Workshop Nasional Pelestarian Lingkungan Kota
Cimahi 25-26 April 2008, Yayasan Bitari
Foto: http://www.cirrusimage.com/, Garengpung, muncul bulan Maret-April
Oleh: Sobirin
Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya sebagai suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH.
MENGGALANG KEMITRAAN
PELESTARIAN LINGKUNGAN KOTA
MELALUI GERAKAN KEARIFAN BUDAYA
Oleh: SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
Workshop Nasional Pelestarian Lingkungan Perkotaan Tahun 2008
Penyelenggara Yayasan Bitari
Kota Cimahi, Jawa Barat, 25-26 April 2008
Batasan pembahasan
Semula judul yang diberikan panitia adalah “Memperkuat Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Budaya”. Bila diartikan kata demi kata adalah sebagai berikut:
Lingkungan Kota: adalah kesatuan ruang kota dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain yang berada di dalam dan di sekitar kota tersebut.
Pelestarian: adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Kemitraan: adalah kerjasama antar beberapa pihak disertai pembinaan dan pengembangan oleh pihak yang lebih mampu dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Memperkuat: membuat semakin kuat, sebelumnya dalam keadaan telah kuat kemudian dibuat lebih kuat.
Gerakan: perbuatan bergerak, proses menuju peralihan atau perubahan.
Kearifan: kebijakan, kepintaran, kepandaian, kecerdikan, kecerdasan.
Budaya: adab, budi, pekerti, perilaku, cipta rasa, cipta batin.
Kembali kepada judul yang diberikan oleh panitia, secara harifiah dapat diartikan: “membuat semakin kuat mengenai kerjasama antara beberapa pihak pelaku dalam rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan kesatuan ruang kota dan seisinya melalui proses perubahan perilaku warga kota”.
Istilah memperkuat dapat diartikan bahwa sudah ada kemitraan tetapi dianggap kurang kuat kemudian dibuat semakin kuat. Padahal dari pengamatan selama ini, penulis menganggap bahwa “kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan budaya” masih belum muncul. Oleh sebab itu penulis mengganti judul menjadi “Menggalang Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Kearifan Budaya”, dengan didahului kata “menggalang” yang artinya membangun atau menegakkan.
Kota adalah Kita
Kota adalah Kita, City is Citizen, City is People, wajah sebuah Kota adalah cermin perilaku warganya. Tunjukkanlah padaku sebuah kota, maka aku akan tahu seperti apa kepemimpinan birokrasinya, seperti apa perilaku warganya, dan seperti apa perangai dunia usahanya.
Sebuah kota yang ideal memiliki infrastruktur alami atau mendekati alami dan infrastruktur buatan. Infrastruktur alami atau mendekati alami berfungsi sebagai pelindung kota, menjaga iklim mikro kota, misalnya ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, sungai dalam kota dan danau dalam kota. Sedangkan infrastruktur buatan berfungsi sebagai sarana prasarana perekonomian Kota, misalnya jalan, jembatan, drainase, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sejenisnya. Infrastruktur alami atau mendekati alami disebut sebagai “city’s natural hardware”, sedangkan infrastruktur buatan disebut sebagai “city’s man made hardware”.
Baik “city’s natural hardware” maupun “city’s man made hardware” diselenggarakan dan dipelihara secara proporsional oleh seluruh warga kota sebagai “city’s human ware” atau “city’s heart ware” atau “city’s software”. Sebuah kota dapat diibaratkan seekor siput dengan cangkangnya. Warga yang tidak peduli terhadap kota-nya, bagaikan siput yang sedang merusak cangkangnya sendiri.
Siapa Kita?
Kita sering mengucapkan istilah “stake holders” yang kita tujukan kepada mereka yang berperan dalam penyelenggaraan keberadaban wilayah atau kota. Banyak yang beranggapan bahwa “stake holders” ini hanya dari kalangan birokrasi, karena golongan birokrasi ini adalah golongan yang sedang “berkuasa” dalam pemerintahan. Sehingga muncul anggapan bahwa golongan yang bukan birokrasi hanyalah warga biasa yang tidak jelas perannya, dan bahkan sering dikatagorikan sebagai “obyek” pembangunan.
