Thursday, November 16, 2006

CILEUNCANG KOTA BANDUNG


Oleh: SOBIRIN/ DPKLTS/ 16 November 2006
Masukan dalam rapat BAPPEDA dan DINAS BINA MARGA KOTA BANDUNG
Foto: Gurnita, Pikiran Rakyat, 12 Januari 2006

Istilah cileuncang menurut Kamus Lengkap Bahasa Sunda - Indonesia (Budi Rahayu Tamsyah, Pustaka Setia, 2003), adalah air hujan yang tidak terserap tanah, kemudian menggenang. Dalam bahasa ‘pengairan’, istilah banjir adalah kejadian di mana debit air melebihi kapasitas sungai atau drainase, kemudian meluap menggenangi daerah sekitar. Sedangkan istilah genangan yaitu air yang terkumpul di suatu tempat dan tidak tersalir karena elevasinya yang lebih rendah dari sekitarnya. Banjir di hilir bisa disebabkan oleh hujan lebat di hulu, karena badan sungai di hilir menyempit atau mendangkal. Sedangkan cileuncang di suatu tempat bisa saja disebabkan hanya oleh hujan lokal, karena kawasan tersebut ‘impervious’ dan tidak memiliki pematus yang baik. Sebuah kawasan menjadi "impervious" karena lapisan tanahnya tertutup oleh benda (bangunan) sehingga kemampuan daya serap terhadap air menjadi sangat rendah, dan yang terjadi adalah "run-off" (limpasan) menjadi sangat besar.

Terdapat upaya jangka pendek dan jangka panjang dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir dan cileuncang di perkotaan. Upaya-upaya ini terkait dengan konsep kebencanaan yang terdiri dari 4 tahap, yaitu: siap siaga, tanggap darurat, pasca kejadian, dan mitigasi.
Dikaitkan dengan musim, maka tahapan umum menghadapi kemungkinan banjir (dan kejadian ikutannya yaitu kemungkinan longsor) dapat disosialisasikan sebagai berikut:
- Siap siaga, upaya jangka pendek, bulan Oktober-November-Desember.
- Tanggap darurat, upaya jangka pendek, bulan Januari-Pebruari.
- Pasca kejadian, upaya jangka pendek dan jangka panjang, Maret-April.
- Mitigasi, upaya jangka panjang, bulan Mei-Juni-Juli-Agustus-September.
Prakiraan musim pada bulan-bulan terkait harus selalu berkomunikasi dengan pihak BMG.
Menghadapi musim hujan yang sudah di ambang pintu, kita harus pragmatis tidak membahas upaya jangka panjang dulu, tetapi yang dikerjakan adalah upaya jangka pendek tahap siap siaga. Masih ada kesempatan dua bulan yaitu November dan Desember untuk mengerjakan hal tersebut.
Upaya jangka pendek siap siaga di bulan November dan Desember ini, antara lain berupa:
-Mengeruk sampah dan endapan dari selokan2 di kawasan yg sering terjadi cileuncang.
-Memperbaiki riul-riul yang menyumbat.
-Memperbaiki drainase agar ‘gradient hidraulic’nya mampu mematus genangan.
-Di tempat2 tertentu segera di buat sumur2 resapan sesuai ketentuan standar.
-Siapkan pompa air dan selang untuk membantu mematus air yang tergenang.
Mengacu kepada konsep ‘City is People’, maka masalah banjir cileuncang ini adalah masalah bersama, masalah seluruh warga kota. Basis kebersamaan adalah komunikasi dan gotong royong yang dipastikan masih dimiliki oleh warga kota. Diperlukan terobosan dalam hal anggaran agar masyarakat bisa ikut menikmati buah kegotong-royongan ini. Dari para pengusaha, pihak swasta dan pengembang yang berdekatan dengan lokasi cileuncang, diminta ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong ini. Kegiatan menghadapi kemungkinan banjir diupayakan agar sebesar-besar berbasis masyarakat, dengan kata kunci mendorong masyarakat mampu menolong diri sendiri.
Pada saat kejadian banjir cileuncang (diharapkan tidak terjadi, namun kita harus waspada di bulan Januari-Pebruari), selain melaksanakan kegiatan tanggap darurat, perlu dilakukan pemetaan lokasi genangan cileuncang. Dicatat waktu kejadian, luas genangan, kedalaman genangan, dampak yang terjadi.
Pasca kejadiaan cileuncang (Maret-April), keadaan diharapkan telah normal kembali, kota telah bersih kembali. Dilanjutkan dengan kegiatan mitigasi yaitu proses kegiatan mengurangi ancaman atau menjinakkan ancaman cileuncang, dilakukan bulan Mei-Juni-Juli-Agustus-September.
Mitigasi adalah proses jangka panjang untuk menjinakkan ancaman banjir cileuncang, antara lain:
Membuat peta drainase Kota Bandung skala regional (skala Kota Bandung secara umum), skala meso (skala wilayah, kecamatan), skala mikro (kelurahan, RT, RW, komplek permukiman). Peta-peta ini untuk dasar membuat keputusan-keputusan teknis. Kemudian sosialisasi kepada masyarakat tentang perilaku untuk mencegah banjir pada umumnya dan cileuncang pada khususnya. Lalu memperbaiki drainase perkotaan agar sesuai dengan kondisi Kota Bandung saat ini dan rencana kota masa yang akan datang. Jangan lupa memasang ‘plang informasi’ di lokasi-lokasi rawan banjir dan cileuncang sebagai peringatan ‘hati-hati di sini rawan banjir dan cileuncang, agar membuang sampah pada tempatnya’.

