KOMPAS, 04-02-2003, Nusantara, IYA/EVI
Foto: Sobirin 2004, Sisa Hutan Kota Bandung, Babakan Siliwangi
"Idealnya daerah Bandung Utara dan Barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.
Di antara rimbunnya pepohonan yang berdiri kokoh di sisi kiri dan kanan jalan yang lebarnya sekitar empat meter, dua anak perempuan berlari-lari sambil bergandengan tangan. Di sebelah kanan kedua gadis cilik yang masih mengenakan seragam sekolah dasar (SD) itu berdiri beberapa bangunan yang di depannya terpampang sebuah papan nama "Sanggar Mitra Wisata".
Di dinding bangunan-bangunan itu tertempel puluhan lukisan yang umumnya beraliran realisme karya para pelukis lokal Kota Bandung. Masih di sisi jalan yang sama, sekitar 10 meter dari sanggar yang berdiri tahun 1976 itu, berdiri pula bangunan lain yang juga dihiasi berbagai lukisan di dindingnya.
Dalam sebuah bangunan yang berbentuk saung itu, beberapa seniman muda yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) itu asyik melukis, mengekspresikan kemampuan mereka di atas kanvas.
Ada kesamaan di antara kedua sanggar itu. Keduanya adalah sebuah "sanggar terbuka" yang disediakan bagi mereka yang memiliki perhatian di bidang seni. "Siapa pun orangnya, boleh datang ke sini untuk menyalurkan bakat seni mereka.
Komunitas di sini memang diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni, tetapi punya bakat," ujar Aming D Rachman dari Forum Apresiasi Bandung. Aming mengatakan, meskipun seni yang konsisten berkembang di sanggar itu adalah seni lukis, namun di komunitas SOS, yang berdiri sejak tahun 1960-an itu, tidak tertutup peluang bagi mereka yang memiliki bakat seni lain, seperti teater, seni suara, dan lain-lain.
SELAIN sebagai komunitas yang membuka diri bagi siapa pun, kedua sanggar itu memiliki kesamaan lain. Keduanya berada di Babakan Siliwangi, sebuah ruang terbuka hijau (RTH) berupa hutan kota yang terletak di Jalan Siliwangi, Bandung, Jawa Barat (Jabar). Tempat yang dibangun sejak tahun 1960-an ini ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti angsana, palem, duku, dan berbagai jenis pohon lain yang biasanya tumbuh di hutan.
Bahkan, terdapat puluhan titik mata air yang salah satunya memiliki debit 0,7 liter per detik. Atas dasar itulah, ditambah data yang terdapat dalam peta geologi Bandung, daerah yang berada pada ketinggian hampir 800 meter di atas permukaan laut (dpl) ini termasuk ke dalam daerah inti resapan air. Menurut peta tersebut, sebagian besar daerah Bandung di wilayah utara dan barat, yang tanahnya mengandung tufa berbatu apung dan tufa pasiran, adalah daerah inti resapan air, termasuk kawasan Babakan Siliwangi.
"Dengan kondisi tanah yang seperti itu, idealnya daerah Bandung utara dan barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.
Namun, kondisi itu tampaknya tidak terlihat di lapangan. Banyak ruang terbuka hijau yang sudah beralih fungsi menjadi permukiman dan industri, termasuk daerah Babakan Siliwangi yang sudah direncanakan akan diubah menjadi bangunan apartemen, hotel, mal, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda.
Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Edi Siswadi mengungkapkan, saat ini Kota Bandung telah berkembang pesat dari sisi ekonomi maupun kependudukan. "Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menilai kawasan Babakan Siliwangi yang selama ini masih memiliki banyak ruang terbuka dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha masyarakat. Jadi, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola kawasan itu," kilah Edi Siswadi.
"Berdasarkan data yang kami peroleh, sebenarnya fungsi resapan air di kawasan itu sudah merosot tajam karena berkembangnya permukiman di sekitar daerah itu. Jadi, kami justru mengharapkan peran investor untuk mengembalikan fungsi resapan air di kawasan itu dengan teknologi tinggi," tutur Edi.
Selanjutnya, di hadapan para anggota DPRD Kota Bandung beberapa waktu lalu, para calon investor mengemukakan rencana pembangunan kawasan itu yang telah disepakati Pemkot Bandung melalui Bappeda Bandung.
Dalam rencana itu, 20 persen dari luas lahan akan dibangun menjadi apartemen untuk para mahasiswa, mal, hotel, butik, pusat seni dan amfiteater, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda. Sementara itu, sisa luas lahan di kawasan itu tetap dikuasai Pemkot Bandung, tetapi investor mempunyai hak untuk mengelolanya.
