skip to main |
skip to sidebar
UNTUK ATASI BANJIR JAKARTA
KOMPAS, Tata Ruang, 26-09-2008, MHF
Foto: Ria Novosti, 2007, www.budpar.go.id, Puncak
Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Supardiyono Sobirin, mengatakan, DAS-DAS di kawasan hulu Jakarta rusak sehingga Jakarta rawan banjir. Ada delapan DAS terkait Jakarta, yakni DAS Cisadane, Angke, Ciliwung, Krukut, Sunter, Cilincing, Cikarang, dan Bekasi.
Bandung, Kompas -
Pemerintah Provinsi Jawa Barat bertekad menghijaukan kawasan Puncak sebagai upaya perbaikan lingkungan dan mengatasi banjir di Jakarta.
”Setelah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keluar kesepakatan membangun megapolitan yang ramah lingkungan yang kemudian menjadi Peraturan Presiden tentang Penataan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Ini merupakan kerja sama Pemprov Jabar, Banten, dan DKI Jakarta,” kata Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Bandung, Kamis (25/9).
Kerja sama itu bertujuan untuk konservasi air, mengatasi banjir, masalah sampah, dan transportasi di Jabodetabekjur.
Menurut Heryawan, ada tim dari Pemprov Jabar, Banten, dan DKI Jakarta yang dikooordinasi oleh Departemen Pekerjaan Umum (PU). Tugas tim antara lain menghidupkan kembali situ-situ (telaga) yang sudah mati dan membuat situ baru. ”Pemerintah pusat merehabilitasi dan membuat situ, sementara Pemprov Jabar merawat situ yang ada,” kata Heryawan.
Di daerah Puncak sampai Jakarta terdapat sedikitnya 150 situ. Departemen PU telah membuat 72 situ, sedangkan 78 situ lain dalam pengerjaan.
Menurut Heryawan, penghijauan di Puncak terhambat kepemilikan lahan. Sebanyak 70 persen lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, termasuk Puncak, dimiliki masyarakat. ”Kami harus memberi pengertian agar warga tidak menjual tanahnya dan tidak dibangun vila. Juga harus ada sumur resapan dan penghijauan,” katanya.
Kendala lain adalah sebagian besar vila di Puncak dimiliki oleh orang yang tinggal di Jakarta. Butuh strategi khusus untuk membujuk mereka agar mau menghijaukan lahannya.
Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Supardiyono Sobirin, mengatakan, DAS-DAS di kawasan hulu Jakarta rusak sehingga Jakarta rawan banjir. Ada delapan DAS terkait Jakarta, yakni DAS Cisadane, Angke, Ciliwung, Krukut, Sunter, Cilincing, Cikarang, dan Bekasi.
Sobirin mengatakan, semestinya 30 persen dari DAS Ciliwung dan Cisadane berupa hutan. ”Pemerintah harus berani mencanangkan pembangunan hutan kembali untuk meredam banjir,” katanya. (MHF)
Read More..
Pikiran Rakyat, 24-10-2008, Joko/Catur/Danis/Eva
Foto: Sobirin 2008, Pohon di Rumah Sobirin
Sobirin punya nostalgia dan dia tidak mau hanya menyimpannya di kepala. Saat semua sudut kota mulai memanas akibat pembangunan yang tak terkendali, dia mewujudkan sejuknya Bandung tempo dulu di rumah tercinta. Sesekali mampirlah ke Jln. Alfa No. 92 Cigadung Unpad II.
Di daerah dingin, setiap kali kita bicara, ada sesuatu semacam asap keluar dari mulut dan hidung. Orang-orang sering menganalogikannya dengan semburan api yang keluar dari binatang dongeng naga. Mundur beberapa puluh tahun ke belakang, Bandung masih memiliki penanda seperti itu. "Semburan-semburan api naga" meluncur dari mulut warga saat mereka berbincang di pagi hari.
Datang ke Kota Bandung pada awal 1960-an, Sobirin Supardiyono membuktikan kebenaran cerita itu. Asap selalu keluar dari mulutnya setiap pagi karena udara memang benar-benar dingin. Apalagi, jika dia tengah mengayuh sepeda dari kosnya di Muararajeun ke kampus ITB tempat dia menimba ilmu. "Asapnya keluar banyak sekali. Lha wong saya ngos-ngosan ngegenjot sepeda," kata Sobirin dengan logat Jawa yang masih kentara saat ditemui di tempatnya sehari-hari berdinas (nongkrong, Sob) di Pusair, Jln. Ir. H. Djuanda (Dago), beberapa waktu lalu.
"Semburan naga" di pagi hari hanyalah salah satu nostalgia yang dimiliki Sobirin. Banyak lagi kenangan indahnya tentang Kota Kembang, tentang pohon-pohon yang rimbun di kanan-kiri jalan, tentang sawah hijau yang menghampar. Bersepeda dan tidak jarang dengan jalan kaki, menjelajahi sudut-sudut kota yang hijau. Dia senang melihat sawah. Oleh karena itu, pergilah ia ke Buahbatu atau Cisitu, yang ketika itu masih berupa hamparan padi menghijau. Bandung, bagi Sobirin muda, merupakan desa yang ada di dalam kota, yang tak habis-habis memberikan kesegaran.
Sobirin punya nostalgia dan dia tidak mau hanya menyimpannya di kepala. Saat semua sudut kota mulai memanas akibat pembangunan yang tak terkendali, dia mewujudkan sejuknya Bandung tempo dulu di rumah tercinta. Sesekali mampirlah ke Jln. Alfa No. 92 Cigadung Unpad II, dan akan Anda temui miniatur nostalgianya.
Dari 800 m2 tanah yang dia tinggali, 70% di antaranya dia jadikan lahan terbuka. Di sana hidup berbagai macam tumbuhan, mulai dari cengkih, belimbing, jambu, kersen, hingga sayur-sayuran. "Bahkan, saking cintanya saya pada hamparan sawah, saya tanam padi di dalam pot," kata anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) itu.
Tidak hanya menyediakan lahan bagi ruang terbuka hijau, Sobirin juga menerapkan kebijakan nihil limbah (zero waste) di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak ada sampah yang keluar dari rumah sebab semua diproses terlebih dahulu. Penanganan berbeda pada sampah organik dan nonorganik merupakan kunci utama.
"Kita memang tidak akan pernah bisa kembali ke Bandung pada masa lalu yang serbahijau dan sejuk. Itu menjadi nostalgia. Akan tetapi setidaknya, ada yang bisa kita kerjakan. Kalau mengeluh kota ini semakin panas, ya mulailah berbuat dari lingkungan terkecil, rumah kita masing-masing," kata Sobirin yang juga aktif mengampanyekan kepedulian terhadap lingkungan lewat dunia maya melalui blog pribadinya.
**
Nostalgia juga dimiliki musisi kawakan Iwan Abdurrahman. Melintas di Jln. dr. Cipto, 40 tahun lalu, ditemuinya hamparan karpet merah memanjang berupa guguran bunga flamboyan yang banyak tumbuh di kanan-kiri jalan. Dari sanalah lahir lagu legendarisnya, "Flamboyan", dan jadilah kenangan tentang Kota Kembang yang asri itu abadi.
Saat ini, meski jalanan menjadi luar biasa sesak oleh kendaraan dan asap membuat udara pengap. Iwan, biasa disapa Abah, menolak mengatakan sudah tidak ada lagi bunga flamboyan di kota tercinta. "Masih banyak pohon flamboyan di tepi jalan. Hanya mungkin tidak kita lihat lagi karpet merah karena sudah tergilas roda-roda kendaraan yang makin sesak," kata pegiat kelompok pencinta alam Wanadri tersebut.
