DAMPAK PENATAAN RUANG DAN PERILAKU TIDAK KONSISTEN
Pusair, Workshop Polder, Jakarta, 3 Juli 2007
Foto: Rian Info Gading 2007, Banjir Jakarta
Dirangkum oleh: Sobirin/ DPKLTS
Dari berbagai sumber, untuk bahan kesimpulan Workshop Polder
Usia upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap.
Bab I: Sejarah Penanggulangan Banjir Jakarta
Usia upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap. Pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini 5 tahunan. Catatan bencana banjir besar di kota ini yang terentang mulai tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, 2002, dan 2007.
Perubahan tata lingkungan Jakarta dan daerah-daerah penyangga di sebelah selatan, penataan ruang perkotaan yang melupakan potensi daya guna dan daya rusak air, serta perilaku warga yang cenderung tidak peduli lingkungan adalah penyebab kejadian banjir di Jakarta
Pada 1854 berdiri BOW, yaitu badan khusus yang bertugas mengurusi banjir (Burgelijke Openbare Werken), cikal bakal Departemen PU. Instansi ini tak berkutik menghadapi banjir Batavia. Puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter.
Pada 1920 muncul konsep Prof. Herman van Breen tentang penanggulangan banjir Batavia. Konsep ini lahir setelah Batavia dilanda lagi banjir hebat pada 1918. Konsep van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Penetapan Manggarai sebagai titik awal karena saat itu, wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal Barat ini mulai dibangun tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal ini dilengkapi beberapa pintu air, antara lain: Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal Barat, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota.
Pada 1965 dibentuk Kopro Banjir. Konsep van Breen tetap menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta, maka Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Pemerintah Pusat turun tangan melalui Keputusan Presiden RI No. 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk "Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta", disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Dalam mengatasi banjir Jakarta, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun oleh van Breen. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain sebagai berikut ini:
Pertama: Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya.
Kedua: Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur.
Ketiga: Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
Pada 1973 dibuat Master Plan Pengendalian Banjir 1973, dan dikenal sebagai MP 73 (Master Plan For Drainage and Flood Control of Jakarta). Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan. Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam MP 73, antara lain rencananya yaitu sebagai berikut ini:
Pertama: Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai "Cengkareng Drain".
Kedua: Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai "Cakung Drain", untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga "banjir kanal", masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.
Pada 1981 MP 73 dimodifikasi menjadi MP 81, yang antara lain merencanakan:
Pertama: Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke.
Kedua: Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah.
Ketiga: Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol.
Keempat: Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart.
Kelima: Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa).
Keenam: Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.
Pada 1997 master plan diperbarui lagi menjadi MP 97 (Master for Comprehensive River and Water Management in Jabotabek), antara lain berupaya merealisasikan rencana saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.
Pada 2003 BKT dicanangkan kembali. Ketidak-adaan dana menyebabkan proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa selesai tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilyun ini akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter. Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta. Di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Sebagian besar anggaran itu, yakni Rp 2,186 trilyun, untuk pembebasan lahan.
Pencegahan banjir dimulai dari hulu. Dalam konsep van Breen, tampak disadari bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah hulu, dibangun dua bendung yakni: Bendung Katulampa di Ciawi, dan Bendung Empang di hulu Sungai Cisadane. Untuk mengalirkan air dari Bendung Katulampa dibangun saluran yang kini dikenal sebagai saluran Kalibaru Timur yang letaknya sejajar dengan ruas Jalan Raya Bogor. Saluran ini bermuara di Kali Sentiong dan berakhir di Muara Ancol. Sedangkan untuk aliran air dari Bendung Empang dibangun saluran Kalibaru Barat yang letaknya sejajar dengan Jalan Citayem-Depok-Lenteng Agung hingga Jalan Saharjo, dan bermuara di Banjir Kanal Barat dekat Pintu Air Manggarai.
