DARI KELAPA GADING SAMPAI GEDEBAGE
Pikiran Rakyat, 12 September 2005, Teropong
Foto: Sobirin, 2005, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Oleh: SOBIRIN
Tidak perlu ke mana-mana, hoki akan datang sendiri. Dikatakan bahwa “naga” itu raja air (Hai Lung Wang) yang memang senang air. Itulah sebabnya kawasan ini tidak akan bebas air.
Berita di beberapa media massa menyebutkan bahwa Walikota Bandung tengah minta bantuan konsultan untuk menyusun master plan pembangunan kawasan Gedebage. Lahan yang yang tersedia seluas 526,27 hektar, areal tersebut dibatasi oleh jalan Soekarno-Hatta di utara, jalan tol Padaleunyi di selatan, jalan Gedebage Lama di barat dan jalan Cimencrang di timur. Mungkin di masa yang akan datang kawasan ini akan berkembang lebih luas lagi, bahkan siapa tahu akan menjadi satu kesatuan dengan rencana pengembangan kota baru Tegal Luar yang telah menjadi wacana Kabupaten Bandung.
Apa kaitan antara Kelapa Gading dan Gedebage? Memang kaitan kewilayahan ataupun kepemerintahan tidak ada, yang satu berada di Jakarta dan yang satunya lagi berada di Bandung. Namun kedua kawasan tersebut mempunyai genesa alami yang sangat mirip, dua kawasan ini merupakan daerah dataran banjir. Walaupun Kelapa Gading merupakan daerah banjir, namun faktanya kawasan ini kini telah berubah, berkembang pesat menjadi sebuah kota dalam kota. Bahkan pejabat setempat mengatakan bahwa Kelapa Gading akan menjadi “Singapura-nya Jakarta”.
Padahal di tahun 1970-an, kawasan ini dikenal sebagai daerah rawa-rawa dan persawahan. Sampai dengan awal tahun 1990-an, persawahan masih terlihat di kiri-kanan jalan yang sekarang ini bernama Bulevar Barat Kelapa Gading. Kelapa Gading kini sudah menyerupai “superblock” mandiri dan memiliki akses ke mana-mana. Kawasan seluas kurang lebih 1.800 sampai 2.000 hektar ini telah dipadati oleh kurang lebih 3.500 rumah toko, mal-mal antara lain Mal Kelapa Gading, Mal Artha Gading, pusat-pusat perdagangan seperti Kelapa gading Trade Center, Kelapa Gading Plaza, Food City, Makro dan Goro.
Selain ruko, mal dan pusat perdagangan, telah hadir pula puluhan perumahan mewah dan apartmen yang merupakan ciri bahwa kawasan Kelapa Gading ini merupakan kawasan yang memang sedang berkembang. Harga properti di kawasan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Menurut informasi, pada tahun 1980-an sebuah rumah “kelas atas” harganya sekitar Rp 75 juta-an, di tahun 2000-an telah meningkat menjadi Rp 750 juta-an, dan sekarang telah berharga diatas Rp 1 sampai 2 milyar, bahkan lebih. Contoh lain, sebidang tanah seluas 200 meter persegi di jalan Kelapa Nias, pada tahun 1997 harganya Rp 425 juta dan pada tahun 2002 harganya telah meningkat menjadi Rp 1,2 milyar.
Puluhan pengembang yang telah berhasil mengubah wajah Kelapa Gading ini diantaranya PT Summarecon Agung Tbk, PT Bangun Cipta Sarana, PT Graha Rekayasa Abadi, PT Pangestu Luhur, PT Bangun Mandiri Pesona, PT Nusa Kirana, PT Budi Graha Permadi dan PT Sunter Agung. Banyak pula broker properti berkantor di kawasan ini, menandakan bahwa memang kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri dan terus akan berkembang. Broker-broker ini jumlahnya mungkin lebih dari 40, antara lain ERA, Ray White, Raine & Horne, PT Bali Realty, Coldwell Banker, PT Propertindo Land Asia (ProLand), Paradise, Christine Property.
