skip to main |
skip to sidebar
Pikiran Rakyat, 26 Desember 2009, Ag. Tri Joko Her Riadi
Foto: itb.ac.id
Menurut anggota DPKLTS Sobirin, pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, perlu terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman, mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif," ujarnya.
Tidak sampai satu kilometer dari kompleks instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) di Jln. Cikoneng, Kec. Bojongsoang, Kab. Bandung, belasan orang sibuk bekerja menimbun bekas kolam-kolam ikan. Sebagian dari mereka menurunkan batu dari bak truk, sebagian menurunkan pasir, sebagian lagi meratakan tanah dengan stoom kecil. Lahan itu lumayan luas, menghampar di kanan dan kiri jalan.
Permukiman-permukiman baru terus merangsek mendekati instalasi di areal seluas 85 hektare itu dalam beberapa tahun belakangan. Banyak kolam dan sawah di sekitar IPAL berubah menjadi bangunan. "Makin banyak rumah dibangun di sini. Harga tanah juga menjadi makin mahal," kata Heri Herdiwan, warga setempat yang menjadi staf di IPAL Bojongsoang, Rabu (16/12) lalu.
IPAL tempat mengolah limbah cair warga Kota Bandung ini memang ada di wilayah administratif Kabupaten Bandung. Produksi air pasca 1`pengolahannya pun hampir semua mengalir ke daerah tetangga tersebut. Sebagian dialirkan ke Sungai Citarum, sebagian yang lain dimanfaatkan para petani di sekitar kompleks untuk bertani dan beternak ikan. Perbedaan wilayah administratif inilah yang rentan memunculkan masalah jika tidak dikelola dengan baik.
Betty Wediawati, Kepala Bagian Pengolahan Air Limbah PDAM Kota Bandung, mengaku khawatir melihat permukiman yang menjamur di sekitar IPAL. Meski limbah domestik relatif tidak seberbahaya limbah berkategori B3 (bahan berbahaya dan beracun), bumper area (wilayah penahan) tetaplah diperlukan. "Jika permukiman dibiarkan terus mendekat, dikhawatirkan akan muncul masalah di kemudian hari. Bisa berupa keluhan bau atau pencemaran air tanah yang ujung-ujungnya bisa mengganggu keberadaan IPAL ini sendiri. Padahal, instalasi ini yang lebih dulu ada," ucapnya.
Menurut Betty, selama ini PDAM Kota Bandung telah menjalin komunikasi dengan Pemkab Bandung terkait dengan keberadaan IPAL mereka di kabupaten tersebut. Bahkan muncul wacana untuk segera menjadikan IPAL ini sebagai muara akhir limbah cair domestik warga Kab. Bandung.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, topografi cekungan Bandung mensyaratkan pengelolaan tata lingkungan, termasuk IPAL Bojongsoang, secara terkoordinasi. Jika tidak, akan muncul kecemburuan yang kontraproduktif. "Tetangga bisa gerah. Masak kita yang nyapu halaman mereka yang menerima sampahnya. Harus ada insentif dan disinsentif secara seimbang," ujarnya.
Persoalan tata ruang, menurut Sobirin, mesti mendapat perhatian serius. Berkaca dari pengalaman di berbagai tempat, berbagai persoalan lingkungan kerap terjadi akibat lemahnya penegakan aturan tata ruang. "Sebelum imbas buruknya meluas, pemerintah kedua daerah sebaiknya segera mencari kata mufakat soal ini," katanya.
**
Kehadiran IPAL di Bojongsoang diikuti dengan berbagai perubahan lingkungan di sekitarnya. Dari wilayah pertanian yang tandus, areal di sekitar instalasi berubah menjadi sawah dan kolam ikan yang produktif. Penyebabnya, air dari instalasi ini dapat diandalkan ketika kemarau panjang datang. PDAM mengklaim tidak kurang dari seratus hektare areal pertanian memanfaatkan air olahan IPAL.
Memasuki usia tujuh belas tahun, berbagai persoalan serius mulai menghadang instalasi ini. Mendekatnya permukiman hanyalah salah satu soal. Menurunnya kemampuan peranti pengolahan akibat usia adalah lain soal. Program revitalisasi pun dicanangkan. Rencananya, projek ini akan berjalan lewat APBD tahun depan. "Untuk merevitalisasi peranti mekanik dan elektrik, dana minimal Rp 2 miliar harus disediakan," ujar Betty.
Selain persoalan peranti yang sudah berumur, instalasi juga bermasalah dengan beranekaragam jenis sampah padat yang menyerbu saringan. Selain sampah plastik, ada juga tanaman eceng gondok dan kayambang. Setiap pekan, terkumpul dua hingga tiga bak truk.
Banyaknya sampah yang menyerbu IPAL terjadi akibat kebiasaan buruk masyarakat sekitar. Sampah dibuang di saluran terbuka sepanjang lima kilometer antara areal IPAL dan tol Buah Batu, tempat air kotor dimuntahkan dari pipa. "Masuknya sampah bisa sangat merepotkan. Selain berpotensi merusak peranti, sampah juga dapat mengganggu proses penguraian zat pencemar," ujar Betty.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kab. Bandung Atih Witartih mengungkapkan, pihaknya secara rutin melakukan pemeriksaan produk IPAL, setidaknya tiga kali setahun. "Hasilnya bervariasi. Kadang sudah sesuai dengan baku mutu, tetapi kadang air yang masuk ke sungai masih mengandung beberapa kandungan zat pencemar dalam porsi berlebih," katanya.
Instalasi yang dibangun dengan dana miliaran rupiah pada 1992 ini terus menuntut penggelontoran uang untuk biaya perawatan. Untuk bayar listrik saja misalnya, dibutuhkan dana Rp 20 juta per bulannya. Belum lagi tahun depan gelontoran limbah cair dari wilayah barat akan ikut masuk. Biaya operasional bakal lebih besar lagi.
Menurut pakar rekayasa air dan limbah cair ITB Marisa Handajani, berbagai tuntutan dana operasional yang tak sedikit inilah yang kerap merepotkan. Pasalnya, pendapatan lewat layanan air kotor tidak sebanyak air bersih. "Akibatnya, banyak persoalan turunan tak terselesaikan secara tuntas dengan alasan cekaknya biaya," katanya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***
Read More..
Pikiran Rakyat, 11 November 2009, A-183
Foto: Novianti Nurulliah, PR, 2009
Hal itu diungkapkan pakar DPKLTS Sobirin saat dihubungi, Selasa (10/11). Menurut dia, semestinya, pemerintah setempat segera menghentikan kegiatan pertambangan. Terkecuali, penanam modal itu akan mengembangkan jasa lingkungan seperti ekowisata, agroforestry, dan penghijauan kembali.
NGAMPRAH, (PR).- Rencana Pemerintah Kab. Bandung Barat untuk menerima investor asing dalam pertambangan marmer perlu ditinjau kembali. Pasalnya, marmer merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui dan dalam proses penggaliannya akan memapas lahan hijau. Sementara itu, di Kab. Bandung Barat sejatinya mempunyai kawasan lindung sebanyak 65 persen dari wilayah keseluruhan yang kondisinya kini hanya baru terpenuhi sebanyak 20 persen.
Hal itu diungkapkan pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono saat dihubungi, Selasa (10/11). Menurut dia, semestinya, pemerintah setempat segera menghentikan kegiatan pertambangan. Terkecuali, penanam modal itu akan mengembangkan jasa lingkungan seperti ekowisata, agroforestry, dan penghijauan kembali.
"Bukan berarti melarang investor masuk, tetapi lihat konsep usaha yang akan dilakukan. Apabila bergerak di bidang jasa lingkungan, maka hal itu harus didukung. Akan tetapi, apabila usaha pertambangan marmer hal itu jelas akan merusak keseimbangan alam di Kab. Bandung Barat," ucap Sobirin.
Menurut Sobirin, dengan memberikan tambahan peluang pertambangan di Kab. Bandung Barat sama halnya dengan mengurangi kawasan lindung. Padahal, kawasan lindung merupakan faktor iklim mikro yang dapat meningkatkan curah hujan. Apabila kawasan lindung itu dikurangi, akan berpengaruh terhadap persediaan air bagi warga Kab. Bandung Barat.
Rekomendasi
Ditemui terpisah di Kp. Warungpulus, Desa Batujajar, Kec. Batujajar, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kab. Bandung Barat Anugrah mengatakan, sebelum memberikan rekomendasi terhadap peminat usaha di bidang pertambangan mereka diimbau untuk melakukan pengujian terhadap dampak lingkungan yang akan terjadi.