RTH sebagai penyimpan air. Tidak kalah penting adalah membuat agar air bisa sebanyak-banyaknya tersimpan di kawasan lindung hulu dan teresap ke dalam tanah, bukan mengalir tidak terkendali di permukaan. Kondisi ini bisa terjadi bila daerah hulu atau selatan Jakarta memperluas areal ruang terbuka hijau (RTH). Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kawasan lindung tangkapan air terus menyusut, terdesak oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok. Rencana pembangunan Waduk Depok, walau sudah dilakukan studi kelayakan, kini yang terjadi malah terhampar permukiman elit di atas lahan yang semula untuk waduk. Nasib serupa menimpa situ-situ yang pernah ada, yang diperkirakan mencapai 200-an. Kondisinya sungguh menyedihkan. Sebagian besar sudah menghilang, berubah menjadi kawasan permukiman dan budidaya lainnya.
Banjir 2007 sebagai pelajaran terakhir? Penanggulangan banjir Jakarta memang seolah hanya wacana, walau telah banyak rencana namun selalu terkendala biaya. Apalagi terbukti dengan banjir besar yang terjadi di awal 2007. Jakarta lumpuh, 80% wilayah Jakarta terendam banjir dan menimbulkan kerugian sangat besar, yang ditaksir mencapai Rp. 8, 299 trilyun, belum termasuk kerugian yang diderita oleh tiap-tiap penduduk Jakarta.
Mampukah teknologi polder mengatasi banjir? Kota Jakarta adalah dataran aluvial banjir yang dialiri oleh 13 sungai, yaitu di bagian timur sungai-sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang, di bagian tengah sungai-sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut, di bagian barat sungai-sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke. Bahkan 40% bagian utara Kota Jakarta terletak pada daerah dataran rendah dibawah muka air laut pasang. Teknologi polder dari Negeri Belanda telah dicoba diterapkan di Jakarta, di Pantai Indah Kapuk (PIK). Tahun 2002 dan 2007, saat banjir besar melanda Jakarta saluran air sekunder dan tersier PIK tetap kering. Tiga pompa besar sistem di kawasan itu sukses mengendalikan debit air di saluran primer. Belajar dari pengalaman panjang ini jelas terlihat Jakarta dituntut butuh visi besar, radikal, konsisten dan holistik agar terhindar dari bencana banjir di masa datang.
Bab II: Penataan Ruang Berbasis Sumber Daya Air
Sifat air selalu mengalir mencari “jalan”nya sendiri, dan akan “parkir” di tempat biasanya “parkir”. Penataan ruang kawasan yang menggangu “jalan” air dan mengubah fungsi tempat “parkir” air akan membahayakan kawasan tersebut.
Dinamika air sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Dinamika air mengikuti siklus hidrologi, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga seharusnya dinamika air ini merupakan faktor dominan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Potensi daya guna air akan berubah menjadi potensi daya rusak air bila penataan ruang suatu wilayah tidak mengacu kepada sifat dinamika air.
Tiga metode pendekatan mengatasi banjir. Mengatasi masalah banjir di suatu kawasan dapat menggunakan 3 pendekatan sesuai situasi dan kondisi setempat, yaitu: “Take away people from water”, atau “take away water from people”, atau “living harmony together with water”.
Bab III: Bencana Akibat Tata Ruang dan Perilaku Tidak Konsisten
Pertama: Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan kelestarian lingkungan hidup. Tidak konsistennya pemanfaatan ruang, baik oleh pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat, dalam bentuk alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi faktor utama penyebab bencana, bisa berupa bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Kedua: Akibat Pemprov DKI Jakarta terlalu longgar dalam mengeluarkan izin untuk peruntukan lahan, maka telah terjadi penyimpangan hingga 70% atas Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010 (Perda No. 6 Th 1999).
Ketiga: Peruntukan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta telah semakin menyempit. Dalam Master Plan DKI Jakarta 1965-1985, RTH ditargetkan 27, 6%. Master Plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi menjadi 26,1% dan yang terburuk adalah melalui Master Plan DKI Jakarta 2000-2010 yang menghabisi peruntukan RTH menjadi 13,94% atau 9.5444 hektar yang hingga hari ini baru tercapai 6.623 hektar atau 6,7% dari keseluruhan wilayah DKI Jakarta. Mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam tata ruang perkotaan perlu dibangun ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.
