Pikiran Rakyat, 19 Januari 2009, Catur Ratna Wulandari/”PR”
Foto: Harry Surjana/"PR", Bulan di antara ilalang, Lembang
Menurut Sobirin DPKLTS, kearifan lokal astronomi sudah saatnya digali kembali. Warisan nenek moyang tersebut berguna untuk pelestarian lingkungan. Masyarakat Sunda tradisional menggunakan gejala alam untuk menandai waktu, jauh sebelum kalender modern digunakan.
ieu nini ucing nyusul
sorangan indit di langit
kadieu ninggalkeun bulan
meureun hayang milu ulin
ucing teh liwar kacida
cik urang sintreuk sing tarik
eta nini ulah kitu
masing karunya ka ucing
keun bae hayangeun incah
heunteu beda kawas nini
lah enya nini karunya
hayu ucing urang ulin
Begitu kira-kira tembang Sunda yang biasa dinyanyikan anak-anak di bawah bulan purnama, zaman dulu. Nyanyian tersebut seolah sedang bercakap dengan Nini Anteh, tokoh imajiner dalam dongeng Sunda. Berharap sang Nini mau turun ke bumi. Dikisahkan, Nini Anteh adalah satu-satunya penghuni bulan. Bahkan, tidak hanya penghuni, Nini Anteh adalah bulan itu sendiri. Setiap hari ia menenun kain ditemani seekor kucing bernama Candramawat.
Nini Anteh digambarkan seorang nenek tua yang berwajah keriput dan bopeng. Namun, dari kejauhan, ia tampak begitu indah. Orang Sunda menyebutnya Sari Gunung.
Konon, kecantikan bulan membuat matahari mabuk kepayang. Membuat matahari terus mengejarnya, berputar mengelilingi bumi.
**
Budayawan Sunda Us Tiarsa mengatakan, penggambaran orang Sunda mengenai bulan berbeda dengan imajinasi bangsa lain. "Hampir semua komunitas di dunia memuja bulan sebagai dewi malam yang sangat cantik. Orang barat menyebutnya the queen with shining golden crown (ratu dengan mahkota bercahaya emas). Ratu dari semua peri cantik penghuni bulan," tuturnya kepada "PR", pekan lalu.
Ternyata, menurut dia, dongeng Sundalah yang lebih akurat. Setelah Neil Armstrong dan rekannya berhasil menginjakkan kaki di bulan, dapat diketahui bahwa rupa bulan tak seindah saat dipandang dari bumi. Permukaannya tidak rata, sebagaimana kulit keriput Nini Anteh.
Bahkan, dongeng Sunda tak hanya berhasil menebak gambaran muka bulan, tetapi juga suasananya. Jika orang di belahan bumi lain beranggapan bulan seperti kerajaan kurcaci dengan seorang ratu yang cantik, orang Sunda justru menggambarkan sebaliknya. Bulan digambarkan sebagai tempat yang tak berpenghuni. Kosong. Seolah, sebelumnya, orang Sunda sudah tahu bahwa tidak ada kehidupan di bulan.
"Bisa jadi, kucing dan alat tenun milik Nini Anteh itu sebagai penegas kesendiriannya. Seperti aksentuasi dalam dunia sastra yang berfungsi mempertegas dominasi suasana," tuturnya. Tidak hanya itu, orang Sunda pun tidak berasumsi bahwa bulan itu berbentuk lingkaran, seperti banyak asumsi yang berkembang. Tetapi bundar seperti batok. "Makanya, ada nyanyian anak yang berbunyi, bulan tok bulan tok, aya bulan segede batok," ujarnya.
**
Jika melihat hal-hal tersebut, orang Sunda bukanlah masyarakat yang awam terhadap astronomi. Ilmu benda-benda langit, ternyata sudah dikenal sejak zaman dulu. "Orang Sunda purba sudah mampu memaknai peredaran matahari, bumi, dan bulan," kata Us Tiarsa.