Hal itu sebagai langkah awal agar tak terjadi kerusakan alam, meskipun dari segi ekonomi menguntungkan. Sejauh ini, Kantor Lingkungan Hidup Kab. Bandung Barat telah merekomendasi larangan penambangan beberapa radius dari wilayah Gua Pawon. Sementara itu, terdapat zonasi layak tambang untuk penambangan batu kapur dan marmer sesuai dengan RDTR dan RTRW di wilayah Cipatat. (A-183)***
Read More..
KOMPAS,Jawa Barat, 29 September 2009, ForumFoto: my.oper.com/ Icon Kota BandungOleh SOBIRINSetelah kemerdekaan, Kota Bandung masih memiliki nama sanjungan sebagai Bandung Kota Kembang (1950), Bandung Ibu Kota Asia Afrika (1955). Namun pada waktu-waktu berikutnya, Kota Bandung memiliki nama sindiran sebagai Bandung Kota Lubang (1980), Bandung Kota Sampah (2005).
Tanggal 25 September 2009 yang lalu, Kota Bandung berusia 2 abad kurang satu tahun. Banyak sekali peristiwa yang terjadi seiring dengan usia kota yang semakin lanjut, yang memunculkan nama-nama sanjungan dan sindiran terhadap Kota Bandung. Pada jaman penjajahan Belanda, Kota Bandung memiliki nama sanjungan sebagai Paradise in Exile ( abad 18), Bandung Excelsior (1856), The Sleeping Beauty (1884), De Bloem van Bersteden (abad 19), Parisj van Java (1920), Intellectuelle Centrum van Indie (1921), Staatkundig Centrum van Indie (1923), Europe in de Tropen (1930).
Setelah kemerdekaan, Kota Bandung masih memiliki nama sanjungan sebagai Bandung Kota Kembang (1950), Bandung Ibu Kota Asia Afrika (1955). Namun pada waktu-waktu berikutnya, Kota Bandung memiliki nama sindiran sebagai Bandung Kota Lubang (1980), Bandung Kota Sampah (2005), Bandung Kota Factory Outlet (2006). Bahkan telah lama Kota Bandung juga memiliki julukan sindiran sebagai kota yang heurin ku tangtung, apalagi dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang boleh dikatakan telah sangat melampaui batas.
Julukan sanjungan dan sindiran yang diberikan kepada Kota Bandung tidak lepas dari perilaku pengelola kota dan perilaku warga kota pada waktu itu. Seorang ahli perencanaan kota, Eko Budihardjo, dalam sebuah tulisannya sempat mengatakan: “Tunjukkan padaku wajah kotamu, maka aku akan bisa menebak siapa walikotanya”. Sebaliknya Shakespeare, seorang sastrawan dunia terkenal, sempat berujar: “Kota adalah cerminan perilaku warganya”. Keberadaan sebuah kota memang tergantung dari perilaku pengelola kota dan juga perilaku warga kota.
Banyak orang memimpikan Kota Bandung kembali seperti jaman dulu ketika masih sejuk dan nyaman. Tentunya tidak mudah, karena Kota Bandung jaman dulu beda dengan Kota Bandung jaman sekarang. Dulu jumlah penduduk masih ratusan ribu jiwa, sekarang berjumlah jutaan jiwa. Dulu jaman penjajahan, warga kota boleh dikatakan takut dan patuh kepada birokrasi pengelola kota. Jaman sekarang, di alam demokrasi, warga kota merasa boleh bebas berbuat apapun, peraturan perundangan kota diacuhkan begitu saja. Siapapun yang menjadi walikota atau pengelola kota akan banyak menemui kendala dan hambatan karena jumlah warga yang telah begitu banyak dengan perilakunya yang seenak sendiri.
Dalam pemahaman sehari-hari, warga kota adalah mereka yang bertempat tinggal di dalam kota sebagai penduduk tetap kota. Bila dicermati, warga kota ini terdiri dari bermacam kelompok, antara lain yaitu space holder, yaitu semua warga yang menghuni kota. Kelompok knowledge holder, yaitu warga yang merasa memiliki keahlian dan mengetahui permasalahan kota. Kelompok race holder yaitu warga yang merasa sebagai warga asli kota, Kelompok interest holder, yaitu warga yang berinvestasi bisnis di kota. Kelompok status holder yaitu warga yang sedang berperan sebagai pejabat pengelola kota. Kelompok loser holder yaitu warga kota yang hidupnya terpinggirkan tidak terperhatikan.
Sangat disayangkan, fakta menunjukkan bahwa tidak semua kelompok warga tersebut mempunyai kepedulian terhadap kotanya, bahkan sebagian besar berbuat kontra produktif yang menjurus kepada vandalisme yang merugikan kota. Lihat saja yang terjadi di Kota Bandung, nosel air mancur di Sukajadi di curi, bola-bola lampu hias penerang jalan dilempari hingga berpecahan, pohon-pohon kota disiksa, para pelaku bisnis yang hanya bermaksud mengeruk potensi ekonomi kota. Bahkan hampir 90 persen warga kota tidak peduli dengan sampahnya, berserakan di mana-mana, memenuhi selokan drainase, dan menyebabkan banjir cileuncang di musim hujan. Kota Bandung yang dulu dikatakan sebagai kota yang sejuk nyaman sebagai tempat tinggal dan tempat bekerja, sekarang telah bermetamorfosa menjadi kota yang hiruk pikuk tidak nyaman, penuh pedagang kaki lima, pengamen dan pengemis.
Skenario Kota Bandung
Di masa mendatang, Kota Bandung bisa menjadi kota yang lebih baik dari sekarang, atau sebaliknya bisa menjadi kota yang lebih buruk dari sekarang. Semua tergantung dari kombinasi perilaku pengelola kota dan perilaku warga kota.
Skenario pertama, Kota Bandung bisa menjadi kota yang nanjung atau berjaya, yaitu bila pengelola kota profesional dan warga kota berperilaku patuh: ruang kota tertata rapih, hukum berwibawa, ruang terbuka hijau 30 persen dari luas kota, lingkungan sejuk nyaman, banjir cileuncang tidak ada lagi, warga kota sejahtera, perekonomian surplus.
Skenario kedua, Kota Bandung bisa menjadi kota yang nguyung ibarat orang sakit, yaitu bila pengelola kota profesional tetapi warga kota berperilaku seenak sendiri: perusakan dan pencurian aset kota selalu terjadi, warga membuang sampah sembarangan, musim hujan selalu terjadi banjir cileuncang, rumah kumuh bermunculan dimana-mana, pedagang kaki lima merajalela, pengamen dan pengemis memenuhi jalanan.
Skenario ketiga, Kota Bandung bisa menjadi kota yang linglung ibarat orang mabok, yaitu bila pengelola kota tidak profesional walaupun warga kota berperilaku patuh: korupsi merajalela, pembangunan tidak pro warga, jalan penuh lubang, ruang terbuka hijau dialih fungsi, banjir cileuncang menjadi langganan di musim hujan.
Skenario keempat, Kota Bandung bisa menjadi kota yang burung alias seperti orang tidak waras, yaitu bila pengelola kota tidak profesional dan warga kota berperilaku seenak sendiri: penataan ruang amburadul, hukum tidak ada artinya, korupsi membudaya, kriminalitas merupakan kejadian sehari-hari, kota menjadi kumuh, bencana lingkungan mengancam setiap saat.
Mengembalikan Kota Bandung seperti jaman Parisj van Java dahulu kala tidaklah mungkin, namun kita tetap berharap semoga Kota Bandung mendatang dapat menjadi kota yang nanjung seperti gambaran pada skenario pertama. Selamat ulang tahun Kota Bandung, kota kita semua, semoga tetap berjaya.
SOBIRIN, Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
Read More..
Pembangunan Taman WisataPikiran Rakyat, 10 September 2009, Catur Ratna Wulandari/ Ag. Tri Joko Her RiadiFoto: astomshed.blogspot.comAnggota DPKLTS Sobirin mengungkapkan, kasus ini bukan hanya perkara hilangnya 250 hektare kawasan hijau di Tangkubanparahu, tetapi tercederainya Kawasan Bandung Utara secara keseluruhan. "Kalau ini lolos, kawasan lindung lain dengan mudah akan terjarah juga," ujarnya.
Tangkubanparahu memanas beberapa bulan terakhir ini. Penyebabnya bukanlah karena aktivitas vulkanik di bawah kawah raksasa gunung itu. Pemantik api adalah Departemen Kehutanan (Dephut) yang memberikan izin pengusahaan pariwisata alam kepada PT Graha Rani Putra Persada (GRPP), perusahaan swasta yang berkedudukan di Jakarta.
