Pikiran Rakyat Online, 17-11-2008, Catur/ Tri Joko
Foto: Sobirin 2007, DAS Citarum Hulu Gundul
Menurut Sobirin, selama kawasan hulu gundul semua projek di Citarum apa pun itu, baik sodet-menyodet dan pengerukan sungai ataupun yang terakhir (rencana) pemangkasan Curug Jompong, tidak akan menemui sasaran. Proses sedimentasi akan terus berlangsung.
Pembuatan waduk-waduk seyogyanya bisa melibatkan masyarakat sekitar sungai, melalui projek padat karya. Setelah jadi, masyarakat pula yang akan memanfaatkannya. Daerah sekitar waduk bisa dijadikan untuk pertanian lokal atau untuk pembangkit listrik mikrohidro.
Banjir tampaknya masih akan masih menjadi langganan masyarakat Jawa Barat. Secara alamiah, kondisi Jabar memiliki lanskap yang bergunung-gunung dengan kerapatan sungai yang besar. Belasan sungai besar yang dimiliki Jabar ini, berpotensi menggelontorkan air bah pada musim hujan. Jangan lupa, curah hujan di Jabar juga tergolong tinggi.
Namun, upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir, dinilai pakar hidrologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Chay Asdak tidak untuk skala jangka panjang. Normalisasi sungai yang dilakukan, hanya mempercepat erosi tebing sungai. Rencana pemapasan Curug Jompong dinilai sebagai pemecahan, yang justru akan menimbulkan masalah baru.
"Jumlah sedimen menjadi meningkat dan tentu saja memengaruhi kualitas air, karena cemarannya juga meningkat," katanya di Sekretariat Lembaga Penelitian Unpad, Jln. Cisangkuy 62 Bandung, Kamis (13/11). Chay menyebut penanggulangan yang telah dilakukan masih menggunakan paradigma lama. Ia mengatakan sebagai convensional drainage philosophy.
Untuk penanggulangan jangka panjang, ia menyarankan pemerintah mengubah paradigmanya. "Gunakan pendekatan water retention, dengan membangun waduk-waduk skala kecil di hulu yang berfungsi sebagai reservoir," katanya.
Chay menjelaskan, waduk yang berfungsi menampung air tersebut tidak perlu berukuran besar. Waduk itu dibangun di daerah hulu, sehingga akan mampu menahan sebanyak mungkin air di permukaan. Jumlah waduk juga tidak hanya satu, tetapi beberapa waduk dan terhubung antara satu waduk dengan yang lainnya, sehingga secara otomatis air akan mengisi waduk yang kosong.
"Teknisnya bagaimana, orang PU pasti bisa. Itu masalah kecil. Langkah ini akan lebih efektif, bila dibandingkan dengan melakukan penyodetan sungai yang menghabiskan dana besar. Membuat waduk ini juga memang tidak murah, tetapi hasilnya lebih baik dibandingkan dengan penyodetan yang selama ini dilakukan," kata Chay.
Pembuatan waduk-waduk seyogyanya bisa melibatkan masyarakat sekitar sungai, melalui projek padat karya. Setelah jadi, masyarakat pula yang akan memanfaatkannya. Daerah sekitar waduk bisa dijadikan untuk pertanian lokal atau untuk pembangkit listrik mikrohidro.
Pembuatan waduk dalam skala kecil juga terbilang tidak merepotkan, dalam urusan pembebasan lahan. Tidak perlu memindahkan pemukiman warga yang sudah terlanjur berkembang, karena lahan yang dibutuhkan tidak besar. "Bagi saya, small is beautiful karena managable. Masyarakat lokal juga akan menikmati keuntungannya, karena mereka sendiri yang akan mengelola," ujar Chay.
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Jabar Iding Srihadi Adiwinata mengakui, pembuatan waduk bisa menjadi jalan keluar masalah banjir di Jabar. Aliran sungai tidak akan cepat penuh, dengan adanya waduk-waduk semacam itu. "Masalahnya ada pada dana. Sebab, memerlukan dana yang besar untuk membuatnya," katanya.
