“LANDREFORM”, INFRASTRUKTUR, DAN ATURAN MAIN
LAPORAN KHUSUS, 10 TAHUN KRISIS MULTIDIMENSI
KOMPAS, 16 Agustus 2007, Dody WP, Try H, Hermas EP
Foto: Sobirin 2007, Kawasan Lindung Citarum di Punclut, KBU Menjadi Hunian
“Kenyataannya, kawasan lindung Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hanya tinggal 60.000 hektar”, kata Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
LAPORAN KHUSUS, 10 TAHUN KRISIS MULTIDIMENSI
KOMPAS, 16 Agustus 2007, Dody WP, Try H, Hermas EP
Foto: Sobirin 2007, Kawasan Lindung Citarum di Punclut, KBU Menjadi Hunian
“Kenyataannya, kawasan lindung Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hanya tinggal 60.000 hektar”, kata Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Nyaris tak ada yang berubah dengan nasib petani selama 10 tahun terakhir. Mereka tetap menghadapi masalah yang sama, mulai dari rendahnya harga gabah, tingginya harga pupuk, sulitnya mendapatkan air irigasi, hingga kuatnya jeratan para tengkulak.
“Bahkan, kalau dipikir-pikir, sekarang kondisinya lebih parah dibandingkan dibandingkan Pak Harto dulu”, kata Marwan (55), petani di Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Pendapat yang sama dilontarkan Sudjana, petani di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. “Dulu petani bisa mendapatkan KUT (kredit usaha tani) dari pemerintah. Sekarang semuanya harus modal sendiri”, kata Sudjana yang tengah mengoperasikan pompa air untuk mengairi sawahnya yang terancam kekeringan.
Kekeringan ini menghantui ribuan petani, karena iklim yang tidak menentu. Di sisi lain, air waduk tak bisa diandalkan untuk pengairan sawah mereka, karena debitnya terlampau kecil dan seringkali tak mampu menjangkau sawah-sawah petani yang lokasinya cukup jauh dari waduk.
Sementara itu, rencana pemerintah meningkatkan produksi beras hingga 32,96 juta ton pada tahun 2007 tak gampang diwujudkan, karena dalam prakteknya banyak menemui kendala.
Padahal, pemerintah sangat berambisi produksi padi tersebut bisa dihasilkan dari 33 provinsi dengan sasaran luas tanam 12,49 juta ha dan sasaran luas panen 11,86 juta ha. Produktivitas padi diharapkan naik dari 4,6 ton per ha per tahun 2006 menjadi 4,9 ton per ha tahun 2007.
Ambisi itu sangat baik. Akan tetapi, di tengah target kenaikan produktivitas yang hanya 0,3 ton per ha itu, konversi lahan menjadi ancaman yang sangat serius. Bayangkan saja, berdasarkan perhitungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2004, sekitar 3,1 juta ha lahan sawah dari total luas sawah 8,9 juta ha sedang dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah.
Ironisnya, sebagian besar rencana tersebut sudah disetujui DPRD setempat dan beberapa di antaranya mulai dijalankan.
Memang, berdasar Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990, lahan pertanian teknis irigasi dilarang dialihkan menjadi lahan non pertanian. Namun, ketentuan itu sudah lama dianggap angin lalu.
Sedikitnya 100.000 hanlahan irigasi teknis kini sudah beralih fungsi. Jika diasumsikan sawah seluas 100.000 ha yang sudah beralih fungsi bisa ditanami padi dan dipanen dua kali setahun dengan produksi 5 ton gabah per ha, kehilangan produksi mencapai sekitar 1 juta ton gabah per tahun.
Jumlah ini bukan angka yang sedikit. Oleh karena itu, jika laju konversi lahan irigasi tidak bisa dibendung, intensifikasi juga bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi. Apalagi jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi.
“Konversi lahan ini tidak bisa dianggap remeh, karena sangat berpengaruh terhadap produksi padi secara keseluruhan”, kata pakar dan pengajar Ekonomi Kelembagaan di fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Ahmad Erani Yustika.
Jaringan irigasi
Selain menghadapi masalah konversi lahan, dalam 10 tahun terakhir ini sektor pertanian diperburuk oleh laju kerusakan jaringan irigasi yang semakin meluas. Usia jaringan irigasi untuk mengairi lahan sawah seluasaat ini rata-rata di atas 15 tahun dengan tingkat kerusakan, kebocoran, dan pendangkalan yang cukup tinggi.
Sementara perbaikan jaringan irigasi tata usaha tani seluas 67.271 ha dan jaringan irigasi desa seluas 28.851 ha selama ini berjalan lamban. Begitu juga tahun-tahun sebelumnya, perbaikan jaringan irigasi sangat minim karena terbatasnya dana.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya pasokan air dari bendung dan bendungan yang berada di beberapa wilayah di Jawa. Di sekitar panai utara Jawa Barat, misalnya, pasokan air ke sawah-sawah petani sangat minim karena kecilnya debit air di Bendung Rentang, Kabupaten Majalengka, dan Bendungan Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta.
