Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 10 Mei 2008
Foto: Sobirin 2008, TPA Jatibarang, Kota Semarang
Oleh: Sobirin
Baru sekali ini saya mengunjungi tempat pembuangan akhir sampah (seharusnya tempat pengolahan akhir sampah atau TPA) yang unik menarik. Begitu sampai di tempat, yang saya lihat adalah ratusan ekor sapi bercampur dengan truk sampah, buldoser, dan para pemulung.
Bersama tim peneliti dari Pusat Litbang Sumber Daya Air (Dr. Ir. William Putuhena, Drs. Waluyo Hatmoko M.Si, dan Ir. Hermono SB, M.Eng), saya meninjau TPA ini. Ada issue sudah overload atau beban TPA sudah berlebihan, ada issu air lindi-nya mengalir masuk ke sungai Kreo mencemari aliran sungai. Berikut adalah catatan perjalanan saya ditambah dengan bacaan data dari Pemerintah Kota Semarang dan beberapa media.
TPA yang dioperasikan sejak bulan Maret 1992 ini, lokasinya terletak di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, di bagian barat Kota Semarang, Jawa Tengah, di tepi sungai Kreo, agak berseberangan sungai dengan lapangan golf Manyaran. Topografi TPA Jatibarang merupakan daerah yang berbukit, bergelombang dan ada yang memiliki kemiringan lereng lebih curam (lebih dari 24%), dengan elevasi bervariasi antara 63 sampai 200 meter dari permukaan air laut.
Topografi terendah merupakan bagian tepi sungai Kreo yang mengalir dari selatan ke utara. Jarak dari pusat Kota Semarang ke TPA ini sekitar 11,5 Km. Adapun daya tampungnya sekitar 4,15 juta m3 dengan kedalaman sampah bisa mencapai 40 meter. Menurut data dari Pemerintah Kota Semarang, areal TPA ini cukup luas yaitu 46,18 hektar di bagi-bagi dalam beberapa zone yang secara garis besar sekitar 60% (27,71 hektar) untuk lahan buang sampah, dan sekitar 40% (18,47%) untuk infrastruktur kantor, pengolahan air lindi, sabuk hijau.
Disebutkan bahwa Kota Semarang dengan jumlah penduduk hampir 1,4 juta jiwa memproduksi timbulan sampah tiap harinya sampai 4.725 m3, yang terangkut sekitar 4.150 m3, yang belum terlayani sekitar 565 m3 setiap harinya. Tetapi menurut beberapa media masa dikatakan bahwa sampah yang dibuang ke TPA ini tiap harinya 2.500 m3 atau sekitar 600 ton. Berikutnya disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2000, timbunan sampah sudah mencapai 5,75 juta m3, padahal daya tampung TPA hanya 4,15 juta m3 sampah. Jadi sudah melebihi daya tampung sekitar 1,6 juta m3 sampah.
Sebagai pemerhati lingkungan saya mencoba membandingkan dengan TPA-TPA di kota-kota lain termasuk TPA di sekitar Kota Bandung. Untuk TPA Jatibarang ini saya melihat ada beberapa hal positif dan peluang, disamping ada negatif dan ancaman bahaya lingkungan, sebagai berikut:
Segi positif:
- lahan terlihat masih ada sisa cukup
- lokasi relatif cukup jauh dari pusat keramaian
Segi negatif:
- jumlah bulldozer pemerata tanah kurang banyak
- tanah penutup utk landfill-nya sangat kurang
- pengolahan lindi kurang serius
- gubuk-gubung pemulung tidak tertata
- rencana pabrik olah sampah tidak cocok di daerah atas
Peluang:
- konsep angon sapi di TPA cukup unik dan menarik
- industri pengolahan sampah dan lindi sangat berprospek
- seyogyanya dipikirkan pabrik sampah di bawah dekat olah lindi
- dipinggiran sungai ditanami pohon-pohon untuk hutan tepi sungai
Ancaman:
- tumpukan sampah yang semakin tinggi bisa longsor ke sungai
- air lindi yang kurang diolah bocor ke sungai
- sapi peliharaan terkontaminasi logam berat beracun
- instalasi air bersih PDAM di hilirnya menjadi tercemar berlebihan
- bau sampah sampai ke lapangan golf Manyaran
- TPA sebagai sumber penyakit
Issue mencari lokasi TPA baru memang bagus, tetapi bukan barang yang gampang, semua lokasi pasti akan ditolak warga, menimbulkan konflik berkepanjangan. Sampah harus dibuang, tetapi jangan di tempat saya, kira-kira begitu pendapat semua warga. Sampah itu NIMBY (not in my back yard).
