ADA YANG USUL PEMBANGUNAN MAL DIHENTIKAN
Koran Tempo, 06-11-2008, JOBPIE S / IRVAN S (dikutip Prakarsa Rakyat)
Foto: Rian 2007, Banjir Kelapa Gading
Bagi pengamat lingkungan Sobirin, banjir di Kelapa Gading, adalah suatu keniscayaan. "Jangan lupa, kawasan ini seharusnya tempat penampungan air. Sampai 1939, Kelapa Gading hingga Rawa Badak masih berupa rawa-rawa tempat berhentinya air.
Bagi pengamat lingkungan Sobirin, persoalan banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, adalah suatu keniscayaan. "Jangan lupa, kawasan ini seharusnya tempat penampungan air. Sampai 1939, Kelapa Gading hingga Rawa Badak masih berupa rawa-rawa yang menjadi tempat berhentinya air.
Selanjutnya wilayah itu direklamasi karena menjadi sumber malaria dan pada 1960-an sudah menjadi persawahan. Sekitar 40 tahun kemudian tempat itu berubah menjadi permukiman. "Dulu Jakarta Utara memang daerah parkir air sehingga kalau sekarang banjir, ya, kembali ke sifat alamnya," tutur mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum yang tinggal di Bandung ini.
Sobirin, yang pernah meneliti sistem drainase di Kelapa Gading, mengungkapkan bahwa banjir di Kelapa Gading adalah kombinasi tiga banjir. Kombinasi itu adalah banjir kiriman dari hulu, banjir akibat curah hujan, serta luapan air dari Kali Cakung dan Kali Sunter akibat air berbalik karena air pasang di muara.
Itu sebabnya, sekalipun di tiap waduk dipasang pompa penyedot, tetap tak mampu mengatasi banjir. "Apalagi seluruh drainase dan waduk hampir separuh terisi endapan lumpur dan sampah plastik," ucapnya kepada Tempo, Senin lalu.
Lantas adakah solusi? Sobirin mengajukan empat alternatif. Pertama, membuat polder atau semacam tanggul tangkapan air seperti di Belanda. Dari polder, air disedot ke luar menuju sungai utama atau kanal banjir. Kedua, seperti yang dilakukan Kota Kirigaoka, Jepang, dibuat penampungan air hingga 100 ribu meter kubik. Tapi, pada musim kemarau, bagian atas penampungan air menjadi fasilitas olahraga warga.
Sedangkan alternatif ketiga: memindahkan warga di kawasan banjir. Tapi, "Akan dipindahkan ke mana?" Biaya memindahkan banjir dari suatu wilayah juga mahal. "Solusi lainnya, warga harus hidup harmonis dengan lingkungan. Cara ini murah dan aman," katanya. Keharmonisan dapat dicapai jika masyarakat memahami alam dan musim.
Perilaku bersahabat dengan alam antara lain bagaimana warga suatu kawasan berikut pengembangnya peduli pada kebersihan dan sampah. Selokan dan saluran drainase di sekitar permukiman mesti sering dibersihkan dari sampah. Pemerintah dan pengembang juga perlu mencari terobosan-terobosan anggaran.
Sobirin juga mengimbau lokasi-lokasi langganan banjir dipasangi papan pengumuman: "Di sini rawan banjir, jangan membuang sampah sembarangan". Menurut pengamatan Tempo, Pemerintah Kota Jakarta Utara dan pengembang sudah melaksanakannya, tapi tetap saja setiap kali dipenuhi sampah.