Kalau kita mengamati seluruh warga kota, kita dapat mengelompokkan warga kota ke dalam beberapa golongan, sebagai berikut:
“Space holders”: mereka yang menghuni, baik yang legal maupun illegal
“Knowledge holders”: mereka yang memiliki pengetahuan
“Share holders”: mereka yang merasa sebagai pemilik waris
“Interest holders”: mereka yang bermaksud mengambil keuntungan
“Status holder”: mereka yan terlibat karena aturan jabatan
Multi holders yang heterogen tersebut di atas, yang nota bene juga memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda, adalah merupakan warga kota yang diharapkan sebagai satu kesatuan “citizen” yang seharusnya berfungsi sebagai “city’s heart ware”.
“Space holders” juga beragam, ada kelompok yang masih menganut paham kearifan tradisional, ekosentris, sederhana, terbuka, berbasis alam sekitar, dan ada pula kelompok modern, antroposentris, konsumtif, tertutup. Berapa persen jumlah masing-masing kelompok tersebut dalam sebuah kota? Umumnya tergantung dari locus kota.
Berdasar pengamatan, kota di kawasan lindung atau pedalaman yang belum terkontaminasi oleh banyak pendatang, kelompok yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak dan bisa mencapai 75% dari total warga kota, dan yang menganut paham modern hanya 25% itupun kebanyakan pendatang. Untuk kota di kawasan budidaya, kelompok yang menganut paham tradisional mungkin kurang dari 25%, dan sisanya lebih dari 75% menganut paham modern yang konsumtif dan antroposentris.
Pelestarian Lingkungan Kota dan Penataan Ruang Kota
Salah satu upaya pelestarian kota adalah dengan membangun kembali iklim mikro kota antara lain dengan membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diamanatkan bahwa penataan ruang kota harus menyiapkan RTH minimum seluas 30% dari total luas kota, yang terdiri dari 20% di siapkan oleh pemerintah dan yang 10% disiapkan oleh warga atau privat.
Fungsi RTH adalah sebagai sarana bagi warga kota untuk berinteraksi, sedangkan manfaat RTH adalah untuk membangun iklim mikro kota, sarana pendidikan dan penelitian, sarana rekreasi dan aktivitas sosial, menumbuhkan rasa kebanggaan kota, meningkatkan nilai prestise kota, ruang evakuasi dalam keadaan darurat.
Membangun RTH tidak sekedar menunjuk suatu lokasi dan menanaminya dengan pepohonan. Membangun RTH harus disesuaikan dengan bentang alam kota berdasar aspek biogeografis yaitu kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan. Selain itu RTH juga harus disesuaikan dengan struktur ruang kota dan estetika. RTH harus dapat mencerminkan budaya setempat yang bernilai ekologis dan historis. Jadi RTH adalah ruang yang benar, di lokasi yang benar, dengan tanaman dan pepohonan yang benar.
Kearifan Budaya Menjelang Ajal
Kearifan budaya sifatnya universal, istilah dan bentuknya mungkin berbeda untuk berbagai belahan bumi, tetapi pemahaman tetap satu, yaitu bahwa alam ini adalah sahabat kehidupan.
Penulis akan memberi contoh tentang kearifan budaya di wilayah Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten), yaitu tentang “tri tangtu di buana” atau “pitutur tilu”, atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia adalah “tiga ketentuan di bumi” atau “nasihat tiga hal”, yaitu: “tata wilayah” (atau tata ruang, tata wilayah, tata kawasan), “tata lampah” (atau tata laku), dan “tata wayah” (atau tata waktu).
“Tata wilayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita paham betul bagaimana mengelola kawasan untuk kesejaheraan warga dan kelestarian lingkungan, antara lain yaitu: gunung ditanami pepohonan, tebing ditanami bambu, tanah kosong dijadikan kebun, bukit untuk wanatani, dataran untuk sawah, mata air di pelihara, sungai di rawat dan sebagainya. Mereka sangat patuh terhadap aturan yang tidak tertulis tersebut, dan bahkan merupakan pantangan yang bila dilanggar akan mendapat musibah atau bencana.