Abah membaca kesetiaan flamboyan sebagai sifat baik alam, yang sayangnya, kerap gagal dipahami manusia. Contoh kecil yang menjadi keprihatinannya adalah keengganan kebanyakan orang menanam pohon di tempat tinggal masing-masing. "Bayangkan jika setiap rumah di kota ini menanam paling tidak satu pohon, entah besar atau kecil. Bandung pastilah lebih sejuk. Tidak usah terus menunggu pemerintah membuat taman kota," katanya.
Memiliki lahan seluas lebih dari 5.000 m2 di Jln. Cigadung Raya Tengah No. 18, Abah memberikan hampir 90% darinya untuk rumput, perdu, dan pepohonan. Puluhan cemara setinggi 20-an meter, kelapa, sakura, bugenvil, dan jambu, yang semua dia tanam sendiri sejak 30 tahun lalu, tumbuh bebas di sana. Rumah Abah ibarat gubuk kecil di tengah hutan.
"Saya serasa masih tinggal di Bandung tahun 60-an. Udara di sini dingin. Setiap kali bangun pagi dan melayangkan pandangan ke luas pekarangan, saya masih dapat menjumpai kabut. Semua karena pepohonan yang saya tanam," ucap Abah yang hingga kini terus rajin mencipta dan menyanyikan lagu-lagu bertema lingkungan dan kemanusiaan.
Abah dan juga Sobirin memiliki nostalgia tentang kemolekan Bandung puluhan tahun lalu. Akan tetapi, meski kini mengalami kota yang terus memanas, mereka tidak mau larut dalam nostalgia dan penyesalan. Mereka berbuat.
Nah, jika mereka punya nostalgia, bukankah kita, yang lebih muda, memiliki mimpi tentang hal yang sama, tentang Kota Bandung yang makin sejuk dan nyaman? Oleh karena itu, sama seperti mereka, mari berbuat!. (Ag. Tri Joko Her Riadi/Catur Ratna Wulandari/ Daniswara/Eva Fahas)***
Read More..
RUANG TERBUKA HIJAU KOMPAS Jawa Barat, 20-10-2008, Mohammad Hilmi Faiq Foto: www.play-montreal.com Anggota DPKLTS, Sobirin, menguraikan, 1 hektar hutan kota sangat efektif untuk menetralisasi 736.000 liter limbah cair buangan dari 16.355 orang, menghasilkan 0,6 ton oksigen yang dapat menyegarkan 1.500 warga per hari, dan menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun.
Tak kurang dari enam anak usia belia asyik bermain pancing-pancingan di kolam plastik di Taman Lansia, Jalan Cilaki, Kota Bandung, Minggu (19/10). Mereka tak takut berbasah-basahan di antara kecipuk air. Meskipun orangtuanya berkali-kali mengajak anak-anaknya menyudahi permainan itu, mereka seolah tak acuh dan tetap asyik dengan mainan itu.
Tak jauh dari mereka, Sigit Aris (38) duduk bersama istri dan dua temannya di atas plastik terpal. Di tengah mereka tersuguh minuman botol dan aneka kue. Mereka berbincang diselingi tawa ringan. Sementara anak Sigit asyik bersepeda di atas rerumputan tak jauh dari mereka.
"Di sini karena udaranya sejuk dan nyaman. Pepohonan yang rindang dan daun-daun yang hijau itu enak banget dipandang," kata Sigit. Sigit mengingat, sekitar 15-20 tahun lalu, masih banyak tempat rindang dan sejuk seperti Taman Lansia ini yang bisa ditemui di berbagai tempat di Kota Bandung. Pria asli Yogyakarta yang sudah puluhan tahun hidup di Bandung ini kerap bermain di taman waktu itu. Daerah belakang Gedung Sate adalah salah satu tempat favoritnya.
Saat ini, bagi Sigit, hanya Taman Lansia yang tersisa. Belakang Gedung Sate telah berubah menjadi bangunan. Kalaupun ada, taman-taman yang baru dibangun belum menyuguhkan kesejukan yang memadai.
Hal senada dikatakan Heriyanto (28). Baginya, Kota Bandung sudah tidak sejuk dan tak teduh lagi karena hutan kota dan taman kota terus berkurang. Ini diperparah dengan polusi udara yang makin menggila.
Padahal, lanjutnya, sebagai orang kota, Heriyanto sangat membutuhkan taman kota untuk mengurangi stres setelah seharian beraktivitas sekaligus menyegarkan pernapasan. "Pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan warga, terutama fasilitas umum seperti Taman Lansia ini," katanya.
Liana (27) yang hampir setiap sore jalan-jalan di hutan kota Babakan Siliwangi mengatakan, di Kota Bandung semestinya tersedia minimal enam atau delapan hutan kota seperti Babakan Siliwangi. Fasilitas umum seperti ini amat mendukung bagi peningkatan kualitas warga, terutama dalam bersosialisasi.
Warga bisa berkumpul dan beraktivitas positif, entah itu sekadar jalan-jalan atau melukis di hutan kota Babakan Siliwangi. Anak-anak dapat mempelajari aneka tumbuhan secara lansung di habitatnya yang asli. "Jika dilihat dari segi kesehatan, tentu tidak terbantahkan lagi manfaat taman atau hutan kota. Polusi dan suhu udara bisa terkurangi," ujarnya.
Menyegarkan Warga
Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menguraikan, 1 hektar hutan kota sangat efektif untuk menetralisasi 736.000 liter limbah cair buangan dari 16.355 orang, menghasilkan 0,6 ton oksigen yang dapat menyegarkan 1.500 warga per hari, dan menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun.
Seluas 1 hektar hutan kota juga mampu menguapkan air untuk kelembaban kota sebanyak 4.000 liter per hari, kesejukannya setara dengan pengurangan suhu 5-8 derajat Celsius, mampu meredam kebisingan suara 25-75 persen, dan meredam kekuatan angin sebanyak 75 persen.
Saat ini RTH Kota Bandung hanya 8,76 persen dari 16.729 hektar total luas kota. Pemerintah Kota Bandung perlu kerja serius untuk meningkatkan RTH sebagaimana yang diinginkan warga. (Mohammad Hilmi Faiq)
Read More..
HETIFAH, "SEHARUSNYA BISA DIAKSES CUMA-CUMA"
Pikiran Rakyat, 19 Oktober 2008, A-158/CA-177
Foto: Sobirin 2008, Seniman di Babakan Siliwangi
Saat ini, Kota Bandung baru memiliki sekitar 1.700 hektare Ruang Terbuka Hijau (sebelumnya ditulis 1,7 hektare). "Padahal, untuk kota seluas 16.729,65 hektare, Kota Bandung harus memiliki Ruang Terbuka Hijau seluas 6.000 hektare," kata Anggota DPKLTS Sobirin.
BANDUNG, (PR).-
Wali Kota Bandung Dada Rosada mengatakan, ruang publik yang tersedia di kawasan Babakan Siliwangi akan dikenakan biaya masuk. Namun, Dada menyanggah telah melakukan komersialisasi terhadap kawasan tersebut.
Menurut Dada, saat ditemui di ruang kerjanya Jln. Wastukancana Bandung, Jumat (17/10), masyarakat masih dapat mengakses Babakan Siliwangi sebagai ruang publik. "Yang komersial kan rumah makan dan taman bermain, masyarakat juga membutuhkan," katanya.
Dalam rencana penataan Babakan Siliwangi yang merupakan bagian dari kawasan Tamansari, tercantum penyediaan arena bermain anak seluas 703 m2. PT Esa Gemilang Indah (EGI) akan mengelola kawasan seluas 41.552 m2 itu, kecuali kantor kelurahan.
Terkait tempat bermain yang dikomersialkan, Dada menyerahkannya pada pengembang. "Namanya juga pengusaha, pasti disewakan dan ada tarif masuk. Bentuk permainan macam-macam, seperti di Taman Lalu Lintas," ujarnya.
