RTRW IKUT MERUSAK LINGKUNGAN
KOMPAS, Jawa Barat, Jumat, 4 Juli 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Kawasan Lindung Gunung Tampomas Hancur
"Kerusakan hutan dan lingkungan akibat tumpang tindih RTRW pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dibutuhkan koordinasi dan integrasi multisektor agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan," Sobirin menegaskan.
Bandung, Kompas - Hutan di Jawa Barat yang kini karut-marut memerlukan pengelolaan bersinergi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kolaborasi multisektor ini melibatkan masyarakat, dinas, dan institusi lain yang terkait. Dengan demikian, akar masalah kerusakan hutan dapat segera ditanggulangi.
Demikian antara lain usulan yang muncul pada diskusi ahli bertema "Model Pengelolaan Hutan di Jawa Barat", Kamis (3/7) di Grha Kompas-Gramedia Bandung. Kerusakan hutan identik dengan lemahnya penegakan hukum di lapangan. Akibatnya, penjarahan atau penyerobotan hutan kerap terjadi dengan mengatasnamakan kesulitan ekonomi atau murni kriminal.
Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna menyatakan siap merevitalisasi dinasnya untuk mewujudkan kelestarian hutan Jabar. Perum Perhutani juga sudah menggulirkan solusi kekisruhan hutan melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Akan tetapi, ahli lingkungan dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, mengatakan, keberhasilan program ini belum terbukti. Pasalnya, program ini dijalankan sebatas melibatkan masyarakat, dinas kehutanan, dan Perum Perhutani tanpa melibatkan dinas lain.
"Keberhasilannya masih dipertanyakan. Ditakutkan program ini akan berakhir seperti program reboisasi dan rehabilitasi hutan yang menghabiskan dana besar, tetapi tingkat keberhasilannya rendah," ujar Chay.
Karena itu, diperlukan perubahan paradigma pengelolaan hutan di Jabar. Pengelolaan hutan tidak hanya melibatkan masyarakat Jabar, dinas kehutanan, dan Perum Perhutani, tetapi juga dinas peternakan dan pertanian.
Ia mencontohkan, masyarakat sering membuang kotoran ternak ke Sungai Citarum. Padahal, bila terdapat sinergi dan kerja sama antara dinas kehutanan dan dinas peternakan, kotoran ternak dapat dialihkan untuk memupuk tanaman dan pohon di kawasan hutan lindung.
Konsep pengelolaan hutan dengan sinergi multisektor ini dituturkan pula oleh Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jabar Entang Sastraatmadja. Ia mengatakan, Jabar membutuhkan rencana kerja menyeluruh tentang pengelolaan hutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pengaturan RTRW
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, terlepas dari kerusakan hutan akibat penjarahan lahan, pengalihan fungsi lahan atau pengaturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) justru menjadi penyebab kerusakan lingkungan terbesar.
"Kerusakan hutan dan lingkungan akibat adanya tumpang tindih RTRW antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, dibutuhkan koordinasi dan integrasi multisektor agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan," Sobirin menegaskan.
Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo, berpendapat, pengelolaan hutan yang baik juga harus diikuti pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas dari lembaga pengelola hutan, yaitu dinas kehutanan dan Perum Perhutani.
"Tugas pokok dan fungsi mereka memang tidak pernah tumpang tindih. Perum Perhutani sebagai pengelola hutan, sedangkan dinas kehutanan sebagai perumus kebijakan pada level administrasi," kata Hariadi. Kondisi hutan Jabar semakin khas dengan berbagai jenis kebutuhan. Ini mengakibatkan tugas pokok dan fungsi yang lama tidak lagi kompatibel dipergunakan.
