Pikiran Rakyat, 11 april 2008, Yulistyne
Foto: Sobirin 2006, Komposter Rumah Tangga Murah Meriah
Sobirin menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.
Masalah sampah berkaitan dengan kesadaran masyarakat. Oleh karena itulah, YRP yang diprakarsai Rhenald Kasali, Hidayat, Roy Kuncoro, Moeryati Soedibyo, Aksa Mahmud, dan Martini Husaini berusaha melakukan beberapa perubahan.
Sebagai contoh pada penanganan pengelolaan sampah, YRP dengan menggabungkan sistem yang telah ada sebelumnya dapat memperoleh average secara ekonomi. "Di sini kami hendak mengatakan pada masyarakat, apabila segala sesuatu dilakukan dengan konsep yang tepat maka akan memiliki nilai tambah yang bermanfaat," ujar Roy.
Membina masyarakat dan pengembang dalam membuang sampah dan membentuk motivator-motivator lingkungan pada tataran komunitas serta bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengelola limbah adalah salah satu titik yang menjadi fokus perhatian YRP untuk melakukan perubahan, mengingat pengelolaan sampah berkaitan erat dengan kesadaran masyarakat.
Rhenald Kasali mengatakan awal gerakan menyadarkan masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini tidaklah mudah. Ia sengaja memilih Desa Jati Murni menjadi percontohan karena selain bertempat tinggal di sana, ia pun menjabat sebagai ketua Badan Musyawarah (Bamus) di desa tersebut.
Dengan jabatan itu, ia memiliki pengaruh dalam menggerakkan warganya. Sehingga masyarakat yang awalnya enggan memilah dan mengelola sampah, akhirnya belajar dan terbiasa. Selain itu, warga di desa itu pun menjadi terbiasa untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungannya. Maka, jalan-jalan dan rumah-rumah di desa tersebut bersih tanpa ada sampah berserakan.
Kepatuhan
Hal ini sesuai dengan salah satu kultur masyarakat pedesaan yaitu kepatuhan pada tokoh. Juniarso Ridwan, salah seorang budayawan, mengatakan bahwa kultur masyarakat yang ingin gampangnya saja bukanlah hal yang mudah untuk diubah. Diperlukan tahapan-tahapan sosialisasi yang lebih intens, apalagi di daerah kota seperti Bandung.
Ia menjelaskan untuk desa, perubahan itu akan lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin. Namun, akan lain halnya dengan masyarakat di perkotaan. "Perubahan akan lebih sulit dilakukan karena selain lebih heterogen, budaya anutan pun lebih personal," ujar Juniarso.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, ia menambahkan, untuk perkotaan diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek dari berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung.
Senada dengan Juniarso, Ketua MUI Jabar Miftah Faridl mengatakan kesadaran masyarakat yang masih rendah perlu ditingkatkan misalnya dengan melakukan gerakan-gerakan yang berawal dari lingkungan-lingkungan kecil seperti yang dilakukan Salman dan Daarut Tauhiid (DT).
Selain itu, menurut Miftah ada tiga hal yang harus dilakukan agar masyarakat lebih perhatian pada masalah sampah yaitu melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran mengenai kebersihan ke dalam kurikulum. Kemudian dengan menanamkan keteladanan mulai dari level terkecil yaitu keluarga, tokoh masyarakat, dan guru.
Sedangkan untuk mempertegasnya, ia mengatakan perlu ada sanksi yang mengikat bagi yang melanggar. "Karena memang ada masyarakat yang harus dipaksa dengan peraturan jika ingin masalah kebersihan dan sampah dapat diselesaikan," ujar Miftah.
Sementara itu, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono mengatakan secara garis besar hampir 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah yang dibuang di sembarang tempat termasuk sungai dan jalan.
"Jika diibaratkan, sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan berat 1.000 ekor gajah, lembaran sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola dan sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon," jelasnya.
Oleh sebab itu, penanganan sampah bukan lagi hal yang biasa saja, melainkan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan berbagai aspek baik fisik maupun sosial. "Harus dipikirkan mata rantai yang dapat menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat," ujar Sobirin.
Ia menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.
Sobirin menambahkan tidak berjalannya program 3R (reduce, reuse, recycle) seperti yang diharapkan adalah karena kurangnya kepedulian dari masyarakat. Setiap orang cuma memikirkan gampangnya dan hanya melihat bagaimana sampah dibuang, tetapi asal jangan di tempat saya.
"Hal inilah yang harus diubah," ujarnya. Dengan konsep zero waste "Sampah Bandung Tuntas 1, 2, dan 3" yang ia kemukakan, Sobirin meyakini masalah sampah dapat ditangani. Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian pada konsep ini ialah memproses sampah sejak dari sumbernya.
Pada tuntas 1, rumah tinggal diharapkan mampu mengolah 70 persen sampah yang ia hasilkan menjadi kompos, 20 persen didaur ulang, dan 10 persen yang tersisa terpaksa dibuang ke TPA. "Dengan mengurangi jumlah sampah dari sumbernya, kuantitas sampah yang dibuang ke TPA pun akan berkurang," ujarnya. (Yulistyne)***
Foto: Sobirin 2006, Komposter Rumah Tangga Murah Meriah
Sobirin menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.