Harus Terjangkau
Berbeda dengan Wali Kota, planolog dan pemerhati masalah perkotaan Ir. Hetifah Sjaifudian, M.P.P., Ph.D., mengatakan, ruang publik seyogianya dapat diakses semua golongan masyarakat. Komersialisasi ruang publik dikhawatirkan akan menyebabkan kawasan tersebut hanya dapat diakses warga yang memiliki uang.
Sesuai dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dalam tata guna lahan dan pemanfaatan ruang perkotaan, ruang publik merupakan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh warga kota secara cuma-cuma.
Menurut Hetifah, meskipun menetapkan tarif masuk, dana tersebut harusnya dikembalikan dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat. Karena pengelolaan sudah dialihkan ke swasta, Pemkot Bandung tidak bisa membatasi keputusan pengembang untuk menentukan tarif masuk. Sementara itu, pihak swasta biasanya menghitung tarif sesuai dengan dana investasi dan profit semata.
RTH 6.000 Ha
Pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai bagian dari ruang publik sebesar 30 persen di Kota Bandung harus menjadi perhatian semua pihak. Saat ini, Kota Bandung baru memiliki sekitar 1.700 hektare RTH (sebelumnya ditulis 1,7 hektare).
"Padahal, untuk kota seluas 16.729,65 hektare, Kota Bandung harus memiliki RTH seluas 6.000 hektare," kata Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiyono Sobirin. Salah satu penyebab panasnya Kota Bandung, lanjut Sobirin, merupakan kontribusi dari berkurangnya RTH.
Jika Bandung tanpa RTH, 90 persen sinar matahari menempel di aspal, genting rumah, dan bangunan. Sedangkan sisanya kembali dipantulkan ke angkasa. Ia juga mengimbau masyarakat untuk menciptakan RTH di lingkungan masing-masing. (A-158/CA-177)***
Read More..
Pikiran Rakyat Online, 19-10-2008, CA-177
Foto: http://www.greenplanphiladelphia.com/
Jika Bandung memiliki RTH sesuai dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh pepohonan untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan hanya 10% nya lagi yang menempel di bangunan, aspal dan lainnya, dan Bandung akan sejuk, ujar Sobirin menjelaskan.
BANDUNG, (PRLM).-
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30% di Kota Bandung sangat penting dan harus menjadi perhatian semua pihak. Tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat dan dunia usaha.
Saat ini Kota Bandung baru memiliki sekitar 1700 hektare RTH. Sedangkan idealnya RTH untuk kota yang memiliki luas 16.729,65 hektare ini adalah sekitar 6000 hektare. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Supardiyono Sobirin di Bandung, Jumat(17/10).
Upaya menciptakan RTH baru, seperti yang dilakukan oleh Walikota, dinilai Sobirin sudah cukup baik. Namun, ia menilai, permasalahan lingkungan yang tengah dihadapi pemerintah kota pun tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Menjadi hal yang sulit bagi Pemkot. Bagaimana agar dapat membangun kota ini tapi dengan tidak mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan rakyat. Tidak hanya itu, disatu pihak Pemkot harus berupaya agar PAD naik, tapi dilain pihak lingkungan pun harus terjaga," kata Sobirin.
Permasalahan RTH harus benar-benar menjadi perhatian, baik pemerintah maupun masyarakat. Sobirin mengatakan, salah satu penyebab panasnya Kota Bandung akhir-akhir ini adalah kurangnya RTH.
"Jika kota bandung tanpa RTH, sinar matahari yang menyinari itu 90% akan menempel di aspal, genting rumah, dan bangunan lainnya yang ada. sementara sisanya yang 10% akan kembali ke angkasa.
Hal itu memicu udara kota bandung menjadi panas. Namun, jika Bandung memiliki RTH sesuai dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh pepohonan untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan 10% nya lagi yang menempel di bangunan, aspal dan lainnya. Jika begitu, Bandung akan sejuk," ujar Sobirin menjelaskan.
Untuk itu, tidak hanya kepedulian pemerintah saja yang harus ditingkatkan, tapi masyarakat pun harus ikut serta dalam pemeliharaan lingkungan juga. Sobirin menghimbau, agar masyarakat bersama-sama menciptakan RTH di lingkungan masing-masing. "Mulailah dari yang terkecil, seperti di rumah sendiri. Cukup dengan menanam tiga atau empat pohon untuk setiap rumah yang berpenghuni sedikitnya enam orang. Kalau tidak memiliki halaman, bisa juga dengan tanaman di pot atau tanaman gantung yang banyak dijumpai saat ini," kata Sobirin. (CA-177)***
Read More..
KOMPAS Jawa Barat, FORUM, 25 September 2008
Foto: Sobirin 2008, Danau Depan Gedung Sate Bandung
Oleh SOBIRIN
Sungai-sungai kecil, kolam di taman, dan saluran drainase di Kota Bandung adalah ruang gerak air atau rumah air yang saat ini keberadaannya terabaikan dan sangat memprihatinkan. Rumah air ini telah lama tidak terurus. Sebagian besar menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah yang sulit terurai.
Ini menyedihkan karena bentuknya pun telah berubah. Ada yang dipersempit, dibeton, ditimbun, atau dialihfungsikan menjadi permukiman, tempat parkir, dan sebagainya.
Pada musim kemarau, rumah air tidak lagi berair. Kalaupun ada, airnya berupa air comberan yang menggenang dan tidak mengalir, berwarna hitam pekat, berbau busuk menyengat hidung, serta menjadi sumber penyakit. Sebaliknya, pada musim hujan, rumah air tidak mampu menampung air hujan sehingga menyebabkan banjir bandang dan cileuncang yang merugikan kehidupan warga dan kegiatan ekonomi Kota Bandung.
Air sebagai sumber daya alam yang dinamis bergerak sepanjang waktu berdasarkan siklus hidrologinya. Di atmosfer ia menjadi uap air dan jatuh ke bumi sebagai air hujan. Sebagian mengalir di permukaan tanah melalui sungai, bantaran sungai, situ, dan kolam. Sebagian lagi masuk ke dalam tanah menjadi aliran air tanah, bermuara di laut, kemudian menguap kembali ke angkasa. Demikian seterusnya.
Air membutuhkan ruang gerak di angkasa, permukaan tanah, dan dalam tanah dalam ukuran alami tertentu. Manakala rumah air dialihfungsikan dan air membutuhkannya pada musim hujan, air akan menuntut kembali hak miliknya. Ia akan mengalir, melabrak apa saja yang menghalanginya, serta menimbulkan bencana yang merusak wilayah dan kawasan.
Ketika Kota Bandung diresmikan pada 25 September 1810, tepat 198 tahun lalu, luasnya hanya sekitar 3.000 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa. Air hujan yang turun di Kota Bandung waktu itu masih dapat tertampung dengan baik oleh sungai-sungai kecil dan sebagian besar mudah meresap ke dalam tanah karena belum banyak tertutup bangunan.
Sekarang keadaannya sangat berubah. Luas Kota Bandung hampir mencapai 17.000 hektar dengan jumlah penduduk hampir 3 juta jiwa. Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk, kepadatan bangunan meningkat pula. Kota Bandung bagaikan jasad hidup yang terus tumbuh tanpa kendali. Rumah air telah diintervensi oleh kegiatan manusia, yaitu dialihfungsikan menjadi kawasan permukiman, pertokoan, pabrik, dan restoran. Rumah air telah ditutup aspal, beton, dan bangunan lainnya.