Pemberian izin itu dinilai menyalahi prosedur karena melangkahi kewenangan pemerintah daerah setempat, sebagai pemilik lokasi. Rumor yang beredar menyebutkan, Dephut mau bersusah-payah memotong kompas di Tangkubanparahu karena adanya kedekatan personal antara pucuk pimpinannya dan bos perusahaan swasta tadi. Nama Menteri Kehutanan Malem Sambat (M.S.) Kaban pun dikait-kaitkan dengan nama Putra Kaban, Direktur Utama PT Graha Rani Putra Persada. Oleh sebagian orang, kesamaan nama belakang kedua tokoh ini dipandang bukan sebuah kebetulan. Benarkah ini simpul segala silang sengketa terkait dengan berbagai keganjilan perizinan?
Menelisik ke belakang, gelagat masuknya swasta untuk mengelola Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanparahu sudah tercium sejak pertengahan 2007, ketika Menhut M.S. Kaban mencabut izin pengusahaan pariwisata alam Perum Perhutani di kawasan tersebut. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan bernomor SK.206/Menhut-II/2007 bertanggal 22 Mei, Perum Perhutani dinyatakan gagal sebagai pengelola. Pengelolaan kawasan seluas 370 hektare tersebut lantas diserahkan kepada Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Dephut. Di tingkat provinsi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat menjadi perpanjangan tangan Ditjen ini.
Belum genap tiga bulan setelah pencabutan itu, Kaban kembali menandatangani surat yang lain bernomor S.508/Menhut-IV/2007 yang isinya memberikan izin prinsip pengusahaan pariwisata alam kepada PT GRPP di TWA Tangkubanparahu. Surat itu menjawab permohonan GRPP yang baru diajukan pada 22 juni 2007. Tidak tanggung-tanggung, izin diberikan untuk lahan seluas 250 hektare, yang terdiri atas 175 hektare blok pemanfaatan dan 75 hektare hutan lindung.
Izin prinsip ini berujung pada keluarnya Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dua tahun kemudian lewat SK.306/Menhut-II/2009, 29 Mei 2009. Izin ini persisnya diberikan pada lahan seluas 250,70 hektare, terdiri atas 171,40 hektare di Kab. Bandung Barat dan Kab. Subang, serta kawasan hutan lindung Cikole seluas 79,30 hektare di Kab. Bandung Barat.
Dua bulan setelah IPPA keluar, terjadi pergantian nakhoda di BBKSDA Jabar. Mantan Kepala BBKSDA Riau, Rachman Sidik menjadi Kepala BBKSDA Jabar yang baru. "Saya masuk ke sini sudah terima paket. IPPA sudah diberikan. Jadi, (saya) harus melaksanakannya," katanya.
Menurut Rachman, izin yang diberikan pada GRPP bukan proses kilat. Permohonan izin dilakukan GRPP langsung ke Dephut sejak 2005. Namun, jika menilik surat persetujuan izin prinsip yang ditandatangani Menhut M.S. Kaban bernomor S.508/Menhut-IV/2007, diketahui permohonan pengusahaan pariwisata alam di TWA Tangkubanparahu diajukan Dirutnya melalui surat bernomor 03/GRPP/VI/2007 tertanggal 22 Juni 2007, atau tidak lebih dari tiga bulan sebelum izin prinsip diberikan.
Secara prosedural, izin prinsip mestinya dikeluarkan atas rekomendasi Gubernur Jabar. Pasalnya, izin pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung untuk skala provinsi merupakan kewenangan provinsi. Mengingat Gunung Tangkubanparahu berada di dua kabupaten, Subang dan Bandung Barat, maka perizinannya berada dalam kewenangan Pemprov Jabar. Hal ini sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007.
**
GRPP melayangkan surat permohonan rekomendasi izin lokasi kepada Gubernur Jabar pada 19 Desember 2007, atau empat bulan setelah mengantongi izin prinsip dari Menhut. Surat yang ditembuskan ke Dinas Kehutanan (Dishut) Jabar itu lantas ditindaklanjuti dengan telaahan surat GRPP yang bermaksud melakukan pengusahaan pariwisata alam di TWA Gunung Tangkubanparahu, Februari 2008.
Dishut Jabar menilai pemberian izin oleh Dephut kepada GRPP menyalahi mekanisme perizinan, sebab izin prinsip keluar mendahului rekomendasi. Kajian Dishut Jabar juga menyebutkan, pemda belum mengetahui tingkat bonafiditas GRPP sebagai pemohon IPPA. "Kami menyarankan kepada gubernur agar tidak memberikan rekomendasi," kata Kadishut Anang Sudarna.
Wakil Gubernur Jabar Yusuf M. Effendi kemudian melayangkan surat ke Menhut. Sayangnya, surat tersebut baru dilayangkan September 2008. Sementara itu, menurut surat balasan Menhut sebulan kemudian, pada 3 Juni 2008 GRPP telah memaparkan proposalnya dihadapan Kadishut atas nama Gubernur dan Sekwilda Jabar dan dihadiri jajaran Pemda Jabar, Kepala BBKSDA Jabar, tokoh masyarakat setempat, dan Perum Perhutani Unit III Jabar. "Sampai saat ini tidak ada arahan, sanggahan, ataupun hasil rapat yang menjadi dasar penolakan, sehingga kami menindaklanjuti," demikian petikan surat jawaban Menhut tertanggal 14 Oktober 2008 yang ditandatangani sendiri oleh M.S. Kaban.
Anehnya, dalam surat itu juga baru terungkap bahwa tembusan surat Kadishut Jabar bernomor 522.82/201/PH tentang saran penundaan rekomendasi izin lokasi yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat tidak pernah diterima Menhut. Kalaupun ada, kajian dan saran Dishut tidak lagi berlaku sebab telah terjadi pertemuan pada 3 Juni itu yang mengisyaratkan persetujuan semua pihak.
Dalam surat jawabannya, Menhut juga menyatakan, perizinan GRPP tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Pemberian izin prinsip itu didasari pada semangat pembangunan kebudayaan dan pariwisata yang diamanatkan kepada Dephut. Melalui surat itu pula, Menhut mendesak Pemprov Jabar segera memberi tanggapan positif atas niatan GRPP.
Pemprov Jabar memang tidak pernah memberikan rekomendasi yang diminta itu. Namun, toh IPPA keluar juga.
**
Lalu siapa GRPP? perusahaan itu berkantor di Jln. Kramat VI No. 45 Jakarta Pusat. "PR" beberapa kali menelefon ke kantor itu, namun menurut penerima telefon, tak ada siapa pun di kantor itu. Adapun di Bandung, menurut keterangan Rachman Sidik, GRPP belum punya kantor perwakilan.
Dari hasil penelusuran internet diketahui, nama Putra Kaban, juga ada di belakang sebuah kantor pengacara, Putra Kaban & Rekan. Alamatnya sama persis dengan GRPP. Sebuah surat elektronik telah dilayangkan melalui alamat yang tertera di sana. Hingga kini, belum ada jawaban.
Saat mendatangi lokasi projek perbaikan jalan di TWA Tangkubanparahu, Rabu (4/9) lalu, "PR" tak berhasil menemui pejabat GRPP. Putra Kaban tidak ada di sana. Menurut keterangan pekerja, Putra jarang datang ke lokasi. Yang lebih sering datang adalah penanggung jawab projek yang biasa dipanggil "Pak Ruslan". Namun Ruslan pun tak berhasil ditemui.
Kepada beberapa media di Jakarta, M.S. Kaban menyangkal dugaan adanya hubungan kekerabatan dengan Dirut PT GRPP. Dia beranggapan, isu kekerabatan ini sengaja dipolitisir segelintir orang. Dalam beberapa kesempatan Putra Kaban menolak berkomentar mengenai dugaan aroma nepotisme dalam kasus ini. Dia menegaskan, yang tengah berlangsung di Tangkubanparahu sudah sesuai prosedur.
PT GRPP berencana membuat paket wisata Tangkubanparahu yang dikaitkan dengan areal wisata di sekitarnya serta wisata belanja di Bandung. Di kawasan sekitar area parkir Jayagiri akan dilengkapi taman bermain, outbond, canopy trail, panggung budaya, kolam renang, restoran, dan cottage.
Rencana ini mendapat tentangan dari Aliansi Masyarakat Peduli Tangkuban Parahu (AMPTP). Menurut koordinatornya, Dadang Hermawan, perizinan yang tidak sesuai dengan prosedur ini menimbulkan preseden buruk. AMPTP melihat ada indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini.