BEBERAPA saat setelah Pemkot Bandung mengemukakan rencana itu, reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan. Umumnya mereka menyayangkan rencana itu, apalagi jika melihat kondisi RTH di Kota Bandung kian berkurang saja dari waktu ke waktu. "Kami khawatir jika pembangunan di kawasan itu menjadi tidak terkendali.
Memang investor hanya boleh membangun 20 persen dari luas lahan di daerah itu, namun mereka kan diperkenankan untuk mengelola sisa lahan yang lain. Ini bisa merusak lingkungan di daerah itu. Seharusnya, Pemkot Bandung mewajibkan investor memelihara 80 persen kawasan itu yang merupakan hutan Kota Bandung," kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali.
Data dari DPKLTS memperlihatkan, dari 16.726 hektar luas Kota Bandung dengan jumlah penduduk 2,5 juta, luas RTH-nya hanya sekitar 1,44 persen. Selain itu, jumlah pohon yang ada di Bandung hanya sekitar 650.000, padahal idealnya 1.250.000 pohon. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8 Ayat 3 disebutkan bahwa persentase luas hutan kotanya saja-tidak termasuk taman kota dan peka(Arangan rumah-paling sedikit harus mencapai 10 persen dari luas seluruh wilayah kota. (Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan Ruang Terbuka Hijau luasnya 30% dari total luas Kota/ Sobirin).
Aming sebagai perwakilan dari kelompok budayawan menyatakan rasa penyesalannya yang begitu mendalam. Menurut dia, pemikiran orang-orang yang membuat rencana untuk mengubah Babakan Siliwangi ini hanya berlandaskan pada faktor legalitas dan mengejar pemasukan untuk pendapatan asli daerah (PAD), tanpa berlandaskan pada moral. "Kalau mereka berpikir dengan berlandaskan pada moral, mereka tidak akan menghilangkan sebuah daerah dan komunitas budayawan yang berkonsep natural system ini dengan seenaknya," ujar Aming dengan geram. (IYA/EVY)
Foto: Sobirin 2004, Sisa Hutan Kota Bandung, Babakan Siliwangi
"Idealnya daerah Bandung Utara dan Barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.
Di antara rimbunnya pepohonan yang berdiri kokoh di sisi kiri dan kanan jalan yang lebarnya sekitar empat meter, dua anak perempuan berlari-lari sambil bergandengan tangan. Di sebelah kanan kedua gadis cilik yang masih mengenakan seragam sekolah dasar (SD) itu berdiri beberapa bangunan yang di depannya terpampang sebuah papan nama "Sanggar Mitra Wisata".
Di dinding bangunan-bangunan itu tertempel puluhan lukisan yang umumnya beraliran realisme karya para pelukis lokal Kota Bandung. Masih di sisi jalan yang sama, sekitar 10 meter dari sanggar yang berdiri tahun 1976 itu, berdiri pula bangunan lain yang juga dihiasi berbagai lukisan di dindingnya.
Dalam sebuah bangunan yang berbentuk saung itu, beberapa seniman muda yang tergabung dalam Sanggar Olah Seni (SOS) itu asyik melukis, mengekspresikan kemampuan mereka di atas kanvas.
Ada kesamaan di antara kedua sanggar itu. Keduanya adalah sebuah "sanggar terbuka" yang disediakan bagi mereka yang memiliki perhatian di bidang seni. "Siapa pun orangnya, boleh datang ke sini untuk menyalurkan bakat seni mereka.
Komunitas di sini memang diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni, tetapi punya bakat," ujar Aming D Rachman dari Forum Apresiasi Bandung. Aming mengatakan, meskipun seni yang konsisten berkembang di sanggar itu adalah seni lukis, namun di komunitas SOS, yang berdiri sejak tahun 1960-an itu, tidak tertutup peluang bagi mereka yang memiliki bakat seni lain, seperti teater, seni suara, dan lain-lain.
SELAIN sebagai komunitas yang membuka diri bagi siapa pun, kedua sanggar itu memiliki kesamaan lain. Keduanya berada di Babakan Siliwangi, sebuah ruang terbuka hijau (RTH) berupa hutan kota yang terletak di Jalan Siliwangi, Bandung, Jawa Barat (Jabar). Tempat yang dibangun sejak tahun 1960-an ini ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti angsana, palem, duku, dan berbagai jenis pohon lain yang biasanya tumbuh di hutan.
