Pemerintah Harus Serius Berkomitmen
KOMPAS, Jawa Barat, 16 Mei 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Kawasan “Lindung” Bandung Utara
“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.
BANDUNG, KOMPAS – Ketersediaan air bersih di Jawa Barat dinilai mencapai tahap kritis. Penyebabnya, lebih dari 50 persen daya dukung lingkungan berupa kawasan lindung sebagai daerah resapan air tidak lagi digunakan sesuai peruntukannya.
Hal itu diungkapkan mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air sekaligus aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, Kamis (15/5).
Sobirin mengatakan, 45 persen dari 3.720.772 hektar total luas wilayah Jabar atau sekitar 1,7 juta hektar seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air yang umumnya berada di hulu tiap daerah aliran sungai.
Dari sekitar 1,7 juta hektar lahan ini, sebanyak 22 persen atau 816.603 hektar berupa kawasan hutan, sekitar 400.000 hektar merupakan lahan milik masayarakat, dan sekitar 500.000 hektar sisanya merupakan lahan perkebunan negara dan swasta. “Kini dari 1,7 juta hektar tersebut hanya tersisa sekitar 0,65 juta hektar lahan kawasan lindung yang masih sesuai dengan peruntukannya,” kata Sobirin.
Potensi sumber daya air suatu daerah bergantung pada konsep curah hujannya. Di Jabar, menurut penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, potensi sumber daya air pada musim hujan mencapai 80 miliar meter kubik per tahun. Pada musim kemarau hanya mencapai 8 milyar meter kubik per tahun.
“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.
Sedikitnya kawasan lindung di Jabar ini diakibatkan oleh pengalihan fungsi lahan, antara lain beralihnya daerah resapan air menjadi kawasan permukiman atau area pertanian. Selain itu, ada pula kelalaian pengelolaan hutan, baik konservasi maupun lindung, sehingga menyebabkan penyerapan air tidak maksimal.
Harus berkomitmen
Pemerintah harus lebih serius berkomitmen mengembalikan 45 persen kawasan lindung yang berfungsi sebagai daya dukung wilayah Jabar. Keseriusan ini dapat dilakukan dengan mempertegas kewenangan antara Pemprov dan pemerintah tingkat Kabupaten/Kota.
“Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebenarnya sudah jelas mengatur rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi keberadaan otonomi daerah pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan kewenangan RTRW daerah tumpang tindih,” ujar Sobirin.
Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Prima Mayaningtias mengatakan, komitmen Pemprov Jabar tertuang daam Peraturan daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
“Pemprov Jabar berkomitmen mewujudkan kawasan lindung 45 persen pada 2010 mendatang. Meski tidak mudah, dengan penentuan garis batas (deliniasi) kawasan wajib dilindungi, pemerintah Kabupaten/Kota akan terbebani kewajiban serta dapat dikenai sanksi bila memberikan perizinan tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata Prima.
Prima mengatakan, keseriusan pemerintah juga tercermin dengan adanya wacana pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah sebagai badan yang berfungsi mengatur dan mengkoordinasikan RTRW Jabar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Muhammad Hendarsyah berpendapat, ketersediaan air di Jabar yang berakar pada pengalihan fugsi lahan membuthkan penegakan hukum yang baik. (A15)
KOMPAS, Jawa Barat, 16 Mei 2008, A15
Foto: Sobirin 2006, Kawasan “Lindung” Bandung Utara
“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.
BANDUNG, KOMPAS – Ketersediaan air bersih di Jawa Barat dinilai mencapai tahap kritis. Penyebabnya, lebih dari 50 persen daya dukung lingkungan berupa kawasan lindung sebagai daerah resapan air tidak lagi digunakan sesuai peruntukannya.
Hal itu diungkapkan mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air sekaligus aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, Kamis (15/5).
Sobirin mengatakan, 45 persen dari 3.720.772 hektar total luas wilayah Jabar atau sekitar 1,7 juta hektar seharusnya diperuntukkan sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air yang umumnya berada di hulu tiap daerah aliran sungai.
Dari sekitar 1,7 juta hektar lahan ini, sebanyak 22 persen atau 816.603 hektar berupa kawasan hutan, sekitar 400.000 hektar merupakan lahan milik masayarakat, dan sekitar 500.000 hektar sisanya merupakan lahan perkebunan negara dan swasta. “Kini dari 1,7 juta hektar tersebut hanya tersisa sekitar 0,65 juta hektar lahan kawasan lindung yang masih sesuai dengan peruntukannya,” kata Sobirin.
Potensi sumber daya air suatu daerah bergantung pada konsep curah hujannya. Di Jabar, menurut penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, potensi sumber daya air pada musim hujan mencapai 80 miliar meter kubik per tahun. Pada musim kemarau hanya mencapai 8 milyar meter kubik per tahun.
“Keberadaan kawasan lindung dapat menyerap 25 persen dari potensi sumber daya air yang ada. Tetapi, di Jabar dengan keberadaan kawasan lindung yang tidak sesuai peruntukannya, proses siklus air tidak mungkin memenuhi kuota yang diperlukan,” kata Sobirin.
Sedikitnya kawasan lindung di Jabar ini diakibatkan oleh pengalihan fungsi lahan, antara lain beralihnya daerah resapan air menjadi kawasan permukiman atau area pertanian. Selain itu, ada pula kelalaian pengelolaan hutan, baik konservasi maupun lindung, sehingga menyebabkan penyerapan air tidak maksimal.
Harus berkomitmen
Pemerintah harus lebih serius berkomitmen mengembalikan 45 persen kawasan lindung yang berfungsi sebagai daya dukung wilayah Jabar. Keseriusan ini dapat dilakukan dengan mempertegas kewenangan antara Pemprov dan pemerintah tingkat Kabupaten/Kota.
“Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebenarnya sudah jelas mengatur rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi keberadaan otonomi daerah pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan kewenangan RTRW daerah tumpang tindih,” ujar Sobirin.
Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Prima Mayaningtias mengatakan, komitmen Pemprov Jabar tertuang daam Peraturan daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
“Pemprov Jabar berkomitmen mewujudkan kawasan lindung 45 persen pada 2010 mendatang. Meski tidak mudah, dengan penentuan garis batas (deliniasi) kawasan wajib dilindungi, pemerintah Kabupaten/Kota akan terbebani kewajiban serta dapat dikenai sanksi bila memberikan perizinan tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata Prima.
Prima mengatakan, keseriusan pemerintah juga tercermin dengan adanya wacana pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah sebagai badan yang berfungsi mengatur dan mengkoordinasikan RTRW Jabar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jabar Muhammad Hendarsyah berpendapat, ketersediaan air di Jabar yang berakar pada pengalihan fugsi lahan membuthkan penegakan hukum yang baik. (A15)
No comments:
Post a Comment