Ahli kehutanan dari IPB, Bramasto Nugroho, menambahkan, dengan adanya peningkatan kapasitas atau revitalisasi lembaga, akan dianut asas pengelolaan kehutanan yang baik. (A15)
KOMPAS, Jawa Barat, Jumat, 4 Juli 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Kawasan Lindung Gunung Tampomas Hancur
"Kerusakan hutan dan lingkungan akibat tumpang tindih RTRW pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dibutuhkan koordinasi dan integrasi multisektor agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan," Sobirin menegaskan.
Bandung, Kompas - Hutan di Jawa Barat yang kini karut-marut memerlukan pengelolaan bersinergi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kolaborasi multisektor ini melibatkan masyarakat, dinas, dan institusi lain yang terkait. Dengan demikian, akar masalah kerusakan hutan dapat segera ditanggulangi.
Demikian antara lain usulan yang muncul pada diskusi ahli bertema "Model Pengelolaan Hutan di Jawa Barat", Kamis (3/7) di Grha Kompas-Gramedia Bandung. Kerusakan hutan identik dengan lemahnya penegakan hukum di lapangan. Akibatnya, penjarahan atau penyerobotan hutan kerap terjadi dengan mengatasnamakan kesulitan ekonomi atau murni kriminal.
Kepala Dinas Kehutanan Jabar Anang Sudarna menyatakan siap merevitalisasi dinasnya untuk mewujudkan kelestarian hutan Jabar. Perum Perhutani juga sudah menggulirkan solusi kekisruhan hutan melalui pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Akan tetapi, ahli lingkungan dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Chay Asdak, mengatakan, keberhasilan program ini belum terbukti. Pasalnya, program ini dijalankan sebatas melibatkan masyarakat, dinas kehutanan, dan Perum Perhutani tanpa melibatkan dinas lain.
"Keberhasilannya masih dipertanyakan. Ditakutkan program ini akan berakhir seperti program reboisasi dan rehabilitasi hutan yang menghabiskan dana besar, tetapi tingkat keberhasilannya rendah," ujar Chay.
Karena itu, diperlukan perubahan paradigma pengelolaan hutan di Jabar. Pengelolaan hutan tidak hanya melibatkan masyarakat Jabar, dinas kehutanan, dan Perum Perhutani, tetapi juga dinas peternakan dan pertanian.
Ia mencontohkan, masyarakat sering membuang kotoran ternak ke Sungai Citarum. Padahal, bila terdapat sinergi dan kerja sama antara dinas kehutanan dan dinas peternakan, kotoran ternak dapat dialihkan untuk memupuk tanaman dan pohon di kawasan hutan lindung.
Konsep pengelolaan hutan dengan sinergi multisektor ini dituturkan pula oleh Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jabar Entang Sastraatmadja. Ia mengatakan, Jabar membutuhkan rencana kerja menyeluruh tentang pengelolaan hutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pengaturan RTRW
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, terlepas dari kerusakan hutan akibat penjarahan lahan, pengalihan fungsi lahan atau pengaturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) justru menjadi penyebab kerusakan lingkungan terbesar.
"Kerusakan hutan dan lingkungan akibat adanya tumpang tindih RTRW antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, dibutuhkan koordinasi dan integrasi multisektor agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan," Sobirin menegaskan.
Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo, berpendapat, pengelolaan hutan yang baik juga harus diikuti pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas dari lembaga pengelola hutan, yaitu dinas kehutanan dan Perum Perhutani.
"Tugas pokok dan fungsi mereka memang tidak pernah tumpang tindih. Perum Perhutani sebagai pengelola hutan, sedangkan dinas kehutanan sebagai perumus kebijakan pada level administrasi," kata Hariadi. Kondisi hutan Jabar semakin khas dengan berbagai jenis kebutuhan. Ini mengakibatkan tugas pokok dan fungsi yang lama tidak lagi kompatibel dipergunakan.
Ahli kehutanan dari IPB, Bramasto Nugroho, menambahkan, dengan adanya peningkatan kapasitas atau revitalisasi lembaga, akan dianut asas pengelolaan kehutanan yang baik. (A15)
No comments:
Post a Comment