Pikiran Rakyat Online, 17-11-2008, Catur/ Tri Joko
Foto: Sobirin 2006, Bebatuan di Curug Jompong
"Memangkas Curug Jompong sama dengan membunuh Waduk Saguling. Bisa jadi, pemangkasan ini secara instan berhasil mengurangi luas genangan, tapi sedimentasi skala besar semakin mengancam. Waduk Saguling akan mengalami pendangkalan yang cepat.," ujar Sobirin.
Sialnya, pengerukan bernasib sama dengan penyodetan. Banjir tidak serta-merta pergi. Pada musim hujan, Citarum tetap meluap dan permukiman masih terendam. Seolah tidak habis akal, projek lain disuarakan. Sekali lagi, Sungai Citarum jadi lahan garapan. Kali ini, Curug Jompong yang diyakini menjadi penyebab munculnya genangan air. Oleh karena itu, curug harus dipangkas, rencananya tiga meter agar arus air bergerak makin cepat.
Banjir Bandung selatan sudah mendapat perhatian serius sejak tahun 1980-an. Berbagai lokakarya digelar, beragam pemikiran diajukan. Sungai Citarum menjadi garapan utama. Pernah, kelak-keloknya yang menghambat arus air dianggap sebagai penyebab munculnya genangan di permukiman sekitarnya disodet. Tercatat tak kurang 20 sodetan dilakukan. Tujuannya, arus air bergerak lebih cepat ke hilir, banjir terhindarkan.
Sungguh sayang, usaha ini tidak menuai hasil optimal. Setiap tahun, banjir masih setia mengunjungi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan sekitar Bandung selatan hingga Bandung timur. Memutar otak, pemerintah menggagas lain projek. Lagi-lagi Citarum menjadi sasaran. Proses pendangkalan dasar sungai, akibat lumpur dan sampah, dituding menyumbang peran terjadinya banjir. Pengerukan pun dilakukan, bahkan hingga hari ini.
Sialnya, pengerukan bernasib sama dengan penyodetan. Banjir tidak serta-merta pergi. Pada musim hujan, Citarum tetap meluap dan permukiman masih terendam. Seolah tidak habis akal, projek lain disuarakan. Sekali lagi, Sungai Citarum jadi lahan garapan. Kali ini, Curug Jompong yang diyakini menjadi penyebab munculnya genangan air. Oleh karena itu, curug harus dipangkas, rencananya tiga meter, agar arus air bergerak makin cepat.
Projek terakhir ini masih menjadi wacana hingga belum terbukti kemanjurannya. Begitu rencana ini dimunculkan, buru-buru terbit berbagai tentangan dari kalangan peneliti dan akademisi.
Pemangkasan Curug Jompong untuk menyelesaikan persoalan banjir Bandung selatan, dinilai sebagai solusi jangka pendek yang bersifat parsial belaka. Tidak berbeda dengan dua penanganan sebelumnya, jalan keluar ini dinilai terlalu berbau projek. Alih-alih menuntaskan persoalan, malahan beberapa masalah baru bakal menyusul.
Pernyataan keras meluncur dari mulut Supardiyono Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). Pemangkasan Curug Jompong, menurut dia, tidak ada bedanya dengan pembunuhan Waduk Saguling. Padahal, waduk di wilayah Kab. Bandung Barat itu hingga hari ini masih diandalkan sebagi salah satu tempat beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
"Memangkas Curug Jompong sama dengan membunuh Waduk Saguling. Bisa jadi, pemangkasan ini secara instan berhasil mengurangi luas genangan, tapi proses sedimentasi dalam skala besar dari hulu semakin mengancam. Waduk Saguling, sebagai muara, akan mengalami proses pendangkalan yang cepat. Imbasnya, produksi listrik untuk Jawa dan Bali terancam mandek," ujar Sobirin saat ditemui di Pusair, Jln. Ir. H. Djuanda Bandung, Rabu (12/11) siang.
Sobirin berkeyakinan, Curug Jompong selama ini secara alami berperan sebagai pengatur arus air dari hulu, sekaligus sebagai penyaring lumpur dan sampah menuju Waduk Saguling. Peran inilah yang memungkinkan umur layan Waduk Saguling terjaga dan yang akan hilang jika dilakukan pemangkasan.
Beroperasi sejak 23 tahun lalu, Waduk Saguling memiliki kapasitas 700 megawatt dengan kemampuan memproduksi daya listrik 2.156 gigawatt/jam. Data terakhir menunjukkan, setiap tahun waduk menerima endapan lumpur dari hulu sebanyak 4,2 juta m3 atau 200.000 m3 lebih banyak dari kapasitas awal. Jumlah endapan lumpur inilah yang dikhawatirkan akan membesar akibat pemangkasan Curug Jompong. Pasalnya, dari kapasitas kantung lumpur sebesar 167,7 juta m3, separuh di antaranya telah terisi.