Dadang berharap Pemprov Jabar dan Pemkab Bandung Barat bersikap tegas. Dia geram melihat GRPP maju terus, meski gelombang protes bermunculan. "Yang seharusnya marah adalah Pemprov Jabar dan Kab. Bandung Barat. Sudah ditolak tetapi (GRPP) kok masih bisa maksa," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kab. Bandung Barat Asep Sodikin belum memberikan teguran formal pada GRPP. "Kami kesulitan mau memberikan surat teguran. Ke mana surat itu harus ditujukan? Selama ini belum ada komunikasi apa pun," ujarnya.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kasus ini bukan hanya perkara hilangnya 250 hektare kawasan hijau di Tangkubanparahu, tetapi tercederainya Kawasan Bandung Utara (KBU) secara keseluruhan. "Kalau kebijakan salah ini lolos, nantinya akan diteruskan dengan injak sana - injak sini. Kawasan lindung lain dengan mudah akan terjarah juga," ujarnya. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***
Read More..
Nilai Investasi Pengembangan di Tiga Lokasi Rp 4,5 Triliun
KOMPAS, Jawa Barat, 30 Juli 2009, REK Foto: www.geothermal-energy.org
Anggota DPKLTS, Sobirin, mengatakan, potensi geotermal di Jabar selayaknya dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh warga Jabar. "Namun, jangan sampai eksploitasi ini memicu industri-industri berdiri berdekatan dengan sumber energi, yakni di kawasan lindung," ujarnya.
BANDUNG, KOMPAS - Upaya eksploitasi energi panas bumi (geotermal) di Jawa barat diharapkan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan. Meskipun eksplorasi energi ini tergolong ramah lingkungan, pemerintah harus tetap mewaspadai efek samping pembangunan industri yang makin mendekati lokasi eksplorasi.
Anggota Dewan Pakar dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, potensi geotermal yang besar di Jabar selayaknya dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh warga Jabar. "Namun, jangan sampai eksploitasi ini memicu industri-industri pendukung eksploitasi yang menginginkan berdiri berdekatan dengan sumber energi, yakni di kawasan lindung," ujarnya, Rabu (29/7).
Bila hal itu terjadi, keseimbangan kawasan lindung akan terganggu. Kerusakan lain akan menyusul, yakni dengan pengurangan jumlah pohon akibat penebangan untuk pembangunan lokasi industri. Selama ini aktivitas eksploitasi geotermal di mata ahli merupakan kegiatan yang ramah lingkungan. Sebab, keberlangsungan usaha ini amat bergantung pada kelestarian lingkungan.
Geotermal pada dasarnya adalah energi panas bumi berupa uap yang berasal dari air di dalam tanah yang di panaskan oleh magma gunung berapi. Bila jumlah pohon berkurang, otomatis kapasitas air tanah yang bisa diserap pun berkurang. Dampaknya, energi panas bumi tidak bisa lagi dimanfaatkan. "Oleh karena itu, sebisa mungkin memperbanyak pohon guna memperbesar potensi energi yang ditimbulkan," kata Sobirin.
Investasi Rp 4,5 triliun
Menurut catatan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jabar, provinsi ini masih memiliki potensi geotermal 2.949 megawatt (MW) yang tersebar di 36 lokasi. Potensi itu menyumbang 90 persen potensi total geotermal di Indonesia.
Sebelumnya, di Jabar telah beroperasi empat pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 770 megawatt elektrik (MWe), yakni Kamojang (140 MWe), Gunung Salak (375 MWe), Darajat (145 MWe), dan Wayang Windu (110 MWe).
Kepala Seksi Data dan Informasi Dinas ESDM Jabar Achmad Fadillah mengatakan, tiga lokasi lain dalam perizinan dari Gubernur Jabar. Tiga lokasi itu ialah di Tangkubanparahu (100 MW), Gunung Tampomas (45 MW), dan Cisolok-Cisukarame (110 MW).
"Perusahaan pemenang tender di ketiga lokasi itu sedang membentuk badan usaha agar bisa mendapatkan izin penambangan dari Gubernur," kata Fadillah. Ketiga pemenang tender itu ialah Tangkubanparahu Geothermal Power (Tangkubanparahu), Konsorsium PT Wijaya Karya-PT Jasa Sarana dan PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (Tampomas), dan Jabar Halimun Geothermal (Cisolok-Cisukarame).
Nilai investasi pengembangan di ketiga lokasi itu diperkirakan mencapai Rp 4,5 triliun. Saat ini ketiganya juga telah menyerahkan uang jaminan pengelolaan senilai masing-masing 10 juta dollar AS. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengaku sangat antusias mengembangkan potensi geotermal di Jabar. "Pada tahun 2010 akan diupayakan tender pengelolaan di Gunung Ciremai, Gunung Pangrango, dan Gunung Papandayan," katanya. (REK)
Read More..
PENANGANAN BANJIR KOMPAS, Jawa Barat, 16 Juli 2009, REK
Foto: http://www.tni.mil.id/
Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, Rabu (15/7) di Bandung, mengatakan, Pemprov Jabar seharusnya memerhatikan tiga aspek secara proporsional, yakni perbaikan kawasan hutan lindung, pembangunan infrastruktur fisik, dan pembangunan infrastruktur sosial
BANDUNG, KOMPAS - Dalam menangani persoalan banjir tahunan yang melanda Cekungan Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dinilai mengabaikan pembangunan infrastruktur sosial berupa penanaman kesadaran masyarakat. Pemprov Jabar juga terjebak pada persoalan infrastruktur fisik, yakni dengan upaya pemaprasan Curug Jompong.
Anggota Dewan Pakar pada Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, Rabu (15/7) di Bandung, mengatakan, Pemprov Jabar seharusnya memerhatikan tiga aspek secara proporsional, yakni perbaikan kawasan hutan lindung, pembangunan infrastruktur fisik, dan pembangunan infrastruktur sosial.
"Perbaikan kawasan lindung memerlukan perhatian utama, yakni dengan peningkatan anggaran reboisasi. Sebab, laju kerusakan lingkungan jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya perbaikan yang memerlukan waktu puluhan tahun," katanya.
Pemprov Jabar harus memanfaatkan musim kemarau seperti sekarang ini untuk mengerjakan ketiga aspek tersebut. Selama ini banyak pihak baru berteriak tentang perlunya perbaikan lingkungan saat musim hujan tiba dan banjir melanda.
Upaya penanganan banjir tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Masyarakat yang tinggal di kawasan banjir pun harus ikut mencegah banjir dengan membiasakan pola hidup bersih dan peduli lingkungan. "Biaya penanganan banjir seharusnya lebih banyak terserap untuk pembangunan infrastruktur sosial ini," kata Sobirin.
Ia mencontohkan Vietnam yang sering dilanda banjir karena banyak warganya tinggal di daerah aliran sungai. Setelah bertahun-tahun menderita karena banjir, warga di sana akhirnya sadar dan berdamai dengan banjir.
"Warga menerapkan pola hidup ramah lingkungan dan mendirikan rumah panggung untuk menghindari banjir. Mereka sadar bahwa mereka tinggal di kawasan yang rentan banjir sehingga tidak mungkin banjir dihilangkan, kecuali mereka membangun kesadaran lingkungan," tuturnya.
Upaya pemaprasan Curug Jompong jangan sampai justru memperparah kondisi lingkungan, antara lain menyebabkan pendangkalan Waduk Saguling.
Belum rampung
Kepala Dinas Pengendalian Sumber Daya Air Jabar Iding Srihadi menjelaskan, rencana pemaprasan sudah diusulkan ke pemerintah pusat. Namun, penyusunan desain teknik detail (detail engineering design/DED) belum rampung. Awalnya DED ditargetkan selesai pertengahan tahun ini.
"DED selesai pada September atau Oktober 2009. Proyek pun tidak bisa langsung dijalankan karena harus melakukan analisis mengenai dampak lingkungan," kata Iding.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menargetkan pemaprasan Curug Jompong dimulai pada 2010. Dananya bersumber dari pemerintah daerah dan pusat. Biaya pemaprasan diperkirakan Rp 500 miliar. (REK)
Read More..
KOMPAS, JAWA BARAT, FORUM, 5 Juni 2009
Gambar: www.bentarabudaya.com dan www.inmagine.com
Oleh: SOBIRIN
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika hujan mereka hanya ingin tidak banjiran dan longsor, ketika kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Hari Lingkungan Dunia yang dirayakan setiap 5 Juni oleh lebih dari 100 negara di muka bumi ini didasarkan pada ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1972. Tujuannya menanamkan kesadaran lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan melalui gerakan politik, pendidikan, dan budaya. Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia tahun 2009 adalah ‘Bersatu Menghadapi Perubahan Iklim’.
Perubahan iklim secara global telah diindikasikan dan dikhawatirkan oleh banyak ahli sejak dua dekade belakangan ini. Bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang semakin sering terjadi dan menelan banyak korban jiwa dan harta telah dituduhkan sebagai dampak dari perubahan iklim global. Dampak ini semakin diperparah oleh kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi, antara lain oleh sebab pertambahan penduduk yang mengintervensi kawasan lindung, alam tidak lagi bernilai sakral dan dieksploitasi besar-besaran, gaya hidup antroposentrisme semakin berkembang, hilangnya hak-hak masyarakat adat, tersingkirnya kearifan tradisional karena dianggap tidak ilmiah.