Status Citarum sebagai sungai nasional, seharusnya bisa menjadi keuntungan untuk memecahkan masalah dana ini. Sebab, tak hanya pemerintah daerah yang wajib memerhatikan masalah ini, karena pemerintah pusat juga memiliki tanggung jawab dalam menyelamatkan Citarum dan penduduk yang berada di sekitarnya.
Urus DAS Hulu
Banjir akan selalu terkait dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kerusakan ekologi di hulu sungai, menjadi faktor utama terjadinya banjir. Oleh karena itu, penanggulangan banjir secara alamiah tidak boleh dihentikan. Penghijauan dan reboisasi di daerah aliran sungai (DAS) hulu, harus digiatkan demi menciptakan wilayah resapan air yang memadai.
Supardiyono Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), termasuk yang paling gencar menyuarakan normalisasi kawasan DAS hulu. Menurut dia, selama kawasan hulu gundul semua projek di Citarum apa pun itu, baik sodet-menyodet dan pengerukan sungai ataupun yang terakhir (rencana) pemangkasan Curug Jompong, tidak akan menemui sasaran. Proses sedimentasi akan terus berlangsung.
"Oleh karena itu, pemulihan kawasan lindung di hulu, tidak bisa tidak, mesti diprioritaskan," ujarnya. Dari luas Cekungan Bandung sekitar 350.000 ha, 190.000 ha di antaranya merupakan kawasan lindung. Seratus ribu hektare merupakan kawasan hutan dan sisanya kawasan lindung di luar hutan.
Ironisnya, saat ini hampir separuh dari kawasan hutan mengalami degradasi oleh pembangunan dan pertanian dan hampir seluruh kawasan lindung di luar hutan dalam keadaan kritis. Pada 2006, di seluruh Jabar tercatat penyimpangan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) mencapai 33%. Inilah akar permasalahan banjir di musim penghujan.
"Tidak usah buru-buru dengan solusi jangka pendek, sebab dampak yang dihasilkan bisa lebih fatal. Penanganan banjir harus dilihat secara keseluruhan dan dalam jangka panjang. Walau hasilnya baru dapat dinikmati beberapa tahun lagi, tetapi inilah solusi yang harusnya kita pilih," ujar Sobirin.
Secara khusus, T. Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, menyinggung banyaknya hutan yang berubah menjadi kebun sayur, sebagai penyumbang sedimentasi yang tidak sedikit di Citarum. "Di situ, rakyat sebenarnya hanya jadi kuli. Pemiliknya para pemodal besar. Rakyat hanya jadi tameng," katanya menyesalkan.
Menyimak kondisi seperti ini, Bachtiar menekankan pentingnya ketegasan pemerintah untuk melindungi kawasan hulu, sebagai kawasan yang seharusnya benar-benar difokuskan untuk menjaga keseimbangan alam. Banyaknya penghijauan yang dilakukan, tidak akan berhasil tanpa pengawasan dari pihak berwenang.
Peringatan Dini
Selain pembuatan waduk-waduk kecil di hulu dan normalisasi DAS hulu, solusi lain yang bisa dilakukan berupa pembangunan sistem peringatan dini. Dengan sistem ini, masyarakat bisa mengetahui secara pasti kapan banjir akan melanda lingkungannya.
"Kita memberi peran lebih kepada BMG. Mereka yang harus memberi tahu kapan bencana itu mengancam. BMG juga harus lebih fokus, tidak hanya melihat berapa curah hujannya, tetapi lebih dari itu. Hal ini berguna bagi masyarakat, untuk melakukan respons darurat yang diperlukan," ujar Chay.
Selama ini, masyarakat seolah hanya bisa pasrah, ketika air menggenangi rumah-rumah mereka. Rumah yang berdiri saat ini, tidak didesain untuk menghadapi banjir yang setiap tahun menggenangi rumahnya.