Masalah sampah berkaitan dengan kesadaran masyarakat. Oleh karena itulah, YRP yang diprakarsai Rhenald Kasali, Hidayat, Roy Kuncoro, Moeryati Soedibyo, Aksa Mahmud, dan Martini Husaini berusaha melakukan beberapa perubahan.
Sebagai contoh pada penanganan pengelolaan sampah, YRP dengan menggabungkan sistem yang telah ada sebelumnya dapat memperoleh average secara ekonomi. "Di sini kami hendak mengatakan pada masyarakat, apabila segala sesuatu dilakukan dengan konsep yang tepat maka akan memiliki nilai tambah yang bermanfaat," ujar Roy.
Membina masyarakat dan pengembang dalam membuang sampah dan membentuk motivator-motivator lingkungan pada tataran komunitas serta bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengelola limbah adalah salah satu titik yang menjadi fokus perhatian YRP untuk melakukan perubahan, mengingat pengelolaan sampah berkaitan erat dengan kesadaran masyarakat.
Rhenald Kasali mengatakan awal gerakan menyadarkan masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini tidaklah mudah. Ia sengaja memilih Desa Jati Murni menjadi percontohan karena selain bertempat tinggal di sana, ia pun menjabat sebagai ketua Badan Musyawarah (Bamus) di desa tersebut.
Dengan jabatan itu, ia memiliki pengaruh dalam menggerakkan warganya. Sehingga masyarakat yang awalnya enggan memilah dan mengelola sampah, akhirnya belajar dan terbiasa. Selain itu, warga di desa itu pun menjadi terbiasa untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungannya. Maka, jalan-jalan dan rumah-rumah di desa tersebut bersih tanpa ada sampah berserakan.
Kepatuhan
Hal ini sesuai dengan salah satu kultur masyarakat pedesaan yaitu kepatuhan pada tokoh. Juniarso Ridwan, salah seorang budayawan, mengatakan bahwa kultur masyarakat yang ingin gampangnya saja bukanlah hal yang mudah untuk diubah. Diperlukan tahapan-tahapan sosialisasi yang lebih intens, apalagi di daerah kota seperti Bandung.
Ia menjelaskan untuk desa, perubahan itu akan lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen. Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin. Namun, akan lain halnya dengan masyarakat di perkotaan. "Perubahan akan lebih sulit dilakukan karena selain lebih heterogen, budaya anutan pun lebih personal," ujar Juniarso.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, ia menambahkan, untuk perkotaan diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek dari berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung.
Senada dengan Juniarso, Ketua MUI Jabar Miftah Faridl mengatakan kesadaran masyarakat yang masih rendah perlu ditingkatkan misalnya dengan melakukan gerakan-gerakan yang berawal dari lingkungan-lingkungan kecil seperti yang dilakukan Salman dan Daarut Tauhiid (DT).
Selain itu, menurut Miftah ada tiga hal yang harus dilakukan agar masyarakat lebih perhatian pada masalah sampah yaitu melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran mengenai kebersihan ke dalam kurikulum. Kemudian dengan menanamkan keteladanan mulai dari level terkecil yaitu keluarga, tokoh masyarakat, dan guru.
Sedangkan untuk mempertegasnya, ia mengatakan perlu ada sanksi yang mengikat bagi yang melanggar. "Karena memang ada masyarakat yang harus dipaksa dengan peraturan jika ingin masalah kebersihan dan sampah dapat diselesaikan," ujar Miftah.
Sementara itu, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono mengatakan secara garis besar hampir 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah yang dibuang di sembarang tempat termasuk sungai dan jalan.
"Jika diibaratkan, sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan berat 1.000 ekor gajah, lembaran sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola dan sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon," jelasnya.
Oleh sebab itu, penanganan sampah bukan lagi hal yang biasa saja, melainkan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan berbagai aspek baik fisik maupun sosial. "Harus dipikirkan mata rantai yang dapat menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat," ujar Sobirin.
Ia menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.
Sobirin menambahkan tidak berjalannya program 3R (reduce, reuse, recycle) seperti yang diharapkan adalah karena kurangnya kepedulian dari masyarakat. Setiap orang cuma memikirkan gampangnya dan hanya melihat bagaimana sampah dibuang, tetapi asal jangan di tempat saya.
"Hal inilah yang harus diubah," ujarnya. Dengan konsep zero waste "Sampah Bandung Tuntas 1, 2, dan 3" yang ia kemukakan, Sobirin meyakini masalah sampah dapat ditangani. Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian pada konsep ini ialah memproses sampah sejak dari sumbernya.
Pada tuntas 1, rumah tinggal diharapkan mampu mengolah 70 persen sampah yang ia hasilkan menjadi kompos, 20 persen didaur ulang, dan 10 persen yang tersisa terpaksa dibuang ke TPA. "Dengan mengurangi jumlah sampah dari sumbernya, kuantitas sampah yang dibuang ke TPA pun akan berkurang," ujarnya. (Yulistyne)***
No comments:
Post a Comment