Pikiran Rakyat, Teropong, 15 Maret 2004
Foto: klm-micro.com (dimodifikasi), No Water No Future
Oleh: SOBIRIN
UU 7/2004 tentang SD Air resmi diundangkan pada 18-03-2004. Tiga hari sebelumnya, saya menulis di Pikiran Rakyat tentang kekhawatiran implementasi UU ini, dengan judul UU SD Air Diberlakukan, Tidak Berpihak Kepada Rakyat?. Setelah UU berjalan 4 tahun, air masih menjadi masalah.
Pikiran Rakyat, Teropong 15 Maret 2004
UU SUMBER DAYA AIR DiBERLAKUKAN
TIDAK BERPIHAK KEPADA RAKYAT?
Oleh: SOBIRIN
Nilai air bagi rakyat sebuah negara
Air adalah kebutuhan hidup, air adalah kehidupan. Masalah air di sebuah negara akan menjadi bencana kehidupan negara tersebut. Kelompok kapitalis memandang air sebagai komoditas ekonomi yang bisa diprivatisasi, maka air diincar sebagai barang dagangan yang bisa mahal setelah listrik, telefon dan bahan bakar minyak.
Rakyat sebagai penduduk di sebuah negara memandang air adalah kebutuhan hidup utama, bahkan bersifat sakral dan kultural. Kelompok rakyat ini memandang air adalah barang publik dan merupakan tanggung jawab negara untuk tetap menjaga ketersediaannya demi kelangsungan hidup rakyat.
Jadi air adalah hak asasi manusia. Penguasaan air oleh kelompok privat adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena menguasai air berarti menguasai kehidupan rakyat dan negara.
Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) terbukti mengabaikan kepentingan rakyat banyak, karena memicu konflik berkesinambungan, yaitu antara kepentingan pasar dengan kelestarian ekologi, antara budaya privatisasi dengan budaya kebersamaan, yang pada dasarnya tersirat negara tidak berpihak kepada rakyat atas kebutuhan akan air.
Kondisi sumber air saat ini
Neraca air telah telah hancur, sebagai contoh provinsi Jawa Barat memiliki potensi air sampai 80 miliar m3 per tahun, namun kenyataan yang dapat dimanfaatkan hanya 8 miliar m3 per tahun, padahal kebutuhan masyarakat Jawa Barat akan air adalah 17 miliar m3 per tahun. Sehingga Jawa Barat akan kelebihan air dan tak terkendali di musim hujan menjadi bencana banjir dan longsor, sedangkan di musim kemarau terjadi kekeringan dan defisit air.
Sebab utama krisis air ini adalah kerusakan alam yang serius dan hutan yang telah lebih dari separuhnya hilang, sehingga Jawa Barat tidak lagi memiliki iklim mikro yang dapat menyangga lingkungan hidup dan kestabilan ketersediaan airnya. Air yang tinggal sedikit itupun tidak lagi berkualitas baik, karena telah dicemari oleh limbah industri dan juga limbah rumah tangga.
Sebagai contoh persentase polusi di sungai Citarum mencapai 47,1 persen, di sungai Ciliwung dan Cisadane mencapai 47,4 persen.
Inti kekhawatiran terhadap UU SDA
Pada dasarnya isu yang terkait dengan masalah air dan menjadi kekhawatiran terhadap UU SD Air ini adalah karena lebih pada bahasan pengelolaan pemanfaatannya, tanpa memikirkan pengelolaan konservasinya, yaitu perbaikan hutan dan kawasan lindung. Mungkin para pembuat konsep UU tersebut menganggap hutan dan kawasan lindung tidak masuk ke sektor air.
Dalam UU SD Air ini fungsi sumberdaya air kurang menekankan kepada fungsi kultural, spiritual, religius, budaya kebersamaan, pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung. Air akan menjadi komoditas globalisasi ekonomi. Makna air sebagai barang publik dan sebagai hak kehidupan rakyat yang harusnya menjadi tanggung jawab negara, berubah menjadi barang privat yang dieksploitasi dan diperdagangkan sehingga rakyat sulit mengaksesnya.
