UNTUK MENGAMANKAN KEBUTUHAN SAWAH
Pikiran Rakyat, 23-09-2008, A-81
Foto: Sobirin 2007, Air Pegunungan Terancam Komersialisasi
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara.
BANDUNG, (PR).-
Perum Perhutani Unit III tolak ajuan 11 perusahaan swasta yang berminat melakukan bisnis eksploitasi air pada wilayah kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan. Ini dilakukan untuk pengamanan kebutuhan air bagi lahan-lahan sawah di ketiga kabupaten itu, yang selama ini tergolong wilayah sentra produksi padi di Jabar.
Kepala Unit III Perum Perhutani, Moh. Komarudin, di Bandung, Jumat (22/8) mengatakan, penolakan izin eksplorasi air itu disebabkan kondisi kehutanan negara setempat belum memungkinkan untuk dimasuki bisnis eksplorasi air. Apalagi, kawasan kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan termasuk lokasi yang harus segera dioptimalkan rehabilitasinya.
"Hanya saja, Perum Perhutani mempertanyakan komitmen setiap pemkab ketiga kabupaten itu dalam menjaga cadangan air dari kehutanan negara bagi kepentingan petani, terutama pada musim kemarau.
Sejumlah perusahaan swasta ternyata diizinkan pemkab setempat melakukan bisnis eksplorasi air dari kawasan kehutanan konservasi," ujarnya. Sejumlah wilayah pada kehutanan konservasi diketahui juga sebagai cadangan air bagi sawah sekitarnya. Tersedotnya air dari kawasan hutan, terutama pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan sawah dikhawatirkan akan mengundang konflik kepentingan air dengan petani.
Disebutkan, pemerintah memang mengizinkan Perum Perhutani mengoptimalkan cadangan air pada kawasan kehutanan negara untuk dibisniskan demi pemasukan negara. Namun, Perum Perhutani tetap mengikuti berbagai peraturan pemerintah dan undang-undang sehingga bisnis air yang dilakukan jumlahnya terbatas.
Menurut Komarudin, Perum Perhutani Unit III hanya membisniskan maksimal 20% dari total debit air, itu pun hanya dilakukan pada daerah-daerah yang cadangan airnya banyak, misalnya di Bandung Selatan dan Cilember. Selama ini, bisnis air dilakukan secara hati-hati dan terencana karena lebih berfungsi hajat hidup orang banyak.
Ancaman Panas
Sementara itu, daerah Jabar diduga terancam mengalami peningkatan pemanasan lingkungan berlipat-lipat, sebagai dampak rencana pembangunan sembilan waduk baru dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2008-2013. Ini disebabkan akan bermunculannya gas metan yang ditimbulkan endapan dari dalam perairan waduk sebagai salah satu pemicu terjadinya pemanasan lingkungan seperti sekarang dialami.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara. Padahal, lahan hutan tropis di Jabar mampu menyerap gas metan 500-1.000 gram setara CO2/m2/tahun, dibandingkan dengan waduk yang dapat mengeluarkan emisi gas metan sampai 4.000 gram setara CO2/m2/tahun.
"Pembangunan waduk hanya sebagai jalan pintas mengatasi masalah irigasi, padahal seharusnya diprioritaskan rehabilitasi kehutanan sebagai sumber cadangan air. Kalau Tuhan mengurangi atau tak menurunkan hujan dalam setahunnya, bisa jadi banyaknya waduk malah kekurangan pasokan air, sedangkan sumber pengendali airnya malah dialihfungsikan," katanya. (A-81)***
Pikiran Rakyat, 23-09-2008, A-81
Foto: Sobirin 2007, Air Pegunungan Terancam Komersialisasi
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara.
BANDUNG, (PR).-
Perum Perhutani Unit III tolak ajuan 11 perusahaan swasta yang berminat melakukan bisnis eksploitasi air pada wilayah kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan. Ini dilakukan untuk pengamanan kebutuhan air bagi lahan-lahan sawah di ketiga kabupaten itu, yang selama ini tergolong wilayah sentra produksi padi di Jabar.
Kepala Unit III Perum Perhutani, Moh. Komarudin, di Bandung, Jumat (22/8) mengatakan, penolakan izin eksplorasi air itu disebabkan kondisi kehutanan negara setempat belum memungkinkan untuk dimasuki bisnis eksplorasi air. Apalagi, kawasan kehutanan negara di Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan termasuk lokasi yang harus segera dioptimalkan rehabilitasinya.
"Hanya saja, Perum Perhutani mempertanyakan komitmen setiap pemkab ketiga kabupaten itu dalam menjaga cadangan air dari kehutanan negara bagi kepentingan petani, terutama pada musim kemarau.
Sejumlah perusahaan swasta ternyata diizinkan pemkab setempat melakukan bisnis eksplorasi air dari kawasan kehutanan konservasi," ujarnya. Sejumlah wilayah pada kehutanan konservasi diketahui juga sebagai cadangan air bagi sawah sekitarnya. Tersedotnya air dari kawasan hutan, terutama pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan sawah dikhawatirkan akan mengundang konflik kepentingan air dengan petani.
Disebutkan, pemerintah memang mengizinkan Perum Perhutani mengoptimalkan cadangan air pada kawasan kehutanan negara untuk dibisniskan demi pemasukan negara. Namun, Perum Perhutani tetap mengikuti berbagai peraturan pemerintah dan undang-undang sehingga bisnis air yang dilakukan jumlahnya terbatas.
Menurut Komarudin, Perum Perhutani Unit III hanya membisniskan maksimal 20% dari total debit air, itu pun hanya dilakukan pada daerah-daerah yang cadangan airnya banyak, misalnya di Bandung Selatan dan Cilember. Selama ini, bisnis air dilakukan secara hati-hati dan terencana karena lebih berfungsi hajat hidup orang banyak.
Ancaman Panas
Sementara itu, daerah Jabar diduga terancam mengalami peningkatan pemanasan lingkungan berlipat-lipat, sebagai dampak rencana pembangunan sembilan waduk baru dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2008-2013. Ini disebabkan akan bermunculannya gas metan yang ditimbulkan endapan dari dalam perairan waduk sebagai salah satu pemicu terjadinya pemanasan lingkungan seperti sekarang dialami.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin menyebutkan, dibangunnya waduk-waduk baru, diperkirakan akan menghabisi banyak lahan kehutanan dan kebun, baik milik masyarakat maupun tanah negara. Padahal, lahan hutan tropis di Jabar mampu menyerap gas metan 500-1.000 gram setara CO2/m2/tahun, dibandingkan dengan waduk yang dapat mengeluarkan emisi gas metan sampai 4.000 gram setara CO2/m2/tahun.
"Pembangunan waduk hanya sebagai jalan pintas mengatasi masalah irigasi, padahal seharusnya diprioritaskan rehabilitasi kehutanan sebagai sumber cadangan air. Kalau Tuhan mengurangi atau tak menurunkan hujan dalam setahunnya, bisa jadi banyaknya waduk malah kekurangan pasokan air, sedangkan sumber pengendali airnya malah dialihfungsikan," katanya. (A-81)***
No comments:
Post a Comment