Sinar Harapan, 06 Desember 2008, Didit Ernanto
Foto: www.rumahzakat.org, Banjir Bandung
Oleh: Didit Ernanto/ Sinar Harapan
Anggota DPKLTS Sobirin mengungkapkan, kawasan lindung di Cekungan Bandung gundul. Bahkan, 150.000 ha kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi permukiman dan fasilitas komersial lainnya. Tak heran bila selalu terjadi banjir di sekitar Bandung.
Bandung – Memasuki musim hujan, warga yang tinggal di wilayah Bandung Selatan selalu berharap-harap cemas menanti datangnya banjir. Betapa tidak, banjir selalu datang ketika musim hujan tiba. ”Sudah biasa, setiap hujan pasti banjir,” kata Rudiyanto, warga Baleendah Bandung. Baleendah memang termasuk daerah langganan banjir.
Daerah lainnya yang sering terendam air adalah Dayeuhkolot dan Majalaya. Banjir seolah-seolah memiliki jadwal untuk datang ke Bandung Selatan. Pada musim hujan tahun ini banjir nyatanya makin meluas.
Wilayah di Bandung Timur seperti Rancaekek hingga Cicalengka mulai diakrabi oleh banjir. Jadi, banjir itu ibarat panen terjadwal dan tampaknya di masa-masa mendatang akan makin parah, karena adanya penggundulan di beberapa daerah yang selama ini merupakan hutan daerah tangkapan air hujan. Wajar saja areal yang terkena banjir di Bandung Selatan dari tahun ke tahun makin meluas.
Pada banjir kali ini, lebih dari 10.000 unit rumah terendam air. Banjir juga merendam fasilitas umum dan pabrik-pabrik. ”Banjir sekarang memang yang paling parah. Biasanya banjir baru terjadi di awal tahun,” ujar Deden Suwega, warga Majalaya. Ketinggian air bisa mencapai 1,5 meter.
Kerugian materi sebagai dampak banjir cukup besar. Wilayah Bandung Selatan merupakan salah satu sentra industri dengan jumlah pabrik yang mencapai sekitar 350 buah. Menurut Ketua Apindo Kabupaten Bandung Yohan Lukius, banjir membuat industri mengalami kerugian hingga Rp 10 miliar. Kerugian dialami akibat mesin, bahan baku, hingga produk yang telah jadi terendam air.
Bahkan, tak jarang pabrik harus berhenti beroperasi sementara. ”Bagaimana mau beroperasi kalau mesin terendam air, bahan baku rusak, dan karyawan tidak masuk karena kebanjiran,” keluh Yohan yang dihubungi SH, Jumat (5/12).
Banjir yang seakan-akan terjadwal ini tidak terlepas dari rusaknya kawasan lindung di Cekungan Bandung. Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kawasan lindung di Cekungan Bandung gundul. Bahkan, lanjut Sobirin, seluas 150.000 ha kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi permukiman maupun fasilitas komersial lainnya. Oleh karena itu, tak heran bila selalu terjadi banjir di sekitar Bandung. ”Mestinya kawasan lindung tidak boleh beralih fungsi. Daerah kawasan lindung tetap harus dipertahankan,” sesal Sobirin kepada SH, Jumat (5/12). Kawasan lindung termasuk hutan lindung ini seharusnya dipertahankan, seperti di Gunung Wayang maupun daerah aliran sungai (DAS) Citarum.
Perlu Solusi
Masih sering terjadinya banjir membuktikan berbagai upaya penanganan yang dilakukan selama ini tidak maksimal. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengakui kegagalan ini. Sebagai contoh adalah pengerukan Sungai Citarum di tahun 2006 lalu. Dengan anggaran yang mencapai Rp 80 miliar, ternyata pengerukan Sungai Citarum tak berarti sama sekali. ”Buktinya banjir tetap terjadi,” tegas Gubernur.
Gagalnya penanganan banjir dengan cara mengeruk Sungai Citarum dibenarkan Yohan. Menurut Yohan, pengerukan Sungai Citarum jelas tidak ada hasilnya karena yang dikeruk adalah pinggir sungai saja, sementara di tengah sungai yang justru mengalami pendangkalan sama sekali tidak dikeruk. Solusi lain dengan membuat sodetan anak Sungai Citarum juga tak berhasil.
Berdasarkan data DPLKTS, pada tahun 1980-an pernah dilakukan sebanyak 30 sodetan anak Sungai Citarum, namun tetap saja gagal. Gubernur mengatakan penanganan banjir di Bandung Selatan merupakan kewenangan pemerintah pusat. ”Pembiayaannya berasal dari pemerintah pusat,” ujar Gubernur.
Upaya yang akan dilakukan adalah dengan memotong Curug Jompong. Upaya ini belum dilakukan karena selain terganjal masalah dana, juga masih ada penolakan dari sejumlah pihak.
Pesimisme juga muncul terhadap upaya tersebut. Yohan mengatakan pengusaha lebih baik direlokasi daripada harus terus-menerus kebanjiran. Banjir di Bandung Selatan dan sekitarnya sudah memiliki jadwal, seharusnya memang pemerintah punya solusi yang jitu untuk mengatasinya. Terlebih lagi banjir ini sudah terjadi sejak lama.
