Pikiran Rakyat, 27 Februari 2007, Opini
Foto: Suharsono BPLHD Jabar 2006, Curug Jompong Citarum
Oleh T. BACHTIAR
Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air.
KALAU kita tidak mau disebut sebagai bangsa pelupa, periksalah proposal penanggulangan bajir di Bandung Selatan dengan jalan meluruskan meander (tikungan sungai yang bentuknya berkelok-kelok setengah lingkaran) di Citarum, seperti upaya meluruskan dua meander di daerah Mahmud dan Daraulin, Kabupaten Bandung beberapa tahun yang lalu.
Apa yang terjadi setelah 4-5 tahun setelah meluruskan meander itu? Pernahkah masyarakat membandingkan antara tujuan pelurusan dengan apa yang terjadi di lapangan saat ini? Sudah sekian meander di Citarum diluruskan, banjir di Bandung Selatan malah terasa semakin parah dan lama.
Kemudian proposal penanggulangan banjir Bandung Selatan diajukan ulang, kali ini dengan cara pengerukan aliran Citarum sepanjang 30 kilometer, antara Curug Jompong hingga Dayeuhkolot yang dilaksanakan akhir 2006 hingga awal 2007. Hasilnya? Banjir masih menggenang Bandung Selatan, bahkan kali ini bertambah menggenang Bandung Timur.
Setelah meluruskan meander, penanggulangan banjir dilanjutkan dengan memperdalam Citarum dengan menghabiskan sekian juta dolar uang pinjaman. Upaya ini juga gagal menanggulangi banjir di Bandung Selatan. Kini para pengelola Citarum mengusulkan projek baru berupa pemangkasan batuan terobosan (intrusif) yang berumur 4 juta tahun, sedalam 3 meter di Curug Jompong.
Betulkah keinginan mulia untuk memapas Curug Jompong di daerah Korehkotok, Kabupaten Bandung itu murni untuk menanggulangi di Bandung Selatan dan Timur secara terintegrasi ataukah karena ada niatan lain yang lebih kuat di balik pemapasan yang akan menelan biaya sangat besar itu?
Yang sudah lama ngotot untuk memapas Curug Jompong adalah Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. (Pikiran Rakyat, 7/3/2006). Sebelumnya, dalam rapat kerja antara DPRD Jawa Barat dan Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air di Jln. Diponegoro (1/3/2006), keinginan untuk memapas sudah dianggap sebagai cara untuk menanggulangi permasalahan banjir di Bandung Selatan.
Projek pemangkasan ini tampaknya sudah sangat dipahami oleh anggota DPRD Jawa Barat seperti diungkapkan oleh sekretaris Komisi D DPRD Jawa Barat, Dadang Nasser (Pikiran Rakyat,2/3/2006) yang berkata, "Yang paling penting dalam penanganan banjir adalah pemapasan Curug Jompong yang saat ini menjulang setinggi 6 meter. Karena pada dasarnya banjir disebabkan adanya Curug Jompong yang mengakibatkan air Sungai Citarum tidak bisa mengalir deras."
Keinginan untuk memangkas Curug Jompong mengemuka kembali saat Gubernur Jawa Barat mengunjungi kawasan yang tergenang banjir di Bandung Selatan, pada hari Kamis (22/2/2007). Danny Setiawan berkata, "Kita telah meminta pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum agar Curug Jompong diturunkan. Kalau dipangkas, air akan lebih cepat dan tidak akan menggenang di Bandung Selatan." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).
Tampaknya alasan itu bersumber dari Kasubdin Operasional dan Pemeliharaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, Iding Prihadi. Ia berkata, "Hasil simulasi menunjukkan, jika Curug Jompong diturunkan 3 meter, permukaan air di Dayeuhkolot akan turun 1,68 meter." Lebih lanjut Iding berkata, "Tidak ada jalan lain untuk mengatasi banjir ini. Kalau banjir, upayanya harus mengeluarkan air, dan pemangkasan Curug Jompong adalah salah satu upayanya." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).
Bila belajar dari kegagalan upaya dua projek penanggulangan banjir Bandung Selatan yang berupa pelurusan meander dan pengerukan Citarum, ini artinya, seharusnya penanggulangan banjir di Bandung Selatan itu bukan sekadar mengotak-atik wadah/sungainya yang memang kapasitas/volumenya hanya segitu-gitunya.