Bahkan, mereka menjadikan rasi bintang sebagai pedoman dalam bercocok tanam maupun menangkap ikan. Masyarakat Sunda purba sudah mengenal rasi bintang yang dinamai Bentang Kidang, Bentang Waluku, Bentang Langlayangan, Bentang Timur, Bentang Sulintang, dan Bentang Kuskus. "Orang Sunda tidak akan menanam padi ketika matahari bergeser ke utara. Mereka tidak akan mitembeyan (memulai) bertani jika Bentang Kidang (Bintang Kijang) tidak tampak," ujarnya. Rasi bintang lainnya digunakan sebagai pertanda musim.
Menurut Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), kearifan lokal dalam bidang astronomi sudah saatnya digali kembali. Warisan nenek moyang tersebut berguna untuk pelestarian lingkungan.
Masyarakat Sunda tradisional menggunakan siklus gejala alam untuk menandai lintasan waktu, jauh sebelum kalender modern digunakan. Terbit dan terbenamnya matahari, terang dan gelapnya hari, pasang surut air laut, saat berbunga dan berbuahnya tanaman, berpindah dan berkembang-biaknya hewan, merupakan beberapa gejala yang selalu diamati.
"Masyarakat dulu selalu menggunakan bintang untuk menentukan waktu panen. Jika tidak sesuai itu, maka panen bisa gagal karena diserang hama," kata Sobirin. Warisan semacam itu, seharusnya digali kembali.
Berubahnya keadaan alam dan kemajuan teknologi membuat berbagai gejala alam semacam itu tidak lagi teramati. "Sebaiknya, pakar-pakar biologi melakukan penelitian kembali mengenai hal itu. Kalau memang sekarang terjadi perubahan, bisa diketahui perubahannya sejauh mana," tuturnya.
Tanpa mengesampingkan pentingnya teknologi, langkah ini akan berguna ketika perhitungan angka-angka ternyata meleset. "Jadi, tidak akan kehilangan obor," ujarnya. Jika masyarakat lampau mampu memanfaatkan alam semesta untuk memajukan peradabannya, seharusnya dengan teknologi yang dimiliki, masyarakat modern saat ini juga bisa melakukannya.
Astronomi bukan milik ilmuwan saja. Semua yang tampak bertebaran di langit, hanya sebagian kecil dari tata surya. Alam semesta membentang luas masih menyisakan ribuan misteri yang menunggu terkuak. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
Foto: Harry Surjana/"PR", Bulan di antara ilalang, Lembang
Menurut Sobirin DPKLTS, kearifan lokal astronomi sudah saatnya digali kembali. Warisan nenek moyang tersebut berguna untuk pelestarian lingkungan. Masyarakat Sunda tradisional menggunakan gejala alam untuk menandai waktu, jauh sebelum kalender modern digunakan.
ieu nini ucing nyusul
sorangan indit di langit
kadieu ninggalkeun bulan
meureun hayang milu ulin
ucing teh liwar kacida
cik urang sintreuk sing tarik
eta nini ulah kitu
masing karunya ka ucing
keun bae hayangeun incah
heunteu beda kawas nini
lah enya nini karunya
hayu ucing urang ulin
Begitu kira-kira tembang Sunda yang biasa dinyanyikan anak-anak di bawah bulan purnama, zaman dulu. Nyanyian tersebut seolah sedang bercakap dengan Nini Anteh, tokoh imajiner dalam dongeng Sunda. Berharap sang Nini mau turun ke bumi. Dikisahkan, Nini Anteh adalah satu-satunya penghuni bulan. Bahkan, tidak hanya penghuni, Nini Anteh adalah bulan itu sendiri. Setiap hari ia menenun kain ditemani seekor kucing bernama Candramawat.
Nini Anteh digambarkan seorang nenek tua yang berwajah keriput dan bopeng. Namun, dari kejauhan, ia tampak begitu indah. Orang Sunda menyebutnya Sari Gunung.
Konon, kecantikan bulan membuat matahari mabuk kepayang. Membuat matahari terus mengejarnya, berputar mengelilingi bumi.
**
Budayawan Sunda Us Tiarsa mengatakan, penggambaran orang Sunda mengenai bulan berbeda dengan imajinasi bangsa lain. "Hampir semua komunitas di dunia memuja bulan sebagai dewi malam yang sangat cantik. Orang barat menyebutnya the queen with shining golden crown (ratu dengan mahkota bercahaya emas). Ratu dari semua peri cantik penghuni bulan," tuturnya kepada "PR", pekan lalu.
