KOMPAS, Jawa Barat, Kamis, 26 Juni 2008, A15/MHF
Foto: erabaru.or.id, Hutan Rusak Karena Penjarahan
"Butuh pendekatan kepada rakyat agar memahami ketergantungan hidup manusia terhadap hutan," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin.
Bandung, Kompas - Masyarakat Jawa Barat sangat resah dan marah terhadap tindakan perusakan hutan yang begitu masif dan semena-mena. Mereka mendukung upaya Kepolisian Daerah Jawa Barat dalam upaya memberantas pembalakan liar karena selama ini pencurian kayu dan perusakan hutan, terutama di Ciamis selatan, dinilai sudah keterlaluan.
Hal itu mengemuka dalam Curah Pendapat Pembalakan Liar Hutan di Jabar, Rabu (25/6) di Grha Kompas-Gramedia Bandung. Hadir dalam acara itu Kepala Polda Jabar, Kepala Dinas Kehutanan Jabar, Kepala Unit Perhutani Jabar, tokoh-tokoh Jabar, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, ahli hukum, dan akademisi.
"Kami melihat di lapangan, aparat pemerintahan, termasuk kepala desa, justru takut pada para pencuri kayu. Ini sudah keterlaluan," ungkap Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Susno Duadji.
Akan tetapi, pemberantasan pembalakan liar dan penjarahan hutan dinilai tidak akan cukup hanya melalui penegakan hukum oleh aparat. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan holistik, sistematis, dan terintegrasi dengan melibatkan aparatur pemerintahan (Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani), masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.
"Butuh pendekatan kepada rakyat agar memahami ketergantungan hidup manusia terhadap hutan," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin.
Sobirin mengatakan, upaya kepolisian dalam menegakkan hukum perlu disokong dengan upaya pemeliharaan dan pengawasan fungsi hutan dari pihak lain yang terkait, misalnya keterlibatan lembaga swadaya masyarakat dalam mengubah pola pikir masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan untuk tidak merambah atau mengalihfungsikan hutan.
Selain itu, penegakan hukum juga tidak semata-mata dibebankan kepada kepolisian, tetapi juga instansi pemerintah yang ditengarai terdapat keterlibatan dalam pembalakan liar.
Menurut Dewan Pembina Yayasan Lembaga Hukum Indonesia Dindin S Maolani, pembalakan liar di Jabar mulai terjadi pada pertengahan tahun 1970-an. Dindin mengatakan, sebagian besar petani yang merambah hutan justru bukan penduduk asli Jabar. Pembalakan kerap terjadi di Jabar dengan melibatkan oknum-oknum instansi pengelola hutan.
Hingga kini, setidaknya 7.000 hektar dari keseluruhan 597.647 hektar kawasan hutan yang dikuasai Perum Perhutani berada dalam penguasaan masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Penjarahan dan perambahan hutan terbesar berada di wilayah Priangan Timur, yaitu 4.795 hektar, yang dikuasai Serikat Petani Pasundan, masing-masing terdiri dari 2.434 hektar di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Garut, 1.493 hektar di KPH Tasikmalaya, dan 868 hektar di KPH Ciamis.
PHBM
Kepala Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten Mohammad Komarudin mengatakan, upaya pemberantasan pembalakan liar dan perambahan hutan terus dilakukan, antara lain dengan mengajak masyarakat petani menyelenggarakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan reboisasi hutan. Meski demikian, upaya itu tidak banyak membuahkan hasil.
"Kami telah melakukan reboisasi dengan melibatkan masyarakat sekitar, tetapi program ini mandul. Sejak tahun 2003 setidaknya terdapat 192.546 hektar, tetapi 7.000 hektar lahan yang dikuasai masyarakat tidak dapat tersentuh," katanya.
Ia mengaku, penegakan hukum internal Perum Perhutani Unit III kerap dilakukan. Ini dibuktikan dengan tertangkapnya 14 pegawai Perum Perhutani yang terbukti melakukan atau terlibat pembalakan liar. Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna menjelaskan, kalau memang ada anak buahnya yang terlibat pembalakan liar, dia siap menyerah-kan mereka ke kepolisian. Untuk itu, dia mengimbau siapa saja untuk melaporkan keterlibatan oknum Dinas Kehutanan Jabar dengan bukti yang cukup. (A15/MHF)
Foto: erabaru.or.id, Hutan Rusak Karena Penjarahan
"Butuh pendekatan kepada rakyat agar memahami ketergantungan hidup manusia terhadap hutan," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin.