Sementara Dinas PSDA mengusulkan adanya rumah mitigasi, yang dapat digunakan untuk menampung masyarakat ketika rumah mereka tergenang. Namun, lagi-lagi menurut Iding, hingga saat ini realisasinya masih terhambat oleh persoalan dana. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi)***
Foto: Sobirin 2007, DAS Citarum Hulu Gundul
Menurut Sobirin, selama kawasan hulu gundul semua projek di Citarum apa pun itu, baik sodet-menyodet dan pengerukan sungai ataupun yang terakhir (rencana) pemangkasan Curug Jompong, tidak akan menemui sasaran. Proses sedimentasi akan terus berlangsung.
Pembuatan waduk-waduk seyogyanya bisa melibatkan masyarakat sekitar sungai, melalui projek padat karya. Setelah jadi, masyarakat pula yang akan memanfaatkannya. Daerah sekitar waduk bisa dijadikan untuk pertanian lokal atau untuk pembangkit listrik mikrohidro.
Banjir tampaknya masih akan masih menjadi langganan masyarakat Jawa Barat. Secara alamiah, kondisi Jabar memiliki lanskap yang bergunung-gunung dengan kerapatan sungai yang besar. Belasan sungai besar yang dimiliki Jabar ini, berpotensi menggelontorkan air bah pada musim hujan. Jangan lupa, curah hujan di Jabar juga tergolong tinggi.
Namun, upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi banjir, dinilai pakar hidrologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Chay Asdak tidak untuk skala jangka panjang. Normalisasi sungai yang dilakukan, hanya mempercepat erosi tebing sungai. Rencana pemapasan Curug Jompong dinilai sebagai pemecahan, yang justru akan menimbulkan masalah baru.
"Jumlah sedimen menjadi meningkat dan tentu saja memengaruhi kualitas air, karena cemarannya juga meningkat," katanya di Sekretariat Lembaga Penelitian Unpad, Jln. Cisangkuy 62 Bandung, Kamis (13/11). Chay menyebut penanggulangan yang telah dilakukan masih menggunakan paradigma lama. Ia mengatakan sebagai convensional drainage philosophy.
Untuk penanggulangan jangka panjang, ia menyarankan pemerintah mengubah paradigmanya. "Gunakan pendekatan water retention, dengan membangun waduk-waduk skala kecil di hulu yang berfungsi sebagai reservoir," katanya.
Chay menjelaskan, waduk yang berfungsi menampung air tersebut tidak perlu berukuran besar. Waduk itu dibangun di daerah hulu, sehingga akan mampu menahan sebanyak mungkin air di permukaan. Jumlah waduk juga tidak hanya satu, tetapi beberapa waduk dan terhubung antara satu waduk dengan yang lainnya, sehingga secara otomatis air akan mengisi waduk yang kosong.
"Teknisnya bagaimana, orang PU pasti bisa. Itu masalah kecil. Langkah ini akan lebih efektif, bila dibandingkan dengan melakukan penyodetan sungai yang menghabiskan dana besar. Membuat waduk ini juga memang tidak murah, tetapi hasilnya lebih baik dibandingkan dengan penyodetan yang selama ini dilakukan," kata Chay.
Pembuatan waduk-waduk seyogyanya bisa melibatkan masyarakat sekitar sungai, melalui projek padat karya. Setelah jadi, masyarakat pula yang akan memanfaatkannya. Daerah sekitar waduk bisa dijadikan untuk pertanian lokal atau untuk pembangkit listrik mikrohidro.
Pembuatan waduk dalam skala kecil juga terbilang tidak merepotkan, dalam urusan pembebasan lahan. Tidak perlu memindahkan pemukiman warga yang sudah terlanjur berkembang, karena lahan yang dibutuhkan tidak besar. "Bagi saya, small is beautiful karena managable. Masyarakat lokal juga akan menikmati keuntungannya, karena mereka sendiri yang akan mengelola," ujar Chay.
Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Jabar Iding Srihadi Adiwinata mengakui, pembuatan waduk bisa menjadi jalan keluar masalah banjir di Jabar. Aliran sungai tidak akan cepat penuh, dengan adanya waduk-waduk semacam itu. "Masalahnya ada pada dana. Sebab, memerlukan dana yang besar untuk membuatnya," katanya.