Warga Kelapa Gading pun punya solusi. David Chandra, misalnya, mengusulkan pembangunan mal dihentikan. Ia beralasan area yang seharusnya menjadi lahan fasilitas sosial malah dijadikan pusat belanja. "Padahal bisa dijadikan situ atau ruang terbuka hijau," ujar principal Ray White Kelapa Gading ini. JOBPIE S / IRVAN SJAFARI
Koran Tempo, 06-11-2008, JOBPIE S / IRVAN S (dikutip Prakarsa Rakyat)
Foto: Rian 2007, Banjir Kelapa Gading
Bagi pengamat lingkungan Sobirin, banjir di Kelapa Gading, adalah suatu keniscayaan. "Jangan lupa, kawasan ini seharusnya tempat penampungan air. Sampai 1939, Kelapa Gading hingga Rawa Badak masih berupa rawa-rawa tempat berhentinya air.
Bagi pengamat lingkungan Sobirin, persoalan banjir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, adalah suatu keniscayaan. "Jangan lupa, kawasan ini seharusnya tempat penampungan air. Sampai 1939, Kelapa Gading hingga Rawa Badak masih berupa rawa-rawa yang menjadi tempat berhentinya air.
Selanjutnya wilayah itu direklamasi karena menjadi sumber malaria dan pada 1960-an sudah menjadi persawahan. Sekitar 40 tahun kemudian tempat itu berubah menjadi permukiman. "Dulu Jakarta Utara memang daerah parkir air sehingga kalau sekarang banjir, ya, kembali ke sifat alamnya," tutur mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum yang tinggal di Bandung ini.
Sobirin, yang pernah meneliti sistem drainase di Kelapa Gading, mengungkapkan bahwa banjir di Kelapa Gading adalah kombinasi tiga banjir. Kombinasi itu adalah banjir kiriman dari hulu, banjir akibat curah hujan, serta luapan air dari Kali Cakung dan Kali Sunter akibat air berbalik karena air pasang di muara.
Itu sebabnya, sekalipun di tiap waduk dipasang pompa penyedot, tetap tak mampu mengatasi banjir. "Apalagi seluruh drainase dan waduk hampir separuh terisi endapan lumpur dan sampah plastik," ucapnya kepada Tempo, Senin lalu.
Lantas adakah solusi? Sobirin mengajukan empat alternatif. Pertama, membuat polder atau semacam tanggul tangkapan air seperti di Belanda. Dari polder, air disedot ke luar menuju sungai utama atau kanal banjir. Kedua, seperti yang dilakukan Kota Kirigaoka, Jepang, dibuat penampungan air hingga 100 ribu meter kubik. Tapi, pada musim kemarau, bagian atas penampungan air menjadi fasilitas olahraga warga.
Sedangkan alternatif ketiga: memindahkan warga di kawasan banjir. Tapi, "Akan dipindahkan ke mana?" Biaya memindahkan banjir dari suatu wilayah juga mahal. "Solusi lainnya, warga harus hidup harmonis dengan lingkungan. Cara ini murah dan aman," katanya. Keharmonisan dapat dicapai jika masyarakat memahami alam dan musim.
Perilaku bersahabat dengan alam antara lain bagaimana warga suatu kawasan berikut pengembangnya peduli pada kebersihan dan sampah. Selokan dan saluran drainase di sekitar permukiman mesti sering dibersihkan dari sampah. Pemerintah dan pengembang juga perlu mencari terobosan-terobosan anggaran.
Sobirin juga mengimbau lokasi-lokasi langganan banjir dipasangi papan pengumuman: "Di sini rawan banjir, jangan membuang sampah sembarangan". Menurut pengamatan Tempo, Pemerintah Kota Jakarta Utara dan pengembang sudah melaksanakannya, tapi tetap saja setiap kali dipenuhi sampah.
Warga Kelapa Gading pun punya solusi. David Chandra, misalnya, mengusulkan pembangunan mal dihentikan. Ia beralasan area yang seharusnya menjadi lahan fasilitas sosial malah dijadikan pusat belanja. "Padahal bisa dijadikan situ atau ruang terbuka hijau," ujar principal Ray White Kelapa Gading ini. JOBPIE S / IRVAN SJAFARI
No comments:
Post a Comment