Mitos dan primbon
Ketika bencana datang, masyarakat korban selalu meminta pertolongan yang sifatnya instan. Mereka tidak membutuhkan kearifan tradisional. Ketika musim hujan mereka hanya ingin tempat tinggalnya tidak kebanjiran dan kelongsoran, ketika musim kemarau mereka hanya ingin kebutuhan airnya terpenuhi.
Jaman dahulu, nenek moyang kita memanfaatkan kenampakan bintang Waluku atau Kidang (rasi Orion) dan bintang Kerti atau Guru Tani (rasi Pleyades) sebagai pertanda awal musim bercocok tanam, dan memanfaatkan bintang Kelapa Doyong (rasi Scorpio) dan bintang Gubuk Penceng (rasi Crux) sebagai pertanda musim panen. Sekarang ketika bintang Waluku dan Guru Tani menampakkan diri di langit, musim hujan belum juga datang. Ketika bintang Kelapa Doyong dan Gubuk Penceng terlihat di langit, malah sawah-sawah sedang mengalami kekeringan dan puso.
Dalam Kamus Basa Sunda hasil karya R.A. Danadibrata (2006), terdapat istilah dangdangrat yaitu musim antara musim ngijih jeung musim katiga, lilana tilu bulan, nyaeta ti bulan Januari nepi ka bulan Maret, dina musim ieu turunna hujan ngan kakapeungan, kadang-kadang hujan, kadang-kadang tidak. Beliau ini lahir tahun 1905 dan wafat tahun 1987. Mungkin saja pada waktu beliau hidup, dangdangrat terjadi antara bulan Januari hingga Maret, dan pada musim itu bunyi turaes atau tonggeret (Tibicen linnei) terdengar di mana-mana. Tetapi sekarang pada bulan-bulan tersebut justru curah hujan sedang hebat-hebatnya, banjir di mana-mana, dan turaes pun entah sedang berada di mana. Jumlah penduduk bertambah, alam berubah, iklim pun menyimpang.
Masyarakat modern yang berpaham instan menganggap bahwa kearifan tradisional adalah sesuatu yang dianggapnya sudah kuno, tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tidak ilmiah, dan pantas ditinggalkan karena telah mengarah kepada mitos dan primbon.
Revitalisasi
Berbeda dengan masyarakat modern, sebaliknya masyarakat pemerhati lingkungan, budayawan yang paham ekosentrisme berkeinginan menggali kembali konsep kearifan tradisional yang dianggap akan mampu menghadapi bencana lingkungan sebagai dampak perubahan iklim. Beberapa kearifan tradisional memang tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, tetapi bila di telaah secara teliti dari yang tradisional itu dapat diperoleh berbagai pengetahuan yang sangat bermanfaat.
Kearifan tradisional ini banyak tersebar di pelosok nusantara, pakem-nya berupa kalender tradisional yang bersifat fenologis yaitu dikaitkan dengan perubahan perilaku tanaman, binatang, dan gejala alam lainnya. Contoh beberapa kalender tradisional nusantara antara lain Kala Sunda (Jawa Barat), Pranata Mangsa (Jawa Tengah), Tike Lime (Lombok), Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah), Lamaholot (Flores), Tetemasa (Madura), Katiko (Minangkabau), Keunong (Aceh), Wariga (Bali), Pananrang (Makassar), dan masih banyak lagi. Diperlukan revitalisasi kearifan tradisional dengan modifikasi, menggabungkan unsur-unsur pengetahuan modern, pembuktian ilmiah, dan ditampilkan dengan format baru, sehingga kearifan tersebut bisa tetap cocok untuk masa sekarang, dan mungkin masa yang akan datang, terutama dalam rangka adaptasi menghadapi perubahan iklim global.
Modifikasi kearifan tradisional dengan pembuktian ilmiah yang mudah dipahami oleh masyarakat awam akan sangat bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya dan lingkungan. Misalnya daun-daun yang berguguran dan pohon meranggas sebagai pertanda berakhirnya musim hujan, karena curah hujan lebih kecil dari penguapan atau evapotranspirasi. Telur cengkerik atau jangkrik (Gryllus assimilis) menetas di awal musim kemarau, karena temperatur menghangat dan kelembaban udara cukup moderat. Turaes atau garengpung (Tibicen linnei) terdengar di pepohonan pada saat dangdarat menjelang kemarau, karena temperatur relatif tinggi dan curah hujan semakin sedikit. Tentunya masih banyak lagi pengetahuan modern yang bisa digabungkan dengan kearifan tradisional sebagai terobosan dalam rangka sosialisasi adaptasi dan mitigasi menghadapi dampak perubahan iklim.
Beberapa tindak nyata yang dapat dilakukan dalam upaya merevitalisasi kearifan tradisional, antara lain: pertama, perlu kajian ilmiah tentang semua kearifan tradisional yang ‘ada’ atau ‘pernah ada’ di wilayah nusantara berkaitan dengan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Kedua, beberapa lokasi asal-usul kearifan tradisional seyogyanya dipilih sebagai percontohan dan dibangun stasiun klimatologi untuk membuat korelasi pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah. Ketiga perlu peningkatan kapasitas tenaga penyuluh lapangan dalam bidang kearifan tradisional dan kaitannya dengan dampak perubahan iklim. Keempat, perlu pemulihan hak dan peningkatan kelembagaan kearifan tradisional. Kelima, perlu dukungan aspek legal sebagai realisasi political will pemerintah tentang sosialisi dan penyuluhan kearifan tradisional menghadapi dampak perubahan iklim.
Diyakini dengan kearifan tradisional, maka musim hujan akan membawa berkah, dan musim kemarau pun akan membawa berkah.Tanpa tindak nyata dari setiap bangsa di muka bumi ini, dampak perubahan iklim bisa berpengaruh negatif kepada semua pilar kehidupan meliputi ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan politik. Selamat merayakan Hari Lingkungan Dunia pada 5 Juni hari ini.
SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Read More..
Pikiran Rakyat, Opini, 22 April 2009
Gambar: http://www.geardiary.com/
Oleh SOBIRIN
Semakin kuat posisi kelompok politik pemenang pemilu, semakin berkuasa menentukan alokasi sumber daya alam. Sumber daya alam dikuasai dan menjadi komoditas politik oleh kelompok partai pemenang pemilu. Sumber daya alam dicerabut dari fungsi ekologinya.
Pada awalnya, di tahun 1970, peringatan Hari Bumi jatuh pada 21 Maret, dicanangkan oleh Wali Kota San Fransisco atas dorongan warganya bernama John McConnell yang sangat menaruh perhatian kepada Bumi. Akan tetapi, 21 Maret kemudian dinyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Hutan Dunia. Namun kemudian, PBB juga menyatakan 21 Maret merupakan Hari Bumi, sebagai awal kehidupan lingkungan dan sumber daya alam.
Tanggal 21 Maret memang sangat istimewa, disebut pula vernal equinox, yaitu awal musim semi di belahan bumi utara, dan awal musim gugur untuk belahan bumi selatan, saat siang dan malam di muka bumi ini sama durasinya. Pada hari tersebut, PBB mengajak warga dunia untuk mengakui dan menghormati bahwa bumi itu memiliki sistem keseimbangan yang indah, antara keberadaan tanah, air, hewan, tumbuhan, dan manusia. Harus ada kesadaran bahwa sistem sumber daya alam di bumi ini sangat sensitif, dan akan terjadi bencana bila sistemnya terganggu.
Hari Bumi yang banyak diperingati warga dunia sekarang ini jatuh pada 22 April sejak 1970, sering disebut pula sebagai Hari Bumi kedua, dicanangkan oleh Gaylord Nelson, Senator Amerika Serikat dari Wisconsin. Walaupun asal usul Hari Bumi ini dari warga Amerika Serikat, namun jiwanya telah mendorong gerakan penyelamatan sumber daya alam melalui agenda-agenda politik lingkungan di berbagai negara.
Demokrasi
Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 8 Juli 2009 yang akan datang, boleh dikatakan sebagian besar calon pemimpin memanfaatkan pesta demokrasi ini dengan berkoalisi untuk merebut kursi kepemimpinan dengan obral janji yang membingungkan masyarakat. Hanya segelintir calon pemimpin yang mengusung konsep politik penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan dalam kampanye-kampanyenya. Politik penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan memang tidak populer untuk modal kampanye pemilu. Atau malah sengaja tidak dipopulerkan, karena di dalamnya banyak terkandung agenda-agenda tersembunyi.