Sampai dengan tahun 2002, kawasan Kelapa Gading yang berstatus Kecamatan ini memiliki luas 1.633,7 hektar terdiri atas tiga Kelurahan, yaitu Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading Timur, dan Pegangsaan Dua, berpenduduk 102.493 jiwa dan hampir 65 persen adalah warga keturunan Tionghoa.
Mitos “kepala naga”
Daya tarik Kelapa Gading menjadi kawasan hunian dan perdagangan tidak terlepas dari mitos. Seorang ahli fengsui, Hendra Krisnawarih (Kompas, Rabu 7 Agustus 2002), mengatakan bahwa melonjaknya harga lahan maupun perumahan karena Kelapa Gading merupakan "kepala naga" atau daerah pembawa keberuntungan yang berada di Jakarta Utara. Menurut fengsui yang menekankan keharmonisan kehidupan dengan alam yang terdiri atas lima unsur yaitu logam, air, kayu, api, dan tanah, maka kawasan Kelapa Gading ini dikatakan memenuhi keselarasan dengan lima unsur tersebut.
Dikatakan bahwa daerah “kepala naga” ini cocok untuk berusaha dan cocok pula untuk hunian. Jadi akan lebih baik bila rumah tinggal berada di kawasan tersebut, tempat usahanya juga di kawasan tersebut. Tidak perlu ke mana-mana, hoki akan datang sendiri. Dikatakan pula bahwa naga itu raja air (Hai Lung Wang) yang memang senang dengan air. Itulah sebabnya kawasan ini tidak akan bebas dari air.
Namun demikian, ditegaskan walaupun fengsui kawasan bagus, namun semua itu masih tegantung dari fengsui masing-masing rumah. Yang menarik, menurut keyakinannya, “kepala naga” di kawasan ini berumur 50 tahun sejak tahun 1975. Jadi hingga tahun 2025, hoki masih memayungi kawasan Kelapa Gading dan peruntungan di kawasan ini akan bergeser. Sebuah mitos yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, mengapa “kepala naga” ini tidak selamanya kerasan berada di kawasan Kelapa Gading.
Drainase “benang kusut”
Sangat disayangkan, bahwa pengembangan Kelapa Gading yang hebat ini dan banyak mendapat pujian dari banyak pihak, ternyata memiliki kelemahan yang fatal, yaitu mengenai drainase dan tata air kawasannya yang “amburadul”.
Saluran drainase dan tata air kawasan Kelapa Gading boleh dibilang seperti “benang kusut”. Penyebabnya antara lain yaitu setiap pengembang membuat drainase sendiri-sendiri, banyak yang tidak menyambung antara drainase dari blok pengembang yang satu ke blok pengembang yang lain. Bahkan sering terjadi konflik antar pengembang, saluran drainase dari satu pengembang tidak boleh masuk ke saluran drainase pengembang yang lain.
Adakalanya terlihat saluran drainase yang buntu, airnya tidak mengalir kemana-mana, hitam bersampah dan bau menyengat. Adapula pengembang yang memiliki waduk pengendali banjir, namun yaitulah, waduk ini hanya diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Drainase dari pengembang yang lain tidak boleh mengalirkan airnya ke waduk tersebut.
Jadi drainase “benang kusut” ini tentu saja tidak dapat mengatasi banjir, apalagi bila penyebab banjir ini datang bersamaan, yaitu banjir kiriman dari hulu, hujan setempat yang deras, dan pengaruh muka air Kali Sunter dan Kali Cakung yang berbalik akibat pasang laut di muaranya. Walaupun di setiap waduk terdapat pompa banjir yang memadai, tetap saja tidak mampu mengatasi banjir, apalagi seluruh darinase dan waduk hampir separohnya terisi oleh endapan lumpur dan sampah plastik.