Analisis memanfaatkan segi positif dan peluang, serta mengurangi dan mancari solusi untuk mengatasi segi negatif dan ancaman adalah merupakan langkah yang bijaksana. Ide membangun pabrik pengolahan sampah patut dipuji dan segera diprioritaskan.
Beberapa hal lain yang perlu dikaji yaitu sapi-sapinya menjadi relatif gemuk-gemuk, mungkin makan sampah organik yang ter-fermentasi menjadi silase (silage), memang ada juga sebagian yang kurus. Kotoran sapi yang banyak berserakan bisa menambah unsur untuk membuat kompos. Juga perlu dikaji bahwa cairan lindi ini kemungkinan besar bisa dimanfaatkan untuk starter pembuatan kompos, juga untuk pupuk cair atau pakan ikan. Tentunya setelah dianalisis dan dipisahkan dari pencemar logam berat atau limbah beracun.
Hati-hati agar tumpukan sampah di tebing jangan sampai berlebihan, tingginya melebihi keamanan lereng gundukan sampah, sehingga bisa terjadi longsoran sampah seperti peristiwa longsor sampah Leuwigajah di Bandung yang sangat memalukan karena memakan banyak korban jiwa.
Semoga juga tidak ada ide untuk membuat pabrik listrik seperti rencana Kota Bandung, yaitu pabrik listrik tenaga sampah, atau sampah dibakar. Ide-ide ini akan banyak ditentang oleh ahli lingkungan, karena gas pembakaran dikatakan mengandung racun, sangat meningkatkan gas rumah kaca, dan lain-lainnya.
Baru sekali ini saya mengunjungi tempat pembuangan akhir sampah (seharusnya tempat pengolahan akhir sampah atau TPA) yang unik menarik. Begitu sampai di tempat, yang saya lihat adalah ratusan ekor sapi bercampur dengan truk sampah, buldoser, dan para pemulung.
Bersama tim peneliti dari Pusat Litbang Sumber Daya Air (Dr. Ir. William Putuhena, Drs. Waluyo Hatmoko M.Si, dan Ir. Hermono SB, M.Eng), saya meninjau TPA ini. Ada issue sudah overload atau beban TPA sudah berlebihan, ada issu air lindi-nya mengalir masuk ke sungai Kreo mencemari aliran sungai. Berikut adalah catatan perjalanan saya ditambah dengan bacaan data dari Pemerintah Kota Semarang dan beberapa media.
TPA yang dioperasikan sejak bulan Maret 1992 ini, lokasinya terletak di Kelurahan Kedungpane, Kecamatan Mijen, di bagian barat Kota Semarang, Jawa Tengah, di tepi sungai Kreo, agak berseberangan sungai dengan lapangan golf Manyaran. Topografi TPA Jatibarang merupakan daerah yang berbukit, bergelombang dan ada yang memiliki kemiringan lereng lebih curam (lebih dari 24%), dengan elevasi bervariasi antara 63 sampai 200 meter dari permukaan air laut.
Topografi terendah merupakan bagian tepi sungai Kreo yang mengalir dari selatan ke utara. Jarak dari pusat Kota Semarang ke TPA ini sekitar 11,5 Km. Adapun daya tampungnya sekitar 4,15 juta m3 dengan kedalaman sampah bisa mencapai 40 meter. Menurut data dari Pemerintah Kota Semarang, areal TPA ini cukup luas yaitu 46,18 hektar di bagi-bagi dalam beberapa zone yang secara garis besar sekitar 60% (27,71 hektar) untuk lahan buang sampah, dan sekitar 40% (18,47%) untuk infrastruktur kantor, pengolahan air lindi, sabuk hijau.
