RUSAKNYA kawasan lindung di seputar Bandung sudah teramat sangat jelas di depan mata. Kawasan permukiman yang semakin hari semakin mendaki ke atas bukit, serta hilangnya tegakan pohon besar dari kaki gunung hingga semakin mendekati puncak, bisa dengan mudah dijumpai di sekitar Ujungberung, Lembang, kawasan Dago, dan Ciumbuleuit, serta ke arah Pangalengan dan Ciwidey.
PEPATAH "Gunung Hejoan Ngarah Caina Pageuh" (Gunung harus dihijaukan agar kuat mengikat air-Red) yang sering didengungkan para kolot (orangtua) dulu, kini semakin terlupakan dan ditinggalkan.
Yang lebih menyedihkan, kerusakan hutan lebih parah justru terjadi di era yang disebut-sebut era reformasi ini, mulai tahun 1998 sampai sekarang. Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mencatat, pada tahun 1990 luas hutan di Jawa Barat masih berkisar 790.000 hektar. Pada tahun 1997 jumlahnya menyusut menjadi sekitar 600.000 hektar, dan terus menurun drastis hingga 350.000 hektar di tahun 2000. Pada tahun 2002 lalu, luas hutan tinggal menyisakan 80.000 hektar.
Dalam konteks banjir yang terus terjadi di Bandung Selatan, akar persoalannya sama saja, yaitu semakin rusaknya kawasan yang dulu menjadi tempat penangkapan air. Penyebabnya pun itu-itu juga, antara lain desakan kebutuhan manusia terhadap lahan dan ketidakmampuan aparat pemerintahan melakukan pengaturan atas pemanfaatan sumber daya alam yang ada.
Di kawasan kaki Gunung Wayang, Kecamatan Pangalengan, yang merupakan sumber air Citarum, pepohonan besar telah berganti menjadi lahan pertanian warga. Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Daerah Pangalengan Siswinardi, menjelaskan, untuk mengatasi pengalihfungsian kawasan lindung menjadi kawasan pertanian, pihak Perhutani sebenarnya telah mencoba bernegosiasi dengan para petani. Perhutani juga telah meminta agar para petani meninggalkan kawasan hutan lindung untuk kemudian dipekerjakan di perkebunan teh.
"Kita telah mencoba berkoordinasi dengan perkebunan teh Santosa dan Kertasari, serta PT Perkebunan VI dan VIII untuk menampung mereka, dan sudah disetujui. Akan tetapi, petani belum mau pindah karena merasa gaji di perkebunan lebih kecil dari penghasilan mereka sekarang," ungkap Siswinardi.
Sejumlah petani kepada Kompas, juga menyatakan enggan untuk pindah. Alasannya, tanah hutan lindung yang mereka tanami memiliki tingkat kesuburan yang tinggi.
Solihin (65), petani kentang yang menempati lahan di sekitar Situ Pangsiraman sejak tahun 1999, mengatakan, saat ini mereka bisa panen kentang sampai lima kali dalam setahun. Padahal di tempatnya dulu di Cianjur, paling bagus hanya bisa panen tiga kali setahun. Jika dibandingkan dengan bekerja di perkebunan yang penghasilannya sekitar Rp 7.500 per hari, pendapatan dari menanam sayur dan menjual kayu bakar yang mencapai Rp 15.000 per hari jelas jauh lebih besar.
Meski begitu, para petani juga tidak menolak jika memang harus pindah. Yang penting, mereka mendapatkan tempat baru serta penghasilan yang paling tidak sama dengan apa yang mereka dapatkan sekarang. "Kalau peraturannya harus pindah, kami mengikuti saja. Asal tidak ada yang dirugikan," papar Said, petani kentang di kawasan hulu Citarum.
LEMAHNYA kontrol pengawasan pemerintah terhadap kelestarian kawasan hulu Sungai Citarum, yang kemudian diduga kuat menjadi penyebab parahnya banjir di wilayah Bandung Selatan, sebenarnya bisa dicermati dengan melihat fluktuasi air yang masuk ke Waduk Saguling.
Pada awalnya, menurut Manajer Operasi dan Niaga Unit Bisnis Pembangkitan Saguling Moch Hanafi Nur Rifai, pasokan air yang masuk ke waduk yang selesai dibangun Agustus 1987 itu relatif tidak jauh berbeda pada saat musim kemarau dan musim hujan. Akan tetapi, dalam lima tahun terakhir terjadi fluktuasi yang sangat tajam. "Fluktuasinya terjadi sedemikian drastis sehingga pola operasional kami juga berubah tajam," paparnya.