Saya lantas berpikir, pantas saja “kepala naga” hanya kerasan sampai dengan tahun 2025 (tinggal 20 tahun lagi), sebab air permukaan di kawasan ini seperti comberan, di samping itu daya dukung dan daya tampung kawasan pun telah akan sedemikian menurun.
Satu visi pembangunan
Semoga saja fengsui Gedebage ini seperti Kelapa Gading karena sama-sama merupakan daerah yang tidak lepas dari unsur air, sehingga “kepala naga” juga akan senang berada di tempat ini. Namun perencanaan pembangunan Gedebage jangan sampai meniru Kelapa Gading, yaitu mengabaikan faktor air sebagai pembatas.
Diharapkan nantinya setiap blok pengembang di kawasan Gedebage ini tidak membangun sistem drainase bloknya sendiri-sendiri, yang tidak menyambung antara satu blok dan blok lainnya. Master plan yang sedang dibuat oleh konsultan harus dikaji benar, terutama menyangkut sistem drainase dan tata air di seluruh kawasan. Antara pengembang yang satu dengan pengembang yang lain jangan sampai terjadi konflik, saling tidak boleh dilalui saluran drainase dari pihak lain.
Konsep pengembangan kawasan di daerah dataran banjir mungkin dapat mengacu kepada “success story” yang telah dilakukan oleh negara lain, misalnya dengan konsep “polder” dari Negeri Belanda. “Polder” yaitu semacam sistem tertutup pengaturan tata air pengendalian banjir dan genangan yang kemudian airnya di pompa keluar. Jadi memang sekeliling kawasan ini dibuat tanggul membentuk “daerah tangkapan hujan buatan”, didalamnya ada waduk buatan penampung banjir yang airnya kemudian dipompa keluar dan bersatu ke saluran atau sungai yang akhirnya menuju sungai Citarum.
Jalan tol di selatan kawasan Gedebage dapat difungsikan sebagai tanggul selatan, tinggal memikirkan membangun tanggul kiri, kanan dan utaranya. Perlu diperhatikan ancanam air di tempat ini tidak hanya limpasan air dari arah utara dan juga hujan lokal di kawasan, tetapi juga termasuk ancaman air limbah yang kualitasnya sangat jelek dari kawasan industri yang terletak di utara Gedebage. Instalasi pengolah air limbah (IPAL) industri di utara Gedebage ini harus mendapat perhatian serius, agar air limbahnya tidak mencemari kawasan yang akan dikembangkan.
Kota Air dan Kota Hutan
Tidak berlebihan bila Gedebage ini kemudian menjelma menjadi kota air atau “waterfront city”. Kota Bandung berpeluang memiliki “superblock” kota satelit berwawasan tata air yang benar. Akses kemanapun juga mudah, karena dekat dengan jalan tol dan jalan kereta api.
Menurut informasi, sarana utama yang akan dibangun adalah waduk buatan. Lalu berapa luas waduk ini? Ada hitungan alam yang dapat dipakai sebagai pegangan. Pada saat banjir besar tahun 2001 yang lalu, luas kawasan yang tergenang di daerah ini mencapai 124 hektar. Angka 124 hektar itulah sebenarnya luasan yang dibutuhkan oleh air secara alamiah untuk tempat parkirnya. Jadi paling tidak waduk buatan yang akan dibangun juga seluas itu. Apakah waduk buatan ini tidak akan menyita lahan yang “hanya” tersedia 526.27 hektar. Tentunya pihak konsultan harus menghitung secara detil, berapa luas waduk buatan agar optimum.