Peran negara dalam konteks tanggung jawab penyediaan air demi kesejahteraan sosial dipaksa untuk digusur oleh peran pasar atau privat dan akan menghapus subsidi. Akan terjadi penguasaan kehidupan rakyat kebanyakan oleh kelompok privat air, dan negara akan tidak mampu berbuat apapun.
Bantuan asing dan hutang LN dijadikan alat untuk intervensi atas kedaulatan negara dalam perumusan peraturan perundangan dan mengabaikan hak-hak rakyat. Perlu dicurigai adanya agenda terselubung swasta asing melalui Bank Dunia.
Negara tidak mampu lagi membela rakyat kecil ?
Perumusan UU adalah hak kedaulatan negara, hak kedaulatan rakyat, tidak boleh tunduk pada intervensi dan agenda serta kepentingan swasta atau pihak asing. Hati-hati, tidak ada bantuan dan hutang LN yang gratis, karena selalu ada agenda terselubung untuk kepentingan ekonomi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.
Karena air adalah barang publik yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, maka negara harus bertanggung jawab dan berani mengambil alih pengelolaan air (baca: monopoli), menjauhkan konsep privatisasi air, memprioritaskan konservasi air dengan pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung.
Kombinasikan konsep air dan kehutanan secara arif, dan tidak sektoral. UU SD Air ini disahkan, Ini adalah bukti negara tidak mampu lagi memihak rakyat kecil, bisa dikatakan negara telah menjadi alat kepentingan swasta, pemilik modal dan pihak asing. Lihat saja saat ini paling tidak empat PDAM di Indonesia telah dimasuki swasta asing.
Bagaimana situasi bila air di perdagangkan ?
Mari kita bayangkan bagaimana air bisa menjadi barang dagangan yang akan membuat kita geleng-geleng kepala. Dalam satu hari rata-rata seseorang membutuhkan air bersih sedikitnya 27,7 liter. Kira-kira 1,6 liter digunakan untuk air minum, kemudian 6,8 liter untuk membersihkan badan, dan sisanya untuk sanitasi dan mempersiapkan masakan sehari-hari. Bagi banyak investor, angka-angka tersebut bukan sekedar angka-angka biasa, tapi angka-angka ini adalah peluang bisnis!
Kita ambil contoh perusahaan minuman A. Jika A ini bisa membuat separuh penduduk Bandung (total penduduk Bandung 2,5 juta orang) menggunakan produknya hanya untuk separuh kebutuhan air minum sehari-hari, maka dalam satu hari perusahaan A ini dapat menjual = 0,5 x 1,6 liter x 0,5 x 2,5 juta orang = 1 juta liter air minum. Suatu jumlah yang mempesona, bukan?
Andaikan dari setiap liter diperoleh keuntungan Rp 200,-, maka dalam satu hari akan mendapat keuntungan bersih Rp 200,00 juta. Itu baru dalam satu hari dan baru di Bandung. Coba hitung keuntungan bersihnya dari seluruh kota-kota di Indonesia.
Pada kemasan air minum yang beredar di sekitar kita tercantum nama beberapa daerah yang menjadi sumber mata air antara lain tertulis mata air Babakan Pari, Sukabumi. Lalu sebandingkah PAD Pemda Sukabumi dari perdagangan air ini? Banyak contoh pengalaman dari negara-negara lain yang mengajarkan bahwa setelah air diperdagangkan (baca: diprivatisasi, dikomersialisasi), hanya akan menambah biaya pengeluaran dan semakin sulitnya masyarakat mengakses air, karena mereka harus membeli air.
Di Manila, Filipina, tarif air semula 8,75 peso (setara Rp 1.750,-), naik menjadi Rp 3.100,00- setelah privatisasi. Di Afrika Selatan, masyarakat membeli air melalui mesin air menggunakan kartu air seharga air yang diperlukan. Bahkan di Cochabamba, Bolivia, masyarakat yang akan menampung air harus minta izin dulu, karena pelayanan airnya telah diprivatisasi.