Ingin tahu berapa dana pengerukan Citarum? Kepala Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Ruchimat, saat rapat kerja dengan DPRD Jawa Barat (1/3/2006) mengemukakan pengerukan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi banjir di daerah-daerah sekitar Sungai Citarum yang selama ini selalu terjadi. Lebih lanjut Ruchimat mengemukakan dana tahun sebelumnya untuk pelaksanaan pengerukan Sungai Citarum itu sebesar Rp 108 miliar dan tahun ini (2006/2007) akan meningkat (Pikiran Rakyat, 2/3/2006).
Hasilnya? Pengerukan endapan lumpur Citarum antara Desember 2006 hingga Januari 2007 yang telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 108 miliar itu tak membuahkan hasil. Februari 2007 ini, Bandung Selatan, bahkan meluas ke Bandung Timur masih terus tergenang banjir.
Kalau mau peduli kepada masyarakat Bandung yang selalu terendam banjir secara sungguh-sungguh, mestinya bukan sekadar mengotak-atik Citarum, yang kali ini akan memapas Curug Jompong. Permasalahan sesungguhnya adalah karena telah terjadinya perusakan hutan di Jawa Barat, khususnya di Bandung Utara dan di Bandung Selatan yang termasuk ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Kehancuran hutan itu sudah mencapai lebih dari setengah total hutan yang seharusnya ada. Lahan kritis sudah sangat meluas sehingga kawasan yang sangat peka erosi semakin meluas, dengan kawasan yang terancam bencana tanah longsor semakin meluas pula. Inilah sesungguhnya inti dari permasalahan banjir di Cekungan Bandung.
Upaya penanggulangan yang sungguh-sungguh itu seharusnya meningkatkan upaya penghutanan kembali DAS hulu dan tengah, penataan pengelolaan pertanian di DAS hulu dan tengah, serta perubahan perilaku masyarakatnya.
Mengapa penghutanan kembali DAS hulu Citarum serta DAS hulu dari seluruh anak-anak Citarum itu sangat penting dan strategis bagi penanggulangan banjir di Bandung Selatan? Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air. Kalau di suatu tempat ada 5.000 pohon, misalnya, artinya di bawah tegakan pohon itu terdapat 5.000 pohon x 7 m3 air = 35.000 m3 air.
Bila hal ini terjadi di DAS hulu, ini sama artinya dengan danau tak tampak, yang airnya akan dikeluarkan secara teratur dari sumber-sumber mata air. Tegakan pohon di hutan itu berfungsi sebagai pengatur tata air, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, mengurangi erosi, mengurangi banjir, mengatur fluktuasi aliran sungai, dan meningkatkan mutu pasokan air.
Tegakan pohon dalam hutan itu mampu mengikat air yang berlebihan saat hujan sehingga tidak mengalir di permukaan dan menghilang bersama tanah pucuk yang subur, yang kemudian mengendap di sungai, danau, dan muara sungai. Bila hutan itu menghilang, bencana akan segera datang. Bencana yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir, 40%-nya adalah bencana banjir. Hal ini karena air sudah tidak diikat lagi karena tegakan pohon sudah menghilang di hutan-hutan di Tatar Sunda.
Lebih lanjut Sobirin (2007) mengemukakan, kerusakan ini akan berpengaruh terhadap sumber daya air. Pada musim hujan potensi sumber daya air di Jawa Barat mencapai 81 miliar meter kubik per tahun (banjir), tetapi pada musim kemarau potensinya tinggal 8 miliar meter kubik saja (bencana kekeringan di musim kemarau).
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS, 2003), mengemukakan bahwa luas hutan negara Jawa Barat kurang lebih 917.900 hektare atau sekira 22% dari luas provinsi. Akibat kehancuran kawasan lindung, tahun 2003 di Jawa Barat tercatat 608.813 hektare lahan kritis sehingga terjadi erosi kolosal. Tanah subur dari puncak-puncak gunung hanyut dan mengendap di sungai, danau, dan laut, dengan jumlah 32.931.061 ton atau setara dengan satu juta truk tronton ukuran 30 ton per tahun.
Betulkah Curug Jompong, tempat bedahnya Danau Bandung purba timur 16.000 tahun yang lalu itu merupakan biang masalah dari segala permasalahan banjir di Bandung Selatan sehingga keberadaannya perlu dipapas? Betulkah Curug Jompong dengan ketinggiannya seperti saat ini tidak mempunyai manfaat lain selain mengakibatkan banjir di Bandung Selatan?
