7.769 WARGA TERKENA INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
REPUBLIKA, Kalam Jabar, 28 Februari 2008, san
Foto: http://balittanah.litbang.deptan.go.id, Irigasi Tercemar Limbah
“Kalau limbah di sungai berwarna hitam atau merah, pasti tidak melalui IPAL,” tutur Sobirin usai berkomitmen dengan Cawagub Jabar, Iwan R Sulanjana, Rabu (27/2). Sedangkan menyangkut Kawasan Bandung Utara (KBU), Sobirin mendesak Pemprov mengaplikasikan Perda KBU.
BANDUNG -- Ratusan warga dari empat desa di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, berunjuk rasa ke Gedung Sate memprotes terjadinya pencemaran limbah yang merusak lahan pertaniannya, Rabu (27/2). Akibat pencemaran, itu sedikitnya 7.769 warga terkena infeksi saluran pernafasan atas dan 400 hektare lahan pertanian menjadi tidak produktif.
Para pengunjuk rasa itu tiba di Gedung Sate sekitar pukul 11.00 WIB. Sedikitnya ada empat unit truk yang mengangkut mereka dari Rancaekek ke Gedung Sate. Sesampainya di Gedung Sate, mereka terpaksa hanya bisa berorasi. Rencana beraudensi dengan Komisi D DPRD Jabar gagal. Pasalnya, tidak seorang pun anggota Komisi D yang masuk kerja.
Dalam orasi tersebut, massa merasa kecewa dengan wakil rakyat yang tidak menindaklanjuti keluhannya. Sebab, aksi tersebut bukan yang pertama kali dilakukan di depan Gedung Sate. Juru bicara warga, H Uci Sanusi, menyatakan, pencemaran limbah Rancaekek merupakan kasus lama yang tidak bisa diselesaikan.
Pemkab Sumedang yang memberi izin perusahaan tekstil itu, kata dia, hanya membiarkan adanya pembuangan limbah tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Uci menjelaskan, mayoritas pabrik yang membuang limbah tersebut berdomisili di wilayah administratif Kabupaten Sumedang. Sementara warga yang tercemar limbah tersebut, ungkap dia, berada di Kabupaten Bandung.
''Limbahnya dari Sumedang, kami yang justru dikirimi limbahnya,'' ujar dia, Rabu (27/2). Uci pun memaparkan, limbah tersebut sengaja dialirkan ke Sungai Cikijing dan Cimande. Sebelum mengalir ke Citarum, tutur dia, kedua sungai tersebut terlebih dahulu melintas perkampungan dan lahan pertanian milik warga.
Warna air sungai itu pun, kata dia, hitam atau merah. Pada tahun 2006, imbuh dia, praktik pencemaran itu sempat mengakibatkan 7.769 warga Rancaekek terserang infeksi saluran pernapasan. Bahkan, lanjut Uci, sedikitnya 400 hektare lahan pertanian milik warga tidak lagi produktif karena dialiri limbah dari industri.
Pihaknya mendesak Pemprov Jabar segera mengambil alih penuntasan masalah pencemaran limbah di Rancaekek. Menurut dia, warga tidak lagi percaya terhadap Pemkab Sumedang dan Bandung dalam menuntaskan persoalan itu.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Jabar, Agus Rahmat, mengatakan, sengketa limbah di Rancaekek sedang ditangani oleh BPLH. Namun, jelas dia, BPLH Jabar sedang mengajak Pemkab Sumedang dan Bandung untuk merumuskan solusinya. Kata Agus, idealnya tindakan terhadap pabrik tersebut dilakukan oleh pemkab terkait. Karena memang, tutur Agus menambahkan, pemkab terkait yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin operasi pabrik tersebut.
Sesepuh Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono, mengatakan, kasus limbah Rancaekek berawal dari lemahnya supremasi hukum. Seharusnya, tegas dia, Pemkab Sumedang menindak pabrik yang terbukti tidak mengoperasikan IPAL.
“Kalau limbah yang dibuang ke sungai berwarna hitam atau merah, pasti tidak melalui IPAL,” tutur dia usai berkomitmen dengan cawagub Jabar, Iwan R Sulanjana, Rabu (27/2).
