Pikiran Rakyat, 15 Februari 2008, A-75/CA-179
Foto: Sobirin 2004, Rakyat Dilarang, Pemodal Boleh Menyewa
Menurut Sobirin, pemerintah perlu mengkaji ulang PP tersebut, demi kepentingan kondisi hutan. "Perlu dilihat dulu, jangan sampai PP ini hanya berbasis ekonomi jangka pendek," ujar Sobirin.
BANDUNG, (PR).-
Kondisi hutan lindung terancam semakin parah dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) tentang penyewaan kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Dalam PP tersebut, pemerintah menetapkan tarif sewa antara Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta/hektare/tahun.
Kekhawatiran itu dikemukakan anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin kepada "PR" di Bandung, Kamis (14/2).
Keputusan menyewakan hutan lindung dan hutan produksi tersebut tertuang dalam PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
PP yang dikeluarkan tanggal 4 Februari 2008 itu ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam siaran pers yang disampaikan Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Pusat Informasi Dephut Ir. Masyhud, M.M. di Jakarta, PP ini dibuat untuk memperoleh nilai kompensasi atas penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Berdasarkan data yang diperoleh "PR", selama ini pengusaha, terutama pengusaha tambang sangat sulit memperoleh lahan di kawasan hutan lindung. Padahal, di kawasan hutan lindung sering terdapat tambang, seperti tambang batu bara di Kalimantan.
Hingga sekarang, total hutan Indonesia sekitar 120 juta hektare. Dari hutan seluas itu, 17 persen di antaranya merupakan hutan konservasi dan 23 persen merupakan kawasan hutan lindung.
Di Jawa Barat, yang dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung adalah Gunung Gede Pangrango dengan kode register 2,12 dan HL Linggarjati dengan kode register 2,05, Taman Nasional (TN) Gunung Halimun, Cagar Alam (CA) Kawah Tangkubanparahu.
Berdasarkan PP tersebut, jenis penerimaan negara ini adalah PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan yang luas hutannya di atas 30% dari luas daerah aliran sungai dan pulau. Untuk tambang terbuka horizontal pada hutan lindung tarifnya Rp 3 juta/ha/tahun, sedangkan pada hutan produksi Rp 2,4 juta/ha/tahun.
Untuk tambang yang bergerak secara vertikal pada hutan lindung, tarifnya Rp 2,25 juta/ha/tahun. Sementara pada hutan produksi, Rp 1,8 juta/ha/tahun.
Untuk migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi yang berlokasi di hutan produksi, Rp 1,2 juta/ha/tahun.
Memperparah
Menurut Sobirin, pemerintah perlu mengkaji ulang PP tersebut, demi kepentingan kondisi hutan. "Perlu dilihat dulu, jangan sampai PP ini hanya berbasis ekonomi jangka pendek," ujar Sobirin.
Dia menjelaskan, jika hanya mempertimbangkan kepentingan komersial, hutan akan kehilangan fungsinya. "Padahal penggunaan hutan seharusnya prokesejahteraan rakyat dan prolingkungan. Oleh karena itu, perlu ada kajian sejauh mana PP ini akan mengganggu fungsi hutan. Tolok ukurnya Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan-red.)," kata Sobirin.
Di Jawa Barat, saat ini hutan yang tersisa luasnya sekitar 800.000 hektare. Hutan yang tergolong "sehat" hanya sekitar 300.000 hektare, sisanya dalam keadaan "sakit". "Sekarang ini, luas kawasan lindung di Jawa Barat hanya sekitar 18 persen. Padahal, idealnya luas kawasan lindung itu 45 persen dari total luas lahan Jawa Barat," kata Sobirin.
Penggunaan lahan hutan, menurut dia, sebaiknya tidak disewakan serampangan. Pembangunan lahan kawasan kehutanan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, menurut dia, tak hanya dengan cara disewakan. "Sebaiknya untuk tujuan itu, hutan dikelola oleh pemerintah melalui Perhutani, Dinas Kehutanan, Pemda setempat, serta masyarakat, agar fungsi hutan lebih terjaga," tutur Sobirin.
Lebih jauh lagi, Sobirin menilai PP ini bertentangan dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang saat ini tengah berjalan. "GNRHL kan tujuannya mau menghijaukan hutan, memperbaiki kondisinya. Nah, jika yang hutan hijau ini disewakan, kondisi hutan kita akan sulit diperbaiki. Jadi PP ini bertolak belakang dengan GNRHL," ujar Sobirin.
Untuk DPKLTS sendiri, Sobirin mengaku akan secepatnya mengajukan audiensi dengan pemerintah. "Kami sebagai rakyat, perlu tahu latar belakang PP," ujar Sobirin. (A-75/CA-179)***
2 comments:
ketika Bdg berada di daerah seperti wajan & setiap tahunnya tanahnya terus menurun, apa yg terjadi ya k-lo hutan yg hrsnya dilindungi malah disewakan seenak-enaknya. Jgn marah ya hutan, jangan meluap ya bajir masih ada orang seperti Pak Sob yg peduli tapi rasanya peduli pun tidak cukup ya Pak? Aku tunggu artikel ttg waste water gardennya. Salam hormat :)
pak Sobirin Yth, mohon hal ini diperhatikan secara khusus. seharusnya semua makhluk hidup patut untuk menyelamatkan hutannya. saya sangat mendukung agar PP tersebut dicabut saja. PP tersebut membuktikan pemerintah kita masih kerdil dalam berpikir dan melihat masa depan.
Post a Comment