Pada musim kemarau lalu, rata-rata pasokan air ke Waduk Saguling sekitar 8,84 meter kubik per detik (m³/det). Namun pada musim hujan ini, pasokan melonjak menjadi rata-rata 600 m³/det dengan ketinggian air 634,17 meter di atas permukaan laut (dpl).
Angka ketinggian air itu masih berada dalam kisaran normal (berkisar antara 623-643 meter dpl), namun mendekati titik level paling atas. "Karena pasokan begitu besar, air langsung kita buang," kata Hanafi sambil menambahkan seluruh mesin pembangkit juga terus dioperasikan.
Mengenai sedimentasi, dijelaskan Hanafi, angka sedimentasi di Waduk Saguling sudah di atas 4,2 juta m³ per tahun. Supervisor Senior Geoteknik Waduk Saguling Sugeng Mulyanto, menambahkan, sejak tahun 1985 hingga 2002, ketinggian lumpur di Jembatan Batujajar telah mencapai 24 meter. "Ini berarti rata-rata setiap tahunnya sedimentasi di tempat itu terjadi 1,4 meter," ungkapnya.
Kondisi kerusakan di bagian hulu Citarum sebenarnya selalu dilaporkan pihak pengelola Waduk Saguling kepada pihak terkait di Pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, kondisinya tidak berubah. "Kami sampai-sampai sudah bosan untuk melaporkan masalah ini, karena tidak ada tanggapan," kata Hanafi yang dibenarkan Sugeng.
Data di atas sebenarnya bisa menjadi ukuran bagaimana kerusakan kawasan hulu Citarum telah membuat debit air yang masuk ke Citarum naik berlipat-lipat. Kondisi ini juga diperburuk dengan semakin tingginya sedimentasi di aliran Sungai Citarum.
Sayangnya, penanganan banjir di Bandung itu memang tidak pernah menyeluruh. Bahkan terkesan, banjir rutin itu dibiarkan karena merupakan bagian dari kegiatan proyek yang menguntungkan sejumlah pihak.
Dalam hal penanganan banjir, menurut Pakar Lingkungan ITB, Dr Ir Mubiar Purwasasmita MSc, pemerintah sering tidak membedakan banjir dan genangan. Padahal penyebab keduanya berbeda. Banjir diakibatkan oleh berlebihnya debit air sungai, akibatnya air sungai meluap. Sementara genangan merupakan hal yang wajar terjadi di daerah rendah.
"Selama ini pemerintah menganggap banjir dan genangan adalah hal yang sama, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. Pemerintah bangga jika suatu daerah rawan banjir bisa menjadi tidak banjir lagi. Padahal, itu hanya memindahkan banjir tersebut ke daerah yang lebih rendah," papar Mubiar.
DALAM kondisi sebagaimana telah diuraikan di atas, masih bisakah kita berharap pada proyek penyodetan Citarum? Proyek ini lebih fokus berusaha mengatasi tersendatnya jalan air sepanjang Citarum, dengan harapan bahwa lancarnya air masuk ke Waduk Saguling, maka banjir tidak akan terjadi.
Berdasarkan data Proyek Penanggulangan Banjir Citarum (Upper Citarum Basin Urgent Flood Control Project), di Dearah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang panjangnya 269 kilometer, dilakukan beberapa sodetan antara lain di Sungai Cikeruh dan Citarik, Sungai Cipamokolan, Sungai Cidurian, Sungai Cijeruk, dan Dayeuhkolot.
Hasil dari penyodetan itu memang sudah dirasakan warga di beberapa lokasi, namun belum menghentikan sama sekali terjadinya banjir. "Sekarang daerah kami tidak terlalu banjir seperti dulu," ungkap Cecep, salah seorang warga Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Hal itu menurut Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, sesuatu yang wajar karena air di daerah tersebut mengalir deras akibat disodet. Namun, akibat dari derasnya air, maka daerah hilir tidak akan mampu menampung luapan air yang banyak, sehingga banjir lebih parah malahan terjadi di daerah lainnya.
Kesimpulannya, proyek penyodetan Citarum disatu sisi memang bermanfaat untuk memperkecil luas kawasan yang terkena genangan banjir, tetapi juga bukan jawaban untuk menyelesaikan banjir di Bandung Selatan secara tuntas.
Akhirnya, memang manusia yang harus mengalah untuk tidak menempati tempat-tempat parkir air atau menyesuaikan diri untuk hidup di kawasan banjir. Manusia juga yang harus kembali mengamalkan pesan nenek moyang di atas, menghijaukan kembali gunung-gunung di sekitar Bandung.
Sayangnya, pendekatan ke arah ini juga belum dilakukan pemerintah, sehingga ribuan warga kembali menjadi korban karena tidak benar-benar disiapkan sebelumnya. (b05/b09/b11/zal/oki)