MENYAMBUT HARI BUMI: BANDUNG MENGALAMI KRISIS AIR
KOMPAS, Jawa Barat, 17 April 2008, YNT
Foto:Modifikasi dari Sinar Harapan, Air Kemasan
Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.
BANDUNG, KOMPAS – Kondisi air di Jawa Barat sudah kritis. Akan tetapi, sebagian masyarakat belum merasakannya karena terbuai oleh komersialisasi air.
Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.
“Ada yang mengatakan Kota Bandung belum mengalami krisis air. Buktinya, jika dia haus, dia bisa dengan mudah membeli air mineral dengan harga murah,” ujar Sobirin.
Padahal, dari kondisi alam dan ketersediaan air di alam, krisis itu sudah terjadi. Ia menyebutkan, Jawa Barat memiliki 3,7 juta hektar atau 2 persen luas Indonesia. Namun Jawa Barat diisi 20 persen penduduk Indonesia, sehingga antara jumlah penduduk dan lingkungan lahan sebagai sumber tersedianya air tawar tidak seimbang.
Jika dilihat dari kebutuhan dasar pesimis, seperti mandi, masak, dan minum, setiap orang membutuhkan 2.000 meter kubik air per tahun. Dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan air, jumlah penduduk ideal Jawa Barat adalah 10 juta orang. Kenyataannya, saat ini Jawa Barat berpenduduk sekitar 40 juta jiwa.
Berdasarkan kebutuhan air optimis, seperti untuk kebutuhan listrik, dibutuhkan 5.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah kebutuhan ini ideal untuk Jawa Barat jika penduduknya hanya berjumlah 4 juta jiwa.
Ciri lain krisis air adalah terjadinya kekeringan di bidang pertanian dan perkotaan. Kekeringan perkotaan sangat tidak terasa, karena terpenuhinya air dari perdagangan air.
Kearifan adat
Untuk menumbuhkan budaya merawat air, masyarakat modern perlu mencontoh kearifan masayarakat adat. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Nanu Muda, Rabu, mengatakan masyarakat tradisi di Jawa Barat telah mengenal cara melestarikan air.
Mereka memahami bahwa fungsi air universal. “Air bagi masyarakat modern hanya sebatas alat pemenuh kebutuhan minum. Padahal, di masyarakat tradisi, air berfungsi universal dan memperlihatkan siklus kehidupan,” paparnya.
Bagi masyarakat tradisi, hulu sungai merupakan penyedia air untuk minum, daerah tengah untuk mandi dan mencuci, dan hilir sungai untuk memandikan ternak. Air pemandian ternak dialirkan ke irigasi sehingga kotoran dari ternak yang dibersihkan dapat berfungsi juga untuk pupuk.
Masyarakat adat pun mengajarkan pendidikan pelestarian lingkungan melalui ritual adat, misalnya mapag cai atau kawin cai.
“Orang modern meninggalkan budaya lokal dalam melestarikan air. Mereka merasa tenang bahwa air masih ada dan mudah dibeli. Padahal, apa yang dilakukan masyarakat tradisi sangat rasional dan dapat dijelaskan secara logis, serta ditujukan demi tersedianya air untuk seluruh masyarakat,” kata Nanu. (YNT)
KOMPAS, Jawa Barat, 17 April 2008, YNT
Foto:Modifikasi dari Sinar Harapan, Air Kemasan
Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.
BANDUNG, KOMPAS – Kondisi air di Jawa Barat sudah kritis. Akan tetapi, sebagian masyarakat belum merasakannya karena terbuai oleh komersialisasi air.
Hal itu ditengarai Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Rabu (16/4). Menurut dia, krisis sudah tampak, tetapi masyarakat belum menyadarinya karena tumbuhnya budaya konsumtif yang tinggi.
“Ada yang mengatakan Kota Bandung belum mengalami krisis air. Buktinya, jika dia haus, dia bisa dengan mudah membeli air mineral dengan harga murah,” ujar Sobirin.
Padahal, dari kondisi alam dan ketersediaan air di alam, krisis itu sudah terjadi. Ia menyebutkan, Jawa Barat memiliki 3,7 juta hektar atau 2 persen luas Indonesia. Namun Jawa Barat diisi 20 persen penduduk Indonesia, sehingga antara jumlah penduduk dan lingkungan lahan sebagai sumber tersedianya air tawar tidak seimbang.
Jika dilihat dari kebutuhan dasar pesimis, seperti mandi, masak, dan minum, setiap orang membutuhkan 2.000 meter kubik air per tahun. Dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan air, jumlah penduduk ideal Jawa Barat adalah 10 juta orang. Kenyataannya, saat ini Jawa Barat berpenduduk sekitar 40 juta jiwa.
Berdasarkan kebutuhan air optimis, seperti untuk kebutuhan listrik, dibutuhkan 5.000 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah kebutuhan ini ideal untuk Jawa Barat jika penduduknya hanya berjumlah 4 juta jiwa.
Ciri lain krisis air adalah terjadinya kekeringan di bidang pertanian dan perkotaan. Kekeringan perkotaan sangat tidak terasa, karena terpenuhinya air dari perdagangan air.
Kearifan adat
Untuk menumbuhkan budaya merawat air, masyarakat modern perlu mencontoh kearifan masayarakat adat. Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Nanu Muda, Rabu, mengatakan masyarakat tradisi di Jawa Barat telah mengenal cara melestarikan air.
Mereka memahami bahwa fungsi air universal. “Air bagi masyarakat modern hanya sebatas alat pemenuh kebutuhan minum. Padahal, di masyarakat tradisi, air berfungsi universal dan memperlihatkan siklus kehidupan,” paparnya.
Bagi masyarakat tradisi, hulu sungai merupakan penyedia air untuk minum, daerah tengah untuk mandi dan mencuci, dan hilir sungai untuk memandikan ternak. Air pemandian ternak dialirkan ke irigasi sehingga kotoran dari ternak yang dibersihkan dapat berfungsi juga untuk pupuk.
Masyarakat adat pun mengajarkan pendidikan pelestarian lingkungan melalui ritual adat, misalnya mapag cai atau kawin cai.
“Orang modern meninggalkan budaya lokal dalam melestarikan air. Mereka merasa tenang bahwa air masih ada dan mudah dibeli. Padahal, apa yang dilakukan masyarakat tradisi sangat rasional dan dapat dijelaskan secara logis, serta ditujukan demi tersedianya air untuk seluruh masyarakat,” kata Nanu. (YNT)
No comments:
Post a Comment