KOMPAS, 08-02-2008, KOMPAS.com, 05-02-2008,Yulvianus Harjono
Foto: Eric Madeya, www.treasure-images.com, uncommonmagic.wordpress.com
Keprihatinan Sobirin sangatlah beralasan. Menurut dia, di Indonesia, tidak lebih dari 10 persen warga yang peduli lingkungan. Apalagi, peduli terhadap dampak negatif sampah plastik. Meski demikian, ia optimis, melalui edukasi, rembug warga, kampanye, masyarakat lambat laun akan tergugah. Ini tidak lepas dari pentingnya peran pemerintah. “Wali Kota Bandung misalnya, perlu mendukung lewat kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di supermarket,” ungkapnya.
Diperkirakan, 500 juta hingga satu miliar kantong plastik digunakan di dunia tiap tahunnya. Jika sampah-sampah ini dibentangkan, dapat membungkus permukaan bumi setidaknya hingga 10 kali lipat! Di Bandung sendiri, volume sampah plastik per harinya bisa mencapai 700 meter kubik. Bisa menutupi 50 lapangan sepakbola sekaligus!
Yang jadi persoalan, dampak negatif sampah plastik ternyata sebesar fungsinya. Di alam, sampah plastik berbahan konvensional dari polimer sintetik tidak mudah terurai oleh organisme. Dibutuhkan waktu 300-500 tahun agar bisa terdekomposisi atau terurai sempurna. Selang waktu yang sangat lama. Akibatnya, di banyak tempat, plastik menjadi sumber masalah. Menyumbat saluran air, drainase, sungai, sehingga mengakibatkan banjir, bahkan yang terparah merusak turbin listrik di waduk.
Dampak negatif kantong plastik atau “tas kresek” terhadap kesehatan tidak kalah mengerikan. Berdasarkan penelitian I Made Arcana, dosen kimia Institut Teknologi Bandung, zat pewarna hitam yang umumnya ada di kantong plastik berbahaya bagi kesehatan. Zat ini kalau terkenas panas dapat terdegradasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. Maka, dianjurkan tidak menaruh gorengan atau makanan panas lainnya langsung di kantong plastik.
Lantas, apa solusinya mengatasi persoalan kantong plastik? Yang pasti, jangan pernah mencoba membakarnya. Jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan memicu depresi.
Seperti diungkapkan angggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin, pengolahan sampah menjadi solusi terbaik. Jika rumah tangga atau komunitas terkecil di lingkungan belum bisa mengolahnya, perlu konsep daur ulang, maka pemilahan menjadi langkah kecil terbaik. ”Jika memang belum bisa, apa ya, terpaksa gali kembali kearifan lokal semacam penggunaan pincuk (daun pisang)?", ucapnya.
Dilarang di China dan Australia
Keprihatinan Sobirin sangatlah beralasan. Menurut dia, di Indonesia, tidak lebih dari 10 persen warga yang peduli lingkungan. Apalagi, peduli terhadap dampak negatif sampah plastik. Meski demikian, ia optimis, melalui edukasi, sosialisasi, rembug warga, dan kampanye, masyarakat lambat laun akan tergugah. Ini tidak terlepas dari pentingnya peranan pemerintah.
“Wali Kota Bandung misalnya, perlu mendukung lewat kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di supermarket,” ungkapnya.
Di negara maju, kampanye penggunaan kantung plastik mendapat dukungan dari negara. Salah satunya, China. Mulai Juni 2008 ini, seluruh supermarket dan toko-toko di Cina dilarang memberikan kantung plastik gratis kepada konsumen. Pembeli dianjurkan memakai keranjang sebagai pengganti. Dan, hebatnya, sinergi dengan hal itu, berbagai industri polimer di China gencar mengembangkan plastik biodegradable (dapat terurai).
Banyak jenis polylaktida (plastik berbahan dasar selulosa) dikembangkan. Salah satunya yaitu “SmartPlast Bag” yang berlogo ramah lingkungan. Plastik berpenampilan layaknya keresek normal berwarna putih ini terbuat dari tajin jagung. Di alam, plastik ini dapat terurai hanya dalam waktu setengah tahun tanpa dampak negatif apa pun. Langkah ini diikuti di Australia.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia, khususnya Kota Bandung? Terlalu na’if jika mengharapkan hal yang sama dengan Australia dan China. Namun, sinyalemen positif mulai ditunjukkan sejumlah pelaku usaha di Bandung. Di Carrefour, saat ini disediakan tas belanja khusus pengganti kresek. Harganya Rp 10.000 per kantong. Kalau rusak, bisa ditukarkan.
Terlepas dari upaya itu, seperti diungkapkan novelis Dewi Lestari, semuanya akan berpulang kepada individu manusia. Kesadaran diri-lah yang menentukan. Lingkungan, satu-satunya aspek di dunia yang bisa menyatukan berbagai latarbelakang manusia dan negara. Mari bersatu menyelamatkan “rumah” kita. Yulvianus Harjono
Foto: Eric Madeya, www.treasure-images.com, uncommonmagic.wordpress.com
Keprihatinan Sobirin sangatlah beralasan. Menurut dia, di Indonesia, tidak lebih dari 10 persen warga yang peduli lingkungan. Apalagi, peduli terhadap dampak negatif sampah plastik. Meski demikian, ia optimis, melalui edukasi, rembug warga, kampanye, masyarakat lambat laun akan tergugah. Ini tidak lepas dari pentingnya peran pemerintah. “Wali Kota Bandung misalnya, perlu mendukung lewat kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di supermarket,” ungkapnya.