Manajemen PDAM memang sedang sakit, bahkan ada sumber yang mengatakan 80 pesen PDAM di seluruh Indonesia yang tidak sehat, dan menanggung utang mencapai Rp. 4,5 triliun. Tidak mudah menyembuhkan PDAM-PDAM ini dari sakit manajemennya, perlu usaha keras dan political will serta bersih KKN, namun akan lebih parah dan akan membebani rakyat bila terobosannya keliru, yaitu dengan memasukkan swasta asing ke dalam tubuh PDAM, semisal Thames PAM Jaya (Inggris) dan PAM Lyonaisse (Prancis) di Jakarta, Vivendi (Prancis) di Sidoarjo, Cascal BV (Belanda) di Manado, Biwater (Inggris) di Batam.
Apakah negara boleh melakukan monopoli terhadap air ?
Prinsip dasar "monopoli" oleh negara adalah suatu keharusan, yaitu demi: pertahanan dan keamanan, keadilan, dan pelayanan dasar untuk publik (misal: pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo). Demikian pula hendaknya, negara harus berani mengambil kebijakan pengelolaan secara monopoli atas air, karena air adalah kehidupan rakyat, yang berarti adalah kehidupan negara, kehidupan bangsa. Jauhkan air dari privatisasi (baca: komersialisasi).
Bagaimana langkah Pasca pengesahan UU SDA ?
Langkah yang bisa ditempuh antara lain adalah perlu adanya uji materiil atau yudicial review terhadap UU SD Air ini. Kemudian harus menggalang kesemestaan masyarakat bahwa pemulihan hutan khususnya dan kawasan lindung umumnya adalah untuk menciptakan pabrik air dan lumbung air alam. Langkah berikut adalah menggalang kesemestaan masyarakat bahwa air adalah hak rakyat, air adalah untuk kesetiakawanan (water for people, water for solidarity). Tentunya tak ketinggalan adalah pembenahan PDAM supaya bersih KKN dengan manajemen yang terbuka dengan public control.***
Penulis adalah Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
Foto: klm-micro.com (dimodifikasi), No Water No Future
Oleh: SOBIRIN
UU 7/2004 tentang SD Air resmi diundangkan pada 18-03-2004. Tiga hari sebelumnya, saya menulis di Pikiran Rakyat tentang kekhawatiran implementasi UU ini, dengan judul UU SD Air Diberlakukan, Tidak Berpihak Kepada Rakyat?. Setelah UU berjalan 4 tahun, air masih menjadi masalah.
Pikiran Rakyat, Teropong 15 Maret 2004
UU SUMBER DAYA AIR DiBERLAKUKAN
TIDAK BERPIHAK KEPADA RAKYAT?
Oleh: SOBIRIN
Nilai air bagi rakyat sebuah negara
Air adalah kebutuhan hidup, air adalah kehidupan. Masalah air di sebuah negara akan menjadi bencana kehidupan negara tersebut. Kelompok kapitalis memandang air sebagai komoditas ekonomi yang bisa diprivatisasi, maka air diincar sebagai barang dagangan yang bisa mahal setelah listrik, telefon dan bahan bakar minyak.
Rakyat sebagai penduduk di sebuah negara memandang air adalah kebutuhan hidup utama, bahkan bersifat sakral dan kultural. Kelompok rakyat ini memandang air adalah barang publik dan merupakan tanggung jawab negara untuk tetap menjaga ketersediaannya demi kelangsungan hidup rakyat.
Jadi air adalah hak asasi manusia. Penguasaan air oleh kelompok privat adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena menguasai air berarti menguasai kehidupan rakyat dan negara.
Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) terbukti mengabaikan kepentingan rakyat banyak, karena memicu konflik berkesinambungan, yaitu antara kepentingan pasar dengan kelestarian ekologi, antara budaya privatisasi dengan budaya kebersamaan, yang pada dasarnya tersirat negara tidak berpihak kepada rakyat atas kebutuhan akan air.
