Lingkungan Kawasan Bandung Utara Harus Dijaga
Pikiran Rakyat, A-158, Minggu, 24 Juni 2007
Foto: Sobirin, 2006, Lahan Kritis di Lembang (sekarang KBB)
Demikian dikemukakan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, di kantornya, Jln. L.L.R.E. Martadinata Kota Bandung, Sabtu (23/6).
BANDUNG, (PR).-
Pemekaran wilayah Kab. Bandung Barat (KBB) pasti akan diikuti pembangunan infrastruktur untuk mendukung roda pemerintahan di wilayah baru tersebut. Untuk itu, aspek lingkungan perlu diperhatikan agar tidak terjadi eksplorasi dan eksploitasi berlebihan.
Demikian dikemukakan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, di kantornya, Jln. L.L.R.E. Martadinata Kota Bandung, Sabtu (23/6).
”Pada hakikatnya pemekaran wilayah adalah demi kesejahteraan masyarakat. Namun, pembangunan yang dilakukan untuk mendukung hal itu harus pula mampu menjaga kelestarian lingkungan,” katanya.
Berdasarkan data DPKLTS, ada empat kecamatan di KBB yang masuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU), yakni Kec. Lembang, Kec. Parongpong, Kec. Ngamprah, dan Kec. Cisarua. Kawasan itu menjadi perhatian serius karena pembangunan infrastruktur terus berkembang dan banyak mengabaikan masalah kelestarian lingkungan.
Berdasarkan Perda Jabar No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), KBU termasuk dalam kawasan lindung. ”Maka, pembangunan di KBB harus mengacu kepada Perda tersebut, terutama dalam mengembangkan kawasan budi daya, misal perumahan atau permukiman,” ujar Sobirin.
Perhitungan koefisien kawasan terbangun, kata dia, harus betul-betul dihitung. ”Bisa saja terjadi di kawasan ini yang boleh dibangun hanya 20% sedangkan yang harus menjadi kawasan lindung harus 80% atau lebih,” ujarnya.
Berbasis ekologi
DPKLTS menilai, konsep pembangunan berbasis ekologi bisa diterapkan untuk menyelamatkan hutan lindung KBB di KBU. Misal, pengembangan konsep ekowisata dan ekopertanian. ”Pertanian semusim yang menyebabkan tanah mudah tererosi sebaiknya diganti dengan wanatani atau agroforestry untuk menjaga kelestarian wilayah terkait,” kata Sobirin.
Sedangkan untuk konsep ekowisata, dilakukan dengan mendorong secara aktif upaya konservasi alam dan budaya, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengembangan, dan implementasi untuk dapat memberikan kontribusi kesejahteraan ekonomi kepada masyarakat lokal.
Jangan kebablasan
Untuk mewujudkan hal itu, menurut Sobirin, pimpinan daerah di KBB harus prolingkungan.
”Meski UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi keleluasaan pemerintah kab./kota dalam penataan wilayah, namun khusus untuk KBU penanganannya diatur dalam Perda KBU yang baru saja ditetapkan awal 2007,” ujarnya.
DPLKTS juga mengingatkan agar pimpinan di KBB tidak menyikapi otonomi daerah secara kebablasan. ”Sampai saat ini, implementasi Perda KBU begitu alot karena Pemprov Jabar dianggap mengintervensi kebijakan kabupaten/kota mengenai ketidaksesuaian penataan ruang di Kabupaten Kota,” kata Sobirin. (A-158)***
Foto: Sobirin, 2006, Lahan Kritis di Lembang (sekarang KBB)
Demikian dikemukakan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, di kantornya, Jln. L.L.R.E. Martadinata Kota Bandung, Sabtu (23/6).
BANDUNG, (PR).-
Pemekaran wilayah Kab. Bandung Barat (KBB) pasti akan diikuti pembangunan infrastruktur untuk mendukung roda pemerintahan di wilayah baru tersebut. Untuk itu, aspek lingkungan perlu diperhatikan agar tidak terjadi eksplorasi dan eksploitasi berlebihan.
Demikian dikemukakan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Supardiyono Sobirin, di kantornya, Jln. L.L.R.E. Martadinata Kota Bandung, Sabtu (23/6).
”Pada hakikatnya pemekaran wilayah adalah demi kesejahteraan masyarakat. Namun, pembangunan yang dilakukan untuk mendukung hal itu harus pula mampu menjaga kelestarian lingkungan,” katanya.
Berdasarkan data DPKLTS, ada empat kecamatan di KBB yang masuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU), yakni Kec. Lembang, Kec. Parongpong, Kec. Ngamprah, dan Kec. Cisarua. Kawasan itu menjadi perhatian serius karena pembangunan infrastruktur terus berkembang dan banyak mengabaikan masalah kelestarian lingkungan.
Berdasarkan Perda Jabar No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), KBU termasuk dalam kawasan lindung. ”Maka, pembangunan di KBB harus mengacu kepada Perda tersebut, terutama dalam mengembangkan kawasan budi daya, misal perumahan atau permukiman,” ujar Sobirin.
Perhitungan koefisien kawasan terbangun, kata dia, harus betul-betul dihitung. ”Bisa saja terjadi di kawasan ini yang boleh dibangun hanya 20% sedangkan yang harus menjadi kawasan lindung harus 80% atau lebih,” ujarnya.
Berbasis ekologi
DPKLTS menilai, konsep pembangunan berbasis ekologi bisa diterapkan untuk menyelamatkan hutan lindung KBB di KBU. Misal, pengembangan konsep ekowisata dan ekopertanian. ”Pertanian semusim yang menyebabkan tanah mudah tererosi sebaiknya diganti dengan wanatani atau agroforestry untuk menjaga kelestarian wilayah terkait,” kata Sobirin.
Sedangkan untuk konsep ekowisata, dilakukan dengan mendorong secara aktif upaya konservasi alam dan budaya, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengembangan, dan implementasi untuk dapat memberikan kontribusi kesejahteraan ekonomi kepada masyarakat lokal.
Jangan kebablasan
Untuk mewujudkan hal itu, menurut Sobirin, pimpinan daerah di KBB harus prolingkungan.
”Meski UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi keleluasaan pemerintah kab./kota dalam penataan wilayah, namun khusus untuk KBU penanganannya diatur dalam Perda KBU yang baru saja ditetapkan awal 2007,” ujarnya.
DPLKTS juga mengingatkan agar pimpinan di KBB tidak menyikapi otonomi daerah secara kebablasan. ”Sampai saat ini, implementasi Perda KBU begitu alot karena Pemprov Jabar dianggap mengintervensi kebijakan kabupaten/kota mengenai ketidaksesuaian penataan ruang di Kabupaten Kota,” kata Sobirin. (A-158)***
No comments:
Post a Comment