Sedangkan menyangkut Kawasan Bandung Utara (KBU), Sobirin mendesak Pemprov Jabar mengaplikasikan Perda tentang Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Bandung Utara (KBU). san
REPUBLIKA, Kalam Jabar, 28 Februari 2008, san
Foto: http://balittanah.litbang.deptan.go.id, Irigasi Tercemar Limbah
“Kalau limbah di sungai berwarna hitam atau merah, pasti tidak melalui IPAL,” tutur Sobirin usai berkomitmen dengan Cawagub Jabar, Iwan R Sulanjana, Rabu (27/2). Sedangkan menyangkut Kawasan Bandung Utara (KBU), Sobirin mendesak Pemprov mengaplikasikan Perda KBU.
BANDUNG -- Ratusan warga dari empat desa di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, berunjuk rasa ke Gedung Sate memprotes terjadinya pencemaran limbah yang merusak lahan pertaniannya, Rabu (27/2). Akibat pencemaran, itu sedikitnya 7.769 warga terkena infeksi saluran pernafasan atas dan 400 hektare lahan pertanian menjadi tidak produktif.
Para pengunjuk rasa itu tiba di Gedung Sate sekitar pukul 11.00 WIB. Sedikitnya ada empat unit truk yang mengangkut mereka dari Rancaekek ke Gedung Sate. Sesampainya di Gedung Sate, mereka terpaksa hanya bisa berorasi. Rencana beraudensi dengan Komisi D DPRD Jabar gagal. Pasalnya, tidak seorang pun anggota Komisi D yang masuk kerja.
Dalam orasi tersebut, massa merasa kecewa dengan wakil rakyat yang tidak menindaklanjuti keluhannya. Sebab, aksi tersebut bukan yang pertama kali dilakukan di depan Gedung Sate. Juru bicara warga, H Uci Sanusi, menyatakan, pencemaran limbah Rancaekek merupakan kasus lama yang tidak bisa diselesaikan.
Pemkab Sumedang yang memberi izin perusahaan tekstil itu, kata dia, hanya membiarkan adanya pembuangan limbah tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Uci menjelaskan, mayoritas pabrik yang membuang limbah tersebut berdomisili di wilayah administratif Kabupaten Sumedang. Sementara warga yang tercemar limbah tersebut, ungkap dia, berada di Kabupaten Bandung.
''Limbahnya dari Sumedang, kami yang justru dikirimi limbahnya,'' ujar dia, Rabu (27/2). Uci pun memaparkan, limbah tersebut sengaja dialirkan ke Sungai Cikijing dan Cimande. Sebelum mengalir ke Citarum, tutur dia, kedua sungai tersebut terlebih dahulu melintas perkampungan dan lahan pertanian milik warga.
Warna air sungai itu pun, kata dia, hitam atau merah. Pada tahun 2006, imbuh dia, praktik pencemaran itu sempat mengakibatkan 7.769 warga Rancaekek terserang infeksi saluran pernapasan. Bahkan, lanjut Uci, sedikitnya 400 hektare lahan pertanian milik warga tidak lagi produktif karena dialiri limbah dari industri.
Pihaknya mendesak Pemprov Jabar segera mengambil alih penuntasan masalah pencemaran limbah di Rancaekek. Menurut dia, warga tidak lagi percaya terhadap Pemkab Sumedang dan Bandung dalam menuntaskan persoalan itu.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Jabar, Agus Rahmat, mengatakan, sengketa limbah di Rancaekek sedang ditangani oleh BPLH. Namun, jelas dia, BPLH Jabar sedang mengajak Pemkab Sumedang dan Bandung untuk merumuskan solusinya. Kata Agus, idealnya tindakan terhadap pabrik tersebut dilakukan oleh pemkab terkait. Karena memang, tutur Agus menambahkan, pemkab terkait yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin operasi pabrik tersebut.
Sesepuh Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono, mengatakan, kasus limbah Rancaekek berawal dari lemahnya supremasi hukum. Seharusnya, tegas dia, Pemkab Sumedang menindak pabrik yang terbukti tidak mengoperasikan IPAL.
“Kalau limbah yang dibuang ke sungai berwarna hitam atau merah, pasti tidak melalui IPAL,” tutur dia usai berkomitmen dengan cawagub Jabar, Iwan R Sulanjana, Rabu (27/2).
Sedangkan menyangkut Kawasan Bandung Utara (KBU), Sobirin mendesak Pemprov Jabar mengaplikasikan Perda tentang Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Bandung Utara (KBU). san
No comments:
Post a Comment