Status Citarum sebagai sungai nasional, seharusnya bisa menjadi keuntungan untuk memecahkan masalah dana ini. Sebab, tak hanya pemerintah daerah yang wajib memerhatikan masalah ini, karena pemerintah pusat juga memiliki tanggung jawab dalam menyelamatkan Citarum dan penduduk yang berada di sekitarnya.
Urus DAS Hulu
Banjir akan selalu terkait dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kerusakan ekologi di hulu sungai, menjadi faktor utama terjadinya banjir. Oleh karena itu, penanggulangan banjir secara alamiah tidak boleh dihentikan. Penghijauan dan reboisasi di daerah aliran sungai (DAS) hulu, harus digiatkan demi menciptakan wilayah resapan air yang memadai.
Supardiyono Sobirin dari Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), termasuk yang paling gencar menyuarakan normalisasi kawasan DAS hulu. Menurut dia, selama kawasan hulu gundul semua projek di Citarum apa pun itu, baik sodet-menyodet dan pengerukan sungai ataupun yang terakhir (rencana) pemangkasan Curug Jompong, tidak akan menemui sasaran. Proses sedimentasi akan terus berlangsung.
"Oleh karena itu, pemulihan kawasan lindung di hulu, tidak bisa tidak, mesti diprioritaskan," ujarnya. Dari luas Cekungan Bandung sekitar 350.000 ha, 190.000 ha di antaranya merupakan kawasan lindung. Seratus ribu hektare merupakan kawasan hutan dan sisanya kawasan lindung di luar hutan.
Ironisnya, saat ini hampir separuh dari kawasan hutan mengalami degradasi oleh pembangunan dan pertanian dan hampir seluruh kawasan lindung di luar hutan dalam keadaan kritis. Pada 2006, di seluruh Jabar tercatat penyimpangan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) mencapai 33%. Inilah akar permasalahan banjir di musim penghujan.
"Tidak usah buru-buru dengan solusi jangka pendek, sebab dampak yang dihasilkan bisa lebih fatal. Penanganan banjir harus dilihat secara keseluruhan dan dalam jangka panjang. Walau hasilnya baru dapat dinikmati beberapa tahun lagi, tetapi inilah solusi yang harusnya kita pilih," ujar Sobirin.
Secara khusus, T. Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, menyinggung banyaknya hutan yang berubah menjadi kebun sayur, sebagai penyumbang sedimentasi yang tidak sedikit di Citarum. "Di situ, rakyat sebenarnya hanya jadi kuli. Pemiliknya para pemodal besar. Rakyat hanya jadi tameng," katanya menyesalkan.
Menyimak kondisi seperti ini, Bachtiar menekankan pentingnya ketegasan pemerintah untuk melindungi kawasan hulu, sebagai kawasan yang seharusnya benar-benar difokuskan untuk menjaga keseimbangan alam. Banyaknya penghijauan yang dilakukan, tidak akan berhasil tanpa pengawasan dari pihak berwenang.
Peringatan Dini
Selain pembuatan waduk-waduk kecil di hulu dan normalisasi DAS hulu, solusi lain yang bisa dilakukan berupa pembangunan sistem peringatan dini. Dengan sistem ini, masyarakat bisa mengetahui secara pasti kapan banjir akan melanda lingkungannya.
"Kita memberi peran lebih kepada BMG. Mereka yang harus memberi tahu kapan bencana itu mengancam. BMG juga harus lebih fokus, tidak hanya melihat berapa curah hujannya, tetapi lebih dari itu. Hal ini berguna bagi masyarakat, untuk melakukan respons darurat yang diperlukan," ujar Chay.
Selama ini, masyarakat seolah hanya bisa pasrah, ketika air menggenangi rumah-rumah mereka. Rumah yang berdiri saat ini, tidak didesain untuk menghadapi banjir yang setiap tahun menggenangi rumahnya.
Sementara Dinas PSDA mengusulkan adanya rumah mitigasi, yang dapat digunakan untuk menampung masyarakat ketika rumah mereka tergenang. Namun, lagi-lagi menurut Iding, hingga saat ini realisasinya masih terhambat oleh persoalan dana. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi)***
No comments:
Post a Comment