Menata Rumah Air
Sebagai gambaran, bila hujan turun di Kota Bandung pada tahun 1960-an, sebanyak 60 persen air dapat meresap ke dalam tanah. Sebanyak 40 persen sisanya melimpas di permukaan, kemudian mengalir melalui sungai-sungai dan sistem drainase yang masih berfungsi baik.
Akan tetapi, sekarang ini, bila hujan turun, hanya 10 persen air yang masih dapat meresap ke dalam tanah. Sebanyak 90 persen melimpas tidak tertampung oleh sungai dan sistem drainase yang ukurannya tidak lagi memenuhi syarat dan penuh sampah, mengalir ke segala arah mencari jalan sendiri, tidak peduli pada apa pun yang menghalanginya.
Menata kembali rumah air di Kota Bandung merupakan keharusan. Bila luas ruang terbuka hijau (RTH) telah ditentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu harus mencapai 30 persen dari luas kota, luas ruang gerak air atau rumah air tidak demikian.
Rumah air di dalam kota ditentukan oleh hukum alam berbasis siklus hidrologi dan sifat gerak air di kota tersebut, terutama pada musim hujan. Luas RTH masih bisa dimanipulasi atau dikurangi dengan berbagai alasan, tetapi luas rumah air sama sekali tidak bisa dimanipulasi atau dikurangi karena jumlah air hujan yang turun di kota telah menjadi ketentuan alam.
Pemerintah Kota Bandung seyogianya segera menerbitkan peraturan daerah khusus tentang ruang gerak air atau rumah air untuk menyelamatkan keberlanjutan kota. Peraturan ini menyangkut penyelamatan 47 sungai yang mengalir di dalam kota, bantaran sungai, sistem drainase dalam kawasan permukiman, sistem drainase di kiri-kanan jalan, kolam-kolam taman kota, pengelolaan air limbah, sumur resapan, konsep panen air hujan, dan sebagainya.
Hak Asasi Air
Sungai alam dan kolam di taman kota adalah infrastruktur lingkungan sebagai etalase dan aset untuk menciptakan Kota Bandung sebagai kota jasa yang bermartabat. Goethe, sastrawan dan filsuf terkenal dari Jerman, mengatakan, "Everything is originated by water. Everything is sustained by water." Segalanya dimulai dari air. Segalanya didukung oleh air.
Sebagai kado ulang tahun ke-198 Kota Bandung, perkenankan saya menyampaikan pesan dari air yang menuntut hak asasinya sebagai berikut:
Perkenalkan, aku adalah air.
Aku datang ke bumi sebagai titik-titik hujan.
Sebelum mengalir menuju laut, aku punya tempat
di hutan, di sungai, di danau, dan di dataran rendah.
Menjelang musim hujan, aku selalu memberi kabar bahwa aku akan datang.
Supaya engkau mengembalikan tempatku yang engkau pinjam
sehingga aku bisa istirahat dan lewat dengan tenang.
Saat musim hujan tiba, aku datang berbondong-bondong.
Sebelumnya engkau telah kuberitahu
bahwa tempatku yang kau pinjam akan kupakai.
Saat musim kemarau, sebenarnya sebagian dari aku senang tinggal di hutan
supaya udara segar dan mengatur mata air untuk kehidupanmu.
Tapi, hutan tempatku istirahat telah habis engkau babat.
Di musim hujan, terpaksa engkau kutenggelamkan dalam nestapa.
Di musim kemarau, terpaksa engkau kutinggalkan dalam kehausan
karena engkau telah merampas hak-hak asasiku.
Selamat ulang tahun Kota Bandung. Semoga segera tercapai cita-cita menjadi kota jasa yang bermartabat.
SOBIRIN Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) dan Bandung Spirit
Read More..
UNTUK MENGAMANKAN KEBUTUHAN SAWAHPikiran Rakyat, 23-09-2008, A-81 Foto: Sobirin 2007, Air Pegunungan Terancam KomersialisasiAnggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara.
BANDUNG, (PR).-
Perum Perhutani Unit III tolak ajuan 11 perusahaan swasta yang berminat melakukan bisnis eksploitasi air pada wilayah kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan. Ini dilakukan untuk pengamanan kebutuhan air bagi lahan-lahan sawah di ketiga kabupaten itu, yang selama ini tergolong wilayah sentra produksi padi di Jabar.
Kepala Unit III Perum Perhutani, Moh. Komarudin, di Bandung, Jumat (22/8) mengatakan, penolakan izin eksplorasi air itu disebabkan kondisi kehutanan negara setempat belum memungkinkan untuk dimasuki bisnis eksplorasi air. Apalagi, kawasan kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan termasuk lokasi yang harus segera dioptimalkan rehabilitasinya.
"Hanya saja, Perum Perhutani mempertanyakan komitmen setiap pemkab ketiga kabupaten itu dalam menjaga cadangan air dari kehutanan negara bagi kepentingan petani, terutama pada musim kemarau.
Sejumlah perusahaan swasta ternyata diizinkan pemkab setempat melakukan bisnis eksplorasi air dari kawasan kehutanan konservasi," ujarnya. Sejumlah wilayah pada kehutanan konservasi diketahui juga sebagai cadangan air bagi sawah sekitarnya. Tersedotnya air dari kawasan hutan, terutama pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan sawah dikhawatirkan akan mengundang konflik kepentingan air dengan petani.
Disebutkan, pemerintah memang mengizinkan Perum Perhutani mengoptimalkan cadangan air pada kawasan kehutanan negara untuk dibisniskan demi pemasukan negara. Namun, Perum Perhutani tetap mengikuti berbagai peraturan pemerintah dan undang-undang sehingga bisnis air yang dilakukan jumlahnya terbatas.
Menurut Komarudin, Perum Perhutani Unit III hanya membisniskan maksimal 20% dari total debit air, itu pun hanya dilakukan pada daerah-daerah yang cadangan airnya banyak, misalnya di Bandung Selatan dan Cilember. Selama ini, bisnis air dilakukan secara hati-hati dan terencana karena lebih berfungsi hajat hidup orang banyak.
Ancaman Panas
Sementara itu, daerah Jabar diduga terancam mengalami peningkatan pemanasan lingkungan berlipat-lipat, sebagai dampak rencana pembangunan sembilan waduk baru dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2008-2013. Ini disebabkan akan bermunculannya gas metan yang ditimbulkan endapan dari dalam perairan waduk sebagai salah satu pemicu terjadinya pemanasan lingkungan seperti sekarang dialami.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara. Padahal, lahan hutan tropis di Jabar mampu menyerap gas metan 500-1.000 gram setara CO2/m2/tahun, dibandingkan dengan waduk yang dapat mengeluarkan emisi gas metan sampai 4.000 gram setara CO2/m2/tahun.
"Pembangunan waduk hanya sebagai jalan pintas mengatasi masalah irigasi, padahal seharusnya diprioritaskan rehabilitasi kehutanan sebagai sumber cadangan air. Kalau Tuhan mengurangi atau tak menurunkan hujan dalam setahunnya, bisa jadi banyaknya waduk malah kekurangan pasokan air, sedangkan sumber pengendali airnya malah dialihfungsikan," katanya. (A-81)***
Read More..
PEMBANGUNAN RUMAH MAKAN RUSAK LINGKUNGANKOMPAS Jawa Barat, 17-09-2008, MHF/REK
Foto: Sobirin 2005, Hutan Kota Babakan Siliwangi TerancamAnggota DPKLTS Supardiyono Sobirin, mengatakan, masyarakat harus mencegah Pemkot Bandung memberi izin pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi. “Babakan Siliwangi merupakan satu-satunya hutan kota yang tersisa sehingga harus menjadi kawasan lindung”.
Bandung, Kompas -
Aktivis lingkungan di Kota Bandung, Jawa Barat, menolak rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi. Hal itu akan merusak daerah tangkapan air, mengurangi ruang terbuka hijau serta menyebabkan Bandung terancam banjir pada musim hujan dan krisis air pada musim kemarau.
Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan, Tatar Sunda Supardiyono Sobirin, mengatakan, masyarakat harus mencegah Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung memberi izin pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi. “Babakan Siliwangi merupakan satu-satunya hutan kota yang tersisa sehingga harus menjadi kawasan lindung,” kata Sobirin di Bandung, Selasa (16/9).
Kawasan Babakan Siliwangi seluas 3,8 hektar merupakan bagian kawasan Bandung utara yang menjadi daerah tangkapan air. Warga di sekitar Babakan Siliwangi selama ini tidak kekurangan air karena pohon-pohon besar di Babakan Siliwangi menjaga ketersediaan mata air. Di sana tumbuh pohon mahoni, akasia, suren, pakis, angsana, dan kaliandra yang berumur 20-50 tahun.
Jika ada bangunan komersial di Babakan Siliwangi, dikhawatirkan terjadi krisis air pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Saat ini, jalan di sekitar Babakan Siliwangi kerap macet karena ada rumah makan siap saji dan apartemen. Kalau dibangun lagi bangunan komersial, kemacetan akan makin parah.
Menurut Sobirin, rencana itu harus dibatalkan. Pemkot Bandung jangan hanya mementingkan investasi tanpa memikirkan kerusakan lingkungan. “Biarkan Babakan Siliwangi tetap menjadi hutan kota,” kata Sobirin.
Tahun 2003, Pemkot Bandung menjalin perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT Esa Gemilang Indah untuk membangun rumah makan di Babakan Siliwangi. Kini rencana itu kembali mengemuka. Lahannya menggunakan lahan bekas rumah makan milik Pemkot Bandung yang terbakar. “Pembangunan rumah makan diperkirakan membutuhkan 5 persen dari lahan yang ada,” kata Ketua Bagian Hukum dan HAM Kota Bandung Eric M Athauric.
Merusak lingkungan
Koordinator Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat, Rahmat Jabaril, sependapat dengan Sobirin. Izin pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi menguatkan citra Wali Kota Bandung Dada Rosada sebagai perusak lingkungan. Sebelum ini Dada mengizinkan pembangunan di Punclut yang juga kawasan tangkapan air.
Dihubungi terpisah, Dada Rosada mengatakan, semua pembangunan di Kota Bandung harus berwawasan lingkungan. "Rencana pembangunan rumah makan di Babakan Siliwangi masih akan kami kaji," katanya.
Selasa pagi, sebanyak 50 mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung berunjuk rasa di depan Gedung Merdeka Bandung, saat pelantikan Wali Kota Dada Rosada. Mereka menolak perubahan fungsi Babakan Siliwangi dari ruang terbuka hijau (RTH) menjadi fungsi privat. “Kami meminta kepedulian wali kota terhadap kondisi lingkungan yang makin memburuk di kota ini,” ujar pimpinan aksi, Irfan Priananda.
Saat ini, RTH di Bandung tinggal 7,86 persen dari total luas wilayah kota. Menurut Undang- Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan, RTH sebuah kota minimal 30 persen dari total luas wilayah. Pengalihan fungsi Babakan Siliwangi, kata Irfan, jelas-jelas menyalahi UU. “Pemkot Bandung sebaiknya tidak membiarkan pengalihan fungsi RTH untuk kepentingan investasi,” kata Irfan. (MHF/REK)
Read More..
Pikiran Rakyat, Geulis, 12-10-2008, Lia Marlia
Foto: Rokhani, 2006, Kreasi Plastik Bekas
Menurut anggota DPKLTS Sobirin, jika komposisi sampah plastik rata-rata 5%, setiap hari Bandung menghasilkan 100 ton sampah plastik. Bila ukuran satu kantong plastik 50 x 40 cm dan berat 10 gram, sampah plastik Kota Bandung setara 200 lapangan sepak bola per harinya.
Rumah tangga mempunyai kontribusi sangat besar terhadap penumpukan sampah plastik yang sangat merusak lingkungan. Jika keadaan tersebut terus berlangsung, bagaimana nasib anak cucu kita kelak. Asal ada kemauan, perempuan sebagai ibu rumah tangga bisa kok mengurangi sampah plastik.
Saat ini, belanja rasanya tidak lengkap tanpa kantong plastik. Mulai dari cabai rawit sampai daging sapi, semuanya dibungkus oleh kantong plastik. Belum lagi makanan seperti mi instan dan sosis, pasti dilengkapi kemasan plastik. Nyaris tak ada lagi bahan makanan yang dibungkus daun, seperti halnya zaman dulu daging dikemas dengan daun waru.
Saat menjadi kemasan, plastik memang terasa sangat berguna. Akan tetapi, sesampainya di rumah, plastik-plastik itu menjadi sampah, lalu dibuang begitu saja. Paling banter kantong plastik menjadi pembungkus sampai rumah tangga yang tentu saja ujung-ujungnya dibuang juga. Padahal, plastik termasuk penyumbang kerusakan lingkungan dan bencana alam terbesar!
Plastik = Bencana
Tahukah Anda, rata-rata timbunan sampah Kota Bandung adalah 7.500 meter kubik atau 2.000 ton per hari, di mana setiap orang di Bandung menyumbang sekitar 2,5 liter sampah per hari. Jumlah tersebut didapat dengan asumsi jumlah pembuang sampah di Kota Bandung (penduduk setempat dan pendatang) dibulatkan ke angka 3 juta orang.
Menurut anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono, jika komposisi sampah plastik rata-rata 5% dari jumlah itu, setiap hari Bandung menghasilkan 100 ton sampah plastik. Dengan asumsi ukuran satu kantong plastik 50 x 40 cm dan berat 10 gram, sampah plastik di Kota Bandung setara dengan 200 lapangan sepak bola per harinya.
Dampaknya sudah bisa kita rasakan sekarang. Tumpukan sampah plastik yang dibuang sembarangan selalu menyumbat aliran sungai dan saluran drainase, dan menyebabkan banjir di berbagai daerah di Jawa Barat bila musim hujan tiba.
Jika dicampakkan ke atas tanah, sampah plastik memerlukan ratusan tahun untuk dapat mengurai dan hancur. Artinya, kekayaan tanah akan terganggu. Tanah akan terkena dampak lebih buruk lagi kalau plastik yang dibuang mengandung zat beracun. Sementara itu, jika sampah plastik dibiarkan di tempat sampah, sisa-sisa makanan di atas sampah plastik akan mengundang lalat dan mikroorganisme yang berpotensi menjadi sumber penyakit.
"Maka jika konsumsi plastik dibiarkan membabi buta seperti saat ini, bencana lingkungan yang lebih besar bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia atau mungkin di Jawa Barat," katanya khawatir.
Gaya hidup
Ironisnya, sebagian besar sampah plastik ini justru berasal dari rumah tangga. Sobirin mengatakan, 90% warga Bandung belum bertanggung jawab terhadap sampahnya. Setiap anggota tanpa sadar mengonsumsi sampah plastik, tanpa memikirkan bagaimana caranya menghindari, mengurangi, menggunakan kembali, atau mendaur ulangnya. Padahal, hampir setiap rumah tangga membesarkan anak calon penerus bangsa. Tidak terbayang masa depan seperti apa yang akan dialami mereka, jika para orang tua tanpa sadar merusak alam yang akan diwariskannya kelak.
Beberapa negara maju sudah menyadari bahaya sampah plastik. Pemerintah Australia mewajibkan semua supermarket dan pusat perbelanjaan menggunakan kantong kertas, sedangkan Korea Selatan mulai memproduksi kantong plastik biodegradable yang lebih mudah diurai tanah karena terbuat dari bahan organik. Akan tetapi, hal yang sama sulit dilakukan di Indonesia karena menggunakan kantong plastik sudah menjadi gaya hidup. Selain itu, harga plastik biodegradable yang 8-10 kali lipat dari harga plastik biasa, membuat produsen menolak beralih.
