Tribun Jabar, Senin 5 Maret 2007
Gambar: www.celsias.com
Oleh SOBIRIN
BERAWAL dari longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005 yang lalu, persoalan sampah terutama di Kota Bandung menjadi superpelik. Kota Bandung paling terpukul dibandingkan Cimahi atau Kab. Bandung. Bencana sampah yang terjadi waktu itu telah membuat panik semua pihak. Walikota Bandung berusaha mencari lokasi TPA di setiap sudut Cekungan Bandung, namun hasilnya nihil. Puluhan lokasi yang dinilai pantas untuk TPA, semuanya ditolak masyarakat dan kurang mendapat dukungan pemerintah setempat. Sementara itu sosialisasi pengolahan sampah agar setiap warga kota mampu mengolah sampahnya sendiri dengan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), terus dilakukan dengan gencar, namun hasilnya tidak banyak berarti, karena kebanyakan warga kota masih tidak ada kepedulian terhadap sampahnya.
Betapa tidak mudah mencari lokasi TPA dan betapa tidak mudah warga kota diminta untuk mengolah sampahnya, kemudian muncul konsep “sapu jagat”, yaitu membangun pabrik sampah menjadi energi (atau istilah kerennya “waste to energy” disingkat WTE atau W2E), yang lokasinya berada di kota sendiri yaitu di kawasan Gedebage. Konsep ini dikaji oleh tim ahli dari ITB dan rencananya awal tahun 2007 akan dimulai pembangunannya. Tetapi sampai bulan Maret 2007 ini belum ada tanda-tanda awal pembangunan, yang ada malah wacana pro dan kontra yang semakin mencuat terhadap rencana pabrik WTE ini.
Sebenarnya dua tahun sebelum kejadian longsor Leuwigajah, pihak Propinsi Jawa Barat melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi telah melakukan kajian mendalam tentang pengelolaan sampah terpadu untuk Bandung Metropolitan yang lebih dikenal dengan nama Greater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC). Kegiatan ini telah melibatkan kesepakatan 5 kabupaten/kota di Cekungan Bandung, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Menurut Dr. Ir. Agus Rachmat dan Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmadja dari BPLHD, dikatakan bahwa belasan rencana lokasi TPA telah dikaji untuk GBWMC ini, antara lain Legoknangka di Nagrek untuk zone Bandung Metropolitan Timur, dan Leuwigajah untuk zone Bandung Metropolitan Barat.
Plus minus pabrik WTE
Segi positif atau kekuatan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Kota Bandung mampu menyelesaikan masalah sampahnya sendiri. Kedua, Kota Bandung diharapkan akan bebas sampah. Ketiga, Kota Bandung tidak tergantung dari wilayah lain untuk tempat pengolahan akhir sampah
Segi negatif atau kelemahan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, kurang sosialisasi yang matang dalam hal kajian lingkungan strategis, amdal, kelayakan dan disain detailnya, sehingga telah menyebabkan wacana pro dan kontra, baik di kalangan para ahli maupun di kalangan rakyat awam. Kedua, masyarakat kurang diberi penjelasan tentang alternatif-alternatif selain pabrik sampah WTE. Misalnya konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang telah dikaji oleh Propinsi Jawa Barat dengan rencana lokasi Legoknangka di Nagrek. Ketiga, walaupun pembangunan pabrik ini merupakan kerja sama antara dua badan usaha (PD Kebersihan dan PT BRILL) yang dikatakan tidak perlu pelelangan, namun bisa terjadi wacana kecemburuan di kalangan badan usaha swasta lainnya bila tidak ada sosialisasi yang transparans.
Adapun peluang dari pabrik WTE ini adalah: pertama, selain menyelesaikan masalah sampah, pabrik ini dapat menambah pasokan listrik. Kedua, Kota Bandung berpeluang meraih cita-cita menjadi kota jasa terbersih dan bermartabat
Sedangkan ancaman dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Pemkot Bandung dinilai tidak konsisten dalam kesepakatan antara 5 kabupaten/kota untuk membangun pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang dikoordinasi oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat, dan berpotensi menggagalkan rencana yang telah matang tersebut. Kedua, pabrik WTE akan kekurangan sampah, karena untuk menghasilkan daya listrik 30 megawatt setidaknya diperlukan sampah 1.800 ton atau 7.200 meter kubik per hari. Sementara, sampah yang diangkut ke TPA Gedig dan Cikubang saja pada saat musibah sampah hanya 600 ton atau 2.400 meter kubik per hari. Apalagi bila konsep 3R (reduce, reuse, recycle) dilaksanakan di sumber sampah, maka volume sampah untuk listrik akan semakin berkurang. Ketiga, Gedebage adalah daerah rawan banjir, pabrik WTE terancam tidak beroperasi bila banjir melanda kawasan ini. Keempat, bila terjadi kegagalan teknologi, Kota Bandung tidak memiliki lokasi alternatif TPA lain, dan pencemaran lingkungan akibat sampah akan kembali melanda dengan skala yang lebih besar. Kelima, mahalnya biaya produksi WTE dikhawatirkan akan dibebankan kepada masyarakat.
