IKLIM MIKRO HANCUR, AIR TANAH DISEDOT HABIS
Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2004, A-129
Gambar: Sobirin dan Tjoek 2007, Cekungan Bandung
Sebaliknya, Sobirin mengatakan hutan di Indonesia malah dibabat habis. ”Ya wajar saja, begitu musim kemarau tiba, sawah selalu mengalami kekeringan. Keadaan menjadi sangat fatal bila datangnya bersamaan dengan fenomena el nino.
Akibat Penyedotan Air Tanah yang tak Terkendali
CEKUNGAN BANDUNG DIAMBANG ”KIAMAT”
BANDUNG, (PR).-
Cekungan Bandung diambang catastrophic atau “kiamat” karena mengalami krisis air yang diperkirakan tak lama lagi terjadi. Krisis air itu disebabkan musim kemarau, el nino, kutub panas di Samudera Hindia, dan habisnya cadangan air tanah, yang muncul secara bersamaan.
Demikian dikatakan Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Dr. Ir. Mubiar Purwasamita, M.Sc, Rabu (4/8). ”Di saat musim kemarau saja, potensi air cekungan Bandung hanya sekira 1,2 miliar m3/tahun atau kekurangan 6,8 miliar m3/tahun dari kebutuhan 8 miliar m3/tahun.”
Untuk menutupi kekurangan itu, Mubiar mengatakan, masyarakat terutama industri harus menyedot air tanah. ”Penyedotan air tanah yang berlangsung secara berlebihan dan tak terkendali mengakibatkan air tanah dalam waktu tak lama lagi akan habis. Di saat itu tiba, kebutuhan air 6,8 miliar m3/tahun harus dipenuhi dari mana?”
Ditegaskan Mubyar, apabila itu terjadi, jangankan harus menunggu el nino dan kutub panas di Samudera Hindia, datangnya musim kemarau saja sudah bisa mematikan kehidupan di cekungan Bandung. ”Apalagi jika musim kemarau dan habisnya air tanah itu datangnya bersamaan dengan fenomena el nino dan kutub panas di Samudera Hindia. Keadaan itu bisa mengakibatkan cekungan Bandung ”kiamat”. Bagaimana warga mau hidup kalau air saja tak ada,” katanya.
Kehadiran el nino dan kutub panas Samudera Hindia, lanjutnya, bisa bersamaan karena siklus keduanya mengalami perubahan. ”Siklus el nino yang dahulu biasanya 5 s.d 7 tahunan, sekarang menjadi 4 tahunan. Begitu pula dengan kutub panas di Samudera Hidia yang dahulunya 3 s.d 4 tahun, sekarang menjadi 15 bulanan. Kondisi itu tentu mengakibatkan keduanya bisa hadir secara bersamaan. Saya memperkirakan saat itu tak lama lagi bakal terjadi,” katanya dengan enggan menyebutkan waktu pastinya.
Dicontohkan Mubyar, fenomena musim kemarau selama 6 bulan saja telah mengakibatkan ribuan hektare sawah mengalami kekeringan. ”Bila itu terjadi bersamaan dengan datangnya el nino dan kutub panas di Samudera Hindia, kita tidak tahu akan berlangusung berapa lama musim kemarau? Bisa saja menjadi sangat panjang seperti 1 tahun atau lebih. Berdasarkan itu, bukan hanya sawah saja yang kekeringan, manusia di cekungan Bandung juga tak akan bisa minum.”
Perluasan hutan
Disebutkan, satu-satunya jalan untuk mengatasi kekhawatiran itu adalah segera memulihkan iklim mikro di cekungan Bandung dengan cara meluaskan hutan kota dan mengurangi polusi. ”Selain itu, seluruh industri yang menyedot air tanah harus dikeluarkan terlebih dahulu dari cekungan Bandung,” katanya.
Pemulihan iklim mikro seperti pada kondisi Bandung tempo dulu dipastikan bakal mampu mengatasi efek buruk dari hadirnya el nino dan kutub panas dari Samudera Hindia. “Hutan saja bisa menyerap 25% air hujan ke dalam tanah. Selain itu, 75% lainnya menguap lagi ke angkasa yang berfungsi untuk menjaga siklus hujan. Jadi, dengan adanya hutan, hujan bisa lebih sering terjadi dan kelestarian air tanah pun terjaga.” katanya.
Sementara itu, anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, mencontohkan Jepang merupakan negara yang sukses menjaga iklim mikronya. ”Meskipun ada fenomena el nino sekalipun, Jepang tak terlalu terpengaruh. Kelestarian hutan-hutan di Jepang yang sangat terjaga mengakibatkan siklus air berjalan lancar,” katanya.
Namun, sebaliknya, Sobirin mengatakan hutan-hutan di Indonesia malah dibabat habis. ”Ya wajar saja, begitu musim kemarau tiba, sawah selalu mengalami kekeringan. Keadaan itu bisa menjadi sangat fatal bila datangnya bersamaan dengan fenomena el nino dan kutub panas di Samudera Hindia. cekungan Bandung yang dipenuhi manusia ini bisa benar-benar ‘kiamat’,” tegasnya. (A-129)***
No comments:
Post a Comment