Read More..

Wednesday, November 01, 2006

KOTA BANDUNG BISA MENJADI KOTA BANJIR

WARTA DISTARKIM PROV JABAR, 6 JANUARI 2005

Foto: Satrya, Pikiran Rakyat, Banjir Cibaduyut, 23 April 2006

Gerakan Cikapundung Bersih mungkin akan menjadi salah satu dari sekian ratus program pemda kota dan kabupaten yang hanya hidup sebatas jargon tanpa ruh sebuah sistem, demikian pernyataan Nabiel Makarim dalam pembukaan Hari Cikapundung bersih Februari 2004 silam. Bagaimana tidak, menurut beberapa anggota Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DP-KLTS), salah satunya
S. Sobirin. Menurutnya gerakan ini memungkinkan melakukan sebuah usaha parsial, hanya mengurusi aliran sungai saja, tanpa melihat sub-DAS itu sendiri. Pernyataan ini menyusul setelah terjadinya kerusakan 7.080 ha atau 80% dari 8.850 ha luas hutan lindung di hulu Sub-Daerah Aliran Sungai (Sub-DAS) Cikapundung, sekitar Kawasan Bandung Utara, beberapa minggu ini. Ia mengatakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan akan mengakibatkan banjir dasyat yang mengancam kawasan kota Bandung dan sekitarnya. Kerusakan hutan di hulu Sub-DAS Cikapundung yang sebagian besar berada di wilayah kabupaten Bandung itu, tidak hanya meluapkan aliran air sungai Cikapundung, tetapi juga akan menambah jumlah volume di puluhan anak sungai yang melintasi kota Bandung. Kondisi ini semakin diperparah, karena hulu Sub-DAS lainnya pun di kawasan Bandung utara dalam keadaan kritis, tegasnya. Ia pun memprediksi sebuah rencana alam akan terjadi kembali, yaitu periodisasi bencana banjir dasyat. Saya teringat dan tidak mustahil bila banjir dasyat akan melanda kota bandung seperti banjir yang terjadi pada 28 November 1945 yang merengut ratusan korban jiwa. Banjir ini menerjang kawasan Sasak Gantung, Lengkong Besar, Kebonjati dan daerah sekitar lainnya. Banjir yang terjadi di tahun 1945 ini merupakan banjir yang terjadi 100 tahun sekali (banjir periode ulang 100 tahunan, itu pun bila kondisi hutan di hulu sungai dalam keadaan baik -red), katanya. Walaupun begitu, dengan kerusakan di hulu Sub-DAS Cikapundung yang kondisinya sudah semakin parah, Sobirin menegaskan banjir periode ulang sepuluh tahunan dan 25 tahunan sangat pasti akan dialami oleh warga kota Bandung dan sama dasyatnya dengan banjir 100 tahunan. Oleh karena itu saya sangat khawatir ini akan terjadi, tak perlu menunggu tahun 2045, sambungnya. Pada kesempatan itu Sobirin menjelaskan bahwa saat ini seluas 8.850 ha atau 75 % dari 11.8850 ha luas hulu Sub-DAS Cikapundung merupakan kawasan lindung atau daerah yang harus berfungsi sebagai daerah lindung. Luas kawasan lindung ini berdasarkan kemiringan, curah hujan, sifat tanah dan ketinggian, tambahnya. Namun dari kondisi riil yang ada, dari 8.850 ha kawasan lindung, hanya 1.770 ha masih dalam keadaan baik. Selebihnya 7.080 ha sudah rusak karena disekitarnya dipenuhi permukiman dan pertanian yang tidak berkaidah pada hukum konservasi kawasan. Maka ancaman akan adanya banjir bukan isapan jempol, tegasnya. Perbandingan luas permukiman dan pertanian yang tidak berwawasan konservasi semestinya tidak lebih dari 2.950 ha atau sekitar 25% dari luas hulu Sub-DAS Cikapundung. Seharusnya rencana tata ruang permukiman dan pertanian berada di kawasan hutan budi daya bukan kawasan lindung. Namun pada kenyataannya daerah permukiman dan pertanian ini juga malah menempati daerah hutan lindung. Dalam kesempatan lain, masih di kantor DP-KLTS, Ketua DP-KLTS, Solihin G.P, yang juga saksi dari terjadinya banjir dasyat pada tanggal 28 November 1945. Solihin G.P mengatakan bahwa banjir banjir yangakan terjadi nanti akan lebih dasyat. Kenyataannya dengan kondisi hutan di tahun 1945 lalu saja itu sudah jauh lebih baik dibandingkan sekarang, tapi air Cikapundung sudah meluap. Apalagi jika terjadi sekarang, pada saat segala sesuatunya sudah rusak, mungkin kerusakan dan korbannya lebih tak terbayangkan, ujarnya. Menurut Solihin, kita tinggal menunggu waktu saja untuk datangnya banjir tersebut, namun demikian untuk mengurangi dampak banjir yang tidak kita inginkan, diperlukan langkah rehabilitasi hutan lindung yang terlanjur rusak. Kelestarian hutan di hulu sungai sangat penting untuk mengendalikan tata air, guna mengurangi dampak dari bencana banjir di musim hujan ini dan kekeringan di musim Kemarau nantinya. Bila tidak, maka julukan kota Bandung adalah sebagai kota Banjir, bukan kota Kembang lagi, katanya. (P.02)