“Tata lampah” menunjukkan bahwa komunitas nenek moyang kita adalah sangat akrab dan akur satu sama lain, mampu mengurus desa, taat dan patuh kepada hukum yang dibuat oleh komunitasnya.
“Tata wayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita sangat menghargai waktu, walaupun jaman dulu belum ada arloji atau jam tangan. Nenek moyang kita menandai waktu dengan istilah-istilah khusus ketika matahari terbit, matahari tepat di atas langit, matahari di ufuk barat, matahari terbenam. Demikian juga di kala malam menjelang pagi ditandai dengan bunyi ayam jantan berkokok. Semua itu memiliki istilah-istilah khusus sendiri-sendiri sebagai penanda waktu.
“Tata wayah” ini tidak hanya dalam skala harian, tetapi juga bulanan dan tahunan, yang kemudian menjadi kalender tradisional yang menerangkan pemahaman siklus alam disekitar tempat tinggal nenek moyang dari waktu ke waktu. Kalender tradisional ini menjadi patokan penanda waktu kehidupan bagi nenek moyang kita. Kapan waktu harus bercocok tanam, kapan suatu jenis pohon berbunga dan berbuah, perilaku hewan setiap waktu, ke mana arah angin pada suatu waktu, semua menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan antara alam dan nanek moyang waktu itu.
Di beberapa tempat di Indonesia masih ada satu atau dua pemahaman kearifan tradisional ini dalam bentuk kalender tradisional, baik yang berbasis posisi bulan terhadap bumi, posisi matahari terhadap bumi, maupun posisi bintang terhadap bumi. Beberapa kalender tradisional yang menarik untuk dikaji dan digali kembali manfaatnya antara lain “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat dan Banten, “wariga” di Bali.
Dapat diyakini bahwa setiap daerah di Indonesia ini memiliki kearifan budaya yang sama seperti tersebut di atas sebagai peninggalan nenek moyang masing-masing daerah. Sebagian telah hilang, punah oleh kemajuan jaman, sebagian masih tersisa sepotong-sepotong menunggu ajal, karena sedikit sekali peninggalan tertulis dari nenek moyang kita. Selain itu banyak yang mengatakan bahwa kearifan tersebut tidak cocok lagi dengan kondisi iklim sekarang yang telah banyak berubah.
Kearifan Alam Penanda Waktu dan Iklim Mikro Kota
Kalender tradisional seperti “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat, diyakini pasti ada di daerah-daerah lain di Indonesia dengan nama-nama yang lain.
Kalender tradisional terutama yang berbasis posisi matahari terhadap bumi ini tentu berbeda karakternya antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena Indonesia sangat luas terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur. Perilaku alam, baik fauna dan flora di setiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu masing-masing daerah seyogyanya perlu menggali kembali kearifan budaya ini untuk membangun dan menghayati iklim mikro di daerah masing-masing.
Sebagai gambaran, penulis mengambil contoh Pulau Jawa yang memiliki posisi 7 sampai 8 derajat lintang selatan, memiliki karakter fauna dan flora yang dapat dipakai sebagai pegangan membangun iklim mikro. Jenis-jenis pepohonan tertentu bisa dipakai sebagai penanda waktu untuk memperkaya dan menghayati RTH, misalnya:
Sekitar bulan Juni sampai Agustus:
jambu, durian, manggis, nangka sedang berbunga
jeruk, sawo kecik sedang berbuah
telur binatang melata seperti ular mulai menetas
Sekitar bulan September sampai Oktober:
kepel (burahol), asam, bungur sedang berbunga
durian, randu, petai mulai berbuah
binatang: burung pipit bersarang, binatang berkaki empat kawin
Sekitar bulan Oktober sampai November:
pohon asam berdaun muda
mangga, durian, cempedak mulai berbuah
binatang melata keluar dari sarang, lalat bertebaran
Sekitar bulan November sampai Desember:
mangga, durian, rambutan berbuah masak
lipas dan kumbang air berkembang biak di parit-parit
Sekitar bulan Desember sampai Februari:
sawo manila berbunga
durian, kepundung, salak, sirsak, kelengkeng, gandaria berbuah
burung-burung sulit mencari makan, kunang-kunang bertebaran
Sekitar bulan Maret sampai April:
durian, kawista berbunga
kepundung, advokat, duku berbuah
tonggeret dan jengkerik berbunyi, burung berkicau mengerami telurnya
Sekitar bulan April sampai Mei:
umbi-umbian siap dipanen
telor burung menetas
Sekitar bulan Mei sampai Juni:
nanas, kesemek berbuah
Catatan tersebut perlu dikaji dan dikembangkan lebih mendalam kembali, karena setiap daerah memiliki karakter fauna dan flora yang berbeda.
