KOMPAS Jawa Barat, 5 Juni 2008, Forum
Foto: Sobirin 2008, Kawasan Lindung Bandung Utara Hancur
Oleh Sobirin
Bila diamati berdasar citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasar citra satelit hanya 18 persen yang sehat.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati hari ini, 5 Juni 2008, mengambil tema "Kick the Habit! Towards a Low Carbon Economy" (Tendang Kebiasaan Buruk! Menuju Suatu Ekonomi Karbon Rendah). Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNEP meminta kepada seluruh warga di muka bumi ini untuk mengenali isu perubahan iklim yang sedang terjadi, memusatkan perhatian pada emisi gas rumah kaca yang berlebihan, dan bagaimana cara menguranginya.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia akan menyoroti semua upaya dan prakarsa untuk mempromosikan gerakan ekonomi karbon rendah dan perubahan perilaku manusia, seperti konservasi kawasan lindung, gerakan penyelamatan air, peningkatan efisiensi energi, pencarian sumber energi terbarukan, dan gaya hidup ramah lingkungan.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, Provinsi Jawa Barat telah menyusun program terkait masalah lingkungan sesuai dengan semboyan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2008 tersebut. Sejak tahun 2003 Jabar telah meletakkan pola dasar pembangunan hingga tahun 2010 yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2003 dengan visi menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota negara. Pencapaian visi tersebut identik dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam, yang harus dilakukan melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan serta didasarkan pada keseimbangan lingkungan dan keadilan sosial.
Selanjutnya, terbit perda-perda berikutnya yang terkait dengan pemulihan kawasan lindung, yaitu Perda No 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengamanatkan bahwa Jabar harus memiliki kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, Perda No 7/2005 tentang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, Perda No 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan terakhir Perda No 1/2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Pada waktu Perda No 2/2003 diundangkan, luas kawasan lindung yang dianggap masih berfungsi hanya 13 persen. Setiap tahun direncanakan kawasan lindung akan meningkat terus, tahun 2004 menjadi 17 persen, tahun 2005 menjadi 21 persen, tahun 2006 menjadi 25 persen, tahun 2007 menjadi 29 persen, tahun 2008 menjadi 34 persen, tahun 2009 menjadi 39 persen, dan tahun 2010 menjadi 45 persen.
Rehabilitasi lahan
Membangun kawasan lindung Jabar seluas 45 persen dari total wilayah provinsi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Upaya provinsi melakukan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), ditambah upaya pemerintah pusat dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA), tampaknya belum berhasil meningkatkan luas kawasan lindung sesuai rencana.
Bila diamati berdasarkan citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung telah direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasarkan pengamatan citra satelit tampak hanya 18 persen yang dapat dianggap sehat.
Banyak akar masalah yang telah menghambat tercapainya pemulihan kawasan lindung, antara lain, pertama, hampir semua RTRW kabupaten/ kota tidak sinkron dengan RTRW provinsi. Suatu kawasan oleh provinsi dikatakan sebagai kawasan lindung, tetapi oleh kabupaten/kota bukan kawasan lindung. Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dipersepsikan secara berlebihan oleh kabupaten/kota dalam hal penataan ruang wilayahnya.
Kedua, penunjukan luas kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan (SK) No 195/KPTS/2003 berbeda filosofi dengan Perda No 2/2003 tentang RTRW Provinsi Jabar. Seharusnya SK Menteri Kehutanan mengacu pada Perda RTRW provinsi.
Ketiga, kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, separuhnya berada di kawasan hutan negara, dan separuhnya lagi berada di lahan perkebunan dan lahan milik masyarakat. Hampir semua kawasan lindung di lahan milik masyarakat tidak lagi berfungsi lindung, bahkan telah menjadi lahan kritis, karena pemahaman masyarakat tentang kawasan lindung sangat minim.
Keempat, di dalam kawasan lindung banyak terkandung bahan galian tambang berharga, termasuk energi panas bumi. Di satu pihak bahan galian ini bisa menjadi berkah, tetapi di pihak lain bisa menjadi bencana karena akan mengganggu kestabilan kawasan lindung.
Sangat sensitif
Secara geologis dan klimatologis, Jabar adalah wilayah yang sangat sensitif. Sedikit saja kawasan lindung terganggu, bisa timbul bencana alam yang dapat menelan banyak korban jiwa dan harta. Nasib kawasan lindung Jabar berada di tangan kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru lalu, dengan harapan mereka mampu membuat terobosan-terobosan untuk mempercepat pemulihan kawasan lindung.
Banyak alternatif yang dapat dilakukan, tetapi salah satu yang harus diprioritaskan adalah meminta kabupaten/kota untuk merevisi Perda RTRW di wilayah masing-masing agar sinkron dengan Perda RTRW provinsi. Otonomi daerah bukan segala-galanya. Bagaimanapun, kabupaten/kota adalah bagian integral dari provinsi.
Semoga peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dapat menjadi bahan inspirasi bagi gubernur dan wakil gubernur baru untuk membangun keberanian politik pemulihan kawasan lindung Jabar.
SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit.
