KOMPAS JAWA BARAT, 5 Juni 2007/ Forum
Foto: Sobirin 2004, G. Tampomas dan Free Cliparts
Oleh: Sobirin
Hari ini, 5 Juni, adalah Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day yang telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dengan resolusinya nomor 2994 (XXVII) pada 15 Desember 1972.
Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm pada 1972.
Pada peringatan tahun ini, Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) memilih tema "Melting Ice, a Hot Topic!" (Es Mencair, Sebuah Topik Panas!). Adapun Pemerintah Indonesia memilih tema "Iklim Berubah, Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan".
Dari tahun ke tahun, Hari Lingkungan Hidup Sedunia selalu diperingati oleh kalangan luas, baik pemerintah maupun masyarakat. Akan tetapi, gaung gegap gempita keramaian hari perayaan tidak dapat menghentikan degradasi lingkungan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Keberadaan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terbentuknya Kementerian Negara Lingkungan Hidup (awalnya bernama Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup), dan disusul berdirinya badan/dinas lingkungan hidup di setiap provinsi dan kabupaten/kota belum mampu menghentikan kerusakan lingkungan yang terus terjadi.
Akar masalahnya antara lain adalah kepemimpinan yang tidak berdaya, birokrasi yang tersumbat dan tidak bersih, keterbatasan sumber daya modal dan keterampilan profesional, kebijakan pembangunan yang tidak layak dan tidak memadai, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, ditambah lagi kekuatan para pemodal yang sangat rakus dengan menggunakan cara-cara "3i" (iming-iming, intervensi, intimidasi).
Kehancuran sumber daya alam yang terus terjadi di seluruh pelosok Tanah Air, termasuk di Jawa Barat, telah menimbulkan biaya tinggi, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Hingga kini dinamika politik, ekonomi, dan sosial tetap mengarah pada eksploitasi sumber daya alam berlebihan yang berdampak pada terjadinya banyak bencana yang menyengsarakan rakyat.
Dilema lingkungan
Sampai saat ini para pemimpin terpilih di kabupaten/kota sangat jarang dan tidak peka dalam memahami batas wilayah pemerintahannya dengan batas wilayah ekologi yang berpengaruh sehingga tidak tahu kawasan mana yang harus menjadi kawasan konservasi atau kawasan lindung, dan kawasan mana yang bisa menjadi kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditafsirkan secara berlebihan oleh kabupaten/kota. Kepentingan ekonomi diprioritaskan dan kelestarian lingkungan dilupakan, atau hanya sekadar embel-embel.
Ketika provinsi menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perda Provinsi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Kawasan Lindung yang menyebutkan, Jabar memerlukan kawasan lindung regional seluas 45 persen, banyak kabupaten/kota yang merasa ruang geraknya sangat dibatasi, apalagi harus menghasilkan pendapatan asli daerah untuk menjalankan roda pemerintahannya.
Kabupaten/kota mengatakan hal ini sebagai sebuah dilema, ketika kabupaten/kota memiliki lahan indah dan subur, tetapi harus berfungsi lindung; memiliki potensi bahan galian untuk ditambang, tetapi harus berfungsi lindung; memiliki lahan luas, tetapi sebagian besar telah dikelola pihak lain, misalnya perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani.
Dilema semakin menjadi masalah dalam implementasinya, ketika kabupaten/kota harus mengelola kawasan lindung yang luasnya lebih dari 50 persen luas total wilayah pemerintahannya. Ini terutama untuk kabupaten/kota di Jabar selatan, misalnya Kabupaten Sukabumi dengan kawasan lindung seluas 70 persen, Kabupaten Cianjur 65 persen, Kabupaten Garut 85 persen, dan Kabupaten Tasikmalaya 67 persen.
Dilema berkembang menjadi masalah sosial ketika perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani tidak bisa mewadahi kebutuhan hidup masyarakat. Maka, yang terjadi adalah konflik pertanahan. Contoh mikro, tetapi merupakan akar masalah sosial yang besar antara lain yang terjadi di Desa Cipangramatan, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, dengan luas wilayah desa sekitar 6.000 hektar, jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa-lebih dari 85 persen sebagai buruh tani.