Tiga kesalahan
Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah menggembor-gemborkan program 3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (daur ulang) untuk mengatasi masalah sampah. Lalu ada pula kampanye memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah-rumah. Namun, semua itu bagaikan angin lalu. Hanya segelintir orang yang secara disiplin melakukan hal tersebut.
"Soalnya dalam proses itu, pemerintah dan pihak terkait melakukan tiga kesalahan. Pertama, orang yang menyosialisasikannya tidak kompeten, kedua masyarakat sudah sangat terbiasa menggunakan sampah plastik, dan ketiga metode yang diterapkan salah," ungkap Sobirin.
Oleh karena itu, Sobirin berharap Wali Kota Bandung, memiliki target untuk mengubah perilaku warga Bandung untuk lebih peduli terhadap sampahnya.
Menurut sosiolog Budi Radjab, selama belum ada sanksi yang berat bagi warga yang membuang sampah sembarangan, Indonesia khususnya Jawa Barat tidak akan pernah terbebas dari masalah sampah. Jadi, imbauan pemerintah untuk melakukan 3R atau pemisahan sampah, hanya akan dianggap angin lalu. Soalnya, masyarakat Indonesia hanya peduli dengan apa yang terjadi saat ini, masa di mana mereka hidup.
"Sampah plastik ini kan dampaknya jangka panjang. Nah, kita sulit sekali untuk melihat apa yang akan terjadi, bahkan ketika anak dan cucu kita yang menjadi taruhannya," kata Budi menjelaskan.
Peran perempuan
Perempuan, dalam hal mengurangi sampah plastik ini memegang peranan penting untuk melakukan gerakan sosial terhadap masalah sampah plastik. Bukan hanya karena sebagian besar perempuan bertindak sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga karena aksi terbuka seorang perempuan selalu mendapat sorotan lebih. Ini disebabkan masih ada pandangan subordinatif terhadap perempuan. Jadi, ketika perempuan melakukan sesuatu yang besar, anggota keluarga dan masyarakat akan merasa malu karena tidak melakukan hal yang sama sebelumnya.
"Makanya bagi perempuan yang sudah melakukan 3R atau apa pun, tolong jangan didomestikasi kegiatan itu. Kasih lihat sama orang lain, biar dicontoh," ujar Budi Radjab.
Sementara itu, Plt. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja mengatakan, pemerintah sudah mulai mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Yaitu dengan mengesahkan UU No. 18/2008 pada Mei lalu. UU tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap perusahaan bertanggung jawab terhadap sampah plastik yang mereka hasilkan. Dengan demikian, sampah plastik menjadi memiliki nilai jual sehingga orang tidak akan lagi sembarangan membuang sampah.
"Nanti mungkin akan ada bank daur ulang, di mana masyarakat bisa menabung bahan-bahan daur ulang, dengan sistem perbankan. Setiap bahan punya kurs dan dapat dicairkan dalam bentuk uang jika tabungan sudah mencapai jumlah tertentu," tuturnya.
Melihat urgensi masalah sampah plastik, Setiawan berharap perangkat pendukung UU seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Perda dapat selesai tahun ini. Di lain pihak, Sobirin maupun Setiawan sepakat aksi individu menghindari, mengurangi, atau mendaur ulang sampah plastik akan berdampak masif terhadap kebaikan lingkungan.
Setiap orang bisa menghindari menggunakan kantong plastik dengan selalu membawa tas belanjaan ke pasar. Jika masih ingin menggunakan kantong plastik, setidaknya jangan menambah jumlah konsumsi plastik. Caranya, dengan menggunakan kembali kantong plastik yang ada. Jika kedua hal itu tidak dapat dilakukan, pilihan berikutnya adalah mendaur ulang sampah plastik.
"Coba cuci sampah plastik seperti kemasan mi instan dan kantung keresek, lalu jemur supaya sumber penyakitnya mati. Setelah itu, kalau tidak bisa mengolahnya kan bisa diberikan kepada orang-orang yang bisa mengolahnya menjadi kerajinan," kata Sobirin. (Lia Marlia) ***
Read More..
TIDAK MUDAH MEMENUHI KETENTUAN 30%
Pikiran Rakyat, 18 Oktober 2008, A-158/CA-177
Foto: Sobirin 2007, RTH Balai Kota Bandung
"Bila merujuk aturan, Bandung setidaknya harus memiliki 6.000 hektare RTH. Namun sampai saat ini baru sekitar kurang dari 1.700 hektare," ujar anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Supardiyono Sobirin.
BANDUNG, (PR).-
Pemkot Bandung meminta partisipasi masyarakat untuk mewujudkan proporsi ruang terbuka hijau (RTH) pada wilayah kota minimal 30% dari luas Kota Bandung. Saat ini, RTH Kota Bandung masih berkisar 8,76%, atau setara dengan 1.466 hektare dari luas kota Bandung sebesar 16.729,65 hektare.
Menurut Wali Kota Bandung Dada Rosada ketika ditemui di ruang kerjanya di Jln. Wastukancana, Jumat (17/10), idealnya, pemenuhan RTH diupayakan oleh pemerintah sebanyak 20% dan sisanya inisiatif dari masyarakat dan swasta. "Pemerintah baru memenuhi 8% dari kaharusan 30% RTH. Kami upayakan menambah RTH di Pasirimpun 4 hektare, Cicabe 4 hektare, dan lapangan Abra 1,4 hektare. Kalau masyarakat mau berpartisipasi, mudah-mudahan angka RTH 30% dapat tercapai," ujarnya.
Dada juga meminta supaya pemerintah pusat menjelaskan tentang ancaman penjara 15 tahun penjara bagi kepala daerah yang menyalahi UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Sebab, Perda No. 2/2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung hanya mengamanatkan RTH sebanyak 10% luas Kota Bandung. Ketentuan terinci akan diatur dalam rencana detail tata ruang kota (RDTRK).
"Yang dianggap menyalahi aturan ketika kepala daerah melanggar perda yang dibuatnya sendiri, maka dasar tuntutannya melanggar. Kalau substansi UU itu dianut secara gamblang, maka semua bupati/wali kota yang tidak memenuhi ketentuan itu harus diberhentikan dan dibui," ungkap Dada.
Agar masyarakat dan pihak swasta membantu menambah luas RTH, Pemkot Bandung akan menggelar berbagai lomba seperti lomba halaman atau taman sehingga menarik minat masyarakat untuk menyisihkan lahan miliknya menjadi RTH. Selain itu, perusahaan maupun perkantoran diharapkan membantu menyisihkan lahan dengan membangun RTH.
Sejauh ini mal, pertokoan, maupun perkantoran belum memenuhi ketentuan pengadaan RTH di kawasan mereka. Berdasarkan data yang dilansir LSM Greenlife Society, jika diakumulasikan maka tiap bangunan tersebut dapat menambah hingga 87 ribu m2 RTH Kota Bandung.
Tidak mudah
Sebagaimana tertuang dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, ruang terbuka hijau di Kota Bandung harus 30%. Dalam pembentukannya pemerintah memiliki kewajiban sebesar 20% sementara 10% adalah masyarakat.
"Bila merujuk aturan, Bandung setidaknya harus memiliki 6.000 hektare RTH. Namun sampai saat ini baru sekitar kurang dari 1.700 hektare," ujar anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Supardiyono Sobirin. Sobirin, mengakui, tidak mudah untuk meme-nuhi 30% RTH di kota ini. Apalagi saat ini Pemkot tengah mengalami konflik seperti masalah Punclut dan Babakan Siliwangi.