Menggalang Kemitraan Gerakan Kearifan Budaya
Seyogyanya ada pihak yang berminat melakukan penelitian lanjutan tentang kaitan antara kearifan budaya kalender tradisional dengan unsur-unsur meteorologi, kaitan sifat masing-masing bulan dengan radiasi matahari, lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban, curah hujan, ancaman angin ribut, dan lain-lainnya.
Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal mikro atau lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH. Apalagi bila kalender tradisional ini bisa benar-benar dikembangkan menjadi kalender fenologi, yaitu mengkaitkan antara proses yang terjadi secara periodik pada flora dan fauna dikaitkan dengan cuaca dan lingkungan sekitar, akan lebih besar lagi manfaatnya.
Hal itulah yang menjadi alasan untuk “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”. Ada dua hal yang dapat diselamatkan, yaitu pelestarian lingkungan kota dan menyelamatkan budaya warisan nenek moyang.
Untuk kota di kawasan lindung atau pedalaman dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak akan lebih mudah dalam menggalang kemitraan, karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin.
Namun, akan lain halnya dengan kota di kawasan budidaya dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan budaya hanya beberapa gilintir saja. Sebagian besar warga kota di kawasan budidaya hanya ingin gampangnya saja dan tidak mudah untuk diajak guyub. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi dan rembug warga melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek, berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung, PKL, dan sejenisnya.
Kontrak Ekologi
Gerakan kearifan budaya ini tidak akan berhasil bila tidak ada “political will” dari pemerintah, dan juga diperlukan langkah nyata dalam bidang pendidikan lingkungan kota, baik formal maupun informal.
Diperlukan paling tidak 6 langkah dalam “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”, yaitu:
Trust (kepercayaan): membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa pelestarian lingkungan kota dapat dicapai dengan cara menggalang kemitraan gerakan kearifan budaya.
Awareness (kesadaran): menggugah kesadaran dan kepekaan terhadap pentingnya kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Interest (keuntungan): menggali keuntungan bersama berbasis kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Decision (keputusan): membuat keputusan bersama berupa kontrak moral atau kontrak ekologi menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Action (tindak nyata): melaksanakan kontrak moral kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Culture (budaya): Berperilaku arif, guyub dalam kemitraan pelestarian kota, menjadi “city’s heart ware” menuju kota yang bermartabat dan berkelanjutan.
Pustaka
Indrowuryanto. 1999. Pranata Mangsa Dalam Aktivitas Pertanian di Jawa. Petani merajut tradisi era globalisasi. Editor: Kusnaka Adimihardja. Humaniora Utama Press Bandung.
Sobirin. 2006. Kala Sunda dan Antisipasi Bencana. Bandung: Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.
Sobirin. 2006. Kala Sunda Kala Lingkungan Hidup, Diskusi Terbatas tentang Kala Sunda di Institut Teknologi Bandung, 18 Januari 2006.
Sobirin, 2007, Tragedi Kawasan Lindung dan Hilangnya Hak Azasi Alam, Sundalana, Majalah Budaya dan Ilmiah Sunda, Seri Menyelamatkan Alam Sunda.
Cimahi 25-26 April 2008, Yayasan Bitari
Foto: http://www.cirrusimage.com/, Garengpung, muncul bulan Maret-April
Oleh: Sobirin
Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya sebagai suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH.