Dari 6.000 hektar hanya 400 hektar yang merupakan lahan milik rakyat. Sebagian besar lainnya di bawah pengelolaan perusahaan perkebunan. Manakala perkebunan tidak bisa memberikan ruang kepada masyarakat, dan manajemen perkebunan sendiri tidak memadai, ditambah lagi rakyat perlu tanah dan perlu makan, yang terjadi adalah masuknya rakyat ke tanah perkebunan untuk mencari hidup.
Demikian pula yang terjadi di desa-desa lain, kawasan perkebunan dan hutan negara menjadi jalan pintas rakyat bertahan hidup sebagai petani atau sekadar menjadi buruh tani.
Pemimpin dan kontrak ekologi
Mencari pemimpin yang 100 persen prolingkungan tidak mungkin. Sebab, idealnya seorang pemimpin harus mampu membuat sinergi antar-3P (for people, for profit, for planet). For people untuk kesejahteraan rakyat, for profit untuk kemajuan ekonomi, dan for planet untuk kelestarian lingkungan Tanah Air.
Pemimpin yang tidak menggunakan unsur lingkungan dalam manajemen pemerintahannya dipastikan akan menuai bencana. Saat ini yang terjadi adalah alih fungsi secara berlebihan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Upaya rehabilitasi lahan dan hutan tidak dapat mengejar kecepatan kerusakan yang terjadi. Di musim hujan terjadi bencana banjir dan longsor, di musim kemarau terjadi bencana kekeringan.
Sudah saatnya kita harus memilih calon pemimpin yang tidak hanya tampak berkualitas di luarnya, tetapi juga harus cerdas dalam menghadapi masalah lingkungan. Ia bersedia membuat kontrak ekologi untuk menjaga kelestarian lingkungan di wilayahnya dan mampu memadukan kekuatan pemodal, tetapi tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, ia juga diharapkan mampu mengubah dilema menjadi peluang dan mengubah konflik menjadi kebersamaan dan berani mempertahankan kawasan yang memang seharusnya berfungsi konservasi untuk tidak dialihfungsikan walaupun di kawasan tersebut mengandung sumber daya alam yang sangat berharga dan sangat diincar pemodal.
Masih ada waktu untuk menyoroti calon-calon pemimpin yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang. Jangan pilih pemimpin yang tidak prolingkungan! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
SOBIRIN Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit
Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm pada 1972.
Pada peringatan tahun ini, Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) memilih tema "Melting Ice, a Hot Topic!" (Es Mencair, Sebuah Topik Panas!). Adapun Pemerintah Indonesia memilih tema "Iklim Berubah, Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan".
Dari tahun ke tahun, Hari Lingkungan Hidup Sedunia selalu diperingati oleh kalangan luas, baik pemerintah maupun masyarakat. Akan tetapi, gaung gegap gempita keramaian hari perayaan tidak dapat menghentikan degradasi lingkungan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Keberadaan UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terbentuknya Kementerian Negara Lingkungan Hidup (awalnya bernama Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup), dan disusul berdirinya badan/dinas lingkungan hidup di setiap provinsi dan kabupaten/kota belum mampu menghentikan kerusakan lingkungan yang terus terjadi.
Akar masalahnya antara lain adalah kepemimpinan yang tidak berdaya, birokrasi yang tersumbat dan tidak bersih, keterbatasan sumber daya modal dan keterampilan profesional, kebijakan pembangunan yang tidak layak dan tidak memadai, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, ditambah lagi kekuatan para pemodal yang sangat rakus dengan menggunakan cara-cara "3i" (iming-iming, intervensi, intimidasi).
Kehancuran sumber daya alam yang terus terjadi di seluruh pelosok Tanah Air, termasuk di Jawa Barat, telah menimbulkan biaya tinggi, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya. Hingga kini dinamika politik, ekonomi, dan sosial tetap mengarah pada eksploitasi sumber daya alam berlebihan yang berdampak pada terjadinya banyak bencana yang menyengsarakan rakyat.
Dilema lingkungan
Sampai saat ini para pemimpin terpilih di kabupaten/kota sangat jarang dan tidak peka dalam memahami batas wilayah pemerintahannya dengan batas wilayah ekologi yang berpengaruh sehingga tidak tahu kawasan mana yang harus menjadi kawasan konservasi atau kawasan lindung, dan kawasan mana yang bisa menjadi kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditafsirkan secara berlebihan oleh kabupaten/kota. Kepentingan ekonomi diprioritaskan dan kelestarian lingkungan dilupakan, atau hanya sekadar embel-embel.
