KOMPAS, JAWA BARAT, FORUM, 5 Juni 2009
Gambar: www.bentarabudaya.com dan www.inmagine.com
Oleh: SOBIRIN
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika hujan mereka hanya ingin tidak banjiran dan longsor, ketika kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Hari Lingkungan Dunia yang dirayakan setiap 5 Juni oleh lebih dari 100 negara di muka bumi ini didasarkan pada ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1972. Tujuannya menanamkan kesadaran lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan melalui gerakan politik, pendidikan, dan budaya. Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia tahun 2009 adalah ‘Bersatu Menghadapi Perubahan Iklim’.
Perubahan iklim secara global telah diindikasikan dan dikhawatirkan oleh banyak ahli sejak dua dekade belakangan ini. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang semakin sering terjadi dan menelan banyak korban jiwa dan harta telah dituduhkan sebagai dampak dari perubahan iklim global. Dampak ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi, antara lain oleh sebab pertambahan penduduk yang mengintervensi kawasan lindung, alam tidak lagi bernilai sakral dan dieksploitasi besar-besaran, gaya hidup antroposentrisme semakin berkembang, hilangnya hak-hak masyarakat adat, tersingkirnya kearifan tradisional karena dianggap tidak ilmiah.
Mitos dan primbon
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika musim hujan mereka hanya ingin tempat tinggalnya tidak kebanjiran dan kelongsoran, ketika musim kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Jaman dahulu, nenek moyang kita memanfaatkan kenampakan bintang Waluku atau Kidang (rasi Orion) dan bintang Kerti atau Guru Tani (rasi Pleyades) sebagai pertanda awal musim bercocok tanam, dan memanfaatkan bintang Kelapa Doyong (rasi Scorpio) dan bintang Gubuk Penceng (rasi Crux) sebagai pertanda musim panen. Sekarang ketika bintang Waluku dan Guru Tani menampakkan diri di langit, musim hujan belum juga datang. Ketika bintang Kelapa Doyong dan Gubuk Penceng terlihat di langit, malah sawah-sawah sedang mengalami kekeringan dan puso.
Dalam Kamus Basa Sunda hasil karya R.A. Danadibrata (2006), terdapat istilah dangdangrat yaitu musim antara musim ngijih jeung musim katiga, lilana tilu bulan, nyaeta ti bulan Januari nepi ka bulan Maret, dina musim ieu turunna hujan ngan kakapeungan, kadang-kadang hujan, kadang-kadang tidak. Beliau ini lahir tahun 1905 dan wafat tahun 1987. Mungkin saja pada waktu beliau hidup, dangdangrat terjadi antara bulan Januari hingga Maret, dan pada musim itu bunyi turaes atau tonggeret (Tibicen linnei) terdengar di mana-mana. Tetapi sekarang pada bulan-bulan tersebut justru curah hujan sedang hebat-hebatnya, banjir di mana-mana, dan turaes pun entah sedang berada di mana. Jumlah penduduk bertambah, alam berubah, iklim pun menyimpang.
Masyarakat modern yang berpaham instan menganggap bahwa kearifan tradisional adalah sesuatu yang dianggapnya sudah kuno, tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tidak ilmiah, dan pantas ditinggalkan karena telah mengarah kepada mitos dan primbon.
Revitalisasi
Berbeda dengan masyarakat modern, sebaliknya masyarakat pemerhati lingkungan, budayawan yang paham ekosentrisme berkeinginan menggali kembali konsep kearifan tradisional yang dianggap akan mampu menghadapi bencana lingkungan sebagai dampak perubahan iklim. Beberapa kearifan tradisional memang tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tetapi bila di telaah secara teliti dari yang tradisional itu dapat diperoleh berbagai pengetahuan yang sangat bermanfaat.
Kearifan tradisional ini banyak tersebar di pelosok nusantara, pakem-nya berupa kalender tradisional yang bersifat fenologis yaitu dikaitkan dengan perubahan perilaku tanaman, binatang, dan gejala alam lainnya. Contoh beberapa kalender tradisional nusantara antara lain Kala Sunda (Jawa Barat), Pranata Mangsa (Jawa Tengah), Tike Lime (Lombok), Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah), Lamaholot (Flores), Tetemasa (Madura), Katiko (Minangkabau), Keunong (Aceh), Wariga (Bali), Pananrang (Makassar), dan masih banyak lagi. Diperlukan revitalisasi kearifan tradisional dengan modifikasi, menggabungkan unsur-unsur pengetahuan modern, pembuktian ilmiah, dan ditampilkan dengan format baru, sehingga kearifan tersebut bisa tetap cocok untuk masa sekarang, dan mungkin masa yang akan datang, terutama dalam rangka adaptasi menghadapi perubahan iklim global.