“Minimnya pasokan air dari waduk ini tidak terlepas dari rusaknya daerah tangkapan hujan di hulu waduk”, kata Sobirin, anggota dewan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Waduk Jatiluhur yang airnya berasal dari Sungai Citarum yang mestinya bisa mengairi sawah seluas 242.000 ha, kini kemapuannya menurun karena rusaknya daerah tangkapan air. Daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang luasnya 600.000 ha idealnya ditopang 300.000 ha hutan atau kawasan lindung yang berfungsi lindung terhadap daerah tangkapan hujannya. “Kenyataannya, kawasan lindung Citarum hanya tinggal 60.000 ha”, kata Sobirin.
Kondisi yang sama terjadi di Waduk Sutami, Waduk Selorejo, dan Waduk Wonorejo di Jawa Timur. Debit air di waduk-waduk ini sulit mencapai sulit mencapai posisi optimal karena curah hujan yang rendah ditambah lagi dengan rusaknya daerah tangkapan hujan di di hulu DAS Brantas yang menjadi hulu dari waduk-waduk ini.
DAS Brantas memiliki 39 anak sungai dan sebagian airnya ditampung di waduk-waduk tersebut. DAS Brantas juga mengairi sawah-sawah di sebagian besar Jawa Timur yang kemudian memberikan kontribusi sekitar 18 persen dari produksi beras nasional.
“Kini sekitar 10 persen atau seluas 2.799,9 ha lahan di lereng Gunung Arjuno dan Anjasmoro yang menjadi daerah tangkapan hujan Sungai Brantas telah beralih fungsi menjadi kawasan pertanian”, kata koordinator LSM kehutanan Paramitra di Kota Batu, Mainul Sofyan.
Hancurnya kelembagaan
Pada masa Orde Baru, sektor pertanian mendapat perhatian serius dan sudah mulai mengarah pada modernisasi pertanian. Namun, upaya tersebut belum mencapai cita-cita keadilan distribusi pendapatan keluarga petani dan keburu terhenti di tengah jalan.
Dalam 10 tahun terakhir, sejarah pertanian diwarnai berbagai perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social changed). Hasilnya ada pihak yang amat menikmati menguatnya komoditas pertanian yang berorientasi ekspor, seperti kelapa sawit.
Namun, di lain pihak juga berlangsung proses rusaknya infrastruktur pertanian serta hancurnya kelembagaan pertanian, seperti melemahnya peran koperasi unit desa (KUD), melemahnya fungsi petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian, hingga semakin pudarnya karisma kelompok-kelompok tani yang awalnya sangat berperan. Aturan main di sektor pertanian juga mengalami perubahan.
“Tanpa membenahi aturan main antar pelaku ekonomi, yang selalu terbentuk hanyalah pola ekonomi eksploitatif, yang pada gilirannya hanya akan melemahkan ekonomi pertanian secara luas pada saat berkompetisi dengan produk luar”, kata Ahmad Erani Yustika, yang juga alumnus Universitas Gottingen, Jerman.
Untunglah saat ini pemerintah sudah mempunyai program jauh ke depan berupa revitalisasi pertanian dengan sasaran swasembada pangan, seperti tahun 1984. Termasuk dalam program ini adalah perluasan areal pertanian, pembangunan waduk-waduk, dan perbaikan jaringan irigasi serta penyediaan benih unggul untuk meningkatkan produksi pertanian.
“Program ini harus diterapkan secara konsisten, barulah akan terasa hasilnya pada masa mendatang”, kata guru besar Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin.
Namun, berbagai langkah ini pun tidak akan optimal untuk menyejahterakan petani. Aspek lain yang sangat penting adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah distribusi lahan.
“Satu soal yang senantiasa tak pernah pemerintahan mana pun dalam sejarah Indonesia berhasil melakukannya adalah kelanjutan program landreform, redistribusi lahan”, kata Ahmad Erani.
Rendahnya pemilikan tanah dinilai sebagai persoalan sangat mendasar yang bakal bermakna cukup signifikan terhadap keberdayaan petani dan akhirnya kompetisi petani dalam produktivitas dan kualitas produksi.
Oleh karena itu, agenda penting lain yang juga harus dilakukan adalah program landreform. Hanya dengan cara komprehensif dan berkesinambungan inilah cita-cita menyejahterakan petani bisa tercapai. (DODY WISNU PRIBADI/ TRY HARIJONO/ HERMAS E PRABOWO)
No comments:
Post a Comment