SEKOLAH HARUS MENJADI TEMPAT YANG NIHIL LIMBAH
Pikiran Rakyat, 11 Maret 2009, A-157/A-165
Foto: WPL 2002, Murid SD Pinggir Citarum Berpraktek Zerowaste
Pemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste).
BANDUNG, (PR).- Pengajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH) seyogianya diikuti dengan tindakan nyata warga sekolah mempraktikkan prinsip pelestarian. Salah satu yang bisa dikedepankan adalah praktik tata kelola sampah. Dengan demikian, pengajaran muatan lokal (mulok) tersebut tidak berhenti sebagai teori.
Pemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste), yang tidak menghasilkan sampah keluar dari lingkungannya. "Jangan sampai PLH berhenti sebatas teori. Tata kelola sampah di sekolah masing-masing bisa menjadi praktik yang mengena. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik dapat dijadikan kegiatan menyenangkan," kata Sobirin di Bandung, Selasa (10/3).
Pengelolaan sampah disarankan sebagai ajang praktik karena sampai saat ini masih menjadi masalah di Kota Bandung. Data PD Kebersihan menunjukkan, produksi sampah Kota Bandung mencapai 7.500 meter kubik per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 meter kubik terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dari sisa sampah 3.500 meter kubik, baru 25% di antaranya diolah warga menjadi kompos. Sisanya dibiarkan menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS), dibakar, dan tidak sedikit yang dibuang ke sungai.
Sekolah juga menjadi penyumbang sampah walaupun belum ada data pasti berapa kontribusinya setiap hari. Namun jika dilihat dari jumlah sekolah Kota Bandung yang mencapai 1.360 sekolah, dengan perincian tingkat SD/MI sekitar 800, SMP/MTs. 290, dan SMA/MA/SMK 270, jumlah sampah yang dihasilkan tidak sedikit. Dengan menerapkan pola nihil limbah di sekolah, bisa dipastikan adanya penurunan volume sampah secara signifikan.
Evaluasi
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, evaluasi terhadap pelaksanaan program mulok PLH dilakukan Juni mendatang, atau tepat dua tahun mulok diajarkan di semua sekolah. "Evaluasi kemungkinan akan dilaksanakan pada Juni mendatang sebab mulok PLH ini baru efektif dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya adalah masa transisi pada Juli 2007 sampai Juni 2008," katanya.
Setelah hasil evaluasi didapat, kata Oji, Disdik baru bisa menyimpulkan efektivitas dari mulok ini terutama dilihat dari nilai kualitatif siswa dan institusi. Oleh karena itu, menurut dia, untuk saat ini Disdik belum bisa menjawab sejauh mana efektivitas pelaksanaan mulok PLH di lapangan dan bagaimana kontribusinya terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan Kota Bandung.
"Yang jelas selama ini kurikulum PLH kita susun dengan menitikberatkan pada praktik. Sebagian besar diisi oleh kegiatan praktik yang presentasenya mencapai 70%. Namun ada juga di jenjang tertentu yang praktiknya 60%, tergantung dari sekolah dan tenaga pengajarnya," ujarnya.
Oji pun mengakui jika sampai saat ini belum ada pengajar khusus dengan latar belakang PLH sebab sangat sulit mencari guru yang berlatar belakang khusus PLH. "Kepala sekolah yang berperan dalam menentukan siapa yang dianggap mampu mengasuh mulok ini," ucapnya. (A-157/A-165)***
Pikiran Rakyat, 11 Maret 2009, A-157/A-165
Foto: WPL 2002, Murid SD Pinggir Citarum Berpraktek Zerowaste
Pemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste).
BANDUNG, (PR).- Pengajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH) seyogianya diikuti dengan tindakan nyata warga sekolah mempraktikkan prinsip pelestarian. Salah satu yang bisa dikedepankan adalah praktik tata kelola sampah. Dengan demikian, pengajaran muatan lokal (mulok) tersebut tidak berhenti sebagai teori.
Pemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste), yang tidak menghasilkan sampah keluar dari lingkungannya. "Jangan sampai PLH berhenti sebatas teori. Tata kelola sampah di sekolah masing-masing bisa menjadi praktik yang mengena. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik dapat dijadikan kegiatan menyenangkan," kata Sobirin di Bandung, Selasa (10/3).
Pengelolaan sampah disarankan sebagai ajang praktik karena sampai saat ini masih menjadi masalah di Kota Bandung. Data PD Kebersihan menunjukkan, produksi sampah Kota Bandung mencapai 7.500 meter kubik per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 meter kubik terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dari sisa sampah 3.500 meter kubik, baru 25% di antaranya diolah warga menjadi kompos. Sisanya dibiarkan menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS), dibakar, dan tidak sedikit yang dibuang ke sungai.
Sekolah juga menjadi penyumbang sampah walaupun belum ada data pasti berapa kontribusinya setiap hari. Namun jika dilihat dari jumlah sekolah Kota Bandung yang mencapai 1.360 sekolah, dengan perincian tingkat SD/MI sekitar 800, SMP/MTs. 290, dan SMA/MA/SMK 270, jumlah sampah yang dihasilkan tidak sedikit. Dengan menerapkan pola nihil limbah di sekolah, bisa dipastikan adanya penurunan volume sampah secara signifikan.
Evaluasi
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, evaluasi terhadap pelaksanaan program mulok PLH dilakukan Juni mendatang, atau tepat dua tahun mulok diajarkan di semua sekolah. "Evaluasi kemungkinan akan dilaksanakan pada Juni mendatang sebab mulok PLH ini baru efektif dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya adalah masa transisi pada Juli 2007 sampai Juni 2008," katanya.
Setelah hasil evaluasi didapat, kata Oji, Disdik baru bisa menyimpulkan efektivitas dari mulok ini terutama dilihat dari nilai kualitatif siswa dan institusi. Oleh karena itu, menurut dia, untuk saat ini Disdik belum bisa menjawab sejauh mana efektivitas pelaksanaan mulok PLH di lapangan dan bagaimana kontribusinya terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan Kota Bandung.
"Yang jelas selama ini kurikulum PLH kita susun dengan menitikberatkan pada praktik. Sebagian besar diisi oleh kegiatan praktik yang presentasenya mencapai 70%. Namun ada juga di jenjang tertentu yang praktiknya 60%, tergantung dari sekolah dan tenaga pengajarnya," ujarnya.
Oji pun mengakui jika sampai saat ini belum ada pengajar khusus dengan latar belakang PLH sebab sangat sulit mencari guru yang berlatar belakang khusus PLH. "Kepala sekolah yang berperan dalam menentukan siapa yang dianggap mampu mengasuh mulok ini," ucapnya. (A-157/A-165)***
No comments:
Post a Comment