Seputar Indonesia, 06-09-2008, miftahul ulum/ wisnoe moerti
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan
Di tempat terpisah, anggota DPKLTS Sobirin menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.
BANDUNG (SINDO)
DPRD Kota Bandung meminta Pemerintah Kota Bandung tanggap dan tegas dalam menangani banjir cileuncang setiap musim hujan.
Banjir musiman tersebut muncul karena pengelolaan drainase yang buruk. Di sisi lain, Pemkot seolah bersikap mendua menghadapi permasalahan ini.Aparat pemerintah sepertinya enggan menegakkan aturan dan berhadapan dengan rakyat untuk menjelaskan hal ini.
Pemerintah berdalih, buruknya pengelolaan drainase karena anggaran minim,koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD) lemah, dan perilaku masyarakat yang tidak sadar lingkungan. Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung misalnya, mengakuhanya mengalokasikan 10% anggarannya untuk drainase.
Koordinasi SKPD yang lemah ditandai dengan tidak adanya gerak terpadu membenahi drainase. Padahal, masalahnya bukan hanya pembenahan drainase, tapi berhubungan dengan penindakan bangunan yang melanggar peraturan.
Misalnya penindakan bangunan yang melanggar sempadan sungai. Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien mengatakan, sebenarnya Pemkot sudah memiliki perangkat hukum untuk menertibkan masyarakat, yakni melalui Perda Kota Bandung No 3/2005 Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3).
Namun, perda itu seperti macan ompong karena SKPD tidak bisa menegakkannya. ”Lemahnya implementasi Perda K3 ini menunjukkan rendahnya sosialisasi dan rendahnya penegakan aturan. Hal ini sangat disayangkan, padahal perda ini disusun dengan biaya,” ungkap Husni kemarin.
Akibat sikap pemerintah setengah hati dalam menegakkan Perda K3,masyarakat mulai cuek terhadap lingkungan. Membuang sampah di sungai pun tanpa diiringi rasa takut terkena sanksi. ”Padahal, dalam perda jelas disebutkan,masyarakat yang membuang sampah di sungai bisa dikenai denda,” ujarnya.
Dia menilai, rendahnya kesadaran masyarakat karena pemerintah tidak bisa menyosialisasikan sekaligus gagal menimbulkan efek jera.Rendahnya kesadaranmasyarakat ini sekaligus menjadi bukti kegagalan pemerintah sebagai pemimpin. Soal kendala anggaran, Husni mempersilakan Pemkot mengajukan anggaran secukupnya.
Asalkan bisa meyakinkan Dewan, dipastikan anggaran tersebut disetujui. Pada 2008 ini anggaran di Dinas Bina Marga dan Pengairan mencapai Rp11 miliar. Sementara anggaran khusus pengendalian banjir sebesar Rp1,7 miliar. Selain itu, Walikota juga bisa menggunakan dana di pos anggaran tak terduga untuk mengatasi banjir.
”Selain menegakkan perda, secara umum Kota Bandung memang perlu mengkaji ulang masalah drai nase. Pemerintah harus membuka tangan lebar-lebar, merangkul kalangan akademisi, mencari solusi penanganan banjir cileuncang,” ungkapnya.
Di tempat terpisah, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.
Seusai pemetaan daerah rawan banjir, pemerintah harus memberi peringatan ke masyarakat. Kawasan yang rawan banjir diberi papan pengumuman berbunyi: daerah ini rawan banjir, masyarakat jangan membuang sampah di sembarang tempat.
”Pemerintah tidak perlu malu memasang papan pengumuman itu, sebab masyarakat akan sadar lingkungan bila merasa memiliki kepentingan langsung,” ujar Sobirin. Karena merasa terancam oleh banjir, masyarakat tergerak membersihkan saluran drainase.
Dia menambahkan, Pemkot pun harus meninjau kebijakan yang ada selama ini. Misalnya kebijakan perizinan pembangunan kawasan perumahan, harus disertai kajian bebas banjir sekaligus saluran air. Sobirin mengungkapkan kasus banjir Dago tahun lalu merupakan akibat luapan air hujan yang berasal dari perumahan karena tidak memiliki saluran air. ”Nah pemerintah harus mengawasi perumahan, supaya menyediakan saluran air yang tidak mengganggu drainase,” ujarnya.
Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung Juniarso Ridwan mengaku sulit mengawasi penyediaan saluran air di kawasan perumahan, meskipun dalam mekanisme pengembangan perumahan terdapat fase evaluasipenyerahanlaporanhasil akhir pengembangan suatu kawasan perumahan.
”Laporan evaluasi biasanya diserahkan setelah pembangunan kawasan perumahan selesai. Padahal, rentang pengajuan izin sampai proyek selesai, berjangka waktu lama. Karena rentang waktu, kami susah mengawasi,”ujar Juniarso.
Ada dua modus penyalahgunaan saluran diperumahan, pertama pengembang menyediakan saluran dalam perumahan, tapi tidak berhubungan dengan saluran lain. Kedua, pengembang menggunakan saluran drainase jalan raya sebagai sambungan saluran perumahan. Idealnya, saluran drainase jalan raya hanya untuk menampung limpahan air dari jalan raya. (miftahul ulum/ wisnoe moerti)
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan
Di tempat terpisah, anggota DPKLTS Sobirin menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.