Semakin kuat posisi kelompok politik pemenang pemilu, semakin berkuasa menentukan alokasi sumber daya alam. Sumber daya alam diperlakukan sebebas-bebasnya sebagai objek untuk dieksploitasi demi kepentingan jangka pendek. Sumber daya alam dikuasai dan menjadi komoditas politik oleh kelompok partai pemenang pemilu. Sumber daya alam dicerabut dari fungsi ekologinya. Dampak yang dirasakan adalah semakin banyaknya bencana merusak yang banyak menelan korban.
Calon Pemimpin
Peringatan Hari Bumi 2009 dipastikan tidak akan semeriah pesta politik perebutan kursi presiden dan wakil presiden, bahkan banyak yang tidak peduli 22 April adalah peringatan Hari Bumi. Calon pemimpin cukup banyak dan semuanya sangat bersemangat, namun sangat sulit menemukan sosok calon pemimpin yang mampu menghentikan penggundulan hutan, penambangan liar, penyelundupan sumber daya alam, dan kerusakan lingkungan lainnya. Calon pemimpin berjiwa lingkungan bukan yang mampu menggalakkan penanaman pohon atau penghijauan saja. Calon pemimpin berjiwa lingkungan bukan yang hanya bersedia membuat kontrak politik lingkungan, kemudian ingkar janji. Apalagi, jika birokrat pembantunya tidak profesional dan mudah sekali terkena "3 i" dari para pemodal, yaitu iming-iming, intervensi, dan intimidasi.
Pemimpin yang arif harus memiliki kebijakan dan strategi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, dengan rumusan: bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa harus mengorbankan pembangunan ekonomi, dan tanpa harus mengorbankan keadilan sosial. Sumber daya alam Indonesia sangat melimpah ruah, antara lain sebagai negara terluas ke-15 di dunia, berpenduduk terbanyak ke-4, penghasil biji-bijian ke-6, penghasil teh ke-6, penghasil kopi ke-4, penghasil cokelat ke-3, penghasil minyak sawit (CPO) ke-2, penghasil lada putih ke-1 dan lada hitam ke-2, penghasil puli dari buah pala ke-1, penghasil karet alam ke-2 dan karet sintetik ke-4, penghasil kayu lapis ke-1, penghasil ikan ke-6, penghasil timah ke-2, penghasil tembaga ke-3, penghasil gas alam ke-6 dan LNG ke-1, dan banyak lagi. Namun ironisnya, rakyat Indonesia sebagian besar masih miskin dan utang negara tidak terhitung lagi, karena sumber daya alam tersebut telah menjadi jarahan negara-negara serakah dan kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri.
Bagaimanapun kita harus sadar dan yakin, bahwa harapan menuju Indonesia jaya dan beradab itu masih ada dan terbuka.
Pertama, harus ditumbuhkan gerakan sosial madani yang terorganisasi dan terus diperbesar untuk mengkritisi dan mengoreksi kebijakan-kebijakan yang menyeleweng dari pasal 33 UUD 1945. Kekuatan gerakan sosial akan menimbulkan daya desak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah dalam pembangunan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.
Kedua, reformasi legislatif untuk mampu dan mau berperan sesuai fungsinya sebagai penyaring dan penyelaras peraturan dan perundangan yang prorakyat dan prolingkungan.
Ketiga, harus dibangun politik penyelamatan sumber daya alam, pendidikan penyelamatan sumber daya alam, dan budaya penyelamatan sumber daya alam.
Semoga peringatan Hari Bumi 22 April ini mampu membangun demokrasi sumber daya alam yang sebenarnya, yaitu kekayaan alam Indonesia ini dapat membuat rakyat Indonesia sejahtera, dan Pemilu 2009 ini tidak membuat pilu rakyat Indonesia.***
Penulis, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), pengelola www.clearwaste.blogspot.com.
Read More..
Pikiran Rakyat, 4 April 2008, A-132/A-133
Foto: Sobirin 2007, Senja di Waduk Jatiluhur
Sementara itu, pengamat lingkungan dari DPKLTS, Sobirin, mengatakan, banyak perda mengenai lingkungan di kabupaten/kota tumpang tindih satu sama lain. Oleh karena itu, keberadaan pergub kawasan lindung diharapkan akan membuat hukum yang ada sebelumnya menjadi efektif.
BANDUNG, (PR).- Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengusulkan agar dibuat prosedur operasional standar (SOP) pemantauan waduk dan situ di seluruh Jawa Barat. Data terakhir menunjukkan, di Jawa Barat terdapat 573 hingga 600 waduk dan situ yang tidak terpantau keamanannya.
Kepala Dinas PSDA, Iding Srihadi Adiwinata, Jumat (3/4) mengatakan, usulan untuk membuat SOP itu sudah diajukan ke pemerintah pusat sejak beberapa waktu lalu. Namun, sampai saat ini tidak juga ada tanggapan.
Seharusnya, kata Iding, pemantauan waduk dan situ diserahkan secara berkala kepada pemerintah provinsi, sehingga semua perkembangan yang terjadi dapat dipantau. Pemantauan itu harus mencakup observasi terhadap bocoran, penurunan muka tanggul, dan lainnya.
"Kami mengusulkan agar ada pemantau lapangan, yang setiap hari mengamati kondisi situ atau waduk. Data dari lapangan itu harus disampaikan ke Balai PSDA Wilayah Sungai atau ke Balai Besar Wilayah Sungai. Laporan tersebut dilanjutkan ke provinsi, kemudian diteruskan ke Puslitbang Air, dan diteruskan ke Komisi Keamanan Bendungan di Dirjen Sumber Daya Air," ucap Iding.
Menurut dia, hasil pemantauan keamanan terhadap waduk dan situ, sampai saat ini langsung diberikan ke Puslitbang Air. Demikian pula, pemantauan keamanan waduk dan situ masih dilakukan secara parsial.
Pantau Waduk Darma
Iding mengatakan, pihaknya juga mendapat laporan dari Puslitbang Air bahwa Waduk Darma Kab. Kuningan harus terus dipantau. Berdasarkan penelitian Puslitbang Air, kebocoran Waduk Darma saat ini berada pada kisaran 52 liter/detik. Air yang keluar dari bocoran itu masih jernih dan masih dikategorikan normal.
Menurut informasi dari Puslitbang Air, jika air yang keluar dari bocoran terlihat keruh, situasi itu harus diwaspadai. Alasannya, air yang keruh menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada dinding waduk.
Iding mengungkapkan, saat ini ada dua puluh waduk dan situ yang terus diawasi, di antaranya Waduk Jatiluhur dan Waduk Darma.
Belum Ada Survei
Pasca tragedi Situ Gintung, belum ada survei dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Jabar terhadap kondisi sejumlah waduk di Jabar. Meskipun demikian, keadaan waduk-waduk tersebut sejauh ini tidak bermasalah karena pihak pengelola waduk melakukan survei internal secara berkala.
Manajer Sipil dan Lingkungan PT Indonesia Power Waduk Saguling, Pitoyo Pinu mengatakan, kondisi Waduk Saguling saat ini aman. Menurut dia, pihaknya selalu melakukan inspeksi secara reguler terhadap konstruksi waduk untuk mencegah terjadinya bencana.
Pitoyo menuturkan, keberadaan waduk sangat dipengaruhi oleh daerah tangkapan hujan seperti kawasan lindung. Oleh karena itu, kata dia, jika jumlah kawasan lindung semakin berkurang, akan berimplikasi negatif terhadap konstruksi waduk. "Jika hutan lindungnya sedikit, infiltrasi air menjadi rendah dan sedimentasi menjadi tinggi," ujar Pitoyo.
Sementara itu, pengamat lingkungan yang juga dewan pakar pada Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin mengatakan, banyak perda mengenai lingkungan di kabupaten/kota tumpang tindih satu sama lainnya. Oleh karena itu, keberadaan pergub tentang kawasan lindung diharapkan akan membuat hukum yang ada sebelumnya menjadi efektif. (A-132/A-133)***
Read More..
Pikiran Rakyat, 3 April 2009, A-133
Foto: Sobirin 2007, Kawasan Lindung Jawa Barat yang GundulPemerintah Provinsi Jawa Barat perlu menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai kawasan lindung untuk mencegah peningkatan degradasi alam. Sobirin mengatakan hal itu kepada "PR" , Kamis (2/4). Banyak kawasan lindung, telah beralih fungsi.
BANDUNG, (PR).- Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai kawasan lindung untuk mencegah peningkatan degradasi alam. Pengamat Lingkungan Supardiyono Sobirin mengatakan hal itu kepada "PR" , Kamis (2/4).