Foto: www.rumahzakat.org, Banjir Bandung
Oleh: Didit Ernanto/ Sinar Harapan
Anggota DPKLTS Sobirin mengungkapkan, kawasan lindung di Cekungan Bandung gundul. Bahkan, 150.000 ha kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi permukiman dan fasilitas komersial lainnya. Tak heran bila selalu terjadi banjir di sekitar Bandung.
Bandung – Memasuki musim hujan, warga yang tinggal di wilayah Bandung Selatan selalu berharap-harap cemas menanti datangnya banjir. Betapa tidak, banjir selalu datang ketika musim hujan tiba. ”Sudah biasa, setiap hujan pasti banjir,” kata Rudiyanto, warga Baleendah Bandung. Baleendah memang termasuk daerah langganan banjir.
Daerah lainnya yang sering terendam air adalah Dayeuhkolot dan Majalaya. Banjir seolah-seolah memiliki jadwal untuk datang ke Bandung Selatan. Pada musim hujan tahun ini banjir nyatanya makin meluas.
Wilayah di Bandung Timur seperti Rancaekek hingga Cicalengka mulai diakrabi oleh banjir. Jadi, banjir itu ibarat panen terjadwal dan tampaknya di masa-masa mendatang akan makin parah, karena adanya penggundulan di beberapa daerah yang selama ini merupakan hutan daerah tangkapan air hujan. Wajar saja areal yang terkena banjir di Bandung Selatan dari tahun ke tahun makin meluas.
Pada banjir kali ini, lebih dari 10.000 unit rumah terendam air. Banjir juga merendam fasilitas umum dan pabrik-pabrik. ”Banjir sekarang memang yang paling parah. Biasanya banjir baru terjadi di awal tahun,” ujar Deden Suwega, warga Majalaya. Ketinggian air bisa mencapai 1,5 meter.
Kerugian materi sebagai dampak banjir cukup besar. Wilayah Bandung Selatan merupakan salah satu sentra industri dengan jumlah pabrik yang mencapai sekitar 350 buah. Menurut Ketua Apindo Kabupaten Bandung Yohan Lukius, banjir membuat industri mengalami kerugian hingga Rp 10 miliar. Kerugian dialami akibat mesin, bahan baku, hingga produk yang telah jadi terendam air.
Bahkan, tak jarang pabrik harus berhenti beroperasi sementara. ”Bagaimana mau beroperasi kalau mesin terendam air, bahan baku rusak, dan karyawan tidak masuk karena kebanjiran,” keluh Yohan yang dihubungi SH, Jumat (5/12).
Banjir yang seakan-akan terjadwal ini tidak terlepas dari rusaknya kawasan lindung di Cekungan Bandung. Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono mengungkapkan, kawasan lindung di Cekungan Bandung gundul. Bahkan, lanjut Sobirin, seluas 150.000 ha kawasan lindung telah beralih fungsi menjadi permukiman maupun fasilitas komersial lainnya. Oleh karena itu, tak heran bila selalu terjadi banjir di sekitar Bandung. ”Mestinya kawasan lindung tidak boleh beralih fungsi. Daerah kawasan lindung tetap harus dipertahankan,” sesal Sobirin kepada SH, Jumat (5/12). Kawasan lindung termasuk hutan lindung ini seharusnya dipertahankan, seperti di Gunung Wayang maupun daerah aliran sungai (DAS) Citarum.
Perlu Solusi
Masih sering terjadinya banjir membuktikan berbagai upaya penanganan yang dilakukan selama ini tidak maksimal. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengakui kegagalan ini. Sebagai contoh adalah pengerukan Sungai Citarum di tahun 2006 lalu. Dengan anggaran yang mencapai Rp 80 miliar, ternyata pengerukan Sungai Citarum tak berarti sama sekali. ”Buktinya banjir tetap terjadi,” tegas Gubernur.
Gagalnya penanganan banjir dengan cara mengeruk Sungai Citarum dibenarkan Yohan. Menurut Yohan, pengerukan Sungai Citarum jelas tidak ada hasilnya karena yang dikeruk adalah pinggir sungai saja, sementara di tengah sungai yang justru mengalami pendangkalan sama sekali tidak dikeruk. Solusi lain dengan membuat sodetan anak Sungai Citarum juga tak berhasil.
Berdasarkan data DPLKTS, pada tahun 1980-an pernah dilakukan sebanyak 30 sodetan anak Sungai Citarum, namun tetap saja gagal. Gubernur mengatakan penanganan banjir di Bandung Selatan merupakan kewenangan pemerintah pusat. ”Pembiayaannya berasal dari pemerintah pusat,” ujar Gubernur.
Upaya yang akan dilakukan adalah dengan memotong Curug Jompong. Upaya ini belum dilakukan karena selain terganjal masalah dana, juga masih ada penolakan dari sejumlah pihak.
Pesimisme juga muncul terhadap upaya tersebut. Yohan mengatakan pengusaha lebih baik direlokasi daripada harus terus-menerus kebanjiran. Banjir di Bandung Selatan dan sekitarnya sudah memiliki jadwal, seharusnya memang pemerintah punya solusi yang jitu untuk mengatasinya. Terlebih lagi banjir ini sudah terjadi sejak lama.
No comments:
Post a Comment