untuk merevitalisasi peranti mekanik dan elektrik, dana minimal Rp 2 miliar harus disediakan," ujar Betty.
Selain persoalan peranti yang sudah berumur, instalasi juga bermasalah dengan beranekaragam jenis sampah padat yang menyerbu saringan. Selain sampah plastik, ada juga tanaman eceng gondok dan kayambang. Setiap pekan, terkumpul dua hingga tiga bak truk.
Banyaknya sampah yang menyerbu IPAL terjadi akibat kebiasaan buruk masyarakat sekitar. Sampah dibuang di saluran terbuka sepanjang lima kilometer antara areal IPAL dan tol Buah Batu, tempat air kotor dimuntahkan dari pipa. "Masuknya sampah bisa sangat merepotkan. Selain berpotensi merusak peranti, sampah juga dapat mengganggu proses penguraian zat pencemar," ujar Betty.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung Atih Witartih mengungkapkan, pihaknya secara rutin melakukan pemeriksaan produk IPAL, setidaknya tiga kali setahun. "Hasilnya bervariasi. Kadang sudah sesuai dengan baku mutu, tetapi kadang air yang masuk ke sungai masih mengandung beberapa kandungan zat pencemar dalam porsi berlebih," katanya.
Instalasi yang dibangun dengan dana miliaran rupiah pada 1992 ini terus menuntut penggelontoran uang untuk biaya perawatan. Untuk bayar listrik saja misalnya, dibutuhkan dana Rp 20 juta per bulannya. Belum lagi tahun depan gelontoran limbah cair dari wilayah barat akan ikut masuk. Biaya operasional bakal lebih besar lagi.
Menurut pakar rekayasa air dan limbah cair ITB Marisa Handajani, berbagai tuntutan dana operasional yang tak sedikit inilah yang kerap merepotkan. Pasalnya, pendapatan lewat layanan air kotor tidak sebanyak air bersih. "Akibatnya, banyak persoalan turunan tak terselesaikan secara tuntas dengan alasan cekaknya biaya," katanya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***
Read More..
Foto: itb.ac.id
Menurut anggota DPKLTS Sobirin, pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, perlu terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman, mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif," ujarnya.
Tidak sampai satu kilometer dari kompleks instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) di Jln. Cikoneng, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung, belasan orang sibuk bekerja menimbun bekas kolam-kolam ikan. Sebagian dari mereka menurunkan batu dari bak truk, sebagian menurunkan pasir, sebagian lagi meratakan tanah dengan stoom kecil. Lahan itu lumayan luas, menghampar di kanan dan kiri jalan.
Permukiman-permukiman baru terus merangsek mendekati instalasi di areal seluas 85 hektare itu dalam beberapa tahun belakangan. Banyak kolam dan sawah di sekitar IPAL berubah menjadi bangunan. "Makin banyak rumah dibangun di sini. Harga tanah juga menjadi makin mahal," kata Heri Herdiwan, warga setempat yang menjadi staf di IPAL Bojongsoang, Rabu (16/12) lalu.
IPAL tempat mengolah limbah cair warga Kota Bandung ini memang ada di wilayah administratif Kabupaten Bandung. Produksi air pasca 1`pengolahannya pun hampir semua mengalir ke daerah tetangga tersebut. Sebagian dialirkan ke Sungai Citarum, sebagian yang lain dimanfaatkan para petani di sekitar kompleks untuk bertani dan beternak ikan. Perbedaan wilayah administratif inilah yang rentan memunculkan masalah jika tidak dikelola dengan baik.
Betty Wediawati, Kepala Bagian Pengolahan Air Limbah PDAM Kota Bandung, mengaku khawatir melihat permukiman yang menjamur di sekitar IPAL. Meski limbah domestik relatif tidak seberbahaya limbah berkategori B3 (bahan berbahaya dan beracun), bumper area (wilayah penahan) tetaplah diperlukan. "Jika permukiman dibiarkan terus mendekat, dikhawatirkan akan muncul masalah di kemudian hari. Bisa berupa keluhan bau atau pencemaran air tanah yang ujung-ujungnya bisa mengganggu keberadaan IPAL ini sendiri. Padahal, instalasi ini yang lebih dulu ada," ucapnya.