Kondisi sumber air saat ini
Neraca air telah telah hancur, sebagai contoh provinsi Jawa Barat memiliki potensi air sampai 80 miliar m3 per tahun, namun kenyataan yang dapat dimanfaatkan hanya 8 miliar m3 per tahun, padahal kebutuhan masyarakat Jawa Barat akan air adalah 17 miliar m3 per tahun. Sehingga Jawa Barat akan kelebihan air dan tak terkendali di musim hujan menjadi bencana banjir dan longsor, sedangkan di musim kemarau terjadi kekeringan dan defisit air.
Sebab utama krisis air ini adalah kerusakan alam yang serius dan hutan yang telah lebih dari separuhnya hilang, sehingga Jawa Barat tidak lagi memiliki iklim mikro yang dapat menyangga lingkungan hidup dan kestabilan ketersediaan airnya. Air yang tinggal sedikit itupun tidak lagi berkualitas baik, karena telah dicemari oleh limbah industri dan juga limbah rumah tangga.
Sebagai contoh persentase polusi di sungai Citarum mencapai 47,1 persen, di sungai Ciliwung dan Cisadane mencapai 47,4 persen.
Inti kekhawatiran terhadap UU SDA
Pada dasarnya isu yang terkait dengan masalah air dan menjadi kekhawatiran terhadap UU SD Air ini adalah karena lebih pada bahasan pengelolaan pemanfaatannya, tanpa memikirkan pengelolaan konservasinya, yaitu perbaikan hutan dan kawasan lindung. Mungkin para pembuat konsep UU tersebut menganggap hutan dan kawasan lindung tidak masuk ke sektor air.
Dalam UU SD Air ini fungsi sumberdaya air kurang menekankan kepada fungsi kultural, spiritual, religius, budaya kebersamaan, pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung. Air akan menjadi komoditas globalisasi ekonomi. Makna air sebagai barang publik dan sebagai hak kehidupan rakyat yang harusnya menjadi tanggung jawab negara, berubah menjadi barang privat yang dieksploitasi dan diperdagangkan sehingga rakyat sulit mengaksesnya.
Peran negara dalam konteks tanggung jawab penyediaan air demi kesejahteraan sosial dipaksa untuk digusur oleh peran pasar atau privat dan akan menghapus subsidi. Akan terjadi penguasaan kehidupan rakyat kebanyakan oleh kelompok privat air, dan negara akan tidak mampu berbuat apapun.
Bantuan asing dan hutang LN dijadikan alat untuk intervensi atas kedaulatan negara dalam perumusan peraturan perundangan dan mengabaikan hak-hak rakyat. Perlu dicurigai adanya agenda terselubung swasta asing melalui Bank Dunia.
Negara tidak mampu lagi membela rakyat kecil ?
Perumusan UU adalah hak kedaulatan negara, hak kedaulatan rakyat, tidak boleh tunduk pada intervensi dan agenda serta kepentingan swasta atau pihak asing. Hati-hati, tidak ada bantuan dan hutang LN yang gratis, karena selalu ada agenda terselubung untuk kepentingan ekonomi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.
Karena air adalah barang publik yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, maka negara harus bertanggung jawab dan berani mengambil alih pengelolaan air (baca: monopoli), menjauhkan konsep privatisasi air, memprioritaskan konservasi air dengan pemulihan kawasan hutan dan kawasan lindung.
Kombinasikan konsep air dan kehutanan secara arif, dan tidak sektoral. UU SD Air ini disahkan, Ini adalah bukti negara tidak mampu lagi memihak rakyat kecil, bisa dikatakan negara telah menjadi alat kepentingan swasta, pemilik modal dan pihak asing. Lihat saja saat ini paling tidak empat PDAM di Indonesia telah dimasuki swasta asing.
Bagaimana situasi bila air di perdagangkan ?
Mari kita bayangkan bagaimana air bisa menjadi barang dagangan yang akan membuat kita geleng-geleng kepala. Dalam satu hari rata-rata seseorang membutuhkan air bersih sedikitnya 27,7 liter. Kira-kira 1,6 liter digunakan untuk air minum, kemudian 6,8 liter untuk membersihkan badan, dan sisanya untuk sanitasi dan mempersiapkan masakan sehari-hari. Bagi banyak investor, angka-angka tersebut bukan sekedar angka-angka biasa, tapi angka-angka ini adalah peluang bisnis!
