Pikiran Rakyat, Wacana, 29 Oktober 2007
Foto: Sobirin 2007, Kebun Sayur Intervensi Hutan Lindung, Garut
Oleh Ir. TUBAGUS UNU NITIBASKARA
Ambil contoh kawasan lindung di Jawa Barat, khususnya luas hutan saat ini tinggal 18%, sehingga sering mengakibatkan bencana lingkungan. Hal tersebut dinyatakan oleh Dewan Pakar DPKLTS (Supardiyono Sobirin - Red.) di Bandung; Jumat 14 September 2007 (Kompas, 15 September 2007).
DATA tentang kerusakan hutan Indonesia dapat diperoleh dari berbagai macam sumber dan penyajiannya cukup beragam tergantung dari metodenya. Namun, paling tidak laju kerusakannya sudah mencapai lebih dari satu juta hektare/tahun. Mendefinisikan kerusakan hutan seperti apa, bukanlah perkara mudah, tergantung dari segi mana melihatnya.
Kalau kita merujuk pada penjelasan pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa "kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai fungsinya". Permasalahannya sekarang, bagaimana memulihkannya secara cepat, tepat dan akurat serta berkelanjutan.
Ambil contoh kawasan lindung di Jawa Barat, khususnya luas hutan saat ini tinggal 18%, sehingga sering mengakibatkan bencana lingkungan. Hal tersebut dinyatakan oleh Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (Supardiyono Sobirin - Red.) di Bandung; Jumat 14 September 2007 (Kompas, 15 September 2007). Sementara itu, data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat luas lahan kritis mencapai 580.397 ha, sebanyak 129.272 ha benar-benar kritis, 129.697 ha semikritis, dan 321.428 ha potensial kritis. Itulah sebabnya Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mencanangkan dan melaksanakan GRLK (Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis) dalam beberapa tahun belakangan ini.
Bagaimana memulihkan kerusakan hutan? Terdapat beberapa istilah misalnya rehabilitasi, yang objeknya bisa hutan dan juga lahan, lebih tepatnya reboisasi untuk yang di dalam kawasan hutan dan penghijauan untuk di luar kawasan hutan. Sedangkan reklamasi ditujukan untuk daerah bekas tambang. Untuk hutan konservasi lebih pas menggunakan kata restorasi. Perbedaan istilah tersebut di samping objek dan fungsinya yang berbeda juga jenis-jenis tumbuhan yang dipilih dan metodenya. Namun, pada prinsipnya, semua kegiatan berujung pada penanaman.
Hal penting yang harus diingat bahwa pemulihan kerusakan hutan, tidak sekadar menanam tetapi dilanjutkan dengan memelihara dan melestarikannya. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah untuk pemulihan kerusakan hutan ini antara lain melalui:
* Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan)
* KMDM (Kecil Menanam Dewasa Memanen), dan
* Indonesia Menanam.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kelestarian hutan kegiatan di Jawa Barat? Sebut saja Perum Perhutani Unit III untuk wilayah hutan produksi dan hutan lindung, kemudian Balai Besar KSDA Jawa Barat, Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk hutan konservasi, sedangkan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk Citanduy dan BPDAS Citarum - Ciliwung untuk perencanaan rehabilitasi di daerah aliran sungai.
Biaya pemulihan
Masalah krusial dan klasik dalam pemulihan kerusakan hutan adalah pendanaan yang besar. Program Gerhan misalnya, walaupun penyediaan dana mencapai triliunan rupiah, namun mekanismenya masih perlu disempurnakan, seperti turunnya dana dalam waktu yang sempit sehingga di luar musim tanam. Selanjutnya perlu diterapkan dengan sistem multiyear untuk keberlanjutan program. Kabar baik bagi Perhutani yang selama ini merehabilitasi hutan produksi dan hutan lindung dengan biaya sendiri, dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 89 Tahun 2007, khususnya pasal 17 ayat 2 yang berisi bahwa pemerintah bisa menugaskan BUMN menyelenggarakan Gerhan di hutan lindung.
Begitu peraturan presiden keluar, Dirjen RLPS langsung mengalokasikan Rp 130.000.000.000,00 untuk rehabilitasi di hutan lindung (Agro Indonesia; 18-24 September 2007). Perhutani juga menargetkan akan menghijaukan kembali 36.251 ha hutan lindung tahun ini, termasuk Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten, seluas 12.378 ha di seluruh KPH yang semuanya di lahan kering.
Hutan konservasi?
Tidak semua hutan konservasi dapat direhabilitasi, hal ini terlihat dalam pasal 41 ayat (2) UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan "kegiatan rehabilitasi dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan" kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sementara itu, banyak cagar alam di Jawa Barat yang rusak yang akan menimbulkan bencana alam, apabila tidak segera dipulihkan. Jika mengharapkan suksesi secara alami akan membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Ketentuan hukum ini sangat menyulitkan bagi para pelaksana lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, namun bila dicermati lagi ketentuan hukum yang menggunakan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdapat celah yang mendukung seperti pasal 10 yang berbunyi "Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami, dan atas oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkelanjutan".
Dalam kaitan ini cagar alam termasuk wilayah sistem penyangga kehidupan, namun sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaannya. Untuk sementara, payung hukum yang kemungkinan bisa dipakai adalah Perda Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang memasukan antara lain, cagar alam sebagai salah satu bentuk kawasan lindung. Di luar cagar alam, rehabilitasi di hutan konservasi lainnya dilakukan dengan jenis endemik (asli dan terbatas), dengan menitikberatkan penutupan lahan yang mensinergikan keseimbangan ekosistem, sehingga fungsinya kembali ke semula (restorasi). Sampai tahun 2006 telah dilakukan restorasi di hutan konservasi Jawa Barat seluas kurang lebih 1.857 ha, dengan biaya Rp 6.646.855.334 (enam miliar enam ratus empat puluh enam juta delapan ratus lima puluh lima ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah).
"Global warming"
Pada tanggal 3-14 Desember 2007 nanti di Bali akan diselenggarakan perhelatan akbar United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang akan dihadiri 191 negara. Dalam konvensi itu bakal ada 800 sesi negoisasi. Ada empat keputusan penting yang diharapkan Indonesia, di antaranya adalah kesepakatan mengenai definisi, metodologi, dan mekanisme terhadap upaya pencegahan deforestrasi yang sekaligus pencegahan lepasnya gas rumah kaca (GRK). Jika disepakati, maka tahun depan akan ada fasilitas pendanaan untuk negara-negara pemilik hutan yang bisa dipakai untuk mencegah kerusakan hutan. Menurut Menteri KLH menyebutkan bahwa hutan dalam kondisi baik yang bisa "dijual" terkait mitigasi dan perubahan iklim ini, total mencapai 370 juta dolar AS (Agro Indonesia, 18-24 September 2007).
Kegiatan yang penting dilaksanakan adalah pemahaman tentang citra Indonesia di mata para peserta konferensi, dalam hal ini akan dilakukan kegiatan aksi penanaman serentak Indonesia dan pekan pemeliharaan pohon yang akan dilaksanakan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang waktunya tidak terpaut lama dengan pelaksanaan konferensi.
Penyelenggaraan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 28 November 2007 di wilayah Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Cianjur) dengan lokasi penanaman masing-masing daerah akan ditetapkan kemudian. Sebaiknya Pemda Jawa Barat mempersiapkan sejak dini, sehingga citra Jawa Barat yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat tergambar dengan baik di mata dunia. Semoga.***
Penulis, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat/dosen pada Program Studi Teknik dan Manajemen Lingkungan, Direktorat Program Diploma Institut Pertanian Bogor.