Kompas Jawa Barat, Rabu 21 Maret 2007
Foto: BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002
Oleh SOBIRIN
Dalam agenda peringatan hari-hari lingkungan, pada bulan Maret terdapat 3 hari peringatan yang istimewa, selain berurutan juga saling terkait satu sama lain, yaitu tanggal 21 Maret sebagai Hari Hutan Sedunia (World Forest Day), tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day), dan tanggal 23 Maret sebagai Hari Meteorologi Sedunia (World Meteorological Day). Hari Hutan Sedunia sepertinya tidak populer dirayakan di negara kita, mungkin karena masyarakat awam tidak mengetahui, atau masyarakat pengelola hutan malu karena keberadaan hutannya tidak pantas lagi dirayakan. Demikian pula halnya dengan Hari Meteorologi Sedunia, mungkin hanya kalangan masyarakat terkait dengan bidang meteorologi saja yang menyelenggarakan peringatan. Berbeda dengan Hari Air Sedunia, hampir semua kalangan masyarakat ikut merayakannya, mungkin karena unsur air ini langsung berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari manusia. Padahal seharusnya hari-hari peringatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggali kesadaran tentang hutan, air, cuaca, dan iklim. No forest, no water, no future; tidak ada hutan, tidak ada air, tidak ada masa depan; leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.
Krisis nalar
Manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku mekanistis, reduksionistis, buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas, bahkan kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin. Pada tahun 2010 penduduk bumi diprediksi mendekati 7 milyar jiwa, dan akan bertambah satu milyar setiap 15 tahun. Sebanyak 80% penduduk tinggal di negara-negara miskin, dan 20% tinggal di negara-negara kaya. Untuk memenuhi kehidupan telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena, bukan oleh 80% penduduk miskin, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 80% dari seluruh sumber alam dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (United Nations Food and Agriculture Organization, UNFAO) melaporkan bahwa selama tahun 1990-2000, hutan seluas 130 juta hektar telah lenyap dari muka bumi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, karena penebangan yang berlebihan, illegal logging, dan alih fungsi lahan. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan pemanasan global, perubahan iklim, penyimpangan musim, dan perubahan keseimbangan tata air. Menurut World Water Forum III yang diselenggarakan di Jepang (2003), satu dari tiga orang di muka bumi telah mengalami kekurangan air minum, dan sekitar 800 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam. Di samping itu, bencana demi bencana bermunculan, dan yang menjadi korban kebanyakan adalah penduduk dari negara-negara miskin termasuk Indonesia. Jenis dan jumlah kejadian bencana alam yang terjadi di muka bumi ini menurut catatan Organisasi Meteorologi Sedunia atau World Meteorological Organization, WMO (2006), disebutkan banjir 37%, kebakaran 5%, letusan gunungberapi 2%, badai 28%, tanah longsor 6%, kekeringan/ kelaparan 9%, gempa 8%, temperatur ekstrim 5%. Dari sekian banyak jenis dan jumlah kejadian bencana, 90% diantaranya berkaitan dengan masalah cuaca, iklim, dan air, yang diprediksi sebagian besar sebagai dampak perilaku manusia di muka bumi.
Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengalami krisis ekologi. Menurut catatan UNFAO, dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektar per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan WALHI, laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektar per tahun, atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit. Dampaknya hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia menjadi kritis. Bencana iklimpun semakin meningkat, baik frekwensi maupun skalanya. Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR) mencatat saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa memiliki Indek Ketersediaan Air (IKA) 16.800 meter kubik/kapita/tahun, dan diprediksi akan menurun menjadi 9.200 meter kubik/kapita/tahun pada tahun 2025 pada saat jumlah penduduk diprediksi 273 juta jiwa. Diantara pulau-pulau di Indonesia, saat ini harus diwaspadai Pulau Jawa sedang mengalami tekananan ketersediaan air yang parah, yaitu hanya 1.600 m3/kapita/tahun, karena luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar di Indonesia, tetapi harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Kontrak ekologi
Memelihara hutan, baik berupa hutan alam maupun hutan buatan di dalam DAS sudah merupakan suatu keharusan dan bukan kemewahan, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, menangkap/menyimpan/mengendalikan air, serta dapat mencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Prof. M.T. Zen, mantan Guru Besar ITB, menekankan manusia harus membuat kontrak ekologi dengan alam sekarang juga, untuk tidak lagi merusak alam, dan harus arif terhadap alam. Contoh kisah sukses adalah kota New York di Amerika Serikat. yang berhasil melindungi sumber daya air dengan menanam dan memelihara hutan lidung di daerah tangkapan hujannya. Bahkan hamparan hutan ini mampu menyediakan air bersih 1,3 milyar galon per hari untuk memenuhi kebutuhan 9 juta penduduk Kota New York. Kota-kota lain yang telah mengikuti jejak New York adalah Tokyo, Barcelona, dan Melbourne. Sangat berkebalikan dengan Kota Bandung dan Kota Jakarta, dan hampir semua kota besar di Indonesia, yang saat ini justru sedang menghancurkan kawasan lindungnya sendiri. Ibarat siput sedang merusak cangkangnya sendiri. Timbul tiga masalah klasik, di waktu musim hujan air sangat banyak menjadi bencana banjir, di musim kemarau air sangat sedikit menjadi bencana kekeringan, di sepanjang tahun air sangat kotor menjadi penyakit.
Selamat memperingati Hari Hutan Sedunia 21 Maret, Hari Air Sedunia 22 Maret, dan Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret. Sangat baik bila peringatan ini diperpanjang sampai Hari Bumi 22 April. Seyogyanya bukan sekedar peringatan yang seremonial, pidato, seminar, lomba gambar, makan minum, terus bubar begitu saja. Akan tetapi peringatan yang berprogram dan berbobot dengan tindak nyata, misalnya dengan menanam pohon di kawasan lindung, dan diukur keberhasilannya ketika memperingati hari-hari yang sama pada tahun berikutnya.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Bandung Spirit
Foto: BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002
Oleh SOBIRIN
Dalam agenda peringatan hari-hari lingkungan, pada bulan Maret terdapat 3 hari peringatan yang istimewa, selain berurutan juga saling terkait satu sama lain, yaitu tanggal 21 Maret sebagai Hari Hutan Sedunia (World Forest Day), tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day), dan tanggal 23 Maret sebagai Hari Meteorologi Sedunia (World Meteorological Day). Hari Hutan Sedunia sepertinya tidak populer dirayakan di negara kita, mungkin karena masyarakat awam tidak mengetahui, atau masyarakat pengelola hutan malu karena keberadaan hutannya tidak pantas lagi dirayakan. Demikian pula halnya dengan Hari Meteorologi Sedunia, mungkin hanya kalangan masyarakat terkait dengan bidang meteorologi saja yang menyelenggarakan peringatan. Berbeda dengan Hari Air Sedunia, hampir semua kalangan masyarakat ikut merayakannya, mungkin karena unsur air ini langsung berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari manusia. Padahal seharusnya hari-hari peringatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menggali kesadaran tentang hutan, air, cuaca, dan iklim. No forest, no water, no future; tidak ada hutan, tidak ada air, tidak ada masa depan; leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak.