Menurut Betty, selama ini PDAM Kota Bandung telah menjalin komunikasi dengan Pemkab Bandung terkait dengan keberadaan IPAL mereka di kabupaten tersebut. Bahkan muncul wacana untuk segera menjadikan IPAL ini sebagai muara akhir limbah cair domestik warga Kab. Bandung.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, topografi cekungan Bandung mensyaratkan pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, secara terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan yang kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif secara seimbang," ujarnya.
Persoalan tata ruang, menurut Sobirin, mesti mendapat perhatian serius. Berkaca dari pengalaman di berbagai tempat, berbagai persoalan lingkungan kerap terjadi akibat lemahnya penegakan aturan tata ruang. "Sebelum imbas buruknya meluas, pemerintah kedua daerah sebaiknya segera mencari kata mufakat soal ini," katanya.
**
Kehadiran IPAL di Bojongsoang diikuti dengan berbagai perubahan lingkungan di sekitarnya. Dari wilayah pertanian yang tandus, areal di sekitar instalasi berubah menjadi sawah dan kolam ikan yang produktif. Penyebabnya, air dari instalasi ini dapat diandalkan ketika kemarau panjang datang. PDAM mengklaim tidak kurang dari seratus hektare areal pertanian memanfaatkan air olahan IPAL.
Memasuki usia tujuh belas tahun, berbagai persoalan serius mulai menghadang instalasi ini. Mendekatnya permukiman hanyalah salah satu soal. Menurunnya kemampuan peranti pengolahan akibat usia adalah lain soal. Program revitalisasi pun dicanangkan. Rencananya, projek ini akan berjalan lewat APBD tahun depan. "Untuk merevitalisasi peranti mekanik dan elektrik, dana minimal Rp 2 miliar harus disediakan," ujar Betty.
Selain persoalan peranti yang sudah berumur, instalasi juga bermasalah dengan beranekaragam jenis sampah padat yang menyerbu saringan. Selain sampah plastik, ada juga tanaman eceng gondok dan kayambang. Setiap pekan, terkumpul dua hingga tiga bak truk.
Banyaknya sampah yang menyerbu IPAL terjadi akibat kebiasaan buruk masyarakat sekitar. Sampah dibuang di saluran terbuka sepanjang lima kilometer antara areal IPAL dan tol Buah Batu, tempat air kotor dimuntahkan dari pipa. "Masuknya sampah bisa sangat merepotkan. Selain berpotensi merusak peranti, sampah juga dapat mengganggu proses penguraian zat pencemar," ujar Betty.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung Atih Witartih mengungkapkan, pihaknya secara rutin melakukan pemeriksaan produk IPAL, setidaknya tiga kali setahun. "Hasilnya bervariasi. Kadang sudah sesuai dengan baku mutu, tetapi kadang air yang masuk ke sungai masih mengandung beberapa kandungan zat pencemar dalam porsi berlebih," katanya.
Instalasi yang dibangun dengan dana miliaran rupiah pada 1992 ini terus menuntut penggelontoran uang untuk biaya perawatan. Untuk bayar listrik saja misalnya, dibutuhkan dana Rp 20 juta per bulannya. Belum lagi tahun depan gelontoran limbah cair dari wilayah barat akan ikut masuk. Biaya operasional bakal lebih besar lagi.
Menurut pakar rekayasa air dan limbah cair ITB Marisa Handajani, berbagai tuntutan dana operasional yang tak sedikit inilah yang kerap merepotkan. Pasalnya, pendapatan lewat layanan air kotor tidak sebanyak air bersih. "Akibatnya, banyak persoalan turunan tak terselesaikan secara tuntas dengan alasan cekaknya biaya," katanya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***