Sampai saat ini salah satu fungsi dari Curug Jompong adalah sebagai base level, penahan erosi mudik yang dapat diandalkan karena batuan terobosan (intrusif) ini berupa batuan dasit, andesit, dan basalt yang sangat kuat. Bila pemapasan Curug Jompong benar-benar dilakukan, dipapas sedalam 3 meter, maka sedalam itu pula dasar Citarum akan tergerus ke arah hulu. Apa yang diakibatkan dari derasnya erosi mudik tersebut? Dasar sungai akan menyesuaikan diri secara alami dengan kedalaman pemapasan di Curug Jompong sehingga fondasi sepanjang sungai itu akan menggantung!
Akibat berikutnya, karena kuatnya erosi mudik sepanjang sungai itu ke arah hulu, semua lumpur yang ada sepanjang sungai akan segera berpindah ke Danau Saguling. Kalau sekian juta kubik lumpur tiba-tiba mengendap di Danau Saguling sehingga volume air danau akan berkurang, dan kapasitas listriknya menjadi berkurang pula, akankah pengaruhnya terhadap perekonomian di Jawa-Bali-Madura yang sebagian besar energinya dipasok dari Danau Saguling?
Bila rencana ini tetap dilakukan karena berselimut jutaan dolar yang membalut projek ini, apakah besaran banjir di kemudian hari di Cekungan Bandung sebanding dengan kerusakan bentang alam dan bentang budaya yang tiba-tiba, tapi dibangun oleh masyarakat Cekungan Bandung dengan susah payah dan dalam waktu yang lama?
Apakah pernyataan anggota DPRD Jawa Barat Dadang Nasser dan Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. seperti dikutip Pikiran Rakyat akan begitu saja dilupakan, setelah Curug Jompong, salah satu situs alam Bandung dipapas, sementara banjir terus berlangsung nantinya?
Sangat mungkin, warga Bandung akan cepat lupa, seperti melupakan propaganda saat akan meluruskan meander di beberapa tempat di Citarum. Akan tetapi, saya yakin, malaikat tidak akan pernah lupa dan keliru mencatat!***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air.
KALAU kita tidak mau disebut sebagai bangsa pelupa, periksalah proposal penanggulangan bajir di Bandung Selatan dengan jalan meluruskan meander (tikungan sungai yang bentuknya berkelok-kelok setengah lingkaran) di Citarum, seperti upaya meluruskan dua meander di daerah Mahmud dan Daraulin, Kabupaten Bandung beberapa tahun yang lalu.
Apa yang terjadi setelah 4-5 tahun setelah meluruskan meander itu? Pernahkah masyarakat membandingkan antara tujuan pelurusan dengan apa yang terjadi di lapangan saat ini? Sudah sekian meander di Citarum diluruskan, banjir di Bandung Selatan malah terasa semakin parah dan lama.
Kemudian proposal penanggulangan banjir Bandung Selatan diajukan ulang, kali ini dengan cara pengerukan aliran Citarum sepanjang 30 kilometer, antara Curug Jompong hingga Dayeuhkolot yang dilaksanakan akhir 2006 hingga awal 2007. Hasilnya? Banjir masih menggenang Bandung Selatan, bahkan kali ini bertambah menggenang Bandung Timur.
Setelah meluruskan meander, penanggulangan banjir dilanjutkan dengan memperdalam Citarum dengan menghabiskan sekian juta dolar uang pinjaman. Upaya ini juga gagal menanggulangi banjir di Bandung Selatan. Kini para pengelola Citarum mengusulkan projek baru berupa pemangkasan batuan terobosan (intrusif) yang berumur 4 juta tahun, sedalam 3 meter di Curug Jompong.
Betulkah keinginan mulia untuk memapas Curug Jompong di daerah Korehkotok, Kabupaten Bandung itu murni untuk menanggulangi di Bandung Selatan dan Timur secara terintegrasi ataukah karena ada niatan lain yang lebih kuat di balik pemapasan yang akan menelan biaya sangat besar itu?
Yang sudah lama ngotot untuk memapas Curug Jompong adalah Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. (Pikiran Rakyat, 7/3/2006). Sebelumnya, dalam rapat kerja antara DPRD Jawa Barat dan Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air di Jln. Diponegoro (1/3/2006), keinginan untuk memapas sudah dianggap sebagai cara untuk menanggulangi permasalahan banjir di Bandung Selatan.