Menurut dia, keberadaan pergub tersebut sangat esensial untuk melindungi kawasan lindung di Jabar yang luasnya sekitar 1,7 juta hektare. Dalam Perda No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Prov. Jabar, luas keseluruhan hutan di Jabar sekitar 3,7 hektare. Dari jumlah tersebut, 45% di antaranya harus berfungsi sebagai kawasan lindung.
Hanya, menurut Sobirin, luas kawasan lindung tersebut sampai saat ini belum tercapai. "Akibatnya, Jabar rentan dengan berbagai kerusakan alam," tuturnya.
Sobirin menjelaskan, kawasan lindung sebagaimana diatur dalam Perda RTRW mencakup dua bagian, yakni kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Kawasan lindung di dalam kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi seluas 3% yang dikelola BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan hutan lindung 16% yang dikelola Perhutani. Selanjutnya, kawasan lindung di luar kawasan hutan mencakup 26% yang dimiliki masyarakat umum.
Konflik Lahan
"Banyak kawasan lindung, khususnya yang berada di luar kawasan hutan, telah beralih fungsi menjadi permukiman dan perkebunan. Dalam kawasan ini, sering terjadi konflik lahan," ucap anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) tersebut.
Sementara itu, Nanang Suwardi dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung utara menegaskan, keberadaan pergub sangat penting untuk menghindarkan kawasan lindung dari degradasi alam akibat ulah manusia. Menurut dia, dalam hal pengelolaan kawasan lindung di KPH Bandung utara, tidak ada masalah karena aturannya sudah jelas dan manajemennya langsung di bawah Perhutani. (A-133)***
Read More..
MEMPERTAHANKAN WILAYAH PERTEMUAN DUNIA AIR DENGAN TANAH
KOMPAS Jawa Barat, 23 Maret 2009, ELD
Foto: photos.igougo.com, Sempadan Sungai
Peneliti dari DPKLTS, Sobirin, menegaskan, sempadan sungai adalah wilayah yang harus diberikan kepada sungai. Sewaktu musim hujan dan debit sungai meningkat, sempadan sungai berfungsi sebagai daerah parkir air sehingga air bisa meresap ke tanah.
BANDUNG, KOMPAS - Sempadan sungai di kawasan Bandung nyaris tidak berfungsi karena sudah dipenuhi permukiman penduduk dan perumahan mewah. Hal itu disebabkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, padahal penataan sempadan sungai memberikan manfaat ekologis, budaya, dan pariwisata.
Itu terungkap dalam kegiatan Lava Tour Cibeureum, Minggu (22/3). Kegiatan yang diselenggarakan Mahanagari itu berupa penyusuran Sungai Cibeureum yang sekaligus menjadi jalur lava Gunung pra-Sunda di Bandung. "Sebenarnya sempadan sungai sudah diatur mulai dari peraturan daerah. Nyatanya, permukiman hingga perumahan bisa mengklaim sempadan sungai," ujar anggota Masyarakat Geografi Indonesia, T Bachtiar, Minggu.
Selama menyusuri Sungai Cibeureum sepanjang 2,5 kilometer saja, beberapa titik sempadan sungai ditembok untuk menandai batas perumahan. Padahal, ujarnya, itu seharusnya tidak dilakukan karena sempadan sungai termasuk dalam tanah negara.
Peneliti dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, menegaskan, sempadan sungai adalah wilayah yang harus diberikan kepada sungai. Sewaktu musim hujan dan debit sungai meningkat, sempadan sungai berfungsi sebagai daerah parkir air sehingga air bisa meresap ke tanah.
Hanya saja, banyak pemerintah daerah masih menganggap daerah sempadan sungai sebagai kesempatan menambah pendapatan asli daerah sehingga tidak memikirkan fungsi regulasi dalam pengurusan izin kepemilikan tanah.
Daerah Amfibi
Bachtiar menjelaskan, sempadan sungai tidak hanya bersifat sebagai tebing penahan. Sempadan sungai juga berfungsi sebagai tempat tumbuh serta berkembangnya flora dan fauna khas Jawa Barat yang memiliki manfaat secara langsung dan tidak langsung.
Salah satu contohnya adalah pohon loa yang biasa tumbuh di tepian sungai. Pohon loa dengan buahnya mendatangkan kawanan burung cerukcuk yang selalu bersuara nyaring menjelang mereka tidur.
Sobirin menuturkan, salah satu alasan daerah sempadan sungai harus dipertahankan adalah untuk mempertahankan daerah amfibi atau wilayah pertemuan dunia air dengan dunia tanah. Sempadan sungai menjadi tempat keluarnya mikroorganisme dan binatang kecil yang bertugas mengurai sampah.
"Itulah sebabnya, air sungai berbau busuk setiap musim kemarau karena tidak ada lagi organisme yang mengurai sampah di sungai," ujar Sobirin. Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air Dine Andriani mengungkapkan, masih ada salah kaprah di masyarakat dan pemerintah mengenai estetika yang menganggap, jika ditembok, sempadan sungai akan terlihat rapi. Padahal, itu mengganggu keseimbangan ekologis. (ELD)
Read More..
Koran SINDO, 22 Maret 2009, Krisiandi Sacawisastra
Foto: http://envis.maharashtra.gov.in, Limbah Industri Perusak Air
ANGGOTA Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin mengatakan, butuh keberanian pemerintah untuk menindak industri yang nakal dan tidak memiliki alat penyaringan limbah.
Dia menilai saat ini pemerintah sangat lemah dalam penegakan hukum dan implementasi UU. ”Jika memang ada industri yang mencemari dan nakal, tutupsaja. Pemerintah harus berani karena limbah industri inilah yang sangat berbahaya,” ucapnya. Menurut dia, 50% pencemaran berasal dari limbah rumahtangga, 30% dari limbah industri, dan sisanya berasal dari pertanian.
”Namun limbah rumah tangga dan limbah pertanian bisa dikendalikan. Yang tidak bisa diurai adalah limbah industrinya karena ratusan industri membuang limbah, ini sangat berbahaya,” paparnya. Sobirin melanjutkan, imbas pencemaran, terlebih Sungai Citarum yang 75% sudah tercemar, yakni berbagai macam penyakit yang akan diderita masyarakat yang hidup di sekitaran sungai. Apalagi, Citarum merupakan sungai yang memasok air minum. (krisiandi sacawisastra)
Read More..
Pikiran Rakyat, Opini, 21 Maret 2009
Foto: www.columbia.edu, Tiada Air Tiada Kehidupan
Oleh: SOBIRIN
Sejak hampir 17 tahun yang lalu, setiap tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Dunia, yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan tingkat tinggi di Rio de Janeiro dan sidang umum PBB tahun 1992 yang menghasilkan kesepakatan Agenda 21 untuk menyelamatkan bumi.
Hari Air Dunia yang diselenggarakan setiap tahun adalah sebagai peringatan kepada seluruh penduduk dunia yang semakin meningkat jumlahnya, agar selalu berupaya menyelamatkan air yang semakin sulit diperoleh. Sejak awal dicanangkan, tema-tema Hari Air Dunia telah dipilih sebagai berikut: peduli sumber daya air adalah urusan setiap orang (1994), wanita dan air (1995), air untuk kota-kota yang haus (1996), air dunia: cukupkah (1997), air tanah: sumber daya yang tak kelihatan (1998), setiap orang tinggal di bagian hilir (1999), air untuk abad 21 (2000), air untuk kesehatan (2001), air untuk pembangunan (2002), air untuk masa depan (2003), air dan bencana (2004), air untuk kehidupan (2005), air dan budaya (2006), mengatasi kelangkaan air (2007), dan sanitasi (2008). Hari Air Dunia tahun 2009 diperingati dengan tema berbagi air, berbagi peluang, dengan fokus khusus bahwa air sebagai sumber daya alam yang mengalir melintas batas kewilayahan, seharusnya dikelola untuk menautkan kehidupan hulu dan hilir.
Air Jawa Barat
Ketika musim hujan potensi air Jawa Barat mencapai 80 milyar m3/tahun, sangat berlebihan. Namun keberadaan kawasan lindung sebagai pengendali air hujan sebagian besar telah kritis tidak mampu lagi menjalankan fungsinya, maka terjadilah bencana banjir dan longsor. Ketika musim kemarau, potensi air Jawa Barat hanya 8 milyar m3/tahun, kualitasnyapun sangat buruk karena tercemar oleh limbah. Alhasil di musim hujan selalu terjadi bencana banjir dan longsor, di musim kemarau selalu terjadi bencana kekeringan yang kerontang.