Modifikasi kearifan tradisional dengan pembuktian ilmiah yang mudah dipahami oleh masyarakat awam akan sangat bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya dan lingkungan. Misalnya daun-daun yang berguguran dan pohon meranggas sebagai pertanda berakhirnya musim hujan, karena curah hujan lebih kecil dari penguapan atau evapotranspirasi. Telur cengkerik atau jangkrik (Gryllus assimilis) menetas di awal musim kemarau, karena temperatur menghangat dan kelembaban udara cukup moderat. Turaes atau garengpung (Tibicen linnei) terdengar di pepohonan pada saat dangdarat menjelang kemarau, karena temperatur relatif tinggi dan curah hujan semakin sedikit. Tentunya masih banyak lagi pengetahuan modern yang bisa digabungkan dengan kearifan tradisional sebagai terobosan dalam rangka sosialisasi adaptasi dan mitigasi menghadapi dampak perubahan iklim.
Beberapa tindak nyata yang dapat dilakukan dalam upaya merevitalisasi kearifan tradisional, antara lain: pertama, perlu kajian ilmiah tentang semua kearifan tradisional yang ‘ada’ atau ‘pernah ada’ di wilayah nusantara berkaitan dengan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Kedua, beberapa lokasi asal-usul kearifan tradisional seyogyanya dipilih sebagai percontohan dan dibangun stasiun klimatologi untuk membuat korelasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah. Ketiga perlu peningkatan kapasitas tenaga penyuluh lapangan dalam bidang kearifan tradisional dan kaitannya dengan dampak perubahan iklim. Keempat, perlu pemulihan hak dan peningkatan kelembagaan kearifan tradisional. Kelima, perlu dukungan aspek legal sebagai realisasi political will pemerintah tentang sosialisi dan penyuluhan kearifan tradisional menghadapi dampak perubahan iklim.
Diyakini dengan kearifan tradisional, maka musim hujan akan membawa berkah, dan musim kemarau pun akan membawa berkah.Tanpa tindak nyata dari setiap bangsa di muka bumi ini, dampak perubahan iklim bisa berpengaruh negatif kepada semua pilar kehidupan meliputi ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan politik. Selamat merayakan Hari Lingkungan Dunia pada 5 Juni hari ini.
SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Gambar: www.bentarabudaya.com dan www.inmagine.com
Oleh: SOBIRIN
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika hujan mereka hanya ingin tidak banjiran dan longsor, ketika kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Hari Lingkungan Dunia yang dirayakan setiap 5 Juni oleh lebih dari 100 negara di muka bumi ini didasarkan pada ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1972. Tujuannya menanamkan kesadaran lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan melalui gerakan politik, pendidikan, dan budaya. Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia tahun 2009 adalah ‘Bersatu Menghadapi Perubahan Iklim’.
Perubahan iklim secara global telah diindikasikan dan dikhawatirkan oleh banyak ahli sejak dua dekade belakangan ini. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang semakin sering terjadi dan menelan banyak korban jiwa dan harta telah dituduhkan sebagai dampak dari perubahan iklim global. Dampak ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi, antara lain oleh sebab pertambahan penduduk yang mengintervensi kawasan lindung, alam tidak lagi bernilai sakral dan dieksploitasi besar-besaran, gaya hidup antroposentrisme semakin berkembang, hilangnya hak-hak masyarakat adat, tersingkirnya kearifan tradisional karena dianggap tidak ilmiah.
Mitos dan primbon
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika musim hujan mereka hanya ingin tempat tinggalnya tidak kebanjiran dan kelongsoran, ketika musim kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Jaman dahulu, nenek moyang kita memanfaatkan kenampakan bintang Waluku atau Kidang (rasi Orion) dan bintang Kerti atau Guru Tani (rasi Pleyades) sebagai pertanda awal musim bercocok tanam, dan memanfaatkan bintang Kelapa Doyong (rasi Scorpio) dan bintang Gubuk Penceng (rasi Crux) sebagai pertanda musim panen. Sekarang ketika bintang Waluku dan Guru Tani menampakkan diri di langit, musim hujan belum juga datang. Ketika bintang Kelapa Doyong dan Gubuk Penceng terlihat di langit, malah sawah-sawah sedang mengalami kekeringan dan puso.
