DINAS KEHUTANAN SOSIALISASIKAN DAERAH RAWAN BENCANA
Pikiran Rakyat, 6 Februari 2009, A-185
Foto: http://portalinfaq.org, Banjir Bandang
Pengamat lingkungan Sobirin mengatakan kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di hilirnya rawan banjir bandang. Sobirin berharap pemerintah segera memulihkan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis.
BANDUNG, (PR).- Sekitar 22,2 persen lahan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar menghindari membuat permukiman yang berbatasan dengan daerah hutan.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna saat menjadi pembicara dalam seminar nasional dengan tema "Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Dalam Mitigasi Dampak Bencana Longsor di Indonesia" di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran, Jln. Banda No. 40 Bandung, Kamis (5/2).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan, luas hutan di Jawa Barat sebanyak 21 persen dari luas daratan atau 806.630 hektare. Sementara 95.575,18 hektare hutan tersebut berpotensi menyebabkan bencana lingkungan. Total luas lahan baik hutan maupun bukan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan di Jawa Barat seluas 431.069,35 hektare.
Anang mengatakan, secara geologi daerah hutan tersebut merupakan kawasan rawan longsor. Menurut dia, dampak sosial, ekonomi, dan gangguan jiwa akibat longsor di kawasan hutan memang kecil karena tidak bersentuhan langsung dengan permukiman. Namun, saat ini banyak tumbuh permukiman yang berada di kawasan hutan. Sementara untuk permukiman di dalam hutan, kata Anang, secara hukum sudah dinyatakan dilarang.
Curah Hujan
Adanya longsor di kawasan tersebut dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Hal itu mengakibatkan tingginya kandungan air dalam tanah sehingga terjadi longsor. "Di Jawa Barat hal itu terjadi saat longsor di Leles Kabupaten Garut, daerah itu bukan kawasan hutan, tapi di sana ada bukit yang berbatasan dengan hutan," ujar Anang.
Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian di Leles Garut, Anang mengatakan, Provinsi Jawa Barat dalam revisi tata ruang wilayah telah merekomendasikan kriteria penetapan kawasan lindung. Salah satu dari kriteria tersebut adalah rawan gerakan tanah. Penetapan lokasi tersebut seluas 654.388 hektare yang tersebar di wilayah Jawa Barat.
Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga berupaya untuk melakukan revegetasi terhadap kelas perusahaan yang terdapat daerah rawan longsor. Namun, Dinas Kehutanan mengalami kendala dengan jenis tanaman yang ditanam. "Apabila di daerah ladang, yang cocok ditanam adalah rumput. Itu berarti kita harus menggandeng Dinas Peternakan untuk melakukan revegetasi tersebut," ujar Anang.
Selain itu, Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar daerah rawan bencana. "Kami juga melakukan pelaksanaan preventif dengan memberikan papan peringatan pada daerah rawan bencana," ucapnya.
Sementara itu, pengamat lingkungan, Sobirin, mengatakan bahwa kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di bagian hilirnya rawan terhadap banjir bandang. Sobirin berharap, pemerintah segera melakukan perbaikan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis. (A-185)***
Pikiran Rakyat, 6 Februari 2009, A-185
Foto: http://portalinfaq.org, Banjir Bandang
Pengamat lingkungan Sobirin mengatakan kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di hilirnya rawan banjir bandang. Sobirin berharap pemerintah segera memulihkan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis.
BANDUNG, (PR).- Sekitar 22,2 persen lahan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar menghindari membuat permukiman yang berbatasan dengan daerah hutan.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna saat menjadi pembicara dalam seminar nasional dengan tema "Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Dalam Mitigasi Dampak Bencana Longsor di Indonesia" di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran, Jln. Banda No. 40 Bandung, Kamis (5/2).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan, luas hutan di Jawa Barat sebanyak 21 persen dari luas daratan atau 806.630 hektare. Sementara 95.575,18 hektare hutan tersebut berpotensi menyebabkan bencana lingkungan. Total luas lahan baik hutan maupun bukan yang berpotensi menyebabkan bencana lingkungan di Jawa Barat seluas 431.069,35 hektare.
Anang mengatakan, secara geologi daerah hutan tersebut merupakan kawasan rawan longsor. Menurut dia, dampak sosial, ekonomi, dan gangguan jiwa akibat longsor di kawasan hutan memang kecil karena tidak bersentuhan langsung dengan permukiman. Namun, saat ini banyak tumbuh permukiman yang berada di kawasan hutan. Sementara untuk permukiman di dalam hutan, kata Anang, secara hukum sudah dinyatakan dilarang.
Curah Hujan
Adanya longsor di kawasan tersebut dipicu oleh curah hujan yang tinggi. Hal itu mengakibatkan tingginya kandungan air dalam tanah sehingga terjadi longsor. "Di Jawa Barat hal itu terjadi saat longsor di Leles Kabupaten Garut, daerah itu bukan kawasan hutan, tapi di sana ada bukit yang berbatasan dengan hutan," ujar Anang.
Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian di Leles Garut, Anang mengatakan, Provinsi Jawa Barat dalam revisi tata ruang wilayah telah merekomendasikan kriteria penetapan kawasan lindung. Salah satu dari kriteria tersebut adalah rawan gerakan tanah. Penetapan lokasi tersebut seluas 654.388 hektare yang tersebar di wilayah Jawa Barat.
Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga berupaya untuk melakukan revegetasi terhadap kelas perusahaan yang terdapat daerah rawan longsor. Namun, Dinas Kehutanan mengalami kendala dengan jenis tanaman yang ditanam. "Apabila di daerah ladang, yang cocok ditanam adalah rumput. Itu berarti kita harus menggandeng Dinas Peternakan untuk melakukan revegetasi tersebut," ujar Anang.
Selain itu, Anang mengatakan, Dinas Kehutanan juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar daerah rawan bencana. "Kami juga melakukan pelaksanaan preventif dengan memberikan papan peringatan pada daerah rawan bencana," ucapnya.
Sementara itu, pengamat lingkungan, Sobirin, mengatakan bahwa kawasan hutan yang longsor menyebabkan daerah di bagian hilirnya rawan terhadap banjir bandang. Sobirin berharap, pemerintah segera melakukan perbaikan kawasan lindung dengan menggalakkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis. (A-185)***
1 comment:
Perencanaan Bangunan Air / Sabo harus sesuai dengan keadaan hutan di CatchmArea. Lalu kondisi hutan (di Catchment Area) seperti skrg ini bertahan berapa tahun? Maksudnya,Dinas Perhutani perlu berapa waktu untuk mengembalikan fungsi hutan seperti sediakala? supaya air hujan dapat terserap di hutan dengan sempurna dan yang turun kesungai hanya sisanya saja.Thks n Merdeka!
Post a Comment