Bab IV: Instrumen legal penataan ruang Jabodetabekjur
Pertama: Tata Ruang Jabodetabek dan Bopunjur (2010)
Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997, Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Tertentu dan Kawasan Andalan. Fungsi ruang Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur dalam Tata Ruang Wilayah Nasional antara lain adalah sebagai satu kesatuan ekologis DAS yang mencakup ekologi pegunungan sampai pada ekologi pantai/ pesisir.
Kedua: Tata Ruang Bopunjur
Berdasarkan Keppres no. 114/1999 (sampai dengan tahun 2014) mengarahkan sebagian kawasan Bopunjur untuk berfungsi sebagai daerah resapan yaitu seluas 83,88%, sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perkotaan seluas 16,12%.
Ketiga: Tata Ruang DKI Jakarta (2010)
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2010 (Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta) disebutkan bahwa pembangunan Kota Jakarta diarahkan dengan visi mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan misi, antara lain: membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat, dan mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. Adapun kebijakan pengembangan tata ruang Kota Jakarta antara lain: memproritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor timur, barat, utara dan membatasi pengembangan ke arah selatan agar tercapai keseimbangan ekosistem, selain itu juga melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Keempat: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010)
Bodebek diarahkan menjadi kawasan unggulan industri manufaktur, pariwisata dan jasa yang mempunyai keterkaitan dengan sumber daya lokal, berdaya saing, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan , dengan tetap mempertahankan kawasan lindung serta situ-situ yang berfungsi sebagai resapan air.
Bopunjur diarahkan menjadi kawasan unggulan agrobisnis dan agrowisata dengan memberdayakan masyarakat setempat dan tetap mempertahankan fungsi konservasi, melalui reboisasi, rehabilitasi lahan kering dan konservasi sumber daya alam, untuk menjamin berlangsungnya konservasi air dan tanah di kawasan Bopunjur dan menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.
Bab V: Penanggulangan Banjir Berbasis Masyarakat
Pertama: Manusia dan Lingkungan
Man and Environment is equal. Pandangan ini beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di alam jagad raya ini, baik yang hidup maupun yang mati, memiliki karakteristik yang saling terkait. Manusia sederajat dengan setiap makhluk dan benda yang ada di alam raya. Pandangan ini biasanya berlaku di kalangan komunitas tradisionil dengan kehidupan yang sangat sederhana. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan ekosentrisme.
Man dominates environment. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi derajatnya di alam raya ini. Segala sesuatu yang ada di alam ini dianggapnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan dan kepuasan manusia. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan antroposentrisme.
Man and environment is in harmony. Pandangan ini beranggapan bahwa antara manusia dan alam harus hidup bersama secara harmonis. Pandangan ini hampir mirim ekosentrisme, tetapi lebih berpandangan untuk masa depan yang berkelanjutan. Pandangan demikian mampu melestarikan dan memulihkan keseimbangan ekosistem.
Kedua: Sustainable Development
Pergeseran paradigma pembangunan yang lebih menekankan kepada aspek sustainable development, termasuk sustainable human development, diharapkan dapat menimbulkan pergeseran dalam pemahaman pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Paradigma sektoral diubah ke integrated atau holistik. Paradigma unilinier diubah ke multilinier. Kearifan tradisional atau local wisdom tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan, tetapi sebagai energi sosial yang mendorong dinamika pembangunan. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. Paradigma 3 P (for people, for planet, for people). Pemahaman-pemahaman semacam ini diyakini akan dapat mempercepat penanggulangan banjir di Jakarta.
Daftar Pustaka
Algooth Putranto. 2007. Banjir Jakarta Dulu dan Sekarang. History of Jakarta Flood. Versi lain dimuat Bisnis indonesia 8 Februari 2007.
Ant/Ads. 2003. Tata Ruang Harus Ikuti Pengelolaan Sumber Daya Air. Sinar Harapan 2003.
Hidayat Gunadi. 2007. Jakarta Under Water. Pocket CBN. Hot Topic Sun, 11 Feb 2007.
Kusnaka Adimihardja. 2003. Membangun Kapabilitas Manajemen Lingkungan. Dalam Otonomi Pengelolaan Sumberdaya dan Pengembangan Masyarakat. Adjat Sudradjat. 2007. LPM UNPAD.
