KOMPAS JAWA BARAT, Senin, 8 November 2004
Foto: Sobirin, 2005, Kawasan Bandung Utara
Bandung, Kompas –
Luas lahan kritis di Kota Bandung nmencapai 350 hektar. Lahan kritis itu terdapat di kawasan Punclut seluas 150 hektar, Dago Pakar 80 ha, Cimenyan 70 ha, dan sisanya tersebar di sisi kanan-kiri jalan raya di seluruh Kota Bandung yang luasnya 50 ha. Hal itu diungkapkan anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), S Sobirin, di Bandung, Minggu (7/11). Lahan kritis ini terutama disebabkan pembabatan hutan di daerah Cimenyan, Dago Pakar, dan Punclut yang termasuk Kawasan Bandung Utara (KBU). Tujuan pembabatan itu untuk pembangunan perumahan mewah. Walaupun sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, pada tahun 2002 sampai 2003, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tetap memberikan izin kepada tiga pengembang perumahan untuk membangun proyek perumahan pada lahan seluas 110 hektar (ha). Ketiga pengembang tersebut memiliki proyek di perbukitan Ciwangi, Ciburial, dan Cimenyan. Sobirin menegaskan, izin yang diberikan kepada pengembang tersebut merupakan bukti bahwa Pemkot Bandung tidak konsisten. Pembabatan hutan tersebut mengakibatkan unsur hara dengan mudah terbawa hujan deras sehingga lahan menjadi kritis. Untuk menanggulangi lahan kritis, menurut Sobirin, diperlukan tanaman perintis seperti avokad atau nangka disertai pemberian pupuk organik. Faktor lain yang menyebabkan lahan menjadi kritis, jelas Sobirin, adalah kemiringan tanah. Semakin curam sebidang tanah, semakin berisiko daerah tersebut menjadi lahan kritis. Sebab, unsur hara di lahan tersebut akan mudah tersapu hujan, apalagi bila di sana tidak ditumbuhi pepohonan.
Pengadaan bibit
Sobirin mengatakan, tumpang tindih perihal KBU dalam peraturan daerah (perda) juga menjadi kendala tersendiri dalam penanggulangan lahan kritis. Dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat disebutkan bahwa KBU berfungsi sebagai kawasan lindung. Sementara Perda Kabupaten Bandung Nomor 12 Tahun 2001 tentang RTRW Kabupaten Bandung mengategorikan KBU sebagai kawasan tertentu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, ujar Sobirin, seharusnya menciptakan perda yang mengatur agar fungsi KBU sebagai kawasan lindung tidak terganggu. Masyarakat di sekitar kawasan lindung, tutur Sobirin, juga harus diberdayakan secara ekonomi dengan usaha pengadaan bibit. Bibit yang ditanam masyarakat kemudian dibeli pemerintah daerah sehingga tercipta lapangan kerja sekaligus perbaikan lahan kritis. Sobirin mengatakan, pemberdayaan warga kota pun harus diupayakan dengan memberi imbauan penanaman pohon di lingkungan rumah masing-masing. "Kalau di Kota Bandung ada sekitar 500.000 rumah dan masing-masing penghuni menanam tiga pohon saja, jumlah pohon yang tersedia sudah mencukupi," kata Sobirin.
Tercemarnya sungai-sungai di Kota Bandung oleh limbah juga memberi kontribusi terhadap rusaknya lahan di Kota Bandung. Sobirin mengatakan, limbah yang dibuang ke sungaisungai di Jawa Barat, sebanyak 70 persen berasal dari rumah tangga, 25 persen dari industri, dan lima persen dari sumber lainnya. Kontribusi industri atas bertambahnya lahan kritis sebesar 25 persen karena mengeluarkan limbah yang mengandung bahan beracun berbahaya. (J15)
Foto: Sobirin, 2005, Kawasan Bandung Utara
Bandung, Kompas –
Luas lahan kritis di Kota Bandung nmencapai 350 hektar. Lahan kritis itu terdapat di kawasan Punclut seluas 150 hektar, Dago Pakar 80 ha, Cimenyan 70 ha, dan sisanya tersebar di sisi kanan-kiri jalan raya di seluruh Kota Bandung yang luasnya 50 ha. Hal itu diungkapkan anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), S Sobirin, di Bandung, Minggu (7/11). Lahan kritis ini terutama disebabkan pembabatan hutan di daerah Cimenyan, Dago Pakar, dan Punclut yang termasuk Kawasan Bandung Utara (KBU). Tujuan pembabatan itu untuk pembangunan perumahan mewah. Walaupun sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, pada tahun 2002 sampai 2003, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tetap memberikan izin kepada tiga pengembang perumahan untuk membangun proyek perumahan pada lahan seluas 110 hektar (ha). Ketiga pengembang tersebut memiliki proyek di perbukitan Ciwangi, Ciburial, dan Cimenyan. Sobirin menegaskan, izin yang diberikan kepada pengembang tersebut merupakan bukti bahwa Pemkot Bandung tidak konsisten. Pembabatan hutan tersebut mengakibatkan unsur hara dengan mudah terbawa hujan deras sehingga lahan menjadi kritis. Untuk menanggulangi lahan kritis, menurut Sobirin, diperlukan tanaman perintis seperti avokad atau nangka disertai pemberian pupuk organik. Faktor lain yang menyebabkan lahan menjadi kritis, jelas Sobirin, adalah kemiringan tanah. Semakin curam sebidang tanah, semakin berisiko daerah tersebut menjadi lahan kritis. Sebab, unsur hara di lahan tersebut akan mudah tersapu hujan, apalagi bila di sana tidak ditumbuhi pepohonan.
Pengadaan bibit
Sobirin mengatakan, tumpang tindih perihal KBU dalam peraturan daerah (perda) juga menjadi kendala tersendiri dalam penanggulangan lahan kritis. Dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat disebutkan bahwa KBU berfungsi sebagai kawasan lindung. Sementara Perda Kabupaten Bandung Nomor 12 Tahun 2001 tentang RTRW Kabupaten Bandung mengategorikan KBU sebagai kawasan tertentu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, ujar Sobirin, seharusnya menciptakan perda yang mengatur agar fungsi KBU sebagai kawasan lindung tidak terganggu. Masyarakat di sekitar kawasan lindung, tutur Sobirin, juga harus diberdayakan secara ekonomi dengan usaha pengadaan bibit. Bibit yang ditanam masyarakat kemudian dibeli pemerintah daerah sehingga tercipta lapangan kerja sekaligus perbaikan lahan kritis. Sobirin mengatakan, pemberdayaan warga kota pun harus diupayakan dengan memberi imbauan penanaman pohon di lingkungan rumah masing-masing. "Kalau di Kota Bandung ada sekitar 500.000 rumah dan masing-masing penghuni menanam tiga pohon saja, jumlah pohon yang tersedia sudah mencukupi," kata Sobirin.
Tercemarnya sungai-sungai di Kota Bandung oleh limbah juga memberi kontribusi terhadap rusaknya lahan di Kota Bandung. Sobirin mengatakan, limbah yang dibuang ke sungaisungai di Jawa Barat, sebanyak 70 persen berasal dari rumah tangga, 25 persen dari industri, dan lima persen dari sumber lainnya. Kontribusi industri atas bertambahnya lahan kritis sebesar 25 persen karena mengeluarkan limbah yang mengandung bahan beracun berbahaya. (J15)
1 comment:
itu tuh pak...yg saya sayangkan...rumah2 di bukit2 bandung...pengerusakan bener tuh......bukannya menjadikan pemandangan jadi indah..tapi malah merusak pemandangan....
Post a Comment