Diperkirakan, 500 juta hingga satu miliar kantong plastik digunakan di dunia tiap tahunnya. Jika sampah-sampah ini dibentangkan, dapat membungkus permukaan bumi setidaknya hingga 10 kali lipat! Di Bandung sendiri, volume sampah plastik per harinya bisa mencapai 700 meter kubik. Bisa menutupi 50 lapangan sepakbola sekaligus!
Yang jadi persoalan, dampak negatif sampah plastik ternyata sebesar fungsinya. Di alam, sampah plastik berbahan konvensional dari polimer sintetik tidak mudah terurai oleh organisme. Dibutuhkan waktu 300-500 tahun agar bisa terdekomposisi atau terurai sempurna. Selang waktu yang sangat lama. Akibatnya, di banyak tempat, plastik menjadi sumber masalah. Menyumbat saluran air, drainase, sungai, sehingga mengakibatkan banjir, bahkan yang terparah merusak turbin listrik di waduk.
Dampak negatif kantong plastik atau “tas kresek” terhadap kesehatan tidak kalah mengerikan. Berdasarkan penelitian I Made Arcana, dosen kimia Institut Teknologi Bandung, zat pewarna hitam yang umumnya ada di kantong plastik berbahaya bagi kesehatan. Zat ini kalau terkenas panas dapat terdegradasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. Maka, dianjurkan tidak menaruh gorengan atau makanan panas lainnya langsung di kantong plastik.
Lantas, apa solusinya mengatasi persoalan kantong plastik? Yang pasti, jangan pernah mencoba membakarnya. Jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf, dan memicu depresi.
Seperti diungkapkan angggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin, pengolahan sampah menjadi solusi terbaik. Jika rumah tangga atau komunitas terkecil di lingkungan belum bisa mengolahnya, perlu konsep daur ulang, maka pemilahan menjadi langkah kecil terbaik. ”Jika memang belum bisa, apa ya, terpaksa gali kembali kearifan lokal semacam penggunaan pincuk (daun pisang)?", ucapnya.
Dilarang di China dan Australia
Keprihatinan Sobirin sangatlah beralasan. Menurut dia, di Indonesia, tidak lebih dari 10 persen warga yang peduli lingkungan. Apalagi, peduli terhadap dampak negatif sampah plastik. Meski demikian, ia optimis, melalui edukasi, sosialisasi, rembug warga, dan kampanye, masyarakat lambat laun akan tergugah. Ini tidak terlepas dari pentingnya peranan pemerintah.
“Wali Kota Bandung misalnya, perlu mendukung lewat kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di supermarket,” ungkapnya.
Di negara maju, kampanye penggunaan kantung plastik mendapat dukungan dari negara. Salah satunya, China. Mulai Juni 2008 ini, seluruh supermarket dan toko-toko di Cina dilarang memberikan kantung plastik gratis kepada konsumen. Pembeli dianjurkan memakai keranjang sebagai pengganti. Dan, hebatnya, sinergi dengan hal itu, berbagai industri polimer di China gencar mengembangkan plastik biodegradable (dapat terurai).
Banyak jenis polylaktida (plastik berbahan dasar selulosa) dikembangkan. Salah satunya yaitu “SmartPlast Bag” yang berlogo ramah lingkungan. Plastik berpenampilan layaknya keresek normal berwarna putih ini terbuat dari tajin jagung. Di alam, plastik ini dapat terurai hanya dalam waktu setengah tahun tanpa dampak negatif apa pun. Langkah ini diikuti di Australia.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia, khususnya Kota Bandung? Terlalu na’if jika mengharapkan hal yang sama dengan Australia dan China. Namun, sinyalemen positif mulai ditunjukkan sejumlah pelaku usaha di Bandung. Di Carrefour, saat ini disediakan tas belanja khusus pengganti kresek. Harganya Rp 10.000 per kantong. Kalau rusak, bisa ditukarkan.
Terlepas dari upaya itu, seperti diungkapkan novelis Dewi Lestari, semuanya akan berpulang kepada individu manusia. Kesadaran diri-lah yang menentukan. Lingkungan, satu-satunya aspek di dunia yang bisa menyatukan berbagai latarbelakang manusia dan negara. Mari bersatu menyelamatkan “rumah” kita. Yulvianus Harjono
1 comment:
SETUJU Pak SOB... karena sampah plastik sangat mengganggu terutama di kali2 Jakarta yg sudah menggunung... maka saya sangat setuju dengan plastik ramah lingkungan yg bisa terurai... tapi kapan ya realisasinya...dan mungkinkah plastik ramah lingkungan dijual murah ? dan lagi masyarakat indonesia kurang peduli thd lingkungan, terus terang saya kecewa.
Sampah Plastik di Jakarta belum teratasi...masih menggunung...apa pabrik plastik dibatasi saja produksinya ya Pak ? wasalam
Post a Comment