BANDUNG (SINDO)
DPRD Kota Bandung meminta Pemerintah Kota Bandung tanggap dan tegas dalam menangani banjir cileuncang setiap musim hujan.
Banjir musiman tersebut muncul karena pengelolaan drainase yang buruk. Di sisi lain, Pemkot seolah bersikap mendua menghadapi permasalahan ini.Aparat pemerintah sepertinya enggan menegakkan aturan dan berhadapan dengan rakyat untuk menjelaskan hal ini.
Pemerintah berdalih, buruknya pengelolaan drainase karena anggaran minim,koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD) lemah, dan perilaku masyarakat yang tidak sadar lingkungan. Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung misalnya, mengakuhanya mengalokasikan 10% anggarannya untuk drainase.
Koordinasi SKPD yang lemah ditandai dengan tidak adanya gerak terpadu membenahi drainase. Padahal, masalahnya bukan hanya pembenahan drainase, tapi berhubungan dengan penindakan bangunan yang melanggar peraturan.
Misalnya penindakan bangunan yang melanggar sempadan sungai. Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien mengatakan, sebenarnya Pemkot sudah memiliki perangkat hukum untuk menertibkan masyarakat, yakni melalui Perda Kota Bandung No 3/2005 Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3).
Namun, perda itu seperti macan ompong karena SKPD tidak bisa menegakkannya. ”Lemahnya implementasi Perda K3 ini menunjukkan rendahnya sosialisasi dan rendahnya penegakan aturan. Hal ini sangat disayangkan, padahal perda ini disusun dengan biaya,” ungkap Husni kemarin.
Akibat sikap pemerintah setengah hati dalam menegakkan Perda K3,masyarakat mulai cuek terhadap lingkungan. Membuang sampah di sungai pun tanpa diiringi rasa takut terkena sanksi. ”Padahal, dalam perda jelas disebutkan,masyarakat yang membuang sampah di sungai bisa dikenai denda,” ujarnya.
Dia menilai, rendahnya kesadaran masyarakat karena pemerintah tidak bisa menyosialisasikan sekaligus gagal menimbulkan efek jera.Rendahnya kesadaranmasyarakat ini sekaligus menjadi bukti kegagalan pemerintah sebagai pemimpin. Soal kendala anggaran, Husni mempersilakan Pemkot mengajukan anggaran secukupnya.
Asalkan bisa meyakinkan Dewan, dipastikan anggaran tersebut disetujui. Pada 2008 ini anggaran di Dinas Bina Marga dan Pengairan mencapai Rp11 miliar. Sementara anggaran khusus pengendalian banjir sebesar Rp1,7 miliar. Selain itu, Walikota juga bisa menggunakan dana di pos anggaran tak terduga untuk mengatasi banjir.
”Selain menegakkan perda, secara umum Kota Bandung memang perlu mengkaji ulang masalah drai nase. Pemerintah harus membuka tangan lebar-lebar, merangkul kalangan akademisi, mencari solusi penanganan banjir cileuncang,” ungkapnya.
Di tempat terpisah, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono menegaskan, pemerintah harus membuat peta drainase, peta aliran air, dan peta banjir di Kota Bandung. Setelah peta diperoleh, pemerintah baru bisa mengambil kebijakan.
Seusai pemetaan daerah rawan banjir, pemerintah harus memberi peringatan ke masyarakat. Kawasan yang rawan banjir diberi papan pengumuman berbunyi: daerah ini rawan banjir, masyarakat jangan membuang sampah di sembarang tempat.
”Pemerintah tidak perlu malu memasang papan pengumuman itu, sebab masyarakat akan sadar lingkungan bila merasa memiliki kepentingan langsung,” ujar Sobirin. Karena merasa terancam oleh banjir, masyarakat tergerak membersihkan saluran drainase.
Dia menambahkan, Pemkot pun harus meninjau kebijakan yang ada selama ini. Misalnya kebijakan perizinan pembangunan kawasan perumahan, harus disertai kajian bebas banjir sekaligus saluran air. Sobirin mengungkapkan kasus banjir Dago tahun lalu merupakan akibat luapan air hujan yang berasal dari perumahan karena tidak memiliki saluran air. ”Nah pemerintah harus mengawasi perumahan, supaya menyediakan saluran air yang tidak mengganggu drainase,” ujarnya.
Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung Juniarso Ridwan mengaku sulit mengawasi penyediaan saluran air di kawasan perumahan, meskipun dalam mekanisme pengembangan perumahan terdapat fase evaluasipenyerahanlaporanhasil akhir pengembangan suatu kawasan perumahan.
”Laporan evaluasi biasanya diserahkan setelah pembangunan kawasan perumahan selesai. Padahal, rentang pengajuan izin sampai proyek selesai, berjangka waktu lama. Karena rentang waktu, kami susah mengawasi,”ujar Juniarso.
Ada dua modus penyalahgunaan saluran diperumahan, pertama pengembang menyediakan saluran dalam perumahan, tapi tidak berhubungan dengan saluran lain. Kedua, pengembang menggunakan saluran drainase jalan raya sebagai sambungan saluran perumahan. Idealnya, saluran drainase jalan raya hanya untuk menampung limpahan air dari jalan raya. (miftahul ulum/ wisnoe moerti)
No comments:
Post a Comment