Kalau waduk-waduk pengendali banjir di Kelapa Gading berisi air menggenang yang hijau kotor bersampah dan berbau menyengat, tentunya di Gedebage jangan meniru itu. Air waduk di Gedebage harus jernih sebagai bagian dari “waterfront city”. Dalam diskusi dengan para peneliti dari Pusat Litbang Permukiman dan Pusat Litbang Sumberdaya Air tentang penanggulangan banjir dan genangan kawasan Kelapa Gading di Jakarta, dikatakan bahwa konsep “polder” harus merupakan paket terpadu yang berwawasan lingkungan. Konsep “polder” paket terpadu ini adalah membangun saluran drainase dan tata air yang benar, disertai dengan membangun “taman tanaman air” untuk menjernihkan air buangan secara alami (self purification, eco-sanitary atau eco-san). Konsep “taman tanaman air” ini juga harus ditunjang dengan konsep hutan kota yang sempurna. Kalau Singapura memproklamirkan diri menjadi “jungle town” atau “kota hutan”, apa salahnya kalau ditiru. Bukan menjadi serakah bila kawasan Gedebage ini menyandang dua nama, “waterfront city” dan “jungle town”, tapi itulah “trend” yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Di samping itu, perilaku warga yang benar tehadap sampah, yaitu “reduce-reuse-recycle” juga merupakan andil besar dalam penyelamatan kawasan terhadap bahaya banjir. Jadi andaikan kawasan Gedebage akan dikembangkan dengan konsep “polder” dengan tata air yang sekasama, maka warga setempat nantinya harus memiliki motto: “one polder site, one comprehensive view, one shared vision, one overall planning, one integrated management” atau “satu tempat polder, satu pandangan menyeluruh, satu visi bersama, satu perencanaan paripurna, satu manajemen terpadu”. Saya percaya andaikan Gedebage dengan genesanya sebagai dataran banjir atau lahan basah ini memiliki fengsui seperti Kelapa Gading, maka “kepala naga” pembawa hoki akan tetap kerasan tinggal di Gedebage. Satu hal yang sangat prioritas dan prasyarat, bahwa pembangunan Gedebage ini jangan sampai merugikan rakyat setempat, jangan sampai menggusur rakyat setempat dengan semena-mena, sebaliknya rakyat setempat harus dapat diuntungkan, misalnya dibantu untuk dapat membangun perdesaan dengan konsep kearifan yang berwawasan air atau “desa air” yang disisipkan di dalam kawasan “elite” Gedebage.***
Penulis: Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
Berita di beberapa media massa menyebutkan bahwa Walikota Bandung tengah minta bantuan konsultan untuk menyusun master plan pembangunan kawasan Gedebage. Lahan yang yang tersedia seluas 526,27 hektar, areal tersebut dibatasi oleh jalan Soekarno-Hatta di utara, jalan tol Padaleunyi di selatan, jalan Gedebage Lama di barat dan jalan Cimencrang di timur. Mungkin di masa yang akan datang kawasan ini akan berkembang lebih luas lagi, bahkan siapa tahu akan menjadi satu kesatuan dengan rencana pengembangan kota baru Tegal Luar yang telah menjadi wacana Kabupaten Bandung.
Apa kaitan antara Kelapa Gading dan Gedebage? Memang kaitan kewilayahan ataupun kepemerintahan tidak ada, yang satu berada di Jakarta dan yang satunya lagi berada di Bandung. Namun kedua kawasan tersebut mempunyai genesa alami yang sangat mirip, dua kawasan ini merupakan daerah dataran banjir. Walaupun Kelapa Gading merupakan daerah banjir, namun faktanya kawasan ini kini telah berubah, berkembang pesat menjadi sebuah kota dalam kota. Bahkan pejabat setempat mengatakan bahwa Kelapa Gading akan menjadi “Singapura-nya Jakarta”.
Padahal di tahun 1970-an, kawasan ini dikenal sebagai daerah rawa-rawa dan persawahan. Sampai dengan awal tahun 1990-an, persawahan masih terlihat di kiri-kanan jalan yang sekarang ini bernama Bulevar Barat Kelapa Gading. Kelapa Gading kini sudah menyerupai “superblock” mandiri dan memiliki akses ke mana-mana. Kawasan seluas kurang lebih 1.800 sampai 2.000 hektar ini telah dipadati oleh kurang lebih 3.500 rumah toko, mal-mal antara lain Mal Kelapa Gading, Mal Artha Gading, pusat-pusat perdagangan seperti Kelapa gading Trade Center, Kelapa Gading Plaza, Food City, Makro dan Goro.
