Pikiran Rakyat, 25 Februari 2008, CA-185/CA-179
Foto: itsgettinghotinhere.org/matt/understory.ran.org/marshfork mine
Mengenai dana kompensasi dari penggunaan hutan untuk merehabilitasi hutan, Sobirin menilai mekanisme tersebut tidak masuk akal. "Kalau memang mau merehabilitasi hutan, ya stop penebangannya”.
BANDUNG, (PR).- Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Hatta Rajasa mengaku ada 13 perusahaan yang melakukan penambangan di hutan lindung dengan membayar kompensasi. "Ke-13 perusahaan itu tetap saja jalan karena perintah perpu, perintah perpu yang telah menjadi UU No. 19 tahun 2004," kata Hatta di sela-sela peresmian "Aksi Hijau Indonesia", di Tol Cipularang, Minggu (24/2).
Namun, Mensesneg menolak menggunakan istilah "menyewakan" kawasan hutan lindung untuk dieksploitasi. "(Perusahaan tersebut harus) memberi arti dong, sehingga kalau ada kerusakan dana itu dapat kita pakai untuk melakukan rehabilitasi dan penghijauan. (Tetapi) Bukan sewa. Kembali, tidak ada istilah sewa," katanya.
Hatta menjelaskan, banyak perusahaan memprotes lahirnya UU 41/1999 yang melarang pertambangan terbuka di daerah hutan lindung, karena merasa sudah mendapat izin sebelum undang-undang itu lahir. "Dikhawatirkan akan menimbulkan problem tuntutan, arbitrase dan sebagainya. Lalu dicarikan solusi, melalui seleksi.
Dari sekian banyak itu, hanya 13 (yang terpilih), karena dari 13 itu memberi arti ekonomi yang sangat besar sehingga mendapatkan income sangat besar bagi kita, tapi juga tingkat kerusakan lingkungannya minimal," paparnya. Hatta mengatakan, arti keuntungan ekonomi tersebut bukan didapatkan dari kompensasi hutan, tetapi dari hasil bahan tambang.
"Dari pertambangan itu sendiri bisa menghasilkan nilai yang luar biasa untuk menyejahterakan masyarakat," ujarnya. Pengaturan tarif dalam PP tersebut, menurut Hatta, memberikan tanggung jawab kepada perusahaan dalam menggunakan lahan tersebut. "Kompensasi utamanya adalah lahan pengganti. Namun apabila tidak memiliki lahan, dana kompensasi tersebut merupakan solusinya," tutur Hatta.
Selain itu, ia menambahkan, di luar kompensasi ada kewajiban lainnya yang harus dibayar perusahaan tersebut seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan apabila ada pohonnya mereka harus membayar berikut tegakannya.
Sementara itu, Wakil Kepala Unit III Perum Perhutani Jawa Barat dan Banten, Dadang Hendaris, enggan berkomentar ketika ditanyai tanggapannya mengenai PP No. 2 tahun 2008.
Tidak masuk akal
Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menilai kebijakan pemerintah tentang penambangan di hutan lindung itu perlu dikaji ulang.
"Mungkin kebijakan ini mendatangkan pemasukan bagi pemerintah. Tapi kemungkinan rusaknya hutan tetap ada. Padahal daya dukung dan daya tampung hutan, di Jawa Barat khususnya, saat ini sudah sangat kritis," ujar Sobirin ketika dihubungi lewat telefon.
Mengenai dana kompensasi dari penggunaan hutan untuk merehabilitasi hutan, Sobirin menilai mekanisme tersebut tidak masuk akal.
"Kalau memang mau merehabilitasi hutan, ya stop penebangannya. Lagi pula, untuk rehabilitasi hutan, tak perlu biaya, karena hutan mampu merehabilitasi sendiri selama tidak diganggu manusia," kata Sobirin. (CA-185/CA-179)***
Foto: itsgettinghotinhere.org/matt/understory.ran.org/marshfork mine
Mengenai dana kompensasi dari penggunaan hutan untuk merehabilitasi hutan, Sobirin menilai mekanisme tersebut tidak masuk akal. "Kalau memang mau merehabilitasi hutan, ya stop penebangannya”.
BANDUNG, (PR).- Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Hatta Rajasa mengaku ada 13 perusahaan yang melakukan penambangan di hutan lindung dengan membayar kompensasi. "Ke-13 perusahaan itu tetap saja jalan karena perintah perpu, perintah perpu yang telah menjadi UU No. 19 tahun 2004," kata Hatta di sela-sela peresmian "Aksi Hijau Indonesia", di Tol Cipularang, Minggu (24/2).
Namun, Mensesneg menolak menggunakan istilah "menyewakan" kawasan hutan lindung untuk dieksploitasi. "(Perusahaan tersebut harus) memberi arti dong, sehingga kalau ada kerusakan dana itu dapat kita pakai untuk melakukan rehabilitasi dan penghijauan. (Tetapi) Bukan sewa. Kembali, tidak ada istilah sewa," katanya.
Hatta menjelaskan, banyak perusahaan memprotes lahirnya UU 41/1999 yang melarang pertambangan terbuka di daerah hutan lindung, karena merasa sudah mendapat izin sebelum undang-undang itu lahir. "Dikhawatirkan akan menimbulkan problem tuntutan, arbitrase dan sebagainya. Lalu dicarikan solusi, melalui seleksi.
Dari sekian banyak itu, hanya 13 (yang terpilih), karena dari 13 itu memberi arti ekonomi yang sangat besar sehingga mendapatkan income sangat besar bagi kita, tapi juga tingkat kerusakan lingkungannya minimal," paparnya. Hatta mengatakan, arti keuntungan ekonomi tersebut bukan didapatkan dari kompensasi hutan, tetapi dari hasil bahan tambang.
"Dari pertambangan itu sendiri bisa menghasilkan nilai yang luar biasa untuk menyejahterakan masyarakat," ujarnya. Pengaturan tarif dalam PP tersebut, menurut Hatta, memberikan tanggung jawab kepada perusahaan dalam menggunakan lahan tersebut. "Kompensasi utamanya adalah lahan pengganti. Namun apabila tidak memiliki lahan, dana kompensasi tersebut merupakan solusinya," tutur Hatta.
Selain itu, ia menambahkan, di luar kompensasi ada kewajiban lainnya yang harus dibayar perusahaan tersebut seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) dan apabila ada pohonnya mereka harus membayar berikut tegakannya.
Sementara itu, Wakil Kepala Unit III Perum Perhutani Jawa Barat dan Banten, Dadang Hendaris, enggan berkomentar ketika ditanyai tanggapannya mengenai PP No. 2 tahun 2008.
Tidak masuk akal
Sementara itu, Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menilai kebijakan pemerintah tentang penambangan di hutan lindung itu perlu dikaji ulang.
"Mungkin kebijakan ini mendatangkan pemasukan bagi pemerintah. Tapi kemungkinan rusaknya hutan tetap ada. Padahal daya dukung dan daya tampung hutan, di Jawa Barat khususnya, saat ini sudah sangat kritis," ujar Sobirin ketika dihubungi lewat telefon.
Mengenai dana kompensasi dari penggunaan hutan untuk merehabilitasi hutan, Sobirin menilai mekanisme tersebut tidak masuk akal.
"Kalau memang mau merehabilitasi hutan, ya stop penebangannya. Lagi pula, untuk rehabilitasi hutan, tak perlu biaya, karena hutan mampu merehabilitasi sendiri selama tidak diganggu manusia," kata Sobirin. (CA-185/CA-179)***
No comments:
Post a Comment