NAW/PIN. 2004. 70% Lahan di Jakarta Beralih Fungsi. Kompas Metropolitas. 30 Juli 2004.
Paulus Londo. 2002. Strategi Prof Dr H van Breen Menyelamatkan Jakarta dari Banjir. Kompas. 5 Februari 2002.
Pusdatin. 2005. Konsep Pemerintah Dalam Mengatasi Penanganan Banjir. PU-net. Departemen Pekerjaan Umum. 16/2/2005.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Setia Lesmana. 2007. Penanggulangan Banjir, Selalu Sebatas Wacana! Suara Pembaruan Daily. Last modified: 10/2/07.
Urban Poor Consortium. 2007. Banjir Jakarta 2007: Bukti Kegagalan Pemerintah Mengantsipipasi Banjir. UPC.19 Juni 2007.
Zain, dkk. 2002. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bencana Banjir. Bab 3 final. Down load dari www.google.com.
Bab I: Sejarah Penanggulangan Banjir Jakarta
Usia upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap. Pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini 5 tahunan. Catatan bencana banjir besar di kota ini yang terentang mulai tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, 2002, dan 2007.
Perubahan tata lingkungan Jakarta dan daerah-daerah penyangga di sebelah selatan, penataan ruang perkotaan yang melupakan potensi daya guna dan daya rusak air, serta perilaku warga yang cenderung tidak peduli lingkungan adalah penyebab kejadian banjir di Jakarta
Pada 1854 berdiri BOW, yaitu badan khusus yang bertugas mengurusi banjir (Burgelijke Openbare Werken), cikal bakal Departemen PU. Instansi ini tak berkutik menghadapi banjir Batavia. Puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter.
Pada 1920 muncul konsep Prof. Herman van Breen tentang penanggulangan banjir Batavia. Konsep ini lahir setelah Batavia dilanda lagi banjir hebat pada 1918. Konsep van Breen dan kawan-kawan sebenarnya sederhana, namun perlu perhitungan cermat dan pelaksanaannya butuh biaya tinggi. Substansinya adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk kota. Karena itu, perlu dibangun saluran kolektor di pinggir selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut melalui tepian barat kota. Saluran kolektor yang dibangun itu kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) yang memotong Kota Jakarta dari Pintu Air Manggarai bermuara di kawasan Muara Angke. Penetapan Manggarai sebagai titik awal karena saat itu, wilayah ini merupakan batas selatan kota yang relatif aman dari gangguan banjir sehingga memudahkan sistem pengendalian aliran air di saat musim hujan. Banjir Kanal Barat ini mulai dibangun tahun 1922. Dikerjakan bertahap yakni dari Pintu Air Manggarai menuju Barat, memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran air ke dalam kota, banjir kanal ini dilengkapi beberapa pintu air, antara lain: Pintu Air Manggarai (untuk mengatur debit Kali Ciliwung Lama) dan Pintu Air Karet (untuk membersihkan Kali Krukut Lama dan Kali Cideng Bawah dan terus ke Muara Baru). Dengan adanya Banjir Kanal Barat, beban sungai di utara saluran kolektor relatif terkendali. Karena itu, alur-alur tersebut, serta beberapa kanal yang dibangun kemudian, dimanfaatkan sebagai sistem makro drainase kota guna mengatasi genangan air di dalam kota.
Pada 1965 dibentuk Kopro Banjir. Konsep van Breen tetap menjadi acuan bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Namun, akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta, maka Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius. Pemerintah Pusat turun tangan melalui Keputusan Presiden RI No. 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk "Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta", disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta. Dalam mengatasi banjir Jakarta, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun oleh van Breen. Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu. Karenanya, dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain sebagai berikut ini:
Pertama: Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya.
Kedua: Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur.
Ketiga: Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
Pada 1973 dibuat Master Plan Pengendalian Banjir 1973, dan dikenal sebagai MP 73 (Master Plan For Drainage and Flood Control of Jakarta). Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan. Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam MP 73, antara lain rencananya yaitu sebagai berikut ini:
Pertama: Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai "Cengkareng Drain".