MENGGALANG KEMITRAAN
PELESTARIAN LINGKUNGAN KOTA
MELALUI GERAKAN KEARIFAN BUDAYA
Oleh: SOBIRIN
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)
Workshop Nasional Pelestarian Lingkungan Perkotaan Tahun 2008
Penyelenggara Yayasan Bitari
Kota Cimahi, Jawa Barat, 25-26 April 2008
Batasan pembahasan
Semula judul yang diberikan panitia adalah “Memperkuat Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Budaya”. Bila diartikan kata demi kata adalah sebagai berikut:
Lingkungan Kota: adalah kesatuan ruang kota dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain yang berada di dalam dan di sekitar kota tersebut.
Pelestarian: adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Kemitraan: adalah kerjasama antar beberapa pihak disertai pembinaan dan pengembangan oleh pihak yang lebih mampu dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Memperkuat: membuat semakin kuat, sebelumnya dalam keadaan telah kuat kemudian dibuat lebih kuat.
Gerakan: perbuatan bergerak, proses menuju peralihan atau perubahan.
Kearifan: kebijakan, kepintaran, kepandaian, kecerdikan, kecerdasan.
Budaya: adab, budi, pekerti, perilaku, cipta rasa, cipta batin.
Kembali kepada judul yang diberikan oleh panitia, secara harifiah dapat diartikan: “membuat semakin kuat mengenai kerjasama antara beberapa pihak pelaku dalam rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan kesatuan ruang kota dan seisinya melalui proses perubahan perilaku warga kota”.
Istilah memperkuat dapat diartikan bahwa sudah ada kemitraan tetapi dianggap kurang kuat kemudian dibuat semakin kuat. Padahal dari pengamatan selama ini, penulis menganggap bahwa “kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan budaya” masih belum muncul. Oleh sebab itu penulis mengganti judul menjadi “Menggalang Kemitraan Pelestarian Lingkungan Kota Melalui Gerakan Kearifan Budaya”, dengan didahului kata “menggalang” yang artinya membangun atau menegakkan.
Kota adalah Kita
Kota adalah Kita, City is Citizen, City is People, wajah sebuah Kota adalah cermin perilaku warganya. Tunjukkanlah padaku sebuah kota, maka aku akan tahu seperti apa kepemimpinan birokrasinya, seperti apa perilaku warganya, dan seperti apa perangai dunia usahanya.
Sebuah kota yang ideal memiliki infrastruktur alami atau mendekati alami dan infrastruktur buatan. Infrastruktur alami atau mendekati alami berfungsi sebagai pelindung kota, menjaga iklim mikro kota, misalnya ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, sungai dalam kota dan danau dalam kota. Sedangkan infrastruktur buatan berfungsi sebagai sarana prasarana perekonomian Kota, misalnya jalan, jembatan, drainase, kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sejenisnya. Infrastruktur alami atau mendekati alami disebut sebagai “city’s natural hardware”, sedangkan infrastruktur buatan disebut sebagai “city’s man made hardware”.
Baik “city’s natural hardware” maupun “city’s man made hardware” diselenggarakan dan dipelihara secara proporsional oleh seluruh warga kota sebagai “city’s human ware” atau “city’s heart ware” atau “city’s software”. Sebuah kota dapat diibaratkan seekor siput dengan cangkangnya. Warga yang tidak peduli terhadap kota-nya, bagaikan siput yang sedang merusak cangkangnya sendiri.
Siapa Kita?
Kita sering mengucapkan istilah “stake holders” yang kita tujukan kepada mereka yang berperan dalam penyelenggaraan keberadaban wilayah atau kota. Banyak yang beranggapan bahwa “stake holders” ini hanya dari kalangan birokrasi, karena golongan birokrasi ini adalah golongan yang sedang “berkuasa” dalam pemerintahan. Sehingga muncul anggapan bahwa golongan yang bukan birokrasi hanyalah warga biasa yang tidak jelas perannya, dan bahkan sering dikatagorikan sebagai “obyek” pembangunan.