Ketika provinsi menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dan Perda Provinsi Nomor 2 Tahun 2006 tentang Kawasan Lindung yang menyebutkan, Jabar memerlukan kawasan lindung regional seluas 45 persen, banyak kabupaten/kota yang merasa ruang geraknya sangat dibatasi, apalagi harus menghasilkan pendapatan asli daerah untuk menjalankan roda pemerintahannya.
Kabupaten/kota mengatakan hal ini sebagai sebuah dilema, ketika kabupaten/kota memiliki lahan indah dan subur, tetapi harus berfungsi lindung; memiliki potensi bahan galian untuk ditambang, tetapi harus berfungsi lindung; memiliki lahan luas, tetapi sebagian besar telah dikelola pihak lain, misalnya perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani.
Dilema semakin menjadi masalah dalam implementasinya, ketika kabupaten/kota harus mengelola kawasan lindung yang luasnya lebih dari 50 persen luas total wilayah pemerintahannya. Ini terutama untuk kabupaten/kota di Jabar selatan, misalnya Kabupaten Sukabumi dengan kawasan lindung seluas 70 persen, Kabupaten Cianjur 65 persen, Kabupaten Garut 85 persen, dan Kabupaten Tasikmalaya 67 persen.
Dilema berkembang menjadi masalah sosial ketika perusahaan perkebunan dan Perum Perhutani tidak bisa mewadahi kebutuhan hidup masyarakat. Maka, yang terjadi adalah konflik pertanahan. Contoh mikro, tetapi merupakan akar masalah sosial yang besar antara lain yang terjadi di Desa Cipangramatan, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, dengan luas wilayah desa sekitar 6.000 hektar, jumlah penduduk sekitar 12.000 jiwa-lebih dari 85 persen sebagai buruh tani.
Dari 6.000 hektar hanya 400 hektar yang merupakan lahan milik rakyat. Sebagian besar lainnya di bawah pengelolaan perusahaan perkebunan. Manakala perkebunan tidak bisa memberikan ruang kepada masyarakat, dan manajemen perkebunan sendiri tidak memadai, ditambah lagi rakyat perlu tanah dan perlu makan, yang terjadi adalah masuknya rakyat ke tanah perkebunan untuk mencari hidup.
Demikian pula yang terjadi di desa-desa lain, kawasan perkebunan dan hutan negara menjadi jalan pintas rakyat bertahan hidup sebagai petani atau sekadar menjadi buruh tani.
Pemimpin dan kontrak ekologi
Mencari pemimpin yang 100 persen prolingkungan tidak mungkin. Sebab, idealnya seorang pemimpin harus mampu membuat sinergi antar-3P (for people, for profit, for planet). For people untuk kesejahteraan rakyat, for profit untuk kemajuan ekonomi, dan for planet untuk kelestarian lingkungan Tanah Air.
Pemimpin yang tidak menggunakan unsur lingkungan dalam manajemen pemerintahannya dipastikan akan menuai bencana. Saat ini yang terjadi adalah alih fungsi secara berlebihan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya. Upaya rehabilitasi lahan dan hutan tidak dapat mengejar kecepatan kerusakan yang terjadi. Di musim hujan terjadi bencana banjir dan longsor, di musim kemarau terjadi bencana kekeringan.
Sudah saatnya kita harus memilih calon pemimpin yang tidak hanya tampak berkualitas di luarnya, tetapi juga harus cerdas dalam menghadapi masalah lingkungan. Ia bersedia membuat kontrak ekologi untuk menjaga kelestarian lingkungan di wilayahnya dan mampu memadukan kekuatan pemodal, tetapi tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, ia juga diharapkan mampu mengubah dilema menjadi peluang dan mengubah konflik menjadi kebersamaan dan berani mempertahankan kawasan yang memang seharusnya berfungsi konservasi untuk tidak dialihfungsikan walaupun di kawasan tersebut mengandung sumber daya alam yang sangat berharga dan sangat diincar pemodal.
Masih ada waktu untuk menyoroti calon-calon pemimpin yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang. Jangan pilih pemimpin yang tidak prolingkungan! Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
SOBIRIN Anggota DPKLTS dan Bandung Spirit
No comments:
Post a Comment