Projek pemangkasan ini tampaknya sudah sangat dipahami oleh anggota DPRD Jawa Barat seperti diungkapkan oleh sekretaris Komisi D DPRD Jawa Barat, Dadang Nasser (Pikiran Rakyat,2/3/2006) yang berkata, "Yang paling penting dalam penanganan banjir adalah pemapasan Curug Jompong yang saat ini menjulang setinggi 6 meter. Karena pada dasarnya banjir disebabkan adanya Curug Jompong yang mengakibatkan air Sungai Citarum tidak bisa mengalir deras."
Keinginan untuk memangkas Curug Jompong mengemuka kembali saat Gubernur Jawa Barat mengunjungi kawasan yang tergenang banjir di Bandung Selatan, pada hari Kamis (22/2/2007). Danny Setiawan berkata, "Kita telah meminta pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum agar Curug Jompong diturunkan. Kalau dipangkas, air akan lebih cepat dan tidak akan menggenang di Bandung Selatan." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).
Tampaknya alasan itu bersumber dari Kasubdin Operasional dan Pemeliharaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, Iding Prihadi. Ia berkata, "Hasil simulasi menunjukkan, jika Curug Jompong diturunkan 3 meter, permukaan air di Dayeuhkolot akan turun 1,68 meter." Lebih lanjut Iding berkata, "Tidak ada jalan lain untuk mengatasi banjir ini. Kalau banjir, upayanya harus mengeluarkan air, dan pemangkasan Curug Jompong adalah salah satu upayanya." (Pikiran Rakyat, Jumat, 23 Februari 2007).
Bila belajar dari kegagalan upaya dua projek penanggulangan banjir Bandung Selatan yang berupa pelurusan meander dan pengerukan Citarum, ini artinya, seharusnya penanggulangan banjir di Bandung Selatan itu bukan sekadar mengotak-atik wadah/sungainya yang memang kapasitas/volumenya hanya segitu-gitunya.
Ingin tahu berapa dana pengerukan Citarum? Kepala Balai Citarum Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Ruchimat, saat rapat kerja dengan DPRD Jawa Barat (1/3/2006) mengemukakan pengerukan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi banjir di daerah-daerah sekitar Sungai Citarum yang selama ini selalu terjadi. Lebih lanjut Ruchimat mengemukakan dana tahun sebelumnya untuk pelaksanaan pengerukan Sungai Citarum itu sebesar Rp 108 miliar dan tahun ini (2006/2007) akan meningkat (Pikiran Rakyat, 2/3/2006).
Hasilnya? Pengerukan endapan lumpur Citarum antara Desember 2006 hingga Januari 2007 yang telah mengeluarkan dana lebih dari Rp 108 miliar itu tak membuahkan hasil. Februari 2007 ini, Bandung Selatan, bahkan meluas ke Bandung Timur masih terus tergenang banjir.
Kalau mau peduli kepada masyarakat Bandung yang selalu terendam banjir secara sungguh-sungguh, mestinya bukan sekadar mengotak-atik Citarum, yang kali ini akan memapas Curug Jompong. Permasalahan sesungguhnya adalah karena telah terjadinya perusakan hutan di Jawa Barat, khususnya di Bandung Utara dan di Bandung Selatan yang termasuk ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Citarum. Kehancuran hutan itu sudah mencapai lebih dari setengah total hutan yang seharusnya ada. Lahan kritis sudah sangat meluas sehingga kawasan yang sangat peka erosi semakin meluas, dengan kawasan yang terancam bencana tanah longsor semakin meluas pula. Inilah sesungguhnya inti dari permasalahan banjir di Cekungan Bandung.
Upaya penanggulangan yang sungguh-sungguh itu seharusnya meningkatkan upaya penghutanan kembali DAS hulu dan tengah, penataan pengelolaan pertanian di DAS hulu dan tengah, serta perubahan perilaku masyarakatnya.
Mengapa penghutanan kembali DAS hulu Citarum serta DAS hulu dari seluruh anak-anak Citarum itu sangat penting dan strategis bagi penanggulangan banjir di Bandung Selatan? Pohon yang sudah berumur 10 tahun, seperti diungkapkan Sobirin (November, 2006), di samping manfaat pohon lainnya, akar pohon itu mampu mengikat air dalam tanah sebanyak 7 m3 air. Kalau di suatu tempat ada 5.000 pohon, misalnya, artinya di bawah tegakan pohon itu terdapat 5.000 pohon x 7 m3 air = 35.000 m3 air.