Kalau kita mengamati seluruh warga kota, kita dapat mengelompokkan warga kota ke dalam beberapa golongan, sebagai berikut:
“Space holders”: mereka yang menghuni, baik yang legal maupun illegal
“Knowledge holders”: mereka yang memiliki pengetahuan
“Share holders”: mereka yang merasa sebagai pemilik waris
“Interest holders”: mereka yang bermaksud mengambil keuntungan
“Status holder”: mereka yan terlibat karena aturan jabatan
Multi holders yang heterogen tersebut di atas, yang nota bene juga memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda, adalah merupakan warga kota yang diharapkan sebagai satu kesatuan “citizen” yang seharusnya berfungsi sebagai “city’s heart ware”.
“Space holders” juga beragam, ada kelompok yang masih menganut paham kearifan tradisional, ekosentris, sederhana, terbuka, berbasis alam sekitar, dan ada pula kelompok modern, antroposentris, konsumtif, tertutup. Berapa persen jumlah masing-masing kelompok tersebut dalam sebuah kota? Umumnya tergantung dari locus kota.
Berdasar pengamatan, kota di kawasan lindung atau pedalaman yang belum terkontaminasi oleh banyak pendatang, kelompok yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak dan bisa mencapai 75% dari total warga kota, dan yang menganut paham modern hanya 25% itupun kebanyakan pendatang. Untuk kota di kawasan budidaya, kelompok yang menganut paham tradisional mungkin kurang dari 25%, dan sisanya lebih dari 75% menganut paham modern yang konsumtif dan antroposentris.
Pelestarian Lingkungan Kota dan Penataan Ruang Kota
Salah satu upaya pelestarian kota adalah dengan membangun kembali iklim mikro kota antara lain dengan membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diamanatkan bahwa penataan ruang kota harus menyiapkan RTH minimum seluas 30% dari total luas kota, yang terdiri dari 20% di siapkan oleh pemerintah dan yang 10% disiapkan oleh warga atau privat.
Fungsi RTH adalah sebagai sarana bagi warga kota untuk berinteraksi, sedangkan manfaat RTH adalah untuk membangun iklim mikro kota, sarana pendidikan dan penelitian, sarana rekreasi dan aktivitas sosial, menumbuhkan rasa kebanggaan kota, meningkatkan nilai prestise kota, ruang evakuasi dalam keadaan darurat.
Membangun RTH tidak sekedar menunjuk suatu lokasi dan menanaminya dengan pepohonan. Membangun RTH harus disesuaikan dengan bentang alam kota berdasar aspek biogeografis yaitu kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan. Selain itu RTH juga harus disesuaikan dengan struktur ruang kota dan estetika. RTH harus dapat mencerminkan budaya setempat yang bernilai ekologis dan historis. Jadi RTH adalah ruang yang benar, di lokasi yang benar, dengan tanaman dan pepohonan yang benar.
Kearifan Budaya Menjelang Ajal
Kearifan budaya sifatnya universal, istilah dan bentuknya mungkin berbeda untuk berbagai belahan bumi, tetapi pemahaman tetap satu, yaitu bahwa alam ini adalah sahabat kehidupan.
Penulis akan memberi contoh tentang kearifan budaya di wilayah Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten), yaitu tentang “tri tangtu di buana” atau “pitutur tilu”, atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia adalah “tiga ketentuan di bumi” atau “nasihat tiga hal”, yaitu: “tata wilayah” (atau tata ruang, tata wilayah, tata kawasan), “tata lampah” (atau tata laku), dan “tata wayah” (atau tata waktu).
“Tata wilayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita paham betul bagaimana mengelola kawasan untuk kesejaheraan warga dan kelestarian lingkungan, antara lain yaitu: gunung ditanami pepohonan, tebing ditanami bambu, tanah kosong dijadikan kebun, bukit untuk wanatani, dataran untuk sawah, mata air di pelihara, sungai di rawat dan sebagainya. Mereka sangat patuh terhadap aturan yang tidak tertulis tersebut, dan bahkan merupakan pantangan yang bila dilanggar akan mendapat musibah atau bencana.
“Tata lampah” menunjukkan bahwa komunitas nenek moyang kita adalah sangat akrab dan akur satu sama lain, mampu mengurus desa, taat dan patuh kepada hukum yang dibuat oleh komunitasnya.
