Oleh: Sobirin
Gambar: Musim Pancaroba/ bpbd.pasuruankab.go.id
Bulan Maret sampai Juni menurut kalender Kala Sunda adalah musim dangdangrat. Dalam Kamus Basa Sunda (R.A.Danadibrata, 2006) disebutkan dangdangrat adalah masa diantara musim hujan dan kemarau. Berikut adalah artikel saya yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 18 April 2012, Halaman 26.
Tulisan lengkapnya adalah sebagai berikut:
DANGDANGRAT
SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Bulan Maret sampai Juni menurut kalender Kala Sunda adalah musim dangdangrat. Dalam Kamus Basa Sunda (R.A.Danadibrata, 2006) disebutkan dangdangrat adalah masa diantara musim hujan dan kemarau. Disebut dangdangrat atau dangdarat karena hujan terkadang turun, terkadang tidak, atau kakapeungan. Dalam kalender tradisional Kala Sunda, satu tahun dibagi dalam 4 (empat) musim, yaitu ngijih, dangdarat, halodo, dan labuh. Dalam Kamus Lengkap Sunda-Indonesia (Budi Rahayu Tamsyah, 1996), istilah labuh dalam Basa Sunda selain berarti jatuh, juga berati masa antara kemarau dan musim hujan, yaitu musim turun ke sawah karena mulai ada hujan. Dalam bahasa Indonesia, dangdangrat dan labuh ini disebut sebagai musim pancaroba, atau musim peralihan, dengan keadaan udara tidak menentu, angin sering bertiup kencang, dan banyak penyakit bermunculan.
Kalender kearifan
Kalau kita gali kembali kearifan tradisional jaman dulu, tentang cara hidup karuhun Sunda dalam kegiatan sehari-hari, maka sebenarnya mereka telah memiliki ilmu ketahanan pangan yang handal, yaitu kearifan diversifikasi pangan yang disesuaikan dengan perubahan musim. Musim panen padi makan nasi, musim panen huwi makan huwi, apalagi jaman dulu tidak ada impor beras seperti sekarang ini yang semakin sering menjadi kebijakan pemerintah.
Dalam kalender karuhun Kala Sunda, dangdangrat ini umurnya 88 hari, mulai dari 26 Maret hingga 21 Juni, yaitu mulai saat posisi matahari tepat berada di atas khatulistiwa pada posisi 0 derajat, terus bergerak ke utara sampai paling jauh pada posisi 23,5 derajat Lintang Utara. Sesuai dengan pergerakan posisi matahari tersebut, dangdangrat dibagi dalam 3 mangsa atau sub-musim.
Pertama, mangsa kasadasa umurnya 24 hari, mulai dari 26 Maret sampai 18 April, angin bertiup kencang dan sering menyebabkan puting beliung yang dapat merobohkan pepohonan dan menerbangkan atap rumah. Serangga turaes atau tonggeret terdengar bernyanyi di pepohonan dan cengkerik mengerik di tegalan. Pada masa ini petani sibuk menghalau burung pipit yang mengganggu tanaman padi. Kedua, mangsa dhesta umurnya 23 hari, mulai dari 19 April sampai 11 Mei, angin masih bertiup keras dan udara terasa mulai kering. Pada masa ini petani sibuk menuai padi di sawah. Ketiga, mangsa sadha, umurnya 41 hari dari 12 Mei sampai 21 Juni, awal musim kemarau, udara kering terasa dingin terutama di pagi hari. Pada masa ini petani selesai memanen padi, lalu menjemurnya dan menyimpannya di lumbung. Petani mulai mengerjakan tanah untuk ditanami palawija.
Filosofi yang terkandung di dalam Kala Sunda tidak hanya memberikan pedoman menentukan waktu bercocok tanam, tetapi juga sebagai pedoman hidup harmonis bersama lingkungan alam. Kalender Kala Sunda mencerminkan kearifan dan watak karuhun Sunda yang mampu beradaptasi dengan perubahan irama alam, serasi, selaras, dan seimbang dalam kehidupan sehari-hari sepanjang tahun.
Tetap handal
Saat ini kedatangan pergantian musim selalu menjadi ancaman dan membuat banyak penduduk khawatir, musim kemarau khawatir kekeringan, musim penghujan khawatir kebanjiran, musim dangdangrat dan labuh khawatir penyakit.
Pertambahan penduduk yang semakin banyak tidak cukup hanya mengandalkan sawah tadah hujan dengan padi tradisional yang dipanen 6 bulan sekali. Kebijakan tekno-ekonomis yang diambil pemerintah sejak tahun 1970-an, dengan pembangunan jaringan irigasi teknis dan tanaman padi modern yang bisa dipanen 3 bulan sekali, telah menyebabkan pamor Kala Sunda menjadi suram dan hilang dari kehidupan para petani jaman sekarang. Ditambah lagi dengan pesatnya ilmu prakiraan cuaca, isu perubahan iklim global, dan ketahanan pangan yang harus segera diatasi, maka telah membuat Kala Sunda dianggap hanya sebagai mitos jaman dulu yang telah usang, dan tidak cocok sebagai elemen ketahanan pangan.
Namun ternyata kebijakan tekno-ekonomis ini telah menuai banyak bencana, dan harapan pemenuhan kebutuhan pangan pun sukar terpenuhi. Kebijakan ini ternyata instan, karena lingkungan menjadi rusak, banjir, longsor, kekeringan, waduk penuh sedimen lumpur dan sering tidak berair, serta sawah selalu gagal panen karena puso. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengimpor beras dari luar negeri.
Menggali kembali kalender tradisional Kala Sunda untuk kehidupan yang harmonis dengan alam adalah pilihan yang bijaksana, dan perlu dukungan kemauan politik, pendidikan, dan perubahan budaya perilaku. Sangat diperlukan perpaduan antara kearifan kalender Kala Sunda dengan ilmu prakiraan cuaca modern, sehingga ketidak cocokan Kala Sunda dapat segera diperbaiki. Kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi para petani di pedesaan, perlu ditekankan untuk memasukkan pengetahuan kalender tradisional Kala Sunda dalam kurikulumnya.
Dengan kalender tradisional Kala Sunda, diharapkan para petani pedesaan akan mampu meningkatkan pemahaman terhadap berbagai aspek prakiraan cuaca, hubungannya dengan gejala-gejala alam, segera mampu beradaptasi bila terjadi perubahan musim yang tidak menentu, dan gagal panen pun dapat dihindari. Bagaimana pun, bila penerapannya benar, kalender Kala Sunda adalah elemen utama dalam mendukung ketahanan pangan.
No comments:
Post a Comment