General Manager PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling, Sudibyanto, menolak menyampaikan sikap setuju atau tidak terkait rencana pemangkasan. Akan tetapi, secara tegas dia mengingatkan pengaruh nyata pemangkasan Curug Jompong terhadap kemampuan operasi PLTA.
"Bukan hanya Saguling yang akan terkena imbas pemangkasan. Waduk Cirata dan Jatiluhur juga akan terpengaruh. Termasuk, sistem pengairan dan air minum yang melayani Jawa Barat bagian utara dan DKI Jakarta," ujar Sudibyanto.
Hidup Harmonis
Pengajar Teknik Geologi ITB Budi Brahmantyo mengemukakan imbas lain pemangkasan Curug Jompong. Erosi makin intensif di DAS (daerah aliran sungai) hulu Citarum, sebagai gerak alamiah sungai dan anak sungai untuk menyesuaikan diri dengan arus air yang semakin deras, akan berakibat buruk pada jembatan dan bangunan di tepi sungai.
"Bangunan terancam longsor, sementara banyak fondasi jembatan akan menggantung karena mengikuti kontur sungai lama. Ini tentu membahayakan keselamatan warga, selain memunculkan lagi lain masalah," kata Budi yang juga aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).
Lebih dari solusi parsial semacam pemangkasan Curug Jompong, Budi memilih penanganan banjir Bandung selatan secara menyeluruh dan dalam jangka panjang. Dia memberi penekanan pada pentingnya kesadaran warga yang tinggal di daerah banjir. Kesadaran ini penting sebab Bandung selatan secara alami merupakan dataran banjir (flood plain) yang dimiliki Sungai Citarum.
Dataran banjir merupakan lahan rendah di kanan kiri sungai yang secara alami berfungsi menampung luapan air yang tak tertampung di puncak musim hujan. Bisa dikatakan, sudah menjadi hak setiap sungai besar untuk memiliki dataran banjir.
"Untuk itulah, perlu diusahakan budaya hidup harmonis antara warga dan alam setempat. Kalau tinggal di dataran banjir, ya harus mau bersahabat dengan banjir," ujarnya.
Hidup harmonis, menurut Budi, salah satunya bisa diwujudkan dengan penataan ruang yang lebih arif, seperti dengan mengembangkan bentuk rumah panggung. Rumah panggung merupakan model tepat bagi tempat rawan banjir seperti wilayah Bandung Selatan.
Selain itu, juga perlu ditumbuhkan kepedulian berperilaku ramah lingkungan, seperti menghapus kebiasan membuang sampah ke sungai dan menggiatkan penanaman pohon. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi) ***
Foto: Sobirin 2006, Bebatuan di Curug Jompong
"Memangkas Curug Jompong sama dengan membunuh Waduk Saguling. Bisa jadi, pemangkasan ini secara instan berhasil mengurangi luas genangan, tapi sedimentasi skala besar semakin mengancam. Waduk Saguling akan mengalami pendangkalan yang cepat.," ujar Sobirin.
Sialnya, pengerukan bernasib sama dengan penyodetan. Banjir tidak serta-merta pergi. Pada musim hujan, Citarum tetap meluap dan permukiman masih terendam. Seolah tidak habis akal, projek lain disuarakan. Sekali lagi, Sungai Citarum jadi lahan garapan. Kali ini, Curug Jompong yang diyakini menjadi penyebab munculnya genangan air. Oleh karena itu, curug harus dipangkas, rencananya tiga meter agar arus air bergerak makin cepat.
Banjir Bandung selatan sudah mendapat perhatian serius sejak tahun 1980-an. Berbagai lokakarya digelar, beragam pemikiran diajukan. Sungai Citarum menjadi garapan utama. Pernah, kelak-keloknya yang menghambat arus air dianggap sebagai penyebab munculnya genangan di permukiman sekitarnya disodet. Tercatat tak kurang 20 sodetan dilakukan. Tujuannya, arus air bergerak lebih cepat ke hilir, banjir terhindarkan.
Sungguh sayang, usaha ini tidak menuai hasil optimal. Setiap tahun, banjir masih setia mengunjungi daerah Dayeuhkolot, Baleendah, dan sekitar Bandung selatan hingga Bandung timur. Memutar otak, pemerintah menggagas lain projek. Lagi-lagi Citarum menjadi sasaran. Proses pendangkalan dasar sungai, akibat lumpur dan sampah, dituding menyumbang peran terjadinya banjir. Pengerukan pun dilakukan, bahkan hingga hari ini.
Sialnya, pengerukan bernasib sama dengan penyodetan. Banjir tidak serta-merta pergi. Pada musim hujan, Citarum tetap meluap dan permukiman masih terendam. Seolah tidak habis akal, projek lain disuarakan. Sekali lagi, Sungai Citarum jadi lahan garapan. Kali ini, Curug Jompong yang diyakini menjadi penyebab munculnya genangan air. Oleh karena itu, curug harus dipangkas, rencananya tiga meter, agar arus air bergerak makin cepat.
Projek terakhir ini masih menjadi wacana hingga belum terbukti kemanjurannya. Begitu rencana ini dimunculkan, buru-buru terbit berbagai tentangan dari kalangan peneliti dan akademisi.