"Namun, hal inilah harus benar-benar diperhatikan. Bagaimana agar dapat membangun ekonomi kota tapi tidak mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan rakyat," ujar Sobirin. Ia mengimbau agar setiap rumah pun menyediakan RTH. Cukup dengan menanam tiga atau empat pohon di rumah sudah bisa membantu untuk menghijaukan kota ini. "Tinggal kemauan dari masyarakat dan perhatian yang lebih dari pihak pemerintah saja yang perlu ditingkatkan," ujarnya. (A-158/CA-177)***
Read More..
DRAINASE BERUBAH MENJADI TEMPAT SAMPAH
KOMPAS Jawa Barat, 16 Oktober 2008, MHF
Foto: Rian 2007, Banjir Perkotaan
Selain itu, Kota Bandung belum memiliki peta drainase sehingga air hujan tidak mengalir dengan baik ke sungai. "Drainase masih parsial. Banyak pengembang membangun perumahan, tetapi drainasenya tidak menyambung dengan drainase kota. Jadinya amburadul," kata Sobirin.
Bandung, Kompas -
Wali Kota Bandung Dada Rosada memerintahkan para camat untuk meningkatkan pembersihan lingkungan, terutama saluran air atau drainase menjelang musim hujan. Kota Bandung rawan banjir cileuncang pada musim hujan karena belum memiliki rencana induk drainase.
"Saya minta para camat untuk kerja bakti membersihkan lingkungan. Sebetulnya kalau tak diberikan perintah, para camat harus sudah tahu untuk rutin membersihkan menjelang hujan," ujar Wali Kota Bandung Dada Rosada, Rabu (15/10) di Bandung.
Dada mengakui, Kota Bandung masih rawan terkena banjir cileuncang selama musin hujan. Sebab, sampai saat ini Pemerintah Kota Bandung belum memiliki rencana induk (master plan) drainase. "Nanti akan kami buat master plan-nya karena saat ini sedang dibahas RDTRK (rencana detail tata ruang dan kawasan) Kota Bandung," kata Dada.
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Rusjaf Adimenggala menjelaskan, pihaknya sejak tahun 2006 telah memperbaiki drainase kota. Ini untuk memperlancar aliran air dan mencegah banjir selama musim hujan.
Data Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung menyebutkan, pada tahun 2007 telah dibangun saluran atau gorong-gorong sepanjang 18.700,9 meter. Selain itu, pemeliharaan saluran mencapai 6.233,5 meter. Namun, bila dibandingkan dengan keseluruhan saluran yang ada, pemeliharaan ini hanya sekitar 10 persen.
Beralih fungsi
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, menjelaskan, 75 persen drainase Kota Bandung telah beralih fungsi. Sebagian dijadikan tempat sampah, sebagian tertutup warung pedagang kaki lima, dan ada yang menyempit karena pembangunan rumah.
Menurut Sobirin, tidak kurang dari 46 sungai di Kota Bandung mati dan menjadi tempat sampah. Padahal, sungai berfungsi sebagai drainase primer yang menampung aliran air hujan. Selain itu, Kota Bandung belum memiliki peta drainase sehingga air hujan tidak mengalir dengan baik ke sungai.
"Drainase masih parsial. Banyak pengembang membangun perumahan, tetapi drainasenya tidak menyambung dengan drainase kota. Jadinya amburadul," kata Sobirin. Ini diperparah dengan banyaknya daerah yang kedap air (impervious) karena lapisan tanahnya tertutup bangunan. Akibatnya, kemampuan daya serap terhadap air menjadi rendah dan limpasan air tinggi.
Sobirin mengingatkan, cileuncang menjadi ancaman serius bagi warga Kota Bandung karena sistem drainase yang buruk tersebut. Untuk itu, diperlukan kampanye untuk menyadarkan warga kota bahwa cileuncang merupakan masalah bersama. Dasar kebersamaan tersebut, lanjutnya, adalah komunikasi dan gotong royong warga kota.
"Diperlukan terobosan dalam hal anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotongroyongan ini. Para pengusaha, pihak swasta, dan pengembang yang berdekatan dengan lokasi banjir cileuncang diminta ikut berpartisipasi dalam gotong royong ini.
"Kegiatan menghadapi kemungkinan banjir diupayakan agar sebesar-besarnya berbasis masyarakat, dengan kata kunci mendorong masyarakat mampu menolong diri sendiri," kata Sobirin.
Rusjaf mengakui, Kota Bandung belum bisa bebas banjir karena sistem drainasenya masih parsial. Kota Bandung belum memiliki sistem drainase yang menyatu sehingga belum dapat mengalirkan air dengan baik. (MHF)
Read More..
KOMPAS Jawa Barat, Kebersihan,16-10-2008, Rini Kustiasih
Foto: Sobirin 2007, Warga Bandung Tidak Peduli Sampah
Anggota DPKLTS Sobirin, mengungkapkan, warga Kota Bandung bermasalah dalam hal kebersihan. "Sebanyak 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampahnya. Mereka membuang sampah seenaknya di sembarang tempat," katanya.
Benar-benar menyedihkan. Perilaku membuang sampah pada tempatnya ternyata tidak membudaya. Hal itu setidaknya tampak dari sampah yang memenuhi Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Rabu (15/10).
Di tempat itu baru saja diselenggarakan acara cuci tangan untuk kebersihan dan kesehatan badan oleh sebuah produk sabun. Seusai acara, yang tersisa ialah bungkus makanan, botol air mineral, tisu kotor, dan aneka plastik.
Petugas kebersihan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandung pun sibuk menyapu lapangan dan menyeret tong sampah. Jumlah mereka yang hanya belasan orang tampak tak seimbang dengan luas lapangan dan sampah yang menyebar.
Atiman (38), salah seorang petugas kebersihan, mengaku sangat gerah dengan perilaku warga yang membuang sampah seenaknya. Volume sampah pun dirasakannya makin meningkat di Kota Kembang, terutama bila ada acara tertentu.
Matanya tajam mengincar satu per satu sampah yang tergeletak di rumput kering. Keringat yang bercucuran seolah beradu balap dengan sampah yang terbang ditiup angin. "Warga sukar diingatkan, apalagi saat kedapatan tangan membuang sampah di jalanan. Mereka cenderung meremehkan petugas yang mengingatkan," ujar Atiman yang setiap hari bertugas membersihkan Jalan Surapati.
Sering kali sampah yang tersembunyi di selokan tidak sempat terjamah olehnya. Alhasil, sampah-sampah itu menumpuk dan membusuk di selokan. Selokan di depan Lapangan Gasibu, misalnya, telah penuh sampah.
Tong sampah hilang
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Bandung menempatkan sejumlah tong sampah di sepanjang Jalan Diponegoro hingga Lapangan Gasibu. Akan tetapi, selang beberapa bulan kemudian, tong sampah itu lenyap. Tidak diketahui orang tidak bertanggung jawab yang mengambil tong sampah tersebut.
Perilaku buruk warga kota bermula dari kebiasaan di rumah. Nana Supriyatna (35), warga Kampung Melania, Kecamatan Cibeunying Kaler, mengatakan, sering melihat tetangganya membuang sampah di selokan belakang rumah mereka. Akibatnya, ketika hujan besar datang, kawasan mereka selalu tergenang banjir cileuncang, yakni banjir setinggi mata kaki.
"Sering kali air luberan dari selokan juga masuk ke rumah. Baunya tidak sedap dan gatal di kaki," ujar Nana yang mengaku setiap hari menitipkan sampahnya kepada petugas kebersihan. Sejumlah orang di kampung Nana melakukan hal yang sama, yakni membayar petugas kebersihan yang mengangkut sampah mereka. Meski demikian, kata Nana, lebih banyak yang tidak melakukannya.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengungkapkan, warga Kota Bandung bermasalah dalam hal kebersihan. "Sebanyak 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampahnya. Mereka membuang sampah seenaknya di sembarang tempat," katanya.