Kedua: Membangun Saluran Kolektor di bagian Timur yang kemudian dikenal sebagai "Cakung Drain", untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta memiliki tiga "banjir kanal", masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.
Pada 1981 MP 73 dimodifikasi menjadi MP 81, yang antara lain merencanakan:
Pertama: Banjir kanal yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke.
Kedua: Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah.
Ketiga: Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol.
Keempat: Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Moorkervart.
Kelima: Pengembangan area layanan Polder (waduk dan pompa).
Keenam: Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali.
Pada 1997 master plan diperbarui lagi menjadi MP 97 (Master for Comprehensive River and Water Management in Jabotabek), antara lain berupaya merealisasikan rencana saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.
Pada 2003 BKT dicanangkan kembali. Ketidak-adaan dana menyebabkan proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa selesai tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilyun ini akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter. Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta. Di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Sebagian besar anggaran itu, yakni Rp 2,186 trilyun, untuk pembebasan lahan.
Pencegahan banjir dimulai dari hulu. Dalam konsep van Breen, tampak disadari bahwa banjir yang selalu mengancam Jakarta tak akan teratasi jika hanya memperbaiki sistem tata air di dalam kota. Karena itu pencegahan di daerah hulu pun harus dikelola terpadu. Oleh karena itu, untuk mengendalikan aliran di daerah hulu perlu dibangun beberapa bendungan untuk penampungan sementara, sebelum air dialirkan ke hilir. Sebagai implementasi dari rencana pencegahan di daerah hulu, dibangun dua bendung yakni: Bendung Katulampa di Ciawi, dan Bendung Empang di hulu Sungai Cisadane. Untuk mengalirkan air dari Bendung Katulampa dibangun saluran yang kini dikenal sebagai saluran Kalibaru Timur yang letaknya sejajar dengan ruas Jalan Raya Bogor. Saluran ini bermuara di Kali Sentiong dan berakhir di Muara Ancol. Sedangkan untuk aliran air dari Bendung Empang dibangun saluran Kalibaru Barat yang letaknya sejajar dengan Jalan Citayem-Depok-Lenteng Agung hingga Jalan Saharjo, dan bermuara di Banjir Kanal Barat dekat Pintu Air Manggarai.
RTH sebagai penyimpan air. Tidak kalah penting adalah membuat agar air bisa sebanyak-banyaknya tersimpan di kawasan lindung hulu dan teresap ke dalam tanah, bukan mengalir tidak terkendali di permukaan. Kondisi ini bisa terjadi bila daerah hulu atau selatan Jakarta memperluas areal ruang terbuka hijau (RTH). Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kawasan lindung tangkapan air terus menyusut, terdesak oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok. Rencana pembangunan Waduk Depok, walau sudah dilakukan studi kelayakan, kini yang terjadi malah terhampar permukiman elit di atas lahan yang semula untuk waduk. Nasib serupa menimpa situ-situ yang pernah ada, yang diperkirakan mencapai 200-an. Kondisinya sungguh menyedihkan. Sebagian besar sudah menghilang, berubah menjadi kawasan permukiman dan budidaya lainnya.
Banjir 2007 sebagai pelajaran terakhir? Penanggulangan banjir Jakarta memang seolah hanya wacana, walau telah banyak rencana namun selalu terkendala biaya. Apalagi terbukti dengan banjir besar yang terjadi di awal 2007. Jakarta lumpuh, 80% wilayah Jakarta terendam banjir dan menimbulkan kerugian sangat besar, yang ditaksir mencapai Rp. 8, 299 trilyun, belum termasuk kerugian yang diderita oleh tiap-tiap penduduk Jakarta.