Selain ruko, mal dan pusat perdagangan, telah hadir pula puluhan perumahan mewah dan apartmen yang merupakan ciri bahwa kawasan Kelapa Gading ini merupakan kawasan yang memang sedang berkembang. Harga properti di kawasan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Menurut informasi, pada tahun 1980-an sebuah rumah “kelas atas” harganya sekitar Rp 75 juta-an, di tahun 2000-an telah meningkat menjadi Rp 750 juta-an, dan sekarang telah berharga diatas Rp 1 sampai 2 milyar, bahkan lebih. Contoh lain, sebidang tanah seluas 200 meter persegi di jalan Kelapa Nias, pada tahun 1997 harganya Rp 425 juta dan pada tahun 2002 harganya telah meningkat menjadi Rp 1,2 milyar.
Puluhan pengembang yang telah berhasil mengubah wajah Kelapa Gading ini diantaranya PT Summarecon Agung Tbk, PT Bangun Cipta Sarana, PT Graha Rekayasa Abadi, PT Pangestu Luhur, PT Bangun Mandiri Pesona, PT Nusa Kirana, PT Budi Graha Permadi dan PT Sunter Agung. Banyak pula broker properti berkantor di kawasan ini, menandakan bahwa memang kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri dan terus akan berkembang. Broker-broker ini jumlahnya mungkin lebih dari 40, antara lain ERA, Ray White, Raine & Horne, PT Bali Realty, Coldwell Banker, PT Propertindo Land Asia (ProLand), Paradise, Christine Property.
Sampai dengan tahun 2002, kawasan Kelapa Gading yang berstatus Kecamatan ini memiliki luas 1.633,7 hektar terdiri atas tiga Kelurahan, yaitu Kelapa Gading Barat, Kelapa Gading Timur, dan Pegangsaan Dua, berpenduduk 102.493 jiwa dan hampir 65 persen adalah warga keturunan Tionghoa.
Mitos “kepala naga”
Daya tarik Kelapa Gading menjadi kawasan hunian dan perdagangan tidak terlepas dari mitos. Seorang ahli fengsui, Hendra Krisnawarih (Kompas, Rabu 7 Agustus 2002), mengatakan bahwa melonjaknya harga lahan maupun perumahan karena Kelapa Gading merupakan "kepala naga" atau daerah pembawa keberuntungan yang berada di Jakarta Utara. Menurut fengsui yang menekankan keharmonisan kehidupan dengan alam yang terdiri atas lima unsur yaitu logam, air, kayu, api, dan tanah, maka kawasan Kelapa Gading ini dikatakan memenuhi keselarasan dengan lima unsur tersebut.
Dikatakan bahwa daerah “kepala naga” ini cocok untuk berusaha dan cocok pula untuk hunian. Jadi akan lebih baik bila rumah tinggal berada di kawasan tersebut, tempat usahanya juga di kawasan tersebut. Tidak perlu ke mana-mana, hoki akan datang sendiri. Dikatakan pula bahwa naga itu raja air (Hai Lung Wang) yang memang senang dengan air. Itulah sebabnya kawasan ini tidak akan bebas dari air.
Namun demikian, ditegaskan walaupun fengsui kawasan bagus, namun semua itu masih tegantung dari fengsui masing-masing rumah. Yang menarik, menurut keyakinannya, “kepala naga” di kawasan ini berumur 50 tahun sejak tahun 1975. Jadi hingga tahun 2025, hoki masih memayungi kawasan Kelapa Gading dan peruntungan di kawasan ini akan bergeser. Sebuah mitos yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, mengapa “kepala naga” ini tidak selamanya kerasan berada di kawasan Kelapa Gading.