Bila kawasan lindung pulih sesuai penataan ruang yang ideal, maka dari 80 milyar m3/tahun ini yang bisa dimanfaatkan langsung sebagai air permukaan dan air tanah oleh warga Jawa Barat hanya seperempatnya, yaitu 20 milyar m3/tahun, sisanya yang tiga perempat kembali ke atmosfer oleh proses evapotranspirasi sebagai pembentuk iklim mikro. Keberadaan 20 milyar m3/tahun bagi penduduk Jawa Barat yang jumlahnya mencapai 40 juta orang, menunjukkan bahwa indek ketersediaan air Jawa Barat hanya 500 m3/kapita/tahun.
Padahal mengacu kepada katagori yang biasa dipakai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, bahwa kebutuhan dasar akan air untuk kehidupan berkelanjutan, antara lain untuk keperluan minum, pangan, kesehatan, perkotaan, industri, irigasi, transportasi, perikanan, pembangkit tenaga listrik, estetika, religi, budaya, dan lain-lainnya minimum 2.000 m3/kapita/tahun. Rasio antara kebutuhan dan ketersediaan air Jawa Barat sama dengan nilai 4 (empat), padahal rasio tidak boleh melebihi nilai 1 (satu). Kondisi ini berdampak terjadinya konflik atas air, apalagi di musim kemarau.
Jawa Barat memang sebuah provinsi yang berada dalam situasi krisis air. Provinsi ini memiliki luas hanya 2% dari daratan Indonesia, dan hanya memiliki 2% dari potensi air tawar Indonesia. Tetapi masalahnya provinsi ini menampung 20% dari penduduk Indonesia. Banjir, longsor, kekeringan, konflik air telah menjadi bencana rutin setiap tahunnya.
Langkah Strategis
Peringatan Hari Air Dunia dari tahun ke tahun masih sangat kental dengan bobot seremonial. Hari ini kita memperingati, hari esok kita melupakannya. Hal ini terlihat dari tema-tema yang dipilih setiap tahunnya, sangat bombastis, tetapi dari tahun ke tahun faktanya air semakin sulit diperoleh dan kualitasnya pun buruk. Hari Air Dunia adalah saat yang baik, untuk tidak sekedar berseremonial, tetapi bertindak dengan langkah strategis agar Jawa Barat mampu menyelamatkan diri dari krisis air.
Pertama, daerah aliran sungai berikut karakteristiknya menjadi acuan dalam penataan ruang wilayah. Siapapun yang tinggal baik di hulu maupun di hilir, semuanya berada dalam satu daerah aliran sungai. Semua harus memiliki satu kesepakatan, yaitu satu daerah aliran sungai, satu pandangan menyeluruh, satu visi bersama, satu perencanaan paripurna, dan satu manajemen terpadu. Air adalah sumber daya alam yang mengalir, maka antara hulu dan hilir perlu memiliki kesepakatan yang saling menguntungkan. Air adalah hak azasi manusia, dengan pengelolaan yang baik, maka air mampu menautkan kehidupan hulu dan hilir.
Kedua, bencana banjir, longsor, dan kekeringan adalah oleh sebab curah hujan ditambah kualitas lingkungan yang tidak memadai. Sampai saat ini kita belum mampu mengatur jumlah volume curah hujan yang jatuh dari langit, maka tugas kita semua adalah bersepakat menjaga kualitas lingkungan, agar dapat mengurangi ancaman bencana banjir, longsor, dan kekeringan.
Ketiga, realisasi pencapaian kawasan lindung Jawa Barat 45% harus dipercepat dan dikawal dengan seksama. Kawasan lindung yang baik mampu berfungsi sebagai pengendali air dari hulu dan ke hilir. Saat ini angka 45% nyaris hanya sekedar menjadi angka politis saja, sebab dari pengamatan citra satelit, kemajuan pemulihannya sangat lambat.
Keempat, tindak nyata harus dimulai dari diri sendiri. Menyelamatkan dan mengawetkan air dimulai dengan air yang ada di sekitar kita. Air hujan yang jatuh di atap rumah, dipanen, ditampung, dan dimanfaatkan di kala perlu. Ibarat musim mangga panen mangga, musim duren panen duren, maka musim hujan juga panen hujan. Bila memiliki halaman, membuat sumur resapan sederhana atau membuat lubang-lubang biopori merupakan cara-cara bijak, tidak membiarkan air hujan terbuang percuma. Air limbah rumah tangga juga perlu kita rekayasa secara sederhana, yaitu menjadi taman air limbah (waste water garden) dengan tanaman air yang sesuai. Di satu pihak air limbah masih bisa bermanfaat, di lain pihak air limbah menjadi bersih sebelum mengalir masuk ke badan sungai, sehingga tidak merugikan orang lain yang tinggal di hilir kita.
Bulan Maret adalah bulan yang istimewa, selain Hari Air Dunia tanggal 22 Maret, kita juga memperingati Hari Kehutanan Dunia tanggal 21 Maret, dan Hari Meteorologi Dunia tanggal 23 Maret. Sangat selaras dengan penyelamatan air, semoga acaranya tidak sekedar seremonial belaka.***
Penulis, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS),
pengelola www.clearwaste.blogspot.com
Read More..
SEKOLAH HARUS MENJADI TEMPAT YANG NIHIL LIMBAHPikiran Rakyat, 11 Maret 2009, A-157/A-165
Foto: WPL 2002, Murid SD Pinggir Citarum Berpraktek ZerowastePemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste).
BANDUNG, (PR).- Pengajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH) seyogianya diikuti dengan tindakan nyata warga sekolah mempraktikkan prinsip pelestarian. Salah satu yang bisa dikedepankan adalah praktik tata kelola sampah. Dengan demikian, pengajaran muatan lokal (mulok) tersebut tidak berhenti sebagai teori.
Pemerhati lingkungan Supardiyono Sobirin mengungkapkan, sekolah sebagai institusi memiliki potensi besar untuk memulai penerapan prinsip-prinsip cinta lingkungan. Salah satu penerapan yang dia sarankan adalah merintis sekolah sebagai tempat nihil limbah (zero waste), yang tidak menghasilkan sampah keluar dari lingkungannya. "Jangan sampai PLH berhenti sebatas teori. Tata kelola sampah di sekolah masing-masing bisa menjadi praktik yang mengena. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik dapat dijadikan kegiatan menyenangkan," kata Sobirin di Bandung, Selasa (10/3).
Pengelolaan sampah disarankan sebagai ajang praktik karena sampai saat ini masih menjadi masalah di Kota Bandung. Data PD Kebersihan menunjukkan, produksi sampah Kota Bandung mencapai 7.500 meter kubik per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 4.000 meter kubik terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dari sisa sampah 3.500 meter kubik, baru 25% di antaranya diolah warga menjadi kompos. Sisanya dibiarkan menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS), dibakar, dan tidak sedikit yang dibuang ke sungai.
Sekolah juga menjadi penyumbang sampah walaupun belum ada data pasti berapa kontribusinya setiap hari. Namun jika dilihat dari jumlah sekolah Kota Bandung yang mencapai 1.360 sekolah, dengan perincian tingkat SD/MI sekitar 800, SMP/MTs. 290, dan SMA/MA/SMK 270, jumlah sampah yang dihasilkan tidak sedikit. Dengan menerapkan pola nihil limbah di sekolah, bisa dipastikan adanya penurunan volume sampah secara signifikan.
Evaluasi
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, evaluasi terhadap pelaksanaan program mulok PLH dilakukan Juni mendatang, atau tepat dua tahun mulok diajarkan di semua sekolah. "Evaluasi kemungkinan akan dilaksanakan pada Juni mendatang sebab mulok PLH ini baru efektif dalam satu tahun terakhir. Sebelumnya adalah masa transisi pada Juli 2007 sampai Juni 2008," katanya.
Setelah hasil evaluasi didapat, kata Oji, Disdik baru bisa menyimpulkan efektivitas dari mulok ini terutama dilihat dari nilai kualitatif siswa dan institusi. Oleh karena itu, menurut dia, untuk saat ini Disdik belum bisa menjawab sejauh mana efektivitas pelaksanaan mulok PLH di lapangan dan bagaimana kontribusinya terhadap penyelesaian permasalahan lingkungan Kota Bandung.
"Yang jelas selama ini kurikulum PLH kita susun dengan menitikberatkan pada praktik. Sebagian besar diisi oleh kegiatan praktik yang presentasenya mencapai 70%. Namun ada juga di jenjang tertentu yang praktiknya 60%, tergantung dari sekolah dan tenaga pengajarnya," ujarnya.
Oji pun mengakui jika sampai saat ini belum ada pengajar khusus dengan latar belakang PLH sebab sangat sulit mencari guru yang berlatar belakang khusus PLH. "Kepala sekolah yang berperan dalam menentukan siapa yang dianggap mampu mengasuh mulok ini," ucapnya. (A-157/A-165)***
Read More..