Bila hal ini terjadi di DAS hulu, ini sama artinya dengan danau tak tampak, yang airnya akan dikeluarkan secara teratur dari sumber-sumber mata air. Tegakan pohon di hutan itu berfungsi sebagai pengatur tata air, karena hutan dapat mendaur ulang hujan, mengurangi erosi, mengurangi banjir, mengatur fluktuasi aliran sungai, dan meningkatkan mutu pasokan air.
Tegakan pohon dalam hutan itu mampu mengikat air yang berlebihan saat hujan sehingga tidak mengalir di permukaan dan menghilang bersama tanah pucuk yang subur, yang kemudian mengendap di sungai, danau, dan muara sungai. Bila hutan itu menghilang, bencana akan segera datang. Bencana yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir, 40%-nya adalah bencana banjir. Hal ini karena air sudah tidak diikat lagi karena tegakan pohon sudah menghilang di hutan-hutan di Tatar Sunda.
Lebih lanjut Sobirin (2007) mengemukakan, kerusakan ini akan berpengaruh terhadap sumber daya air. Pada musim hujan potensi sumber daya air di Jawa Barat mencapai 81 miliar meter kubik per tahun (banjir), tetapi pada musim kemarau potensinya tinggal 8 miliar meter kubik saja (bencana kekeringan di musim kemarau).
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS, 2003), mengemukakan bahwa luas hutan negara Jawa Barat kurang lebih 917.900 hektare atau sekira 22% dari luas provinsi. Akibat kehancuran kawasan lindung, tahun 2003 di Jawa Barat tercatat 608.813 hektare lahan kritis sehingga terjadi erosi kolosal. Tanah subur dari puncak-puncak gunung hanyut dan mengendap di sungai, danau, dan laut, dengan jumlah 32.931.061 ton atau setara dengan satu juta truk tronton ukuran 30 ton per tahun.
Betulkah Curug Jompong, tempat bedahnya Danau Bandung purba timur 16.000 tahun yang lalu itu merupakan biang masalah dari segala permasalahan banjir di Bandung Selatan sehingga keberadaannya perlu dipapas? Betulkah Curug Jompong dengan ketinggiannya seperti saat ini tidak mempunyai manfaat lain selain mengakibatkan banjir di Bandung Selatan?
Sampai saat ini salah satu fungsi dari Curug Jompong adalah sebagai base level, penahan erosi mudik yang dapat diandalkan karena batuan terobosan (intrusif) ini berupa batuan dasit, andesit, dan basalt yang sangat kuat. Bila pemapasan Curug Jompong benar-benar dilakukan, dipapas sedalam 3 meter, maka sedalam itu pula dasar Citarum akan tergerus ke arah hulu. Apa yang diakibatkan dari derasnya erosi mudik tersebut? Dasar sungai akan menyesuaikan diri secara alami dengan kedalaman pemapasan di Curug Jompong sehingga fondasi sepanjang sungai itu akan menggantung!
Akibat berikutnya, karena kuatnya erosi mudik sepanjang sungai itu ke arah hulu, semua lumpur yang ada sepanjang sungai akan segera berpindah ke Danau Saguling. Kalau sekian juta kubik lumpur tiba-tiba mengendap di Danau Saguling sehingga volume air danau akan berkurang, dan kapasitas listriknya menjadi berkurang pula, akankah pengaruhnya terhadap perekonomian di Jawa-Bali-Madura yang sebagian besar energinya dipasok dari Danau Saguling?
Bila rencana ini tetap dilakukan karena berselimut jutaan dolar yang membalut projek ini, apakah besaran banjir di kemudian hari di Cekungan Bandung sebanding dengan kerusakan bentang alam dan bentang budaya yang tiba-tiba, tapi dibangun oleh masyarakat Cekungan Bandung dengan susah payah dan dalam waktu yang lama?
Apakah pernyataan anggota DPRD Jawa Barat Dadang Nasser dan Dirjen Sumber Daya Air Ir. Siswoko Dipl. H.E. seperti dikutip Pikiran Rakyat akan begitu saja dilupakan, setelah Curug Jompong, salah satu situs alam Bandung dipapas, sementara banjir terus berlangsung nantinya?
Sangat mungkin, warga Bandung akan cepat lupa, seperti melupakan propaganda saat akan meluruskan meander di beberapa tempat di Citarum. Akan tetapi, saya yakin, malaikat tidak akan pernah lupa dan keliru mencatat!***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
No comments:
Post a Comment