KOMPAS.com, 26 Maret 2011, Sandro Gatra – Asep Candra
http://m.kompas.com/news/read/data/2011.03.26.0821295
Foto: komhukum.com/ Citarum Kotor
Demikian dikatakan Dadan Ramdan aktivis Walhi Jawa Barat, Sobirin anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang dengan Kompas.com di Bandung.
BANDUNG, KOMPAS.com - Penegakkan hukum terhadap perusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum dinilai tak berjalan. Pembiaran oleh pihak-pihak yang seharusnya menindak dinilai terus terjadi selama belasan tahun hingga kondisi Sungai Citarum memprihatinkan.
Demikian dikatakan Dadan Ramdan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Sobirin Supardiyono, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang-bincang dengan Kompas.com di Bandung.
Dadan mengatakan, sekitar 500 pabrik berdiri di beberapa daerah di hulu Citarum. Mayoritas adalah pabrik tekstil. Dari seluruh pabrik yang berdiri, kata dia, hanya 20 persen yang mengolah limbah melalui Instalasi Pengolah Air Limbah (Ipal). "Sisanya dibuang ke sub-sub DAS yang larinya ke Citarum," ucap dia. Walhi, kata Dadan, pernah mendampingi tiga kasus pencemaran serius di Rancaekek, Majalaya, dan Saguling. Namun, tambah dia, tidak ada satu pun kasus itu yang masuk ke pengadilan. "Artinya penegakkan hukum untuk penjahat lingkungan sangat lemah," lontarnya.
"Komunitas peduli lingkungan berkali-kali laporkan pencemaran ke Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat. Tapi mereka tidak pernah melakukan penyelidikan secara serius. Mereka ke lapangan, tapi hasilnya disimpulkan tidak ada pencemaran. Padahal jelas-jelas kelihatan warna sungai berubah. Kepolisian tidak bisa lakukan apa-apa," tambahnya.
Sobirin mengatakan, kebanyakan langkah dari BPLHD hanya memberikan teguran kepada para pengusaha yang terbukti melanggar. "Hanya surat teguran. Diikutin boleh, ngga diikutin boleh," ucap dia. Akibat dari pembiaran atas laporan pencemaran, kata Sobirin, masyarakat semakin tak peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka. "Kini terjadi keputusasaan masyarakat. Ketika dia lapor tapi tidak ditanggapi, yah biarlah seperti ini," katanya.
Melihat pembiaran pencemaran sungai yang terus terjadi, Bachtiar mengatakan, "Kepala BPLHD bisa diajukan ke pengadilan,". Dadan, Sobirin, dan Bachtiar mencurigai adanya suap dari para pengusaha nakal kepada pihak-pihak yang seharusnya menindak. "Masalah selesai ketika ada sogok atau suap dari pihak pabrik," tegas Dadan. (Penulis: Sandro Gatra, Editor: Asep Candra)
Read More..
http://m.kompas.com/news/read/data/2011.03.26.0821295
Foto: komhukum.com/ Citarum Kotor
Demikian dikatakan Dadan Ramdan aktivis Walhi Jawa Barat, Sobirin anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang dengan Kompas.com di Bandung.
BANDUNG, KOMPAS.com - Penegakkan hukum terhadap perusakan lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Citarum dinilai tak berjalan. Pembiaran oleh pihak-pihak yang seharusnya menindak dinilai terus terjadi selama belasan tahun hingga kondisi Sungai Citarum memprihatinkan.
Demikian dikatakan Dadan Ramdan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Sobirin Supardiyono, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung, ketika berbincang-bincang dengan Kompas.com di Bandung.
Dadan mengatakan, sekitar 500 pabrik berdiri di beberapa daerah di hulu Citarum. Mayoritas adalah pabrik tekstil. Dari seluruh pabrik yang berdiri, kata dia, hanya 20 persen yang mengolah limbah melalui Instalasi Pengolah Air Limbah (Ipal). "Sisanya dibuang ke sub-sub DAS yang larinya ke Citarum," ucap dia. Walhi, kata Dadan, pernah mendampingi tiga kasus pencemaran serius di Rancaekek, Majalaya, dan Saguling. Namun, tambah dia, tidak ada satu pun kasus itu yang masuk ke pengadilan. "Artinya penegakkan hukum untuk penjahat lingkungan sangat lemah," lontarnya.
"Komunitas peduli lingkungan berkali-kali laporkan pencemaran ke Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat. Tapi mereka tidak pernah melakukan penyelidikan secara serius. Mereka ke lapangan, tapi hasilnya disimpulkan tidak ada pencemaran. Padahal jelas-jelas kelihatan warna sungai berubah. Kepolisian tidak bisa lakukan apa-apa," tambahnya.
Sobirin mengatakan, kebanyakan langkah dari BPLHD hanya memberikan teguran kepada para pengusaha yang terbukti melanggar. "Hanya surat teguran. Diikutin boleh, ngga diikutin boleh," ucap dia. Akibat dari pembiaran atas laporan pencemaran, kata Sobirin, masyarakat semakin tak peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka. "Kini terjadi keputusasaan masyarakat. Ketika dia lapor tapi tidak ditanggapi, yah biarlah seperti ini," katanya.
Melihat pembiaran pencemaran sungai yang terus terjadi, Bachtiar mengatakan, "Kepala BPLHD bisa diajukan ke pengadilan,". Dadan, Sobirin, dan Bachtiar mencurigai adanya suap dari para pengusaha nakal kepada pihak-pihak yang seharusnya menindak. "Masalah selesai ketika ada sogok atau suap dari pihak pabrik," tegas Dadan. (Penulis: Sandro Gatra, Editor: Asep Candra)