Disebutkan bahwa Kota Semarang dengan jumlah penduduk hampir 1,4 juta jiwa memproduksi timbulan sampah tiap harinya sampai 4.725 m3, yang terangkut sekitar 4.150 m3, yang belum terlayani sekitar 565 m3 setiap harinya. Tetapi menurut beberapa media masa dikatakan bahwa sampah yang dibuang ke TPA ini tiap harinya 2.500 m3 atau sekitar 600 ton. Berikutnya disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2000, timbunan sampah sudah mencapai 5,75 juta m3, padahal daya tampung TPA hanya 4,15 juta m3 sampah. Jadi sudah melebihi daya tampung sekitar 1,6 juta m3 sampah.
Sebagai pemerhati lingkungan saya mencoba membandingkan dengan TPA-TPA di kota-kota lain termasuk TPA di sekitar Kota Bandung. Untuk TPA Jatibarang ini saya melihat ada beberapa hal positif dan peluang, disamping ada negatif dan ancaman bahaya lingkungan, sebagai berikut:
Segi positif:
- lahan terlihat masih ada sisa cukup
- lokasi relatif cukup jauh dari pusat keramaian
Segi negatif:
- jumlah bulldozer pemerata tanah kurang banyak
- tanah penutup utk landfill-nya sangat kurang
- pengolahan lindi kurang serius
- gubuk-gubung pemulung tidak tertata
- rencana pabrik olah sampah tidak cocok di daerah atas
Peluang:
- konsep angon sapi di TPA cukup unik dan menarik
- industri pengolahan sampah dan lindi sangat berprospek
- seyogyanya dipikirkan pabrik sampah di bawah dekat olah lindi
- dipinggiran sungai ditanami pohon-pohon untuk hutan tepi sungai
Ancaman:
- tumpukan sampah yang semakin tinggi bisa longsor ke sungai
- air lindi yang kurang diolah bocor ke sungai
- sapi peliharaan terkontaminasi logam berat beracun
- instalasi air bersih PDAM di hilirnya menjadi tercemar berlebihan
- bau sampah sampai ke lapangan golf Manyaran
- TPA sebagai sumber penyakit
Issue mencari lokasi TPA baru memang bagus, tetapi bukan barang yang gampang, semua lokasi pasti akan ditolak warga, menimbulkan konflik berkepanjangan. Sampah harus dibuang, tetapi jangan di tempat saya, kira-kira begitu pendapat semua warga. Sampah itu NIMBY (not in my back yard).
Analisis memanfaatkan segi positif dan peluang, serta mengurangi dan mancari solusi untuk mengatasi segi negatif dan ancaman adalah merupakan langkah yang bijaksana. Ide membangun pabrik pengolahan sampah patut dipuji dan segera diprioritaskan.
Beberapa hal lain yang perlu dikaji yaitu sapi-sapinya menjadi relatif gemuk-gemuk, mungkin makan sampah organik yang ter-fermentasi menjadi silase (silage), memang ada juga sebagian yang kurus. Kotoran sapi yang banyak berserakan bisa menambah unsur untuk membuat kompos. Juga perlu dikaji bahwa cairan lindi ini kemungkinan besar bisa dimanfaatkan untuk starter pembuatan kompos, juga untuk pupuk cair atau pakan ikan. Tentunya setelah dianalisis dan dipisahkan dari pencemar logam berat atau limbah beracun.
Hati-hati agar tumpukan sampah di tebing jangan sampai berlebihan, tingginya melebihi keamanan lereng gundukan sampah, sehingga bisa terjadi longsoran sampah seperti peristiwa longsor sampah Leuwigajah di Bandung yang sangat memalukan karena memakan banyak korban jiwa.
Semoga juga tidak ada ide untuk membuat pabrik listrik seperti rencana Kota Bandung, yaitu pabrik listrik tenaga sampah, atau sampah dibakar. Ide-ide ini akan banyak ditentang oleh ahli lingkungan, karena gas pembakaran dikatakan mengandung racun, sangat meningkatkan gas rumah kaca, dan lain-lainnya.
No comments:
Post a Comment