Dalam Kamus Basa Sunda hasil karya R.A. Danadibrata (2006), terdapat istilah dangdangrat yaitu musim antara musim ngijih jeung musim katiga, lilana tilu bulan, nyaeta ti bulan Januari nepi ka bulan Maret, dina musim ieu turunna hujan ngan kakapeungan, kadang-kadang hujan, kadang-kadang tidak. Beliau ini lahir tahun 1905 dan wafat tahun 1987. Mungkin saja pada waktu beliau hidup, dangdangrat terjadi antara bulan Januari hingga Maret, dan pada musim itu bunyi turaes atau tonggeret (Tibicen linnei) terdengar di mana-mana. Tetapi sekarang pada bulan-bulan tersebut justru curah hujan sedang hebat-hebatnya, banjir di mana-mana, dan turaes pun entah sedang berada di mana. Jumlah penduduk bertambah, alam berubah, iklim pun menyimpang.
Masyarakat modern yang berpaham instan menganggap bahwa kearifan tradisional adalah sesuatu yang dianggapnya sudah kuno, tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tidak ilmiah, dan pantas ditinggalkan karena telah mengarah kepada mitos dan primbon.
Revitalisasi
Berbeda dengan masyarakat modern, sebaliknya masyarakat pemerhati lingkungan, budayawan yang paham ekosentrisme berkeinginan menggali kembali konsep kearifan tradisional yang dianggap akan mampu menghadapi bencana lingkungan sebagai dampak perubahan iklim. Beberapa kearifan tradisional memang tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tetapi bila di telaah secara teliti dari yang tradisional itu dapat diperoleh berbagai pengetahuan yang sangat bermanfaat.
Kearifan tradisional ini banyak tersebar di pelosok nusantara, pakem-nya berupa kalender tradisional yang bersifat fenologis yaitu dikaitkan dengan perubahan perilaku tanaman, binatang, dan gejala alam lainnya. Contoh beberapa kalender tradisional nusantara antara lain Kala Sunda (Jawa Barat), Pranata Mangsa (Jawa Tengah), Tike Lime (Lombok), Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah), Lamaholot (Flores), Tetemasa (Madura), Katiko (Minangkabau), Keunong (Aceh), Wariga (Bali), Pananrang (Makassar), dan masih banyak lagi. Diperlukan revitalisasi kearifan tradisional dengan modifikasi, menggabungkan unsur-unsur pengetahuan modern, pembuktian ilmiah, dan ditampilkan dengan format baru, sehingga kearifan tersebut bisa tetap cocok untuk masa sekarang, dan mungkin masa yang akan datang, terutama dalam rangka adaptasi menghadapi perubahan iklim global.
Modifikasi kearifan tradisional dengan pembuktian ilmiah yang mudah dipahami oleh masyarakat awam akan sangat bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya dan lingkungan. Misalnya daun-daun yang berguguran dan pohon meranggas sebagai pertanda berakhirnya musim hujan, karena curah hujan lebih kecil dari penguapan atau evapotranspirasi. Telur cengkerik atau jangkrik (Gryllus assimilis) menetas di awal musim kemarau, karena temperatur menghangat dan kelembaban udara cukup moderat. Turaes atau garengpung (Tibicen linnei) terdengar di pepohonan pada saat dangdarat menjelang kemarau, karena temperatur relatif tinggi dan curah hujan semakin sedikit. Tentunya masih banyak lagi pengetahuan modern yang bisa digabungkan dengan kearifan tradisional sebagai terobosan dalam rangka sosialisasi adaptasi dan mitigasi menghadapi dampak perubahan iklim.
Beberapa tindak nyata yang dapat dilakukan dalam upaya merevitalisasi kearifan tradisional, antara lain: pertama, perlu kajian ilmiah tentang semua kearifan tradisional yang ‘ada’ atau ‘pernah ada’ di wilayah nusantara berkaitan dengan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Kedua, beberapa lokasi asal-usul kearifan tradisional seyogyanya dipilih sebagai percontohan dan dibangun stasiun klimatologi untuk membuat korelasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah. Ketiga perlu peningkatan kapasitas tenaga penyuluh lapangan dalam bidang kearifan tradisional dan kaitannya dengan dampak perubahan iklim. Keempat, perlu pemulihan hak dan peningkatan kelembagaan kearifan tradisional. Kelima, perlu dukungan aspek legal sebagai realisasi political will pemerintah tentang sosialisi dan penyuluhan kearifan tradisional menghadapi dampak perubahan iklim.
Diyakini dengan kearifan tradisional, maka musim hujan akan membawa berkah, dan musim kemarau pun akan membawa berkah.Tanpa tindak nyata dari setiap bangsa di muka bumi ini, dampak perubahan iklim bisa berpengaruh negatif kepada semua pilar kehidupan meliputi ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan politik. Selamat merayakan Hari Lingkungan Dunia pada 5 Juni hari ini.
SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
No comments:
Post a Comment