Foto: Sobirin 2008, Kawasan Lindung Bandung Utara Hancur
Oleh Sobirin
Bila diamati berdasar citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasar citra satelit hanya 18 persen yang sehat.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati hari ini, 5 Juni 2008, mengambil tema "Kick the Habit! Towards a Low Carbon Economy" (Tendang Kebiasaan Buruk! Menuju Suatu Ekonomi Karbon Rendah). Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNEP meminta kepada seluruh warga di muka bumi ini untuk mengenali isu perubahan iklim yang sedang terjadi, memusatkan perhatian pada emisi gas rumah kaca yang berlebihan, dan bagaimana cara menguranginya.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia akan menyoroti semua upaya dan prakarsa untuk mempromosikan gerakan ekonomi karbon rendah dan perubahan perilaku manusia, seperti konservasi kawasan lindung, gerakan penyelamatan air, peningkatan efisiensi energi, pencarian sumber energi terbarukan, dan gaya hidup ramah lingkungan.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, Provinsi Jawa Barat telah menyusun program terkait masalah lingkungan sesuai dengan semboyan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2008 tersebut. Sejak tahun 2003 Jabar telah meletakkan pola dasar pembangunan hingga tahun 2010 yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2003 dengan visi menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibu kota negara. Pencapaian visi tersebut identik dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam, yang harus dilakukan melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan serta didasarkan pada keseimbangan lingkungan dan keadilan sosial.
Selanjutnya, terbit perda-perda berikutnya yang terkait dengan pemulihan kawasan lindung, yaitu Perda No 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengamanatkan bahwa Jabar harus memiliki kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, Perda No 7/2005 tentang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, Perda No 2/2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan terakhir Perda No 1/2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Pada waktu Perda No 2/2003 diundangkan, luas kawasan lindung yang dianggap masih berfungsi hanya 13 persen. Setiap tahun direncanakan kawasan lindung akan meningkat terus, tahun 2004 menjadi 17 persen, tahun 2005 menjadi 21 persen, tahun 2006 menjadi 25 persen, tahun 2007 menjadi 29 persen, tahun 2008 menjadi 34 persen, tahun 2009 menjadi 39 persen, dan tahun 2010 menjadi 45 persen.
Rehabilitasi lahan
Membangun kawasan lindung Jabar seluas 45 persen dari total wilayah provinsi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Upaya provinsi melakukan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), ditambah upaya pemerintah pusat dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA), tampaknya belum berhasil meningkatkan luas kawasan lindung sesuai rencana.
Bila diamati berdasarkan citra satelit tahun-tahun terakhir, seperti IKONOS (2007) atau SPOT 5 (2007), tampak banyak kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi yang direncanakan. Pada 2007, luas kawasan lindung telah direncanakan menjadi 29 persen, tetapi berdasarkan pengamatan citra satelit tampak hanya 18 persen yang dapat dianggap sehat.
Banyak akar masalah yang telah menghambat tercapainya pemulihan kawasan lindung, antara lain, pertama, hampir semua RTRW kabupaten/ kota tidak sinkron dengan RTRW provinsi. Suatu kawasan oleh provinsi dikatakan sebagai kawasan lindung, tetapi oleh kabupaten/kota bukan kawasan lindung. Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dipersepsikan secara berlebihan oleh kabupaten/kota dalam hal penataan ruang wilayahnya.
Kedua, penunjukan luas kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan (SK) No 195/KPTS/2003 berbeda filosofi dengan Perda No 2/2003 tentang RTRW Provinsi Jabar. Seharusnya SK Menteri Kehutanan mengacu pada Perda RTRW provinsi.
Ketiga, kawasan lindung seluas 45 persen dari total wilayah provinsi, separuhnya berada di kawasan hutan negara, dan separuhnya lagi berada di lahan perkebunan dan lahan milik masyarakat. Hampir semua kawasan lindung di lahan milik masyarakat tidak lagi berfungsi lindung, bahkan telah menjadi lahan kritis, karena pemahaman masyarakat tentang kawasan lindung sangat minim.
Keempat, di dalam kawasan lindung banyak terkandung bahan galian tambang berharga, termasuk energi panas bumi. Di satu pihak bahan galian ini bisa menjadi berkah, tetapi di pihak lain bisa menjadi bencana karena akan mengganggu kestabilan kawasan lindung.
Sangat sensitif
Secara geologis dan klimatologis, Jabar adalah wilayah yang sangat sensitif. Sedikit saja kawasan lindung terganggu, bisa timbul bencana alam yang dapat menelan banyak korban jiwa dan harta. Nasib kawasan lindung Jabar berada di tangan kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang baru lalu, dengan harapan mereka mampu membuat terobosan-terobosan untuk mempercepat pemulihan kawasan lindung.
Banyak alternatif yang dapat dilakukan, tetapi salah satu yang harus diprioritaskan adalah meminta kabupaten/kota untuk merevisi Perda RTRW di wilayah masing-masing agar sinkron dengan Perda RTRW provinsi. Otonomi daerah bukan segala-galanya. Bagaimanapun, kabupaten/kota adalah bagian integral dari provinsi.
Semoga peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dapat menjadi bahan inspirasi bagi gubernur dan wakil gubernur baru untuk membangun keberanian politik pemulihan kawasan lindung Jabar.
SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit.
2 comments:
pak saya bertanya apa dasar nya selain perda, bahwa hutan lindung di jawa barat harus 45% ? bagaimana pemikiran kalkulasi ? mengapa di tiap daerah beda untuk luasan kawasan lindungnya ? parameter2 apa saja yang menentukan luasan kawasan lindung ?
Bagaimana tanggapan Pak Sobirin mengenai banyak pihak ingin merevisi keberadaan Kawasan Lindung Geologi pada PP 26/2008/RTRWN, terutama yang berkaitan dengan Karst.
Post a Comment