Ternyata pabrik WTE ini memiliki sisi positif dan peluang, tapi juga memiliki sisi negatif dan ancaman. Bagaimana analisisnya? Andaikata Pemkot Bandung hanya melihat sisi positif dan peluang saja serta memaksakan kehendak tetap membangun pabrik WTE, berarti menggunakan strategi “agresif” yang akan menghadapi banyak resiko. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi peluang dan negatif, berarti mengambil strategi “turn around”, artinya mengatasi sisi negatif untuk menangkap peluang. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kekuatan dan ancaman, berarti mengambil strategi “diversifikasi”, artinya sisi kekuatan untuk mengatasi ancaman. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kelemahan dan ancaman, berarti mengambil strategi “defensif”, artinya hanya meminimalkan kelemahan dan menghindarkan ancaman, dengan kata lain tidak memaksakan pembangunan WTE.
Demikian pula dengan konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan versi Propinsi Jawa Barat, perlu dikaji plus dan minusnya. Seyogyanya semua pihak termasuk masyarakat ahli dan awam ikut aktif memberi masukan dan penilaian terhadap konsep Pemkot Bandung maupun konsep Pemprov Jawa Barat. Masyarakat menunggu sosialisasi kedua konsep tersebut secara transparan. Tidak perlu ada kontroversi “political will” antara Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat. Konsep yang lebih baik manfaatnya untuk rakyat dan lingkungan tentunya yang akan dipilih rakyat.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Oleh SOBIRIN
BERAWAL dari longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005 yang lalu, persoalan sampah terutama di Kota Bandung menjadi superpelik. Kota Bandung paling terpukul dibandingkan Cimahi atau Kab. Bandung. Bencana sampah yang terjadi waktu itu telah membuat panik semua pihak. Walikota Bandung berusaha mencari lokasi TPA di setiap sudut Cekungan Bandung, namun hasilnya nihil. Puluhan lokasi yang dinilai pantas untuk TPA, semuanya ditolak masyarakat dan kurang mendapat dukungan pemerintah setempat. Sementara itu sosialisasi pengolahan sampah agar setiap warga kota mampu mengolah sampahnya sendiri dengan konsep 3R (reduce, reuse, recycle), terus dilakukan dengan gencar, namun hasilnya tidak banyak berarti, karena kebanyakan warga kota masih tidak ada kepedulian terhadap sampahnya.
Betapa tidak mudah mencari lokasi TPA dan betapa tidak mudah warga kota diminta untuk mengolah sampahnya, kemudian muncul konsep “sapu jagat”, yaitu membangun pabrik sampah menjadi energi (atau istilah kerennya “waste to energy” disingkat WTE atau W2E), yang lokasinya berada di kota sendiri yaitu di kawasan Gedebage. Konsep ini dikaji oleh tim ahli dari ITB dan rencananya awal tahun 2007 akan dimulai pembangunannya. Tetapi sampai bulan Maret 2007 ini belum ada tanda-tanda awal pembangunan, yang ada malah wacana pro dan kontra yang semakin mencuat terhadap rencana pabrik WTE ini.
Sebenarnya dua tahun sebelum kejadian longsor Leuwigajah, pihak Propinsi Jawa Barat melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi telah melakukan kajian mendalam tentang pengelolaan sampah terpadu untuk Bandung Metropolitan yang lebih dikenal dengan nama Greater Bandung Waste Management Corporation (GBWMC). Kegiatan ini telah melibatkan kesepakatan 5 kabupaten/kota di Cekungan Bandung, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Menurut Dr. Ir. Agus Rachmat dan Dr. Ir. Setiawan Wangsaatmadja dari BPLHD, dikatakan bahwa belasan rencana lokasi TPA telah dikaji untuk GBWMC ini, antara lain Legoknangka di Nagrek untuk zone Bandung Metropolitan Timur, dan Leuwigajah untuk zone Bandung Metropolitan Barat.