Drainase “benang kusut”
Sangat disayangkan, bahwa pengembangan Kelapa Gading yang hebat ini dan banyak mendapat pujian dari banyak pihak, ternyata memiliki kelemahan yang fatal, yaitu mengenai drainase dan tata air kawasannya yang “amburadul”.
Saluran drainase dan tata air kawasan Kelapa Gading boleh dibilang seperti “benang kusut”. Penyebabnya antara lain yaitu setiap pengembang membuat drainase sendiri-sendiri, banyak yang tidak menyambung antara drainase dari blok pengembang yang satu ke blok pengembang yang lain. Bahkan sering terjadi konflik antar pengembang, saluran drainase dari satu pengembang tidak boleh masuk ke saluran drainase pengembang yang lain.
Adakalanya terlihat saluran drainase yang buntu, airnya tidak mengalir kemana-mana, hitam bersampah dan bau menyengat. Adapula pengembang yang memiliki waduk pengendali banjir, namun yaitulah, waduk ini hanya diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Drainase dari pengembang yang lain tidak boleh mengalirkan airnya ke waduk tersebut.
Jadi drainase “benang kusut” ini tentu saja tidak dapat mengatasi banjir, apalagi bila penyebab banjir ini datang bersamaan, yaitu banjir kiriman dari hulu, hujan setempat yang deras, dan pengaruh muka air Kali Sunter dan Kali Cakung yang berbalik akibat pasang laut di muaranya. Walaupun di setiap waduk terdapat pompa banjir yang memadai, tetap saja tidak mampu mengatasi banjir, apalagi seluruh darinase dan waduk hampir separohnya terisi oleh endapan lumpur dan sampah plastik.
Saya lantas berpikir, pantas saja “kepala naga” hanya kerasan sampai dengan tahun 2025 (tinggal 20 tahun lagi), sebab air permukaan di kawasan ini seperti comberan, di samping itu daya dukung dan daya tampung kawasan pun telah akan sedemikian menurun.
Satu visi pembangunan
Semoga saja fengsui Gedebage ini seperti Kelapa Gading karena sama-sama merupakan daerah yang tidak lepas dari unsur air, sehingga “kepala naga” juga akan senang berada di tempat ini. Namun perencanaan pembangunan Gedebage jangan sampai meniru Kelapa Gading, yaitu mengabaikan faktor air sebagai pembatas.
Diharapkan nantinya setiap blok pengembang di kawasan Gedebage ini tidak membangun sistem drainase bloknya sendiri-sendiri, yang tidak menyambung antara satu blok dan blok lainnya. Master plan yang sedang dibuat oleh konsultan harus dikaji benar, terutama menyangkut sistem drainase dan tata air di seluruh kawasan. Antara pengembang yang satu dengan pengembang yang lain jangan sampai terjadi konflik, saling tidak boleh dilalui saluran drainase dari pihak lain.
Konsep pengembangan kawasan di daerah dataran banjir mungkin dapat mengacu kepada “success story” yang telah dilakukan oleh negara lain, misalnya dengan konsep “polder” dari Negeri Belanda. “Polder” yaitu semacam sistem tertutup pengaturan tata air pengendalian banjir dan genangan yang kemudian airnya di pompa keluar. Jadi memang sekeliling kawasan ini dibuat tanggul membentuk “daerah tangkapan hujan buatan”, didalamnya ada waduk buatan penampung banjir yang airnya kemudian dipompa keluar dan bersatu ke saluran atau sungai yang akhirnya menuju sungai Citarum.
Jalan tol di selatan kawasan Gedebage dapat difungsikan sebagai tanggul selatan, tinggal memikirkan membangun tanggul kiri, kanan dan utaranya. Perlu diperhatikan ancanam air di tempat ini tidak hanya limpasan air dari arah utara dan juga hujan lokal di kawasan, tetapi juga termasuk ancaman air limbah yang kualitasnya sangat jelek dari kawasan industri yang terletak di utara Gedebage. Instalasi pengolah air limbah (IPAL) industri di utara Gedebage ini harus mendapat perhatian serius, agar air limbahnya tidak mencemari kawasan yang akan dikembangkan.