Bahkan, terdapat puluhan titik mata air yang salah satunya memiliki debit 0,7 liter per detik. Atas dasar itulah, ditambah data yang terdapat dalam peta geologi Bandung, daerah yang berada pada ketinggian hampir 800 meter di atas permukaan laut (dpl) ini termasuk ke dalam daerah inti resapan air. Menurut peta tersebut, sebagian besar daerah Bandung di wilayah utara dan barat, yang tanahnya mengandung tufa berbatu apung dan tufa pasiran, adalah daerah inti resapan air, termasuk kawasan Babakan Siliwangi.
"Dengan kondisi tanah yang seperti itu, idealnya daerah Bandung utara dan barat banyak ditumbuhi pepohonan untuk menyimpan cadangan air," ujar anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin.
Namun, kondisi itu tampaknya tidak terlihat di lapangan. Banyak ruang terbuka hijau yang sudah beralih fungsi menjadi permukiman dan industri, termasuk daerah Babakan Siliwangi yang sudah direncanakan akan diubah menjadi bangunan apartemen, hotel, mal, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda.
Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung Edi Siswadi mengungkapkan, saat ini Kota Bandung telah berkembang pesat dari sisi ekonomi maupun kependudukan. "Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menilai kawasan Babakan Siliwangi yang selama ini masih memiliki banyak ruang terbuka dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha masyarakat. Jadi, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola kawasan itu," kilah Edi Siswadi.
"Berdasarkan data yang kami peroleh, sebenarnya fungsi resapan air di kawasan itu sudah merosot tajam karena berkembangnya permukiman di sekitar daerah itu. Jadi, kami justru mengharapkan peran investor untuk mengembalikan fungsi resapan air di kawasan itu dengan teknologi tinggi," tutur Edi.
Selanjutnya, di hadapan para anggota DPRD Kota Bandung beberapa waktu lalu, para calon investor mengemukakan rencana pembangunan kawasan itu yang telah disepakati Pemkot Bandung melalui Bappeda Bandung.
Dalam rencana itu, 20 persen dari luas lahan akan dibangun menjadi apartemen untuk para mahasiswa, mal, hotel, butik, pusat seni dan amfiteater, rumah makan, serta pusat studi dan budaya Sunda. Sementara itu, sisa luas lahan di kawasan itu tetap dikuasai Pemkot Bandung, tetapi investor mempunyai hak untuk mengelolanya.
BEBERAPA saat setelah Pemkot Bandung mengemukakan rencana itu, reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan. Umumnya mereka menyayangkan rencana itu, apalagi jika melihat kondisi RTH di Kota Bandung kian berkurang saja dari waktu ke waktu. "Kami khawatir jika pembangunan di kawasan itu menjadi tidak terkendali.
Memang investor hanya boleh membangun 20 persen dari luas lahan di daerah itu, namun mereka kan diperkenankan untuk mengelola sisa lahan yang lain. Ini bisa merusak lingkungan di daerah itu. Seharusnya, Pemkot Bandung mewajibkan investor memelihara 80 persen kawasan itu yang merupakan hutan Kota Bandung," kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPRD Kota Bandung Lia Noer Hambali.
Data dari DPKLTS memperlihatkan, dari 16.726 hektar luas Kota Bandung dengan jumlah penduduk 2,5 juta, luas RTH-nya hanya sekitar 1,44 persen. Selain itu, jumlah pohon yang ada di Bandung hanya sekitar 650.000, padahal idealnya 1.250.000 pohon. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8 Ayat 3 disebutkan bahwa persentase luas hutan kotanya saja-tidak termasuk taman kota dan peka(Arangan rumah-paling sedikit harus mencapai 10 persen dari luas seluruh wilayah kota. (Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan Ruang Terbuka Hijau luasnya 30% dari total luas Kota/ Sobirin).
Aming sebagai perwakilan dari kelompok budayawan menyatakan rasa penyesalannya yang begitu mendalam. Menurut dia, pemikiran orang-orang yang membuat rencana untuk mengubah Babakan Siliwangi ini hanya berlandaskan pada faktor legalitas dan mengejar pemasukan untuk pendapatan asli daerah (PAD), tanpa berlandaskan pada moral. "Kalau mereka berpikir dengan berlandaskan pada moral, mereka tidak akan menghilangkan sebuah daerah dan komunitas budayawan yang berkonsep natural system ini dengan seenaknya," ujar Aming dengan geram. (IYA/EVY)
No comments:
Post a Comment