Pikiran Rakyat Online, 27/4-5/5-2008, Kodar.S/”PR”
Foto: Kodar Solihat, PR, 2008, Jati Rakyat, Kab. Majalengka
"Pengusahaan kayu rakyat bukan hanya bersifat bisnis masyarakat, tetapi juga berperan penting berkaitan terhadap Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Jabar. Hal ini dapat memotivasi masyarakat sadar memelihara lingkungan untuk mengantisipasi dan menghindari bencana alam," kata Sobirin DPKLTS.
PEMBUDIDAYAAN pohon-pohon untuk keperluan kayu oleh rakyat, menjadi salah satu usaha yang memasyarakat di Jabar. Ada sejumlah jenis pohon kayu yang sedang menjadi tren diusahakan masyarakat, misalnya albasia, mindi, akasia, jati, mahoni, dan suren.
Pengusahaan kayu-kayu rakyat tersebut, ada yang diusahakan secara mandiri maupun dikelola bersama Perum Perhutani melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Ini terutama diusahakan pada lahan-lahan yang memungkinkan di berbagai daerah, terutama Ciamis, Sumedang, Majalengka, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Sukabumi, Bogor, Cianjur, Tasikmalaya, dan Kabupaten Bandung.
Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan, bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya. Apalagi, jumlah pasokan kayu dari perusahaan besar BUMN maupun swasta, cenderung belum mampu mencukupi kebutuhan.
Data dari Dinas Kehutanan Jabar menyebutkan, dengan luas Jabar 3,7 hektare, seharusnya 1,6 juta hektare sebagai kawasan lindung, saat ini yang 800.000-an hektare berupa hutan negara yang dikelola Perum Perhutani Unit III, sisanya adalah kawasan milik rakyat dan areal perkebunan. Kendati belum terdata, luas lahan hutan masyarakat yang diusahakan untuk pohon jenis kayu-kayuan, namun berpotensi menghasilkan produksi kayu sampai 3 juta m3/tahun dengan omzet Rp 5-7 triliun/tahun.
Anggota Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, mengatakan, kebutuhan berbagai jenis kayu untuk industri di Jabar saat ini rata-rata 4-5 juta m3/tahun. Namun pasokan kayu yang dapat disediakan perusahan kayu negara (Perum Perhutani) dan swasta, total 250.000 m3-350.000 m3/tahun, sedangkan pasokan kayu rakyat maksimal 1,25 juta m3/tahun.
"Pengusahaan kayu rakyat bukan hanya bersifat bisnis masyarakat, tetapi juga ikut berperan penting berkaitan dukungan terhadap Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Jabar. Hal ini dapat memotivasi masyarakat agar ikut sadar memelihara lingkungan untuk mengantisipasi dan menghindari bencana alam," katanya.
Keterangan serupa dilontarkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar, Anang Sudarna, yang juga mengatakan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan pohon kayu rakyat, ikut menentukan keberhasilan GRLK di daerahnya. Apalagi, berkaitan dengan isu global warming (pemanasan global) yang di antaranya disebabkan kerusakan lingkungan kehutanan, termasuk dari areal kehutanan rakyat.
"Yang diperlukan sekarang adalah upaya memperbaiki tata niaganya yang selama ini menjadi `sandungan` bagi usaha kayu rakyat. Perbaikan dan optimalisasi tata niaga, diharapkan menjadi andalan untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat dari usaha pohon kayu, agar mampu bernilai ekonomis secara benar," ujarnya.
Disebutkan, dalam kondisi tata niaga usaha kayu rakyat yang kurang memuaskan bagi masyarakat, situasinya dapat pula berdampak kurang baik bagi GRLK. Situasi ini dapat meningkatkan luas kerusakan hutan rakyat setiap tahunnya, dibandingkan dengan luas lahan yang direhabilitasi.
Ia mencontohkan, kendati kualitasnya banyak yang sama dengan Perum Perhutani, namun harga jual produk kayu rakyat umumnya lebih rendah. Hal ini disebabkan adanya sistem tata niaga kayu rakyat yang cenderung masih terkuasai jaringan pedagang, sehingga nilai jualnya sering tertekan.
Perkuat kelembagaan Menurut Anang, untuk mencoba keluar dari kemelut tersebut sekaligus meningkatkan posisi masyarakat pembudidaya pohon kayu, Dinas Kehutanan Jabar mencoba membantu dengan memperkuat kelembagaan mereka. Masyarakat pembudidaya pohon kayu didorong untuk memperkuat diri melalui kelembagaan koperasi di wilayahnya masing-masing, disamping upaya memperkuat lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) yang selama ini sudah ada.
Disebutkan, langkah memperkuat posisi melalui koperasi, dapat dilakukan masyarakat pemelihara pohon kayu yang cenderung masih bersifat individu. Mereka dapat lebih memperkuat diri, dengan mencontoh masyarakat desa hutan melalui LMDH yang ada di lingkungan Perum Perhutani.
"Melalui kelembagaan, pemerintah daerah lebih mudah membina usaha kayu rakyat. Hal ini di antaranya untuk mendorong peningkatan kualitas penebangan pohon kayu rakyat, mendongkrak nilai jual, dll, yang akhirnya diharapkan ikut mendukung secara optimal upaya pelestarian lingkungan," ujar Anang. (Kodar S./"PR") ***
Foto: Kodar Solihat, PR, 2008, Jati Rakyat, Kab. Majalengka
"Pengusahaan kayu rakyat bukan hanya bersifat bisnis masyarakat, tetapi juga berperan penting berkaitan terhadap Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Jabar. Hal ini dapat memotivasi masyarakat sadar memelihara lingkungan untuk mengantisipasi dan menghindari bencana alam," kata Sobirin DPKLTS.