Kota Air dan Kota Hutan
Tidak berlebihan bila Gedebage ini kemudian menjelma menjadi kota air atau “waterfront city”. Kota Bandung berpeluang memiliki “superblock” kota satelit berwawasan tata air yang benar. Akses kemanapun juga mudah, karena dekat dengan jalan tol dan jalan kereta api.
Menurut informasi, sarana utama yang akan dibangun adalah waduk buatan. Lalu berapa luas waduk ini? Ada hitungan alam yang dapat dipakai sebagai pegangan. Pada saat banjir besar tahun 2001 yang lalu, luas kawasan yang tergenang di daerah ini mencapai 124 hektar. Angka 124 hektar itulah sebenarnya luasan yang dibutuhkan oleh air secara alamiah untuk tempat parkirnya. Jadi paling tidak waduk buatan yang akan dibangun juga seluas itu. Apakah waduk buatan ini tidak akan menyita lahan yang “hanya” tersedia 526.27 hektar. Tentunya pihak konsultan harus menghitung secara detil, berapa luas waduk buatan agar optimum.
Kalau waduk-waduk pengendali banjir di Kelapa Gading berisi air menggenang yang hijau kotor bersampah dan berbau menyengat, tentunya di Gedebage jangan meniru itu. Air waduk di Gedebage harus jernih sebagai bagian dari “waterfront city”. Dalam diskusi dengan para peneliti dari Pusat Litbang Permukiman dan Pusat Litbang Sumberdaya Air tentang penanggulangan banjir dan genangan kawasan Kelapa Gading di Jakarta, dikatakan bahwa konsep “polder” harus merupakan paket terpadu yang berwawasan lingkungan. Konsep “polder” paket terpadu ini adalah membangun saluran drainase dan tata air yang benar, disertai dengan membangun “taman tanaman air” untuk menjernihkan air buangan secara alami (self purification, eco-sanitary atau eco-san). Konsep “taman tanaman air” ini juga harus ditunjang dengan konsep hutan kota yang sempurna. Kalau Singapura memproklamirkan diri menjadi “jungle town” atau “kota hutan”, apa salahnya kalau ditiru. Bukan menjadi serakah bila kawasan Gedebage ini menyandang dua nama, “waterfront city” dan “jungle town”, tapi itulah “trend” yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Di samping itu, perilaku warga yang benar tehadap sampah, yaitu “reduce-reuse-recycle” juga merupakan andil besar dalam penyelamatan kawasan terhadap bahaya banjir. Jadi andaikan kawasan Gedebage akan dikembangkan dengan konsep “polder” dengan tata air yang sekasama, maka warga setempat nantinya harus memiliki motto: “one polder site, one comprehensive view, one shared vision, one overall planning, one integrated management” atau “satu tempat polder, satu pandangan menyeluruh, satu visi bersama, satu perencanaan paripurna, satu manajemen terpadu”. Saya percaya andaikan Gedebage dengan genesanya sebagai dataran banjir atau lahan basah ini memiliki fengsui seperti Kelapa Gading, maka “kepala naga” pembawa hoki akan tetap kerasan tinggal di Gedebage. Satu hal yang sangat prioritas dan prasyarat, bahwa pembangunan Gedebage ini jangan sampai merugikan rakyat setempat, jangan sampai menggusur rakyat setempat dengan semena-mena, sebaliknya rakyat setempat harus dapat diuntungkan, misalnya dibantu untuk dapat membangun perdesaan dengan konsep kearifan yang berwawasan air atau “desa air” yang disisipkan di dalam kawasan “elite” Gedebage.***
Penulis: Anggota Dewan Pakar, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).
1 comment:
Pak Sobirin, ide nya bagus pak. Tinggal mencari pengembang yang bisa menyulap kawasan Gedebage. Blog Bapak bagus. Bravo !
Post a Comment