Dalam sehari diperkirakan ada 5.000-7.500 meter kubik sampah warga. Sebanyak 65 persen di antaranya merupakan sampah basah, sementara sisanya sampah kering dan plastik. "Hanya sekitar 20 persen warga yang punya kesadaran untuk membuang sampah di tempatnya atau menitipkan sampah pada petugas kebersihan di tempat tinggal masing-masing," ujar Sobirin.
Ketidaksadaran warga akan kebersihan itu diperparah dengan sulitnya memperoleh tempat penampungan sampah. "Warga bisa menggunakan 3R, yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), atau recycle (mendaur ulang) sampah," kata Sobirin. Namun sayang, kota yang dikenal sebagai pusat industri kreatif ini belum cukup kreatif mengelola sampahnya sendiri. Duh, malunya... (RINI KUSTIASIH)
Read More..
PENATAAN BABAKAN SILIWANGI DI KOTA BANDUNG Pikiran Rakyat, 12 Oktober 2008, A-158 Foto: Sobirin 2008, Sebaiknya Babakan Siliwangi Menjadi Hutan KotaSementara itu, anggota DPKLTS Supardiyono Sobirin meminta supaya Pemkot tidak hanya mengurusi soal Babakan Siliwangi. "Pemkot Bandung punya posisi tawar untuk menata lingkungan dan masyarakat di sekitarnya," ujar Sobirin.
BANDUNG, (PR).-
Penataan Babakan Siliwangi (Baksil) harus menjadi titik awal penataan lingkungan di Kota Bandung. Kalaupun pembangunan rumah makan akan diteruskan, harus tetap memerhatikan ruang terbuka hijau (RTH). Pemkot Bandung mesti memberi batasan ketat.
Demikian benang merah pendapat dalam diskusi tentang Babakan Siliwangi di Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Padjadjaran (Unpad) Jln. Cisangkuy, Kota Bandung, Jumat (10/10) malam.
Dalam diskusi tersebut, Prof.Dr. Erry N. Megantara menilai, penataan Babakan Siliwangi bisa menjadi poin awal penataan lingkungan di seputar kawasan Cikapundung secara komprehensif. "Babakan Siliwangi sebaiknya menjadi awal mula penataan lingkungan yang terintegrasi pada ekosistem yang ada di Bandung. Selain itu, menjadi bagian dari keseluruhan kawasan di Babakan Siliwangi termasuk yang dikelola ITB," ujarnya.
Sementara itu, budayawan Iwan Abdurahman berpendapat, jika penataan tetap diserahkan ke swasta, Pemkot Bandung perlu memberi rambu-rambu yang tegas untuk membatasi pengembangan yang dilakukan PT EGI. "Setelah itu, bentuk hutan kota seperti sanctuary sebagai roh alam. Buat jadi lebat dan tidak perlu dijamah orang," ucap Abah Iwan pula.
Ketua Ikatan Alumni Planologi ITB Hetifah Syaifudian Sumarno menyatakan, penataan kawasan Babakan Siliwangi akan merusak citra Pemkot Bandung jika diteruskan. "Itu menunjukkan pemerintah tidak punya political will," katanya.
Bermasalah
Sementara itu, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin meminta supaya Pemkot tidak hanya mengurusi soal Babakan Siliwangi. "Pemkot Bandung punya posisi tawar untuk menata lingkungan dan masyarakat di sekitarnya," ujar Sobirin.
Meski berbeda-beda pendapat, semua pihak yang hadir menyadari pentingnya sosialisasi penataan kawasan Babakan Siliwangi. "Kami akan mendukung Pemkot Bandung untuk menyosialisasikan soal penataan lingkungan di Babakan Siliwangi. Namun, kami tidak akan mendukung PT EGI jika tidak ada sosialisasi konsep pembangunan yang akan dilakukan," kata Ketua Lemlit Unpad yang juga Guru Besar Lingkungan Hidup Unpad Prof. Dr. Oekan S. Abdullah.
Adu mulut
Di sela-sela diskusi, sempat terjadi adu mulut antara Acil Bimbo dan pengamat politik Herman Ibrahim. Kejadian bermula ketika Acil hendak menutup acara tersebut pukul 23.00 WIB. Dalam kata penutup, Acil sempat menyatakan penolakan penataan Babakan Siliwangi. Acil juga mengungkapkan kaitan Babakan Siliwangi dengan perjuangan pasukan Siliwangi zaman dahulu.
Di tengah narasi Acil yang menggebu-gebu, Herman memotong pembicaraan. Merasa tak terima dengan pernyataan Herman, Acil pun berang. Perseteruan berakhir dengan keluarnya Herman dari ruang diskusi. Semua pihak menyesalkan kejadian tersebut. Acara kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin Acil. Para tamu pun bergegas bubar dari lokasi. "Kalau saya kelepasan, saya minta maaf," ujar Acil menandaskan. (A-158)***
PERLU KONTRAK SOSIAL SOAL BAKSIL
Pikiran Rakyat, 12 Oktober 2008, A-158
BANDUNG, (PR).-
Penataan Babakan Siliwangi oleh pengembang PT Esa Gemilang Indah (EGI/Istana Group) sangat bergantung pada sikap masyarakat. Jika konsep penataan Babakan Siliwangi yang diajukan PT EGI tidak disetujui masyarakat, PT EGI tidak bisa memaksakan pembangunan tersebut.
"Perlu ada kontrak sosial antara pengembang dan masyarakat. Pengusaha memang ingin berbisnis, tetapi jangan hanya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Kalau masyarakat tidak setuju, mereka tidak bisa memaksa," ujar Wali Kota Bandung Dada Rosada dalam acara diskusi terkait Babakan Siliwangi di Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Padjadjaran (Unpad) Jln. Cisangkuy 62 Kota Bandung, Jumat (10/10) malam.
Menurut Dada, dalam setiap perencanaan pembangunan, pemerintah pasti memerhatikan kepentingan rakyat. Kalau pemerintah hanya membela kepentingan pengembang atau pengusaha, pemerintah salah. "Karena itu, dalam penataan Babakan Siliwangi tidak hanya pemkot dan pengembang, tetapi juga memerhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat," katanya.
Luas lahan Babakan Siliwangi mencapai 111.386 m2 (11 hektare), sebanyak 7,2 hektare di antaranya dikelola ITB sampai batas waktu kontrak sewa usai pada 2011 dan 2013. Luas lahan yang akan dikelola PT EGI mencapai 3 hektare, terdiri dari rumah makan dan pusat budaya Sunda 2.197 m2, parkir dan sarana jalan 5.179 m2. Sisa lahan efektif berupa ruang terbuka hijau (RTH) harus dipelihara, ditata, dijaga, dan dilestarikan.
Selain Dada, acara yang digagas Forum Antar Kampus, Jaga Lembur, dan Bandung Spirit ini menghadirkan Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda, Kepala Bappeda Tjetje Soebrata, Kepala Dinas Ruang dan Cipta Karya Juniarso Ridwan, para akademisi, budayawan, dan mahasiswa. Namun, perwakilan PT EGI tidak hadir.
Ketidakhadiran PT EGI disesalkan Dada. "Sebenarnya kehadiran PT EGI dapat sekaligus menjelaskan kegiatan yang akan dikerjasamakan. Apalagi, kecurigaan selama ini akan bisa diselesaikan kalau mereka memberi penjelasan. Oleh karena itu akan dilakukan pertemuan secepatnya untuk sosialisasi konsep penataan," katanya. (A-158)***
Read More..