PEMBUDIDAYAAN pohon-pohon untuk keperluan kayu oleh rakyat, menjadi salah satu usaha yang memasyarakat di Jabar. Ada sejumlah jenis pohon kayu yang sedang menjadi tren diusahakan masyarakat, misalnya albasia, mindi, akasia, jati, mahoni, dan suren.
Pengusahaan kayu-kayu rakyat tersebut, ada yang diusahakan secara mandiri maupun dikelola bersama Perum Perhutani melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Ini terutama diusahakan pada lahan-lahan yang memungkinkan di berbagai daerah, terutama Ciamis, Sumedang, Majalengka, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Sukabumi, Bogor, Cianjur, Tasikmalaya, dan Kabupaten Bandung.
Pengusahaan kayu rakyat diperkirakan memiliki prospek yang terus membaik untuk skala bisnis maupun kebutuhan sendiri, seiring terus meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai industri. Misalnya bahan bangunan, bahan furnitur, alat-alat rumah tangga, produk seni, dan industri terkait lainnya. Apalagi, jumlah pasokan kayu dari perusahaan besar BUMN maupun swasta, cenderung belum mampu mencukupi kebutuhan.
Data dari Dinas Kehutanan Jabar menyebutkan, dengan luas Jabar 3,7 hektare, seharusnya 1,6 juta hektare sebagai kawasan lindung, saat ini yang 800.000-an hektare berupa hutan negara yang dikelola Perum Perhutani Unit III, sisanya adalah kawasan milik rakyat dan areal perkebunan. Kendati belum terdata, luas lahan hutan masyarakat yang diusahakan untuk pohon jenis kayu-kayuan, namun berpotensi menghasilkan produksi kayu sampai 3 juta m3/tahun dengan omzet Rp 5-7 triliun/tahun.
Anggota Dewan Pemerhati Lingkungan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKTS), Sobirin, mengatakan, kebutuhan berbagai jenis kayu untuk industri di Jabar saat ini rata-rata 4-5 juta m3/tahun. Namun pasokan kayu yang dapat disediakan perusahan kayu negara (Perum Perhutani) dan swasta, total 250.000 m3-350.000 m3/tahun, sedangkan pasokan kayu rakyat maksimal 1,25 juta m3/tahun.
"Pengusahaan kayu rakyat bukan hanya bersifat bisnis masyarakat, tetapi juga ikut berperan penting berkaitan dukungan terhadap Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Jabar. Hal ini dapat memotivasi masyarakat agar ikut sadar memelihara lingkungan untuk mengantisipasi dan menghindari bencana alam," katanya.
Keterangan serupa dilontarkan Kepala Dinas Kehutanan Jabar, Anang Sudarna, yang juga mengatakan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan pohon kayu rakyat, ikut menentukan keberhasilan GRLK di daerahnya. Apalagi, berkaitan dengan isu global warming (pemanasan global) yang di antaranya disebabkan kerusakan lingkungan kehutanan, termasuk dari areal kehutanan rakyat.
"Yang diperlukan sekarang adalah upaya memperbaiki tata niaganya yang selama ini menjadi `sandungan` bagi usaha kayu rakyat. Perbaikan dan optimalisasi tata niaga, diharapkan menjadi andalan untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat dari usaha pohon kayu, agar mampu bernilai ekonomis secara benar," ujarnya.
Disebutkan, dalam kondisi tata niaga usaha kayu rakyat yang kurang memuaskan bagi masyarakat, situasinya dapat pula berdampak kurang baik bagi GRLK. Situasi ini dapat meningkatkan luas kerusakan hutan rakyat setiap tahunnya, dibandingkan dengan luas lahan yang direhabilitasi.
Ia mencontohkan, kendati kualitasnya banyak yang sama dengan Perum Perhutani, namun harga jual produk kayu rakyat umumnya lebih rendah. Hal ini disebabkan adanya sistem tata niaga kayu rakyat yang cenderung masih terkuasai jaringan pedagang, sehingga nilai jualnya sering tertekan.
Perkuat kelembagaan Menurut Anang, untuk mencoba keluar dari kemelut tersebut sekaligus meningkatkan posisi masyarakat pembudidaya pohon kayu, Dinas Kehutanan Jabar mencoba membantu dengan memperkuat kelembagaan mereka. Masyarakat pembudidaya pohon kayu didorong untuk memperkuat diri melalui kelembagaan koperasi di wilayahnya masing-masing, disamping upaya memperkuat lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) yang selama ini sudah ada.
Disebutkan, langkah memperkuat posisi melalui koperasi, dapat dilakukan masyarakat pemelihara pohon kayu yang cenderung masih bersifat individu. Mereka dapat lebih memperkuat diri, dengan mencontoh masyarakat desa hutan melalui LMDH yang ada di lingkungan Perum Perhutani.
"Melalui kelembagaan, pemerintah daerah lebih mudah membina usaha kayu rakyat. Hal ini di antaranya untuk mendorong peningkatan kualitas penebangan pohon kayu rakyat, mendongkrak nilai jual, dll, yang akhirnya diharapkan ikut mendukung secara optimal upaya pelestarian lingkungan," ujar Anang. (Kodar S./"PR") ***
No comments:
Post a Comment