Plus minus pabrik WTE
Segi positif atau kekuatan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Kota Bandung mampu menyelesaikan masalah sampahnya sendiri. Kedua, Kota Bandung diharapkan akan bebas sampah. Ketiga, Kota Bandung tidak tergantung dari wilayah lain untuk tempat pengolahan akhir sampah
Segi negatif atau kelemahan dari pabrik WTE ini adalah: pertama, kurang sosialisasi yang matang dalam hal kajian lingkungan strategis, amdal, kelayakan dan disain detailnya, sehingga telah menyebabkan wacana pro dan kontra, baik di kalangan para ahli maupun di kalangan rakyat awam. Kedua, masyarakat kurang diberi penjelasan tentang alternatif-alternatif selain pabrik sampah WTE. Misalnya konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang telah dikaji oleh Propinsi Jawa Barat dengan rencana lokasi Legoknangka di Nagrek. Ketiga, walaupun pembangunan pabrik ini merupakan kerja sama antara dua badan usaha (PD Kebersihan dan PT BRILL) yang dikatakan tidak perlu pelelangan, namun bisa terjadi wacana kecemburuan di kalangan badan usaha swasta lainnya bila tidak ada sosialisasi yang transparans.
Adapun peluang dari pabrik WTE ini adalah: pertama, selain menyelesaikan masalah sampah, pabrik ini dapat menambah pasokan listrik. Kedua, Kota Bandung berpeluang meraih cita-cita menjadi kota jasa terbersih dan bermartabat
Sedangkan ancaman dari pabrik WTE ini adalah: pertama, Pemkot Bandung dinilai tidak konsisten dalam kesepakatan antara 5 kabupaten/kota untuk membangun pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan yang dikoordinasi oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat, dan berpotensi menggagalkan rencana yang telah matang tersebut. Kedua, pabrik WTE akan kekurangan sampah, karena untuk menghasilkan daya listrik 30 megawatt setidaknya diperlukan sampah 1.800 ton atau 7.200 meter kubik per hari. Sementara, sampah yang diangkut ke TPA Gedig dan Cikubang saja pada saat musibah sampah hanya 600 ton atau 2.400 meter kubik per hari. Apalagi bila konsep 3R (reduce, reuse, recycle) dilaksanakan di sumber sampah, maka volume sampah untuk listrik akan semakin berkurang. Ketiga, Gedebage adalah daerah rawan banjir, pabrik WTE terancam tidak beroperasi bila banjir melanda kawasan ini. Keempat, bila terjadi kegagalan teknologi, Kota Bandung tidak memiliki lokasi alternatif TPA lain, dan pencemaran lingkungan akibat sampah akan kembali melanda dengan skala yang lebih besar. Kelima, mahalnya biaya produksi WTE dikhawatirkan akan dibebankan kepada masyarakat.
Ternyata pabrik WTE ini memiliki sisi positif dan peluang, tapi juga memiliki sisi negatif dan ancaman. Bagaimana analisisnya? Andaikata Pemkot Bandung hanya melihat sisi positif dan peluang saja serta memaksakan kehendak tetap membangun pabrik WTE, berarti menggunakan strategi “agresif” yang akan menghadapi banyak resiko. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi peluang dan negatif, berarti mengambil strategi “turn around”, artinya mengatasi sisi negatif untuk menangkap peluang. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kekuatan dan ancaman, berarti mengambil strategi “diversifikasi”, artinya sisi kekuatan untuk mengatasi ancaman. Andaikata Pemkot Bandung menggunakan sisi kelemahan dan ancaman, berarti mengambil strategi “defensif”, artinya hanya meminimalkan kelemahan dan menghindarkan ancaman, dengan kata lain tidak memaksakan pembangunan WTE.
Demikian pula dengan konsep pengelolaan sampah terpadu Bandung Metropolitan versi Propinsi Jawa Barat, perlu dikaji plus dan minusnya. Seyogyanya semua pihak termasuk masyarakat ahli dan awam ikut aktif memberi masukan dan penilaian terhadap konsep Pemkot Bandung maupun konsep Pemprov Jawa Barat. Masyarakat menunggu sosialisasi kedua konsep tersebut secara transparan. Tidak perlu ada kontroversi “political will” antara Pemkot Bandung dan Pemprov Jawa Barat. Konsep yang lebih baik manfaatnya untuk rakyat dan lingkungan tentunya yang akan dipilih rakyat.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
No comments:
Post a Comment