“Tata wayah” menunjukkan bahwa nenek moyang kita sangat menghargai waktu, walaupun jaman dulu belum ada arloji atau jam tangan. Nenek moyang kita menandai waktu dengan istilah-istilah khusus ketika matahari terbit, matahari tepat di atas langit, matahari di ufuk barat, matahari terbenam. Demikian juga di kala malam menjelang pagi ditandai dengan bunyi ayam jantan berkokok. Semua itu memiliki istilah-istilah khusus sendiri-sendiri sebagai penanda waktu.
“Tata wayah” ini tidak hanya dalam skala harian, tetapi juga bulanan dan tahunan, yang kemudian menjadi kalender tradisional yang menerangkan pemahaman siklus alam disekitar tempat tinggal nenek moyang dari waktu ke waktu. Kalender tradisional ini menjadi patokan penanda waktu kehidupan bagi nenek moyang kita. Kapan waktu harus bercocok tanam, kapan suatu jenis pohon berbunga dan berbuah, perilaku hewan setiap waktu, ke mana arah angin pada suatu waktu, semua menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan antara alam dan nanek moyang waktu itu.
Di beberapa tempat di Indonesia masih ada satu atau dua pemahaman kearifan tradisional ini dalam bentuk kalender tradisional, baik yang berbasis posisi bulan terhadap bumi, posisi matahari terhadap bumi, maupun posisi bintang terhadap bumi. Beberapa kalender tradisional yang menarik untuk dikaji dan digali kembali manfaatnya antara lain “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat dan Banten, “wariga” di Bali.
Dapat diyakini bahwa setiap daerah di Indonesia ini memiliki kearifan budaya yang sama seperti tersebut di atas sebagai peninggalan nenek moyang masing-masing daerah. Sebagian telah hilang, punah oleh kemajuan jaman, sebagian masih tersisa sepotong-sepotong menunggu ajal, karena sedikit sekali peninggalan tertulis dari nenek moyang kita. Selain itu banyak yang mengatakan bahwa kearifan tersebut tidak cocok lagi dengan kondisi iklim sekarang yang telah banyak berubah.
Kearifan Alam Penanda Waktu dan Iklim Mikro Kota
Kalender tradisional seperti “pranoto mongso” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, “kala sunda” di Jawa Barat, diyakini pasti ada di daerah-daerah lain di Indonesia dengan nama-nama yang lain.
Kalender tradisional terutama yang berbasis posisi matahari terhadap bumi ini tentu berbeda karakternya antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena Indonesia sangat luas terbentang antara 6 derajat garis lintang utara sampai 11 derajat garis lintang selatan, dan dari 97 derajat sampai 141 derajat garis bujur timur. Perilaku alam, baik fauna dan flora di setiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu masing-masing daerah seyogyanya perlu menggali kembali kearifan budaya ini untuk membangun dan menghayati iklim mikro di daerah masing-masing.
Sebagai gambaran, penulis mengambil contoh Pulau Jawa yang memiliki posisi 7 sampai 8 derajat lintang selatan, memiliki karakter fauna dan flora yang dapat dipakai sebagai pegangan membangun iklim mikro. Jenis-jenis pepohonan tertentu bisa dipakai sebagai penanda waktu untuk memperkaya dan menghayati RTH, misalnya:
Sekitar bulan Juni sampai Agustus:
jambu, durian, manggis, nangka sedang berbunga
jeruk, sawo kecik sedang berbuah
telur binatang melata seperti ular mulai menetas
Sekitar bulan September sampai Oktober:
kepel (burahol), asam, bungur sedang berbunga
durian, randu, petai mulai berbuah
binatang: burung pipit bersarang, binatang berkaki empat kawin
Sekitar bulan Oktober sampai November:
pohon asam berdaun muda
mangga, durian, cempedak mulai berbuah
binatang melata keluar dari sarang, lalat bertebaran
Sekitar bulan November sampai Desember:
mangga, durian, rambutan berbuah masak
lipas dan kumbang air berkembang biak di parit-parit
Sekitar bulan Desember sampai Februari:
sawo manila berbunga
durian, kepundung, salak, sirsak, kelengkeng, gandaria berbuah
burung-burung sulit mencari makan, kunang-kunang bertebaran
Sekitar bulan Maret sampai April:
durian, kawista berbunga
kepundung, advokat, duku berbuah
tonggeret dan jengkerik berbunyi, burung berkicau mengerami telurnya
Sekitar bulan April sampai Mei:
umbi-umbian siap dipanen
telor burung menetas
Sekitar bulan Mei sampai Juni:
nanas, kesemek berbuah
Catatan tersebut perlu dikaji dan dikembangkan lebih mendalam kembali, karena setiap daerah memiliki karakter fauna dan flora yang berbeda.