Kita ambil contoh perusahaan minuman A. Jika A ini bisa membuat separuh penduduk Bandung (total penduduk Bandung 2,5 juta orang) menggunakan produknya hanya untuk separuh kebutuhan air minum sehari-hari, maka dalam satu hari perusahaan A ini dapat menjual = 0,5 x 1,6 liter x 0,5 x 2,5 juta orang = 1 juta liter air minum. Suatu jumlah yang mempesona, bukan?
Andaikan dari setiap liter diperoleh keuntungan Rp 200,-, maka dalam satu hari akan mendapat keuntungan bersih Rp 200,00 juta. Itu baru dalam satu hari dan baru di Bandung. Coba hitung keuntungan bersihnya dari seluruh kota-kota di Indonesia.
Pada kemasan air minum yang beredar di sekitar kita tercantum nama beberapa daerah yang menjadi sumber mata air antara lain tertulis mata air Babakan Pari, Sukabumi. Lalu sebandingkah PAD Pemda Sukabumi dari perdagangan air ini? Banyak contoh pengalaman dari negara-negara lain yang mengajarkan bahwa setelah air diperdagangkan (baca: diprivatisasi, dikomersialisasi), hanya akan menambah biaya pengeluaran dan semakin sulitnya masyarakat mengakses air, karena mereka harus membeli air.
Di Manila, Filipina, tarif air semula 8,75 peso (setara Rp 1.750,-), naik menjadi Rp 3.100,00- setelah privatisasi. Di Afrika Selatan, masyarakat membeli air melalui mesin air menggunakan kartu air seharga air yang diperlukan. Bahkan di Cochabamba, Bolivia, masyarakat yang akan menampung air harus minta izin dulu, karena pelayanan airnya telah diprivatisasi.
Manajemen PDAM memang sedang sakit, bahkan ada sumber yang mengatakan 80 pesen PDAM di seluruh Indonesia yang tidak sehat, dan menanggung utang mencapai Rp. 4,5 triliun. Tidak mudah menyembuhkan PDAM-PDAM ini dari sakit manajemennya, perlu usaha keras dan political will serta bersih KKN, namun akan lebih parah dan akan membebani rakyat bila terobosannya keliru, yaitu dengan memasukkan swasta asing ke dalam tubuh PDAM, semisal Thames PAM Jaya (Inggris) dan PAM Lyonaisse (Prancis) di Jakarta, Vivendi (Prancis) di Sidoarjo, Cascal BV (Belanda) di Manado, Biwater (Inggris) di Batam.
Apakah negara boleh melakukan monopoli terhadap air ?
Prinsip dasar "monopoli" oleh negara adalah suatu keharusan, yaitu demi: pertahanan dan keamanan, keadilan, dan pelayanan dasar untuk publik (misal: pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, panti jompo). Demikian pula hendaknya, negara harus berani mengambil kebijakan pengelolaan secara monopoli atas air, karena air adalah kehidupan rakyat, yang berarti adalah kehidupan negara, kehidupan bangsa. Jauhkan air dari privatisasi (baca: komersialisasi).
Bagaimana langkah Pasca pengesahan UU SDA ?
Langkah yang bisa ditempuh antara lain adalah perlu adanya uji materiil atau yudicial review terhadap UU SD Air ini. Kemudian harus menggalang kesemestaan masyarakat bahwa pemulihan hutan khususnya dan kawasan lindung umumnya adalah untuk menciptakan pabrik air dan lumbung air alam. Langkah berikut adalah menggalang kesemestaan masyarakat bahwa air adalah hak rakyat, air adalah untuk kesetiakawanan (water for people, water for solidarity). Tentunya tak ketinggalan adalah pembenahan PDAM supaya bersih KKN dengan manajemen yang terbuka dengan public control.***
Penulis adalah Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
No comments:
Post a Comment