Mampukah teknologi polder mengatasi banjir? Kota Jakarta adalah dataran aluvial banjir yang dialiri oleh 13 sungai, yaitu di bagian timur sungai-sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran, Sunter, dan Cipinang, di bagian tengah sungai-sungai Ciliwung, Cideng, dan Krukut, di bagian barat sungai-sungai Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Mookervart, dan Angke. Bahkan 40% bagian utara Kota Jakarta terletak pada daerah dataran rendah dibawah muka air laut pasang. Teknologi polder dari Negeri Belanda telah dicoba diterapkan di Jakarta, di Pantai Indah Kapuk (PIK). Tahun 2002 dan 2007, saat banjir besar melanda Jakarta saluran air sekunder dan tersier PIK tetap kering. Tiga pompa besar sistem di kawasan itu sukses mengendalikan debit air di saluran primer. Belajar dari pengalaman panjang ini jelas terlihat Jakarta dituntut butuh visi besar, radikal, konsisten dan holistik agar terhindar dari bencana banjir di masa datang.
Bab II: Penataan Ruang Berbasis Sumber Daya Air
Sifat air selalu mengalir mencari “jalan”nya sendiri, dan akan “parkir” di tempat biasanya “parkir”. Penataan ruang kawasan yang menggangu “jalan” air dan mengubah fungsi tempat “parkir” air akan membahayakan kawasan tersebut.
Dinamika air sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Dinamika air mengikuti siklus hidrologi, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, sehingga seharusnya dinamika air ini merupakan faktor dominan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Potensi daya guna air akan berubah menjadi potensi daya rusak air bila penataan ruang suatu wilayah tidak mengacu kepada sifat dinamika air.
Tiga metode pendekatan mengatasi banjir. Mengatasi masalah banjir di suatu kawasan dapat menggunakan 3 pendekatan sesuai situasi dan kondisi setempat, yaitu: “Take away people from water”, atau “take away water from people”, atau “living harmony together with water”.
Bab III: Bencana Akibat Tata Ruang dan Perilaku Tidak Konsisten
Pertama: Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan kelestarian lingkungan hidup. Tidak konsistennya pemanfaatan ruang, baik oleh pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat, dalam bentuk alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi faktor utama penyebab bencana, bisa berupa bencana banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Kedua: Akibat Pemprov DKI Jakarta terlalu longgar dalam mengeluarkan izin untuk peruntukan lahan, maka telah terjadi penyimpangan hingga 70% atas Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010 (Perda No. 6 Th 1999).
Ketiga: Peruntukan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta telah semakin menyempit. Dalam Master Plan DKI Jakarta 1965-1985, RTH ditargetkan 27, 6%. Master Plan DKI Jakarta 1985-2005 kemudian mempersempit lagi menjadi 26,1% dan yang terburuk adalah melalui Master Plan DKI Jakarta 2000-2010 yang menghabisi peruntukan RTH menjadi 13,94% atau 9.5444 hektar yang hingga hari ini baru tercapai 6.623 hektar atau 6,7% dari keseluruhan wilayah DKI Jakarta. Mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa dalam tata ruang perkotaan perlu dibangun ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.
Bab IV: Instrumen legal penataan ruang Jabodetabekjur
Pertama: Tata Ruang Jabodetabek dan Bopunjur (2010)
Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997, Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Tertentu dan Kawasan Andalan. Fungsi ruang Kawasan Jabodetabek dan Bopunjur dalam Tata Ruang Wilayah Nasional antara lain adalah sebagai satu kesatuan ekologis DAS yang mencakup ekologi pegunungan sampai pada ekologi pantai/ pesisir.
Kedua: Tata Ruang Bopunjur
Berdasarkan Keppres no. 114/1999 (sampai dengan tahun 2014) mengarahkan sebagian kawasan Bopunjur untuk berfungsi sebagai daerah resapan yaitu seluas 83,88%, sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perkotaan seluas 16,12%.
Ketiga: Tata Ruang DKI Jakarta (2010)
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta tahun 2010 (Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta) disebutkan bahwa pembangunan Kota Jakarta diarahkan dengan visi mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan misi, antara lain: membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat, dan mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan. Adapun kebijakan pengembangan tata ruang Kota Jakarta antara lain: memproritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor timur, barat, utara dan membatasi pengembangan ke arah selatan agar tercapai keseimbangan ekosistem, selain itu juga melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Keempat: RTRW Provinsi Jawa Barat (2010)
Bodebek diarahkan menjadi kawasan unggulan industri manufaktur, pariwisata dan jasa yang mempunyai keterkaitan dengan sumber daya lokal, berdaya saing, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan , dengan tetap mempertahankan kawasan lindung serta situ-situ yang berfungsi sebagai resapan air.