Krisis nalar
Manusia modern sekarang ini telah kehilangan nalar, akal budi, pertimbangan baik buruk, bersifat korup, berperilaku mekanistis, reduksionistis, buta terhadap kearifan alam, menguras sumber daya alam melampaui batas, bahkan kelompok kaya tidak lagi peduli terhadap kelompok miskin. Pada tahun 2010 penduduk bumi diprediksi mendekati 7 milyar jiwa, dan akan bertambah satu milyar setiap 15 tahun. Sebanyak 80% penduduk tinggal di negara-negara miskin, dan 20% tinggal di negara-negara kaya. Untuk memenuhi kehidupan telah terjadi eksploitasi sumber daya alam secara semena-mena, bukan oleh 80% penduduk miskin, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 80% dari seluruh sumber alam dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (United Nations Food and Agriculture Organization, UNFAO) melaporkan bahwa selama tahun 1990-2000, hutan seluas 130 juta hektar telah lenyap dari muka bumi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, karena penebangan yang berlebihan, illegal logging, dan alih fungsi lahan. Dampak yang dirasakan adalah peningkatan pemanasan global, perubahan iklim, penyimpangan musim, dan perubahan keseimbangan tata air. Menurut World Water Forum III yang diselenggarakan di Jepang (2003), satu dari tiga orang di muka bumi telah mengalami kekurangan air minum, dan sekitar 800 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam. Di samping itu, bencana demi bencana bermunculan, dan yang menjadi korban kebanyakan adalah penduduk dari negara-negara miskin termasuk Indonesia. Jenis dan jumlah kejadian bencana alam yang terjadi di muka bumi ini menurut catatan Organisasi Meteorologi Sedunia atau World Meteorological Organization, WMO (2006), disebutkan banjir 37%, kebakaran 5%, letusan gunungberapi 2%, badai 28%, tanah longsor 6%, kekeringan/ kelaparan 9%, gempa 8%, temperatur ekstrim 5%. Dari sekian banyak jenis dan jumlah kejadian bencana, 90% diantaranya berkaitan dengan masalah cuaca, iklim, dan air, yang diprediksi sebagian besar sebagai dampak perilaku manusia di muka bumi.
Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah mengalami krisis ekologi. Menurut catatan UNFAO, dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektar per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan WALHI, laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektar per tahun, atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit. Dampaknya hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia menjadi kritis. Bencana iklimpun semakin meningkat, baik frekwensi maupun skalanya. Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR) mencatat saat ini Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa memiliki Indek Ketersediaan Air (IKA) 16.800 meter kubik/kapita/tahun, dan diprediksi akan menurun menjadi 9.200 meter kubik/kapita/tahun pada tahun 2025 pada saat jumlah penduduk diprediksi 273 juta jiwa. Diantara pulau-pulau di Indonesia, saat ini harus diwaspadai Pulau Jawa sedang mengalami tekananan ketersediaan air yang parah, yaitu hanya 1.600 m3/kapita/tahun, karena luasnya hanya 7% dari daratan Indonesia, hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar di Indonesia, tetapi harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.
Kontrak ekologi
Memelihara hutan, baik berupa hutan alam maupun hutan buatan di dalam DAS sudah merupakan suatu keharusan dan bukan kemewahan, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, menangkap/menyimpan/mengendalikan air, serta dapat mencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Prof. M.T. Zen, mantan Guru Besar ITB, menekankan manusia harus membuat kontrak ekologi dengan alam sekarang juga, untuk tidak lagi merusak alam, dan harus arif terhadap alam. Contoh kisah sukses adalah kota New York di Amerika Serikat. yang berhasil melindungi sumber daya air dengan menanam dan memelihara hutan lidung di daerah tangkapan hujannya. Bahkan hamparan hutan ini mampu menyediakan air bersih 1,3 milyar galon per hari untuk memenuhi kebutuhan 9 juta penduduk Kota New York. Kota-kota lain yang telah mengikuti jejak New York adalah Tokyo, Barcelona, dan Melbourne. Sangat berkebalikan dengan Kota Bandung dan Kota Jakarta, dan hampir semua kota besar di Indonesia, yang saat ini justru sedang menghancurkan kawasan lindungnya sendiri. Ibarat siput sedang merusak cangkangnya sendiri. Timbul tiga masalah klasik, di waktu musim hujan air sangat banyak menjadi bencana banjir, di musim kemarau air sangat sedikit menjadi bencana kekeringan, di sepanjang tahun air sangat kotor menjadi penyakit.
Selamat memperingati Hari Hutan Sedunia 21 Maret, Hari Air Sedunia 22 Maret, dan Hari Meteorologi Sedunia 23 Maret. Sangat baik bila peringatan ini diperpanjang sampai Hari Bumi 22 April. Seyogyanya bukan sekedar peringatan yang seremonial, pidato, seminar, lomba gambar, makan minum, terus bubar begitu saja. Akan tetapi peringatan yang berprogram dan berbobot dengan tindak nyata, misalnya dengan menanam pohon di kawasan lindung, dan diukur keberhasilannya ketika memperingati hari-hari yang sama pada tahun berikutnya.
Penulis: Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Bandung Spirit
No comments:
Post a Comment