Ternyata, menurut dia, dongeng Sundalah yang lebih akurat. Setelah Neil Armstrong dan rekannya berhasil menginjakkan kaki di bulan, dapat diketahui bahwa rupa bulan tak seindah saat dipandang dari bumi. Permukaannya tidak rata, sebagaimana kulit keriput Nini Anteh.
Bahkan, dongeng Sunda tak hanya berhasil menebak gambaran muka bulan, tetapi juga suasananya. Jika orang di belahan bumi lain beranggapan bulan seperti kerajaan kurcaci dengan seorang ratu yang cantik, orang Sunda justru menggambarkan sebaliknya. Bulan digambarkan sebagai tempat yang tak berpenghuni. Kosong. Seolah, sebelumnya, orang Sunda sudah tahu bahwa tidak ada kehidupan di bulan.
"Bisa jadi, kucing dan alat tenun milik Nini Anteh itu sebagai penegas kesendiriannya. Seperti aksentuasi dalam dunia sastra yang berfungsi mempertegas dominasi suasana," tuturnya. Tidak hanya itu, orang Sunda pun tidak berasumsi bahwa bulan itu berbentuk lingkaran, seperti banyak asumsi yang berkembang. Tetapi bundar seperti batok. "Makanya, ada nyanyian anak yang berbunyi, bulan tok bulan tok, aya bulan segede batok," ujarnya.
**
Jika melihat hal-hal tersebut, orang Sunda bukanlah masyarakat yang awam terhadap astronomi. Ilmu benda-benda langit, ternyata sudah dikenal sejak zaman dulu. "Orang Sunda purba sudah mampu memaknai peredaran matahari, bumi, dan bulan," kata Us Tiarsa.
Bahkan, mereka menjadikan rasi bintang sebagai pedoman dalam bercocok tanam maupun menangkap ikan. Masyarakat Sunda purba sudah mengenal rasi bintang yang dinamai Bentang Kidang, Bentang Waluku, Bentang Langlayangan, Bentang Timur, Bentang Sulintang, dan Bentang Kuskus. "Orang Sunda tidak akan menanam padi ketika matahari bergeser ke utara. Mereka tidak akan mitembeyan (memulai) bertani jika Bentang Kidang (Bintang Kijang) tidak tampak," ujarnya. Rasi bintang lainnya digunakan sebagai pertanda musim.
Menurut Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), kearifan lokal dalam bidang astronomi sudah saatnya digali kembali. Warisan nenek moyang tersebut berguna untuk pelestarian lingkungan.
Masyarakat Sunda tradisional menggunakan siklus gejala alam untuk menandai lintasan waktu, jauh sebelum kalender modern digunakan. Terbit dan terbenamnya matahari, terang dan gelapnya hari, pasang surut air laut, saat berbunga dan berbuahnya tanaman, berpindah dan berkembang-biaknya hewan, merupakan beberapa gejala yang selalu diamati.
"Masyarakat dulu selalu menggunakan bintang untuk menentukan waktu panen. Jika tidak sesuai itu, maka panen bisa gagal karena diserang hama," kata Sobirin. Warisan semacam itu, seharusnya digali kembali.
Berubahnya keadaan alam dan kemajuan teknologi membuat berbagai gejala alam semacam itu tidak lagi teramati. "Sebaiknya, pakar-pakar biologi melakukan penelitian kembali mengenai hal itu. Kalau memang sekarang terjadi perubahan, bisa diketahui perubahannya sejauh mana," tuturnya.
Tanpa mengesampingkan pentingnya teknologi, langkah ini akan berguna ketika perhitungan angka-angka ternyata meleset. "Jadi, tidak akan kehilangan obor," ujarnya. Jika masyarakat lampau mampu memanfaatkan alam semesta untuk memajukan peradabannya, seharusnya dengan teknologi yang dimiliki, masyarakat modern saat ini juga bisa melakukannya.
Astronomi bukan milik ilmuwan saja. Semua yang tampak bertebaran di langit, hanya sebagian kecil dari tata surya. Alam semesta membentang luas masih menyisakan ribuan misteri yang menunggu terkuak. (Catur Ratna Wulandari/"PR")***
No comments:
Post a Comment