Bandung, Kompas - Masyarakat Jawa Barat sangat resah dan marah terhadap tindakan perusakan hutan yang begitu masif dan semena-mena. Mereka mendukung upaya Kepolisian Daerah Jawa Barat dalam upaya memberantas pembalakan liar karena selama ini pencurian kayu dan perusakan hutan, terutama di Ciamis selatan, dinilai sudah keterlaluan.
Hal itu mengemuka dalam Curah Pendapat Pembalakan Liar Hutan di Jabar, Rabu (25/6) di Grha Kompas-Gramedia Bandung. Hadir dalam acara itu Kepala Polda Jabar, Kepala Dinas Kehutanan Jabar, Kepala Unit Perhutani Jabar, tokoh-tokoh Jabar, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, ahli hukum, dan akademisi.
"Kami melihat di lapangan, aparat pemerintahan, termasuk kepala desa, justru takut pada para pencuri kayu. Ini sudah keterlaluan," ungkap Kepala Polda Jabar Inspektur Jenderal Susno Duadji.
Akan tetapi, pemberantasan pembalakan liar dan penjarahan hutan dinilai tidak akan cukup hanya melalui penegakan hukum oleh aparat. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan holistik, sistematis, dan terintegrasi dengan melibatkan aparatur pemerintahan (Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani), masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.
"Butuh pendekatan kepada rakyat agar memahami ketergantungan hidup manusia terhadap hutan," kata anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin.
Sobirin mengatakan, upaya kepolisian dalam menegakkan hukum perlu disokong dengan upaya pemeliharaan dan pengawasan fungsi hutan dari pihak lain yang terkait, misalnya keterlibatan lembaga swadaya masyarakat dalam mengubah pola pikir masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan untuk tidak merambah atau mengalihfungsikan hutan.
Selain itu, penegakan hukum juga tidak semata-mata dibebankan kepada kepolisian, tetapi juga instansi pemerintah yang ditengarai terdapat keterlibatan dalam pembalakan liar.
Menurut Dewan Pembina Yayasan Lembaga Hukum Indonesia Dindin S Maolani, pembalakan liar di Jabar mulai terjadi pada pertengahan tahun 1970-an. Dindin mengatakan, sebagian besar petani yang merambah hutan justru bukan penduduk asli Jabar. Pembalakan kerap terjadi di Jabar dengan melibatkan oknum-oknum instansi pengelola hutan.
Hingga kini, setidaknya 7.000 hektar dari keseluruhan 597.647 hektar kawasan hutan yang dikuasai Perum Perhutani berada dalam penguasaan masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Penjarahan dan perambahan hutan terbesar berada di wilayah Priangan Timur, yaitu 4.795 hektar, yang dikuasai Serikat Petani Pasundan, masing-masing terdiri dari 2.434 hektar di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Garut, 1.493 hektar di KPH Tasikmalaya, dan 868 hektar di KPH Ciamis.
PHBM
Kepala Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten Mohammad Komarudin mengatakan, upaya pemberantasan pembalakan liar dan perambahan hutan terus dilakukan, antara lain dengan mengajak masyarakat petani menyelenggarakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan reboisasi hutan. Meski demikian, upaya itu tidak banyak membuahkan hasil.
"Kami telah melakukan reboisasi dengan melibatkan masyarakat sekitar, tetapi program ini mandul. Sejak tahun 2003 setidaknya terdapat 192.546 hektar, tetapi 7.000 hektar lahan yang dikuasai masyarakat tidak dapat tersentuh," katanya.
Ia mengaku, penegakan hukum internal Perum Perhutani Unit III kerap dilakukan. Ini dibuktikan dengan tertangkapnya 14 pegawai Perum Perhutani yang terbukti melakukan atau terlibat pembalakan liar. Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna menjelaskan, kalau memang ada anak buahnya yang terlibat pembalakan liar, dia siap menyerah-kan mereka ke kepolisian. Untuk itu, dia mengimbau siapa saja untuk melaporkan keterlibatan oknum Dinas Kehutanan Jabar dengan bukti yang cukup. (A15/MHF)
No comments:
Post a Comment