Bopunjur diarahkan menjadi kawasan unggulan agrobisnis dan agrowisata dengan memberdayakan masyarakat setempat dan tetap mempertahankan fungsi konservasi, melalui reboisasi, rehabilitasi lahan kering dan konservasi sumber daya alam, untuk menjamin berlangsungnya konservasi air dan tanah di kawasan Bopunjur dan menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.
Bab V: Penanggulangan Banjir Berbasis Masyarakat
Pertama: Manusia dan Lingkungan
Man and Environment is equal. Pandangan ini beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di alam jagad raya ini, baik yang hidup maupun yang mati, memiliki karakteristik yang saling terkait. Manusia sederajat dengan setiap makhluk dan benda yang ada di alam raya. Pandangan ini biasanya berlaku di kalangan komunitas tradisionil dengan kehidupan yang sangat sederhana. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan ekosentrisme.
Man dominates environment. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi derajatnya di alam raya ini. Segala sesuatu yang ada di alam ini dianggapnya dapat dieksploitasi untuk kepentingan dan kepuasan manusia. Pandangan ini melahirkan etika lingkungan antroposentrisme.
Man and environment is in harmony. Pandangan ini beranggapan bahwa antara manusia dan alam harus hidup bersama secara harmonis. Pandangan ini hampir mirim ekosentrisme, tetapi lebih berpandangan untuk masa depan yang berkelanjutan. Pandangan demikian mampu melestarikan dan memulihkan keseimbangan ekosistem.
Kedua: Sustainable Development
Pergeseran paradigma pembangunan yang lebih menekankan kepada aspek sustainable development, termasuk sustainable human development, diharapkan dapat menimbulkan pergeseran dalam pemahaman pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Paradigma sektoral diubah ke integrated atau holistik. Paradigma unilinier diubah ke multilinier. Kearifan tradisional atau local wisdom tidak dianggap sebagai penghambat pembangunan, tetapi sebagai energi sosial yang mendorong dinamika pembangunan. Termasuk dalam hal ini adalah perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. Paradigma 3 P (for people, for planet, for people). Pemahaman-pemahaman semacam ini diyakini akan dapat mempercepat penanggulangan banjir di Jakarta.
Daftar Pustaka
Algooth Putranto. 2007. Banjir Jakarta Dulu dan Sekarang. History of Jakarta Flood. Versi lain dimuat Bisnis indonesia 8 Februari 2007.
Ant/Ads. 2003. Tata Ruang Harus Ikuti Pengelolaan Sumber Daya Air. Sinar Harapan 2003.
Hidayat Gunadi. 2007. Jakarta Under Water. Pocket CBN. Hot Topic Sun, 11 Feb 2007.
Kusnaka Adimihardja. 2003. Membangun Kapabilitas Manajemen Lingkungan. Dalam Otonomi Pengelolaan Sumberdaya dan Pengembangan Masyarakat. Adjat Sudradjat. 2007. LPM UNPAD.
NAW/PIN. 2004. 70% Lahan di Jakarta Beralih Fungsi. Kompas Metropolitas. 30 Juli 2004.
Paulus Londo. 2002. Strategi Prof Dr H van Breen Menyelamatkan Jakarta dari Banjir. Kompas. 5 Februari 2002.
Pusdatin. 2005. Konsep Pemerintah Dalam Mengatasi Penanganan Banjir. PU-net. Departemen Pekerjaan Umum. 16/2/2005.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Setia Lesmana. 2007. Penanggulangan Banjir, Selalu Sebatas Wacana! Suara Pembaruan Daily. Last modified: 10/2/07.
Urban Poor Consortium. 2007. Banjir Jakarta 2007: Bukti Kegagalan Pemerintah Mengantsipipasi Banjir. UPC.19 Juni 2007.
Zain, dkk. 2002. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bencana Banjir. Bab 3 final. Down load dari www.google.com.
No comments:
Post a Comment