Read More..

LAHAN KRITIS DI KOTA BANDUNG 350 HA


KOMPAS JAWA BARAT, Senin, 8 November 2004
Foto: Sobirin, 2005, Kawasan Bandung Utara

Bandung, Kompas –

Luas lahan kritis di Kota Bandung nmencapai 350 hektar. Lahan kritis itu terdapat di kawasan Punclut seluas 150 hektar, Dago Pakar 80 ha, Cimenyan 70 ha, dan sisanya tersebar di sisi kanan-kiri jalan raya di seluruh Kota Bandung yang luasnya 50 ha. Hal itu diungkapkan anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), S Sobirin, di Bandung, Minggu (7/11). Lahan kritis ini terutama disebabkan pembabatan hutan di daerah Cimenyan, Dago Pakar, dan Punclut yang termasuk Kawasan Bandung Utara (KBU). Tujuan pembabatan itu untuk pembangunan perumahan mewah. Walaupun sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, pada tahun 2002 sampai 2003, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung tetap memberikan izin kepada tiga pengembang perumahan untuk membangun proyek perumahan pada lahan seluas 110 hektar (ha). Ketiga pengembang tersebut memiliki proyek di perbukitan Ciwangi, Ciburial, dan Cimenyan. Sobirin menegaskan, izin yang diberikan kepada pengembang tersebut merupakan bukti bahwa Pemkot Bandung tidak konsisten. Pembabatan hutan tersebut mengakibatkan unsur hara dengan mudah terbawa hujan deras sehingga lahan menjadi kritis. Untuk menanggulangi lahan kritis, menurut
Sobirin, diperlukan tanaman perintis seperti avokad atau nangka disertai pemberian pupuk organik. Faktor lain yang menyebabkan lahan menjadi kritis, jelas Sobirin, adalah kemiringan tanah. Semakin curam sebidang tanah, semakin berisiko daerah tersebut menjadi lahan kritis. Sebab, unsur hara di lahan tersebut akan mudah tersapu hujan, apalagi bila di sana tidak ditumbuhi pepohonan.

Pengadaan bibit
Sobirin mengatakan, tumpang tindih perihal KBU dalam peraturan daerah (perda) juga menjadi kendala tersendiri dalam penanggulangan lahan kritis. Dalam Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat disebutkan bahwa KBU berfungsi sebagai kawasan lindung. Sementara Perda Kabupaten Bandung Nomor 12 Tahun 2001 tentang RTRW Kabupaten Bandung mengategorikan KBU sebagai kawasan tertentu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, ujar Sobirin, seharusnya menciptakan perda yang mengatur agar fungsi KBU sebagai kawasan lindung tidak terganggu. Masyarakat di sekitar kawasan lindung, tutur Sobirin, juga harus diberdayakan secara ekonomi dengan usaha pengadaan bibit. Bibit yang ditanam masyarakat kemudian dibeli pemerintah daerah sehingga tercipta lapangan kerja sekaligus perbaikan lahan kritis. Sobirin mengatakan, pemberdayaan warga kota pun harus diupayakan dengan memberi imbauan penanaman pohon di lingkungan rumah masing-masing. "Kalau di Kota Bandung ada sekitar 500.000 rumah dan masing-masing penghuni menanam tiga pohon saja, jumlah pohon yang tersedia sudah mencukupi," kata Sobirin.
Tercemarnya sungai-sungai di Kota Bandung oleh limbah juga memberi kontribusi terhadap rusaknya lahan di Kota Bandung. Sobirin mengatakan, limbah yang dibuang ke sungaisungai di Jawa Barat, sebanyak 70 persen berasal dari rumah tangga, 25 persen dari industri, dan lima persen dari sumber lainnya. Kontribusi industri atas bertambahnya lahan kritis sebesar 25 persen karena mengeluarkan limbah yang mengandung bahan beracun berbahaya.
(J15)

Read More..