Menggalang Kemitraan Gerakan Kearifan Budaya
Seyogyanya ada pihak yang berminat melakukan penelitian lanjutan tentang kaitan antara kearifan budaya kalender tradisional dengan unsur-unsur meteorologi, kaitan sifat masing-masing bulan dengan radiasi matahari, lama penyinaran matahari, suhu udara, kelembaban, curah hujan, ancaman angin ribut, dan lain-lainnya.
Kearifan budaya dalam bentuk pemahaman kalender tradisional dapat merupakan alternatif, setidaknya suplemen atau second opinion terhadap hasil yang diperoleh dengan metode meteorologi, terutama untuk skala lokal mikro atau lokal dalam rangka membangun iklim mikro melalui RTH. Apalagi bila kalender tradisional ini bisa benar-benar dikembangkan menjadi kalender fenologi, yaitu mengkaitkan antara proses yang terjadi secara periodik pada flora dan fauna dikaitkan dengan cuaca dan lingkungan sekitar, akan lebih besar lagi manfaatnya.
Hal itulah yang menjadi alasan untuk “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”. Ada dua hal yang dapat diselamatkan, yaitu pelestarian lingkungan kota dan menyelamatkan budaya warisan nenek moyang.
Untuk kota di kawasan lindung atau pedalaman dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan tradisional masih banyak akan lebih mudah dalam menggalang kemitraan, karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin.
Namun, akan lain halnya dengan kota di kawasan budidaya dengan jumlah warga yang menganut paham kearifan budaya hanya beberapa gilintir saja. Sebagian besar warga kota di kawasan budidaya hanya ingin gampangnya saja dan tidak mudah untuk diajak guyub. Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi dan rembug warga melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek, berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung, PKL, dan sejenisnya.
Kontrak Ekologi
Gerakan kearifan budaya ini tidak akan berhasil bila tidak ada “political will” dari pemerintah, dan juga diperlukan langkah nyata dalam bidang pendidikan lingkungan kota, baik formal maupun informal.
Diperlukan paling tidak 6 langkah dalam “menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya”, yaitu:
Trust (kepercayaan): membangun kepercayaan dan keyakinan bahwa pelestarian lingkungan kota dapat dicapai dengan cara menggalang kemitraan gerakan kearifan budaya.
Awareness (kesadaran): menggugah kesadaran dan kepekaan terhadap pentingnya kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Interest (keuntungan): menggali keuntungan bersama berbasis kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Decision (keputusan): membuat keputusan bersama berupa kontrak moral atau kontrak ekologi menggalang kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Action (tindak nyata): melaksanakan kontrak moral kemitraan pelestarian lingkungan kota melalui gerakan kearifan budaya.
Culture (budaya): Berperilaku arif, guyub dalam kemitraan pelestarian kota, menjadi “city’s heart ware” menuju kota yang bermartabat dan berkelanjutan.
Pustaka
Indrowuryanto. 1999. Pranata Mangsa Dalam Aktivitas Pertanian di Jawa. Petani merajut tradisi era globalisasi. Editor: Kusnaka Adimihardja. Humaniora Utama Press Bandung.
Sobirin. 2006. Kala Sunda dan Antisipasi Bencana. Bandung: Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.
Sobirin. 2006. Kala Sunda Kala Lingkungan Hidup, Diskusi Terbatas tentang Kala Sunda di Institut Teknologi Bandung, 18 Januari 2006.
Sobirin, 2007, Tragedi Kawasan Lindung dan Hilangnya Hak Azasi Alam, Sundalana, Majalah Budaya dan Ilmiah Sunda, Seri Menyelamatkan Alam Sunda.
No comments:
Post a Comment