Pemangkasan Curug Jompong untuk menyelesaikan persoalan banjir Bandung selatan, dinilai sebagai solusi jangka pendek yang bersifat parsial belaka. Tidak berbeda dengan dua penanganan sebelumnya, jalan keluar ini dinilai terlalu berbau projek. Alih-alih menuntaskan persoalan, malahan beberapa masalah baru bakal menyusul.
Pernyataan keras meluncur dari mulut Supardiyono Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). Pemangkasan Curug Jompong, menurut dia, tidak ada bedanya dengan pembunuhan Waduk Saguling. Padahal, waduk di wilayah Kab. Bandung Barat itu hingga hari ini masih diandalkan sebagi salah satu tempat beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
"Memangkas Curug Jompong sama dengan membunuh Waduk Saguling. Bisa jadi, pemangkasan ini secara instan berhasil mengurangi luas genangan, tapi proses sedimentasi dalam skala besar dari hulu semakin mengancam. Waduk Saguling, sebagai muara, akan mengalami proses pendangkalan yang cepat. Imbasnya, produksi listrik untuk Jawa dan Bali terancam mandek," ujar Sobirin saat ditemui di Pusair, Jln. Ir. H. Djuanda Bandung, Rabu (12/11) siang.
Sobirin berkeyakinan, Curug Jompong selama ini secara alami berperan sebagai pengatur arus air dari hulu, sekaligus sebagai penyaring lumpur dan sampah menuju Waduk Saguling. Peran inilah yang memungkinkan umur layan Waduk Saguling terjaga dan yang akan hilang jika dilakukan pemangkasan.
Beroperasi sejak 23 tahun lalu, Waduk Saguling memiliki kapasitas 700 megawatt dengan kemampuan memproduksi daya listrik 2.156 gigawatt/jam. Data terakhir menunjukkan, setiap tahun waduk menerima endapan lumpur dari hulu sebanyak 4,2 juta m3 atau 200.000 m3 lebih banyak dari kapasitas awal. Jumlah endapan lumpur inilah yang dikhawatirkan akan membesar akibat pemangkasan Curug Jompong. Pasalnya, dari kapasitas kantung lumpur sebesar 167,7 juta m3, separuh di antaranya telah terisi.
General Manager PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Saguling, Sudibyanto, menolak menyampaikan sikap setuju atau tidak terkait rencana pemangkasan. Akan tetapi, secara tegas dia mengingatkan pengaruh nyata pemangkasan Curug Jompong terhadap kemampuan operasi PLTA.
"Bukan hanya Saguling yang akan terkena imbas pemangkasan. Waduk Cirata dan Jatiluhur juga akan terpengaruh. Termasuk, sistem pengairan dan air minum yang melayani Jawa Barat bagian utara dan DKI Jakarta," ujar Sudibyanto.
Hidup Harmonis
Pengajar Teknik Geologi ITB Budi Brahmantyo mengemukakan imbas lain pemangkasan Curug Jompong. Erosi makin intensif di DAS (daerah aliran sungai) hulu Citarum, sebagai gerak alamiah sungai dan anak sungai untuk menyesuaikan diri dengan arus air yang semakin deras, akan berakibat buruk pada jembatan dan bangunan di tepi sungai.
"Bangunan terancam longsor, sementara banyak fondasi jembatan akan menggantung karena mengikuti kontur sungai lama. Ini tentu membahayakan keselamatan warga, selain memunculkan lagi lain masalah," kata Budi yang juga aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).
Lebih dari solusi parsial semacam pemangkasan Curug Jompong, Budi memilih penanganan banjir Bandung selatan secara menyeluruh dan dalam jangka panjang. Dia memberi penekanan pada pentingnya kesadaran warga yang tinggal di daerah banjir. Kesadaran ini penting sebab Bandung selatan secara alami merupakan dataran banjir (flood plain) yang dimiliki Sungai Citarum.
Dataran banjir merupakan lahan rendah di kanan kiri sungai yang secara alami berfungsi menampung luapan air yang tak tertampung di puncak musim hujan. Bisa dikatakan, sudah menjadi hak setiap sungai besar untuk memiliki dataran banjir.
"Untuk itulah, perlu diusahakan budaya hidup harmonis antara warga dan alam setempat. Kalau tinggal di dataran banjir, ya harus mau bersahabat dengan banjir," ujarnya.
Hidup harmonis, menurut Budi, salah satunya bisa diwujudkan dengan penataan ruang yang lebih arif, seperti dengan mengembangkan bentuk rumah panggung. Rumah panggung merupakan model tepat bagi tempat rawan banjir seperti wilayah Bandung Selatan.
Selain itu, juga perlu ditumbuhkan kepedulian berperilaku ramah lingkungan, seperti menghapus kebiasan membuang sampah ke sungai dan menggiatkan penanaman pohon. (Catur Ratna Wulandari/